Read More >>"> RESTART [21+] (Bab 39 (Menunggu Terang)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RESTART [21+]
MENU
About Us  

Seiring dengan letupan-letupan kecil dari panci, wangi sup ayam menguar menelusup ke sudut-sudut dapur. Tyas berdiri di dekat kompor, sendok kecil di tangannya sesekali diangkat untuk mencicipi rasa, lalu matanya mengerling, sambil lidahnya menyecap. “Kurang garam,” gumamnya kemudian. Setelah menambahkan sedikit garam dan mencicipinya lagi, Tyas mengangguk karena yakin telah sampai pada titik rasa yang tepat. Dia mematikan kompor, lalu meraih ponsel dan mengetuk layarnya untuk melihat jam. Sudah pukul tujuh kurang lima menit. Dia mengangguk lagi, kali ini anggukan itu seperti meyakinkan diri untuk bertindak lebih. Celemek yang sudah dilepasnya, dia gantung di punggung kursi makan tak jauh dari tungku kompor. Kemudian sambil berdeham dia melangkah ke ruang tamu. Awalnya langkahnya pelan, namun setelah melihat bahu suaminya yang turun, tampak lemah dan lelah, dia mempercepat langkah. Meskipun membelakanginya, dia tahu, suaminya pasti berwajah sendu, tidak berubah sejak kemarin sore, sejak tamu mereka pulang.

“Mas,” suaranya mengalun lembut, telapak tangannya mengusap perlahan bahu suaminya. “Sarapan, yuk?”

Yang disapa dan yang diusap bergeming. Tidak cukup itu, kini badannya terasa dingin. Tentu saja, suaminya itu tidak beranjak dari sofa, tidak untuk rasa lapar, bahkan kencing pun seperti enggan mengganggunya yang tengah tenggelam dalam pikiran sendiri. Mulutnya terkunci rapat, sedang matanya hampa. Gamma, si suami, semalaman hanya duduk termenung di sofa ruang tamu mereka, dengan menangkupkan buku pada dadanya dan tentu larut dalam porak-poranda jiwa. Dia diam dengan kekosongan, seakan tubuh dan jiwanya tidak berada pada satu tempat yang sama. 

Tyas, yang pada awalnya duduk di samping Gamma, berusaha menemaninya di sofa yang terasa semakin dingin seiring malam merambat, akhirnya menyerah pada keheningan yang menggerogoti hatinya. Tidak sanggup lagi menahan sesak di dadanya, dia pun meminta izin untuk tidur di kamar. Mengantuk, katanya pelan sambil menyembunyikan getar pada suaranya. Namun kantuk hanyalah dalih, satu alasan untuk menyembunyikan niat sesungguhnya—dia hanya ingin menyendiri, ingin meluapkan tangisan yang bersarang di balik mata yang berusaha tetap tegar. Sepanjang malam, Tyas menangis di kamar, sendirian, menangisi kesalahan-kesalahan yang berputar tanpa henti di pikirannya, dan juga menangisi nasibnya yang kini terasa seperti dibiarkan terkatung-katung.

Baik Tyas maupun Gamma, sepasang suami-istri ini, tidak tidur pada malam pertama awal tahun. Malam yang seharusnya penuh harapan, malam ketika semua orang sejenak melupakan kepahitan masa lalu dan berani bermimpi tentang kebaikan yang akan datang. Malam ketika cita-cita yang tertunda setahun lalu kembali disematkan pada deretan 365 hari di depan mata, atau mungkin juga malam ketika cinta murni seorang kekasih diharapkan datang, mendekap dengan hangat. Tetapi, tidak bagi Tyas. Harapan yang dulunya begitu sederhana, begitu jelas—dicintai kembali oleh suaminya—kini telah memudar, layu sebelum sempat mekar. Di tengah gemuruh sorak-sorai orang-orang yang masih merayakan awal tahun, harapannya yang satu-satunya itu lenyap, tenggelam dalam kegelapan malam. Telah pupus dan benar-benar sirna besoknya bagai embun tersapu angin pagi.

“Mas? Kamu harus makan,” Tyas kembali membujuk, kali ini dengan sebuah kecupan lembut di puncak kepala suaminya.

“Yas ….” Akhirnya suara Gamma terdengar, serak dan berat, seperti kata-kata itu harus dilalui dari kedalaman yang jauh. “Aku mau jemput Alpha. Dia bakal tinggal di sini bareng kita.”

Di baliknya kalimat Gamma yang dirambati kesedihan ada satu kepastian yang tidak bisa digoyahkan. Tyas mendengar sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata; dia menangkap dua hal yang penting. Pertama, suaminya tidak meminta pendapatnya tentang Alpha—keputusan itu telah diambil, tidak ada ruang untuk diskusi atau penolakan. Kedua, kata “bareng kita” adalah jaminan bahwa pernikahan mereka tidak akan berakhir di tepi jurang perceraian. Dan dua hal itu seketika melapangkan dirinya dari kepungan rasa bersalah. Dia juga memiliki kesempatan untuk bertanggung jawab selama hidupnya.“Ya,” anggukan Tyas pendek-pendek dan cepat, air mata mulai jatuh perlahan. “Ya, Mas. Ya ….”

Dengan tangan yang gemetar, dia mengalungkan kedua tangannya di leher suaminya, menariknya dalam pelukan yang lebih erat. Dahinya jatuh di puncak kepala Gamma. Namun, suaminya tetap bergeming. Diam, kaku, dan dingin,

-oOo-

“Lu di tengah! Lu duduk tengah!” Ares berbisik tajam pada Gamma, bibirnya rapat seolah mengungkapkan perintah dengan lebih dari sekadar kata-kata. Ekspresi wajahnya tegas, penuh peringatan. Di sekeliling mereka, kerumunan orang berdesak-desakan masuk ke dalam kapal, tas-tas besar mereka menyeruak di antara tubuh-tubuh yang saling berjejal. Wajah-wajah tampak cemberut, sibuk dengan urusan sendiri, memegang robekan tiket dengan cemas sambil melirik kiri dan kanan, mencari kursi nyaman. Suara anak-anak mewarnai suasana—ada yang ceria dan bersemangat, ada pula yang meraung kelelahan. Juga segala macam bau dunia bercampur dalam ruangan, mulai dari bau makanan hingga bau badan. Di antara segala macam aroma itu, bau apak dan bau minyak cap kapak adalah campuran yang paling membuat Ares merasa mual, membuat perutnya bergejolak. Setelah duduk, dia buru-buru mengeluarkan parfum kecil dan menyemprotkannya ke leher, tak lupa kursinya sendiri. Gamma dan Andre mengikuti, duduk di kursi yang telah ditentukan. Benar, Gamma duduk di tengah, dan bagi Gamma, posisi ini tidak menjadi masalah.Tapi tidak bagi Ares, duduk bersebelahan dengan Andre akan membuat seluruh bulu di tubuhnya meremang. Dia ketakutan sendiri.

“Merinding gua.” Begitu katanya saat tahu Andre memiliki orientasi seks berbeda. 

Pagi itu, setelah Gamma mengatakan akan menjemput Alpha. Tyas segera menyiapkan segala keperluan suaminya selama dua hari di Pesawaran. Dia memutuskan libur dari Midas saat hari pertama tahun ini kantor itu beroperasi dan meminta Bu Eka melaporkan jika ada masalah khusus. Saat Tyas sibuk mengurusi koper, Gamma menelepon ibunya, mengabarkan semuanya. Tangisannya dia tahan, menunjukkan kekuatan. Juga dia merasa tidak pantas menangis kepada ibunya atas kesalahan dan dosa orang dewasa yang telah dia lakukan pada dirinya, pada Aruna dan juga pada ibunya. Setelah itu, dia menelepon teman baiknya, Ares. Sebelum Gamma meminta, Ares bahkan sudah menawarkan diri untuk ikut pergi menjemput Alpha.

Thanks, Nyet …,” ucap Gamma dengan tubuh bergetar sebab telah habis kebalnya terhadap lelah. 

Sup ayam itu akhirnya masuk ke dalam perut Gamma, makanan pertama setelah tanpa sadar berpuasa selama sembilan belas jam. Dia menyuap sambil memeriksa tiket kapal. Andre, yang di telepon Gamma setelah menelepon Ares, langsung menyetujui berangkat ke rumah Pak Ari hari ini. Dia akan datang menjemput setelah Gamma mendapatkan tiket feri.

“Mas …,” sapa Tyas ragu-ragu. “Aku ikut anter ke pelabuhan, boleh?”

Gamma mendelik pada Tyas. Jempolnya yang sedari tadi menggulir-gulirkan layar ponsel, kini berhenti. Dia menatap mata istrinya. Terasa ada sesuatu yang mengganjal pada sorot sepasang mata yang hitam pekat itu: rasa bersalah dan khawatir. Tapi jelas, Gamma menghargai istrinya sebagai istri. Dia mengakui kesalahan Tyas, tapi tidak membesar-besarkannya. Tidak ingin membuat Tyas merasa bahwa sandiwaranya bertahun-tahun lalu itu adalah semua pemicu kekacauan yang ada, maka dia diam. Justru, pada tahun-tahun lalu dia sendiri mengatakan tidak mengapa saat Tyas meminta maaf. Dia, Gamma, laki-laki yang menerima seluruh kesalahan dilimpahkan hanya kepada dirinya dan kini tubuh dengan keberatan beban itu siap sedia mempertanggungjawabkan kesalahannya. Kesalahannya karena melepaskan Aruna, kesalahannya karena terlambat sedikit saja, kesalahannya karena tidak memiliki keberanian untuk bertahan barang sebentar saja demi kekasihnya. 

Menyadari sikapnya yang acuh tak acuh sejak kemarin siang, Gamma memilih menaruh ponselnya. Dia menggenggam tangan istrinya di atas meja, bersebelahan dengan mangkuk besar sup ayam, lalu tersenyum paling kawakan.

“Yas,” jempolnya mengusap punggung tangan Tyas, “Gak perlu anterin aku. Selain Andre, aku bareng Ares juga. Aku pergi nanti, kamu istirahat. Besoknya, kalau bisa, kamu kasih tahu papa dan mama mengenai ini, mengenai Alpha yang bakal tinggal sama kita.” Gamma menatap Tyas dengan lembut dan Tyas tahu, tatapan itu berarti seluruh pemaafan atas kesalahannya. “Ya? Bisa, ya?” tanya Gamma lagi.

“Ya.”

“Aku tahu, ini gak mudah tapi ak-”

“Memang gak mudah, Mas. Tapi aku akan yakinkan papa mama,” sambar Tyas segera, “mereka akan menerima Alpha.”

Gamma mempertahankan senyumnya saat mengembuskan napas. Hasil pengamatannya selama ini adalah Tyas memiliki sesuatu yang sama persis dengan Pak Adimas: tekad bulat yang kuat. Karena itu, dia percaya Tyas bisa dia andalkan untuk meyakinkan kedua orang tuanya. 

“Aku percaya sama kamu, Yas,” ucap Gamma, “juga percaya kamu bisa menjadi ibu untuk Alpha.” Gamma mengucapkan kalimat yang kedua itu dengan sinar mata penuh makna. Tyas yang paham benar maksud kata ibu yang diucapkan suaminya telah melampaui definisi biologis. Baginya dan juga seperti apa yang sudah didapati dan dirasakannya selama tumbuh bersama seorang ibu yang dia panggil mama, bahwa ibu tidak hanya sosok yang hadir sebatas memberikan cinta dan kasih sayang. Ibu adalah seseorang berkorban tapi dilakukan dengan keikhlasan. Ibu adalah pendengar setia juga pendukung paling sedia.  Dari ibunya dia mendapatkan segala pelajaran dan pengajaran hidup, norma dan nilai, juga prinsip keagamaan. Jika ayah adalah sebuah atap rumah, maka ibu adalah tiang di dalam rumah itu sendiri. Sebagaimana dia memercayai konsep itu, maka dia juga meyakini bahwa Gamma mampu menjadi atap rumah tangga ini, melindungi seluruh anggota keluarganya dari deraan siksaan yang datang dari luar sedangkan dia sendiri, Tyas, harus kokoh dan teguh mengayomi dari dalam. Menyadari bentuk kerjasama yang sakral itu, hati Tyas menjadi lapang. Mas Gamma-nya memberikan seluruh kepercayaan pada dirinya bahwa dia bisa menjadi tiang yang kokoh untuk rumah Mas Gamma yang kini akan bertambah satu anggota.

Thanks, Mas. Meskipun gak mungkin menyaingi Mbak Aruna, tapi aku akan berusaha sebaik yang aku bisa,” ucap Tyas dengan suara yang dijalari kesedihan.

Gamma menggeleng pelan, “Gak, Yas. Kamu gak sedang bersaing dengan siapa-siapa. Ini bukan panggung hebat-hebatan. Kamu berusaha, aku berusaha. Ini sama-sama hal baru buat kita. Aku cuma berharap kamu menjalaninya gak dengan beban harus menjadi yang terbaik. Cukup lakukan dengan baik aja.” Gamma mengucapkannya memang dengan lembut, namun sesuatu pada kalimat itu telah merambat dengan tegas yang meyakinkan Tyas juga seperti mendukungnya dengan tidak berlebihan. “Ya?” tanya Gamma lagi.

Tyas hanya bisa mengangguk cepat sambil mengatupkan kedua bibirnya kuat-kuat. Dia tidak ingin menangis lagi, tapi dia kalah, kenyataan bahwa dia tidak bisa menahan air matanya adalah suatu fakta. Mas Gamma-nya tidak menanyakan sedikitpun pendapatnya mengenai Alpha, apakah dia akan menerima anak itu di rumah ini, apakah dia sanggup menjalani status baru sebagai ibu sambung atau, yang paling dasar, apakah dia bisa menyayangi Alpha sebagaimana seorang ibu menyayangi anak kandungnya. Tidak. Sekali saja suaminya tidak bertanya, juga sebagaimana suaminya tidak mengungkit sandiwara sampahnya bertahun-tahun lalu dan bersarang lama di pikiran Aruna, bahwa dikarenakan sandiwara itu semuanya dengan cepat ataupun sangat lambat menyakiti orang-orang dalam lingkaran yang sama, juga bagaimana Mas Gamma-nya tidak menyalahkan dan tidak marah atas hal itu kepadanya. Bahkan jika saja sedikit bentakan keluar dari mulut Mas Gamma-nya sebagai luapan amarah, maka dia akan terima meskipun setelahnya merasa terluka, lalu menangis dengan keras. Apalagi, sempat terpikir olehnya akan terjadi  sebuah perdebatan besar antara dia dan suaminya di malam sebelumnya mengenai apa-apa saja yang tidak mereka tahu telah terjadi selama ini karena kesalahpahaman luar biasa. Kosong. Justru tadi malam mereka diam, tidak saling berbicara, tidak saling menatap juga. Yang lebih mengherankan lagi, kini suaminya tidak ingin menimbulkan ajang persaingan antara istrinya dan kekasih lamanya. Tentu ini membuat dirinya menjadi berlapang dada. Tapi karena itu juga dia kini menangis, betapa buruknya dia di hadapan suaminya, juga menangisi, betapa suaminya telah egois dengan cara paling melunakkan perasaannya, dengan cara paling sempurna menyentuh nuraninya. Hingga dia bertanya ragu diantara isakannya, apakah ada laki-laki lain yang begini lembut egoisnya?

Tiket sudah dipesan, keberangkatan pukul dua siang dengan feri. Ares dan Trisna sudah tiga puluh menit di rumah mereka, menunggu Andre tiba. Sembari Tyas dan Trisna menyiapkan bekal, Gamma dan Ares duduk di teras belakang sambil menatap bunga-bunga dan beberapa jenis tumbuhan keladi yang rapi di dalam pot putih. 

“Lu tahu?” tanya Ares di sela-sela embusan asap rokoknya.

“Apa?”

“Denim dari merek-merek premium, seringkali dihargai lebih tinggi pas warnanya memudar atau udah robek alami atau teksturnya jadi lebih lembut karena keseringan dipake,” Ares mengetuk-ngetuk ujung rokoknya pada asbak yang ada di atas meja bundar kecil di antara kursi kayu yang mereka duduki, “gitu juga anggur. Makin diinjak-injak, udah gitu makin tua, makin premium. Mahal. Jadi vintage wine.” 

“Hmmm ….” Gamma membuka kaleng bir dan meminumnya. Dia mulai paham arah pembicaraan temannya ini dan benar-benar berharap temannya tidak melanjutkan kalimatnya.

“Coba deh lu bayangin, lu tuh kayak jeans yang udah pudar, sobek sana-sini. Tiap goresan sama sobeknya tuh bukan aib, tapi cerita. Cerita tentang lu yang udah ngelewatin banyak hal berat, kejadian-kejadian yang bikin lu jadi kayak sekarang. Kuat. Anggur juga, makin diinjak, makin lama disimpen, makin bernilai, malah jadi koleksi. Lu udah ngelewatin banyak hal sulit. Orang yang udah ngalamin banyak cobaan tuh justru lebih dihargain. Pengalaman lu gak main-main. Lu udah berhasil sampai hari ini. Gak semua orang bisa. Gua kalau jadi lu mungkin udah masuk rumah sakit jiwa,” Ares mengesah, dia menggelengkan kepala, “lu masih muda, badan sama pikiran lu masih seger ngadepin semuanya. Ada kali orang udah bangkotan baru dihajar habis-habisan. Mungkin banyak orang yang berharap segala penderitaan dirasakan pas muda, pas masih kuat, jadi ntar udah selesai semua ya tinggal nyantai.”

Gamma menyunggingkan senyum dengan malas-malasan lalu menenggak bir nya sekali lagi. Tetap bungkam sebab pikirannya bercabang dan bermacam. “Itulah mungkin saking berharganya hal-hal yang udah ditempa, banyak orang memalsukan cerita-cerita derita, orang-orang sukses kalau ditanya awal mulanya, pasti dimulai dengan saya pernah gak makan seminggu, atau kayak saya dulu sekolah gak pakai sepatu biar makin dihargain. Juga kayak orang-orang mulai produksi jeans yang sengaja disobek dulu terus dijual mahal. Lu tahu kan Bordeaux Wine Scandal? Cerita derita palsu yang laku.

Gamma tidak menjawab bukan karena tidak tahu kasus itu, juga bukan karena tidak menghargai usaha seorang teman untuk melapangkan hati. Dia tahu bahwa kalimat penghiburan dari temannya tidak untuk dijawab apa lagi disangkal. Dia juga tahu, setelah berteman lama bahwa Ares juga tidak terlalu menginginkan respons atas pidato-pidatonya. Ares hanya ingin kata-katanya didengar sedangkan Gamma hanya ingin temannya ada. Dan keinginan keduanya tercapai dengan duduk bersama. 

Buku cokelat itu masih di atas paha Gamma dengan tangan kanan tertangkup padanya. Dia tidak memberikan buku itu kepada Tyas untuk dimasukkan ke dalam koper. Katanya, dia hanya ingin membawanya dalam ransel saja. Sampul kulit buku itu terasa hangat karena terlalu lama kontak dengan telapak tangan Gamma, atau mungkin juga buku itu merasa senang karena kembali kepada pemilik aslinya. Dia tidak membukanya, belum. Buku itu masih terkatup magnet penguncinya. Belum jelas isinya apa dan apa yang dituliskan kekasih lamanya, tapi dia begitu yakin sesuatu yang tak terbayangkan dan juga besar telah mengisi lembaran-lembaran kosong pada buku itu. Sehingga dia sendiri membutuhkan kekuatan untuk membuka buku itu, menyiapkan diri untuk membaca apa-apa saja yang dia yakini akan membuatnya terguncang sekali lagi.
 

Tidak berselang lama, bahkan belum habis birnya, suara decitan mobil pada paving block telah membuat mereka berdiri secara serempak dan bergegas ke depan. Andre datang. 


“Sementara aku pergi, kamu jaga diri. Juga jaga rumah dan Midas,” Gamma menyapu jempolnya di sepanjang bekas jahitan pada pipi Tyas.

“Ya, Mas.” 

Mereka berpelukan sebentar. 

“Res?” Gamma memanggil Ares yang sedang memasukkan bekal dari Trisna ke dalam tas.

“Yop. Yok!” jawabnya sambil menyandang ransel kembali.

Andre tidak masuk, dia hanya turun dari mobil dan menunggu di depan pintu yang terbuka lebar. 

Ares yang berjalan di belakang Gamma, seolah ketakutan. Persis seperti anak kecil yang berlindung di sebalik ibunya karena takut melihat badut dengan make-up tebal dan hidung bulat merah besar. 

“Lu duluan. Lu duluan! Gua duduk dibelakang!” bisiknya dengan cepat. Ares yang terkejut bukan main mengetahui Andre dengan penyakit mental lain yang mempengaruhi orientasi seksnya, kini merasa ngeri sendiri jika berdekatan dengan Andre. Dia dengan kepercayaan diri besar merasa akan ditaksir Andre. Gamma dan Ares sempat berdebat kecil saat bertelepon tadi.

Dia milih-milih kali! ujar Gamma saat ditelepon tadi.

Kali aja gua pilihannya! sambar Ares segera.

Kedengarannya lu ngarep!

ANJING LU! seru Ares lagi.

Mereka melaju menuju Pelabuhan Merak dengan mobil Andre. Ares duduk di kursi belakang, wajahnya dipenuhi kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. Rasa takutnya tampak nyata, lebih-lebih karena mereka harus mengandalkan mobil Andre. Macam-macam sudah melintas di pikirannya, membuatnya bergeser ke sisi tepat di belakang kursi Gamma. Saat pertama kali berkenalan dengan Andre tadi, Ares bahkan tak menyambut uluran tangan Andre, membiarkannya menggantung di udara. Andre hanya menggeleng pelan, senyum di wajahnya terlukis dengan kesan kurang ajar, sementara Ares membalasnya dengan tatapan risau yang justru tempak kecut.

“Res, gua pernah ke rumah lu. Yang di Villa Permana. Tapi pembantu lu bilang lu gak tinggal di sana. Emang dimana?” tanya Andre berusaha akrab.

Ares tidak langsung menjawab, dia tampak ragu, “Ngekost.”

“O-oh …,” 

Hening. Selama hampir tiga puluh menit tidak ada lagi percakapan. Hanya suara penyanyi karbitan yang terdengar mengalun di radio yang juga tersendat-sendat.

“Pak Ari udah tahu?” tanya Gamma tiba-tiba kepada Andre.

“Udah. Dia nungguin.”

Gamma mengangguk. Dalam hati dia ingin meminta nomor handphone Pak Ari dari Andre, tapi dia urung. Lebih baik meminta langsung, pikirnya begitu.

“Apa … Alpha terus-terusan nangis sejak ibunya gak ada?” Gamma bertanya lagi.

Andre melirik sekilas, lalu dia tersenyum enggan, “Alpha gak manggil ibu. Dia manggil mama ke Aruna. Tiap gua ke sana, yah, mungkin udah empat kali, Alpha makin lancar ngomong.” Penjelasan Andre sedikit banyaknya membuat Gamma sejenak merasa malu. Kenyataan bahwa dia tidak pernah di sana, di sisi Alpha dan Aruna membuatnya merasa kecil sebagai pria. “Dia nangis tapi gak terus-terusan. Pak Ari bilang dia cuma nanya Aruna pas mau tidur malam. Lagipula, dia tumbuh pintar, Gam. Dia anak yang melebihi usianya kalau urusan berpikir. Dia cepat paham.”

Semua cerita yang terurai dari mulut Andre sejak kemarin siang bagai sebuah rahasia yang terungkap lapis per lapis. Mau tidak mau, Gamma tetap harus terkesiap dengan cara yang berbeda-beda. 

Mama, pikir Gamma.

Lalu dia akan dipanggil papa. Gamma tersenyum tipis kemudian.

Gamma ingin bertanya lagi, mengorek-ngorek cerita kecil yang berharga, bagaimana bisa Alpha memanggilnya papa? Mereka tidak pernah bertemu. Tapi rasa ingin tahunya terhalang sesuatu: rasa malu.

Maka Andre, seorang pembawa berita, membuatnya menjadi paham bahwa pada raut Gamma yang menggebu-gebu itu dia menginginkan segala sesuatu tentang Alpha. Baik itu kisah atau cerita kecil lainnya.

“Gua masih banyak cerita, yang sengaja gua tahan kemarin. Karena gak enak sama Tyas juga lu tiba-tiba kayak patung. Gua takut kalau lanjut cerita malah sia-sia, lu bakal gak denger juga,” ucap Andre bersungguh-sungguh.

“Ceritakan.” Ujar Gamma segera bahkan belum sedetik Andre selesai bicara.

Bahkan Ares, yang sedari tadi menyudut ketakutan, kini beringsut mendekat perlahan dengan kepala sedikit maju dan raut wajah serius ingin mendengar. Sejenak dia lupa apa yang membuat bulu romanya meremang tentang Andre. Dan cerita itu bergulir bagai monolog panjang. Bagi Gamma, cerita ini terburai dan lepas kendali, seakan tidak ada yang menahan Andre lagi dan itu membuat dada Gamma membuncah-buncah nyerinya dan terkadang berlimpah-limpah bahagianya. Dia sendiri gelagapan menerima segala macam bentuk emosi yang bertabrakan dalam dirinya. 

Bahwa Bu Sarah telah menyewa satu mobil angkutan barang untuk membawa barang-barang di kamar kost Aruna. Alih-alih membuangnya, Bu Sarah justru menyusun setiap benda itu di kamar Aruna di rumah Bu Sarah. Bahkan Bu Sarah meminta bibi pembantu rumah untuk selalu melebihkan porsi berbuka puasa untuk satu orang. Bagaimana juga Bu Sarah berharap Aruna kembali dan meminta maaf padanya. Dia berlakon seperti seorang ibu, yang gengsi mengakui kesalahannya, yang malu mengakui rindu, tapi kasih sayangnya panjang tak terukur waktu. Pada suatu percakapan telepon, Andre katakan pada Aruna bahwa barang-barangnya berada di tempat yang aman. Maka mendengar itu, Aruna meminta Andre untuk membawakan beberapa barang jika berkunjung ke Pesawaran: bantal strawberry dan sarung tinju, yang kemudian Andre tahu kemudian itu adalah pemberian Gamma, dan itu berarti sesuatu yang istimewa. Selama belum mengetahui kehamilannya, Aruna disibukkan oleh pekerjaannya di puskesmas juga membantu Pak Ari memelihara kebun bawang dan sayur-sayuran lainnya. Dini hari setiap Selasa dan Jum’at, dimana itu adalah hari pasar,  Aruna akan menyusul Pak Ari dan istrinya ke lapak dadakan untuk membantu menyusun bawang dan sayur-sayuran untuk dijual. Lalu setelah itu dia akan ke puskesmas menaiki ojek yang selalu mangkal di perempatan lapak pasar. 

Bang Budi, seorang pria yang bekerja di Bandar Lampung, yang hanya pulang dua hari setiap bulan, sejak kedatangan Aruna, kini pria itu pulang setiap minggu akhir pekan. Sangat jelas dia menyukai Aruna. Tapi Aruna juga sangat jelas membuat batas hingga suatu hari, saat Andre mengakui –yang juga hanya sandiwara– bahwa dia adalah suami Aruna, Bang Budi tampak sangat kecewa, dia bahkan tidak pulang untuk waktu yang lama.


Aruna kembali ke Tangerang pada Desember 2020 karena ingin memenuhi permintaan Bu Sarah yang sedang kritis melawan Covid. Pada waktu-waktu itu dia kembali bertemu dengan teman lama, juga kembali bertemu Gamma meskipun di rumah sakit dan Gamma terbaring lemah karena kecelakaan. Juga di waktu-waktu itu dia memutuskan menyerah memperjuangkan perasaannya karena sangat kenal dan tahu bahwa Gamma, seorang pria dengan rasa tanggung jawab besar, suatu saat akan menikahi Tyas yang terluka karena kecelakaan yang juga tidak disebabkan oleh kesalahannya. 

Pada titik ini, Gamma merasa tidak nyaman. Dia terheran-heran bagaimana bisa seseorang begitu kenal dirinya hingga mampu memperkirakan keputusannya untuk tahun-tahun kemudian, jauh sebelum dia memikirkan. Yang membingungkannya lagi, perkiraan Aruna tepat dan tidak terjadi sekali. Mulai dari dia mengatakan pada Reza bahwa Gamma akan dirawat karena masalah lambung, juga tentang menikahi Tyas, yang lebih mengejutkan lagi Aruna tahu suatu saat Gamma akan menjadi pemateri seminar atau pengisi acara seni, juga hadir dalam pameran fotografi tidak hanya sebagai tamu melainkan kontributor, seniman.
 

Mengenai pameran fotografi, setahun setelah kecelakaan. Hal lain yang mendebarkan juga terjadi, meskipun debarannya datang sangat terlambat. Bahwa Aruna di sana, melihat foto dirinya terpampang besar bersama ibu. Dia datang bersama Alpha dan Bu Sarah. Lama dia termenung di hadapan foto itu. Lantas Bu Sarah, yang berlakon sebagai ibu itu, yang segala keegoisannya telah menggagalkan dua manusia yang saling menginginkan hidup bersama, lantas menemui seorang kurator, menanyakan harga foto itu untuk dibeli.

“Bu Sarah?” tanya Gamma dengan kerutan kening sebanyak tiga, “Bu Sarah yang mau beli? Bu Sarah pakai kacamata sekarang?”

“Oh, gua lupa bilang. Gak lama sejak sembuh dari Covid, Bu Sarah pakai kacamata, dia udah parah rabun dekatnya, cuma selama ini malas aja pakai kacamata. Ya, sekarang gak ketolong lagi, harus pakai. Juga makin kurus, sih, jauh habis badannya.” Jelas Andre.

Dan penjelasan itu membuat Gamma menyesal, tapi lagi-lagi dia seseorang yang hanya menyalahkan diri sendiri meskipun jelas itu adalah keputusan Bu Sarah yang tidak ingin namanya diketahui saat tawar-menawar harga dengan kurator. Gamma menyesal, kenapa dia tidak memberikan saja jika memang foto itu untuk Aruna. Gama menyesal, kenapa siang itu dia tidak di Kota Tua berada di pameran. Gamma menyesal, dengan sangat dan dengan putus asa atas segala-segala yang terjadi bertaut tapi juga beririsan dengan dirinya. 

Juga Andre bercerita dengan suara yang lirih namun penuh emosi, dan saat itulah Gamma merasa dadanya bergemuruh, tidak mampu menahan air mata yang akhirnya jatuh. Cerita itu menyusup ke dalam relung hatinya, meninggalkan bekas yang mendalam. Andre mengisahkan bagaimana Aruna, dengan segala cinta dan kesadaran, menciptakan dunia kecil bagi Alpha yang dipenuhi dengan bayangan Gamma, sosok ayah yang tidak pernah ditemuinya secara langsung. Dalam setiap detik yang Alpha habiskan dengan matanya terbuka, Aruna tak henti-hentinya menenun cerita tentang Gamma, tentang ayahnya. Seseorang yang dia panggil papa.
Aruna bercerita pada Alpha bagaimana papanya saat bekerja, bagaimana canda tawanya yang ringan, bagaimana cara tidurnya, bahkan bagaimana dia menikmati makanannya. Aruna dengan sabar dan penuh kasih mengenalkan sosok Gamma kepada Alpha, meski hanya lewat kata-kata. Juga tidak lupa Aruna mengenalkan kamera pada Alpha. Dia ingin Alpha mengenal dunia seperti ayahnya, melalui lensa yang menangkap momen-momen berharga.

“Aruna itu tabah untuk hal-hal yang membuatnya lelah, Gam,” tambah Andre pula. Dan Gamma semakin ditekan iba dan rasa bersalah.

Sore itu, tak lama setelah Alpha genap berusia tiga tahun, sebuah paket tiba. Di dalamnya, terdapat kamera digital bekas, hadiah yang Aruna beli secara online. Namun, nasib berkata lain. Dua hari setelah paket itu datang, dan Aruna belum puas memperkenalkan kamera itu pada Alpha, dia jatuh sakit. Covid, dengan varian Delta yang ganas. Aruna berjuang melawan penyakit itu selama seminggu penuh, mengerahkan seluruh tenaga. Lalu datanglah hari itu, hari dia telah kalah pada Sabtu pagi, 17 Desember 2022, meninggal di rumah sakit, dalam tidur dengan mendekap buku cokelat pada dada. 

Pada bagian Aruna wafat, tidak hanya Gamma yang berurai air mata, suara di belakang juga terdengar berdesir. Ares menangis, tapi berusaha tidak terlalu kentara. Dia berdeham berkali-kali menghapus sesuatu yang kental yang menyumbat di tenggorokannya.
 

-oOo-

Tyas, seorang istri yang tangguh dan tegar, tidak menuruti permintaan suaminya untuk beristirahat sejenak setelah dia pergi. Sebaliknya, dia bergegas menyiapkan diri menuju rumah orang tuanya yang tidak jauh dari Midas, juga rumah mereka sendiri. Sepupunya, Trisna, yang paham betul bahwa percakapan nanti adalah percakapan keluarga inti, memutuskan untuk pamit. Sebelum pergi, Trisna sempat memeluk Tyas, memberikan kata-kata penguatan dan dorongan agar sepupunya itu berlapang hati menerima segala pikiran atau pendapat buruk orang tuanya tentang apa yang akan terjadi dalam rumah tangganya.

“Gua yakin mama papa gak begitu. Keberatan mungkin, tapi di sanalah gua harus yakinin mereka bahwa semuanya baik-baik aja,” ujar Tyas dalam pelukan sepupunya.

Saat taksi Trisna baru saja pergi dari rumah mereka, Tyas masuk ke mobil dan mendapati dua kopi yang sudah pucat warnanya, sudah basi, terbaring di kursi penumpang depan. Lalu dia ingat bahwa sehari sebelumnya seharusnya kopi itu diminum bersama setelah hidangan spaghettinya. Keduanya batal, baik kopi dan spaghetti.

Sembari mengendarai mobil, dia buang dua kopi itu di perempatan jalan tempat kebanyakan warga membuang sampah. Dia menuju rumah orangtuanya dengan kepala yang serba buram mengenai reaksi kedua orang tuanya, tapi yang begitu dia ketahui adalah dia harus menjaga kepercayaan Mas Gamma-nya. Dan ini membuat hatinya kembali kokoh, dirinya kembali tidak gentar. 

Benar saja, kedua orang tua Tyas terkejut bukan kepalang. Selama Tyas bercerita, wajah mereka penuh ketegangan, juga tampak tak sabar. Tyas berusaha menahan tangis, menelan sesuatu yang mendesak-desak dadanya. Namun, saat Pak Adimas mulai berdiri dengan wajah penuh emosi, Tyas tidak bisa lagi menahan tangisnya. Pak Adimas, diam dalam kebingungan, mengusap-usap wajahnya dengan gusar. Dia tidak tahu harus menyesali apa: apakah kebohongan anaknya yang telah menimbulkan serangkaian kekacauan, atau kenyataan bahwa dia harus menerima cucu yang bukan dari keturunannya sebagai bagian dari keluarga. Semakin dalam Pak Adimas tenggelam dalam pikirannya sendiri, semakin dia yakin bahwa kejadian hari ini adalah sebagian besar ulah anaknya. Dan itu semakin membuatnya kesal. Sementara itu, istri Pak Adimas, mama Tyas, tampak berusaha berbesar hati. Tanpa perlu berpikir panjang, dia mengakui kesalahan Tyas yang membawa kepahitan pada kehidupan Gamma dan Aruna. Dia juga mengingat bagaimana Aruna dengan setia pernah merawatnya saat masa-masa sulit, ketika stroke merenggut kekuatannya. Maka dia akan menerima kehadiran Alpha seperti Aruna dengan tulus dan berhati besar merawatnya dulu.

 

“Kamu harus menjadi seorang ibu. Kamu harus bisa membesarkan seorang anak dengan ikhlas tanpa balas budi, persis seperti membesarkan anak yang lahir dari dirimu sendiri.” Ucap Pak Adimas kemudian dengan suara yang sangat rendah.

Tyas mengangguk dan menghambur memeluk ayahnya. Dia tahu bahwa kalimat itu berarti setuju. Setuju berarti menerima.

Thanks, Papa …,” bisik Tyas sambil tersedu-sedu. “Thanks.”

Malam itu, meskipun dia sangat ingin tidur di kamar gadisnya, dan berbaring bersama ibunya menceritakan segala hal yang hanya dimengerti seorang ibu dan calon ibu, Tyas tetap memilih pulang ke rumahnya. Dia ingat betul bahwa dia harus mempersiapkan kamar untuk Alpha. Dia mendapatkan pesan singkat dari suaminya sekitar pukul delapan, mengabarkan bahwa suaminya sudah sampai di Pesawaran. Sejak membalas pesan itu hingga nyaris pukul sebelas malam, dia masih berbenah di kamar yang akan menjadi kamar calon anaknya, Alpha. Keesokan siangnya, setelah memeriksa Midas, dia pergi menjemput ibunya dan Trisna untuk berbelanja kebutuhan anak laki-laki usia tiga tahun.

Hatinya diliputi kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya saat memilih-milih baju untuk Alpha. Setiap kali tangannya meraba-raba kain lembut, atau matanya memandang furniture mungil yang akan mengisi kamar, ada sensasi yang mengalir hangat dalam dirinya, membuat dadanya berdebar-debar. Dia sendiri tidak mengira akan begitu bahagia. Seketika, dia merasa sangat tidak sabar ingin pulang ke rumah, mengisi kamar Alpha dengan barang-barang yang dibelinya dan segera ingin memperlihatkannya kepada Alpha. Dalam hati dia bertanya-tanya, Alpha mirip siapa.

-oOo-

“Gua ke dek, deh! Sumpek!” Gamma menoleh kepada Ares dan berbisik. Belum sempat Ares menjawab, Gamma sudah berdiri, menyandang ranselnya kembali yang sedari tadi dipeluknya, selama tiga puluh menit kapal ferry berlayar meninggalkan pelabuhan Merak. 

“Tu-tungguin, woy!” Ares tergopoh-gopoh mengikuti di belakang, meninggalkan bangkunya, pandangan sesaat tertuju pada Andre. Sepintas, dia melihat Andre duduk dengan mata terpejam, kedua tangan bertautan di atas perutnya seolah terlelap. Namun, Ares tahu betul bahwa Andre mungkin hanya setengah tidur, atau mungkin sedang berpura-pura. Ada sesuatu dalam senyuman usil Andre yang membuat Ares merasa tidak nyaman, seakan mengetahui bahwa dirinya tengah diperhatikan. Itu senyum yang menggoda, yang tengkuk Ares dingin, menambah keinginannya untuk segera menjauh dari situasi yang membuatnya semakin ngeri.
 

Udara laut menyapu seluruh sisi dek dengan kencang. Sinar matahari yang cerah memantul di permukaan air laut, berkilau-kilau. Angin menampar wajah-wajah dengan kuat tapi tidak satupun terlihat marah. Justru banyak orang memberikan wajahnya ke hamparan laut dan berjalan-jalan di sekitar dek. Suara ingar-bingar riuh-rendah turut memberi warna pada suara konstan mesin kapal yang menderu-deru. Gamma memilih duduk di kursi besi yang dilindungi kanopi. Sedang Ares, berdiri di pagar pembatas pada dek terbuka. Entah sejak kapan tapi dia sudah mengenakan kacamata hitam dan merokok dengan santai, menikmati pemandangan dengan garis cakrawala terhampar jelas dihadapannya.  Seorang remaja perempuan, berkisar tujuh belasan menghampirinya dengan pasif, awal mula hanya memberikan senyuman tipis, tapi lama-kelamaan remaja itu mendekat kepada Ares. Tanpa Gamma duga, Ares segera menghindar dengan membuka obrolan pada pria yang sedang memotret istrinya. Tidak lama, handphone pria itu berpindah ke tangan Ares, dan pria itu bergabung bersama istrinya, berpose di pagar dek menghadap Ares yang memberikan aba-aba dengan telunjuknya. Gamma geleng-geleng kepala, baru pertama dia melihat Ares menolak perempuan.

Don juan udah berubah jadi Romeo, pikirnya.

Mereka berdua, Gamma dan Ares, sepertinya sudah tidak mabuk laut. Mungkin karena sudah melewati pengalaman naik kapal yang menyeramkan di malam hari, mungkin juga karena kapal ini jauh lebih besar sehingga pergerakannya tidak terlalu terasa.

Gamma melihat sekeliling. Senyumnya yang ganjil terukir, setengah senang tapi juga terlihat sedih. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya, dia mengira akan berada di atas kapal, menempuh lautan untuk menjemput anaknya. Buku bersampul cokelat itu sudah ada pada pangkuannya, dia raba sekali lagi sebelum membukanya. Kini dia sudah siap, pikirnya.

Pada lembaran-lembaran –miliknya– yang sudah dirobeknya, terdapat lakban melintang-lintang. Aruna menyatukan tiap sobekan menjadi lembaran utuh lagi. Hatinya bergelimang rindu melihat kembali sesuatu yang telah dia anggap hilang kini kembali dalam dekapan. Dia usap perlahan kertas-kertas yang sudah tidak rata itu sebab tempel sana-sini. Sesekali dia tersenyum karena membaca serpihan-serpihan memori awal kuliah. Lalu sembari membalik-balikkan lembaran lagi, dia melihat satu halaman yang berisi cita-citanya kini sudah diberi tanda centang, Aruna mencentang beberapa yang memang sudah Gamma raih. Jarinya menyusuri tiap poin-poin itu dan tanda centang itu berhenti pada “Menjadi kontributor dalam pameran seni”.

Lalu Gamma membalikkan lagi lembar demi lembar hingga sampai pada deretan hasil foto USG sebanyak tiga. Dia mengamati foto hitam putih  yang tidak dia ketahui cara membacanya, juga teks yang tertera pada sisi atas dengan tulisan kecil yang tidak dia pahami maksudnya. Hanya satu tulisan yang sangat jelas artinya, yaitu tanggal USG dilakukan. Pertama kali bulan Juni tahun 2019, lalu foto kedua pada September 2019 dan terakhir pada November 2019. Dia mengusap-usap foto Alpha yang masih dalam bentuk abstrak baginya. Lalu bertanya-tanya bagaimana wajah Alpha setelah lahir. 

Gamma berhenti pada lembaran berikutnya dan berikutnya, dimana sebuah tulisan tangan Aruna menggores setiap halaman dengan kata-kata yang membuat Gamma pecah. Seluruhnya pecah. Dan dirinya yang pecah itu berurai-uraian menyentuh kayu dek dan tersapu angin laut. Untuk beberapa saat, dia hilang. Kehilangan akalnya, kehilangan hatinya, kehilangan dirinya.


 

Maret 2019.

Kekasihku, Gamma.

Aku rindu. Beberapa malam aku gak tidur, sibuk bertanya-tanya kemana kamu? Apa kabarmu? 

Pergilah, katamu.

Demi kebaikan, katamu.

Tapi kenyataannya kamu yang pergi. Suatu waktu aku menyadari mungkin semua ini sudah kamu rencanakan: menghilang. Supaya aku gak kesusahan melupakan. 

Sungguh, aku merasa kehilangan dan itu membuatku hilang arah.

Aku gak tahu harus kepada siapa dan kemana harus membawa diri selain kembali ke ayahku sendiri.

Aruna, kekasihmu.

 

Mei 2019

Cintaku, Gamma.

Akhir-akhir ini aku sibuk. Kebun sayur ayahku subur banget! Aku semangat nanem bawang dan sayur-mayur lainnya. Sampai-sampai aku nyaris aja kehilangan cincin pas nanem sawi. Ternyata copot, tertimbun di tanah. Aku memang agak kurusan jadi cincinnya gampang lepas, Gam. 

Ada kejadian lucu lagi,  aku pikir aku gagal merawat bawang, karena suatu sore aku lihat daunnya layu, kering dan menguning. Aku takut banget ayahku rugi karena aku gak berhasil manen bawang. Eh! Ternyata aku salah! Memang begitu, bawang yang siap dipanen itu justru yang daunnya udah kering menguning! Ha-ha-ha!

Ayahku dan Bu Ningsih ketawa  lihat ekspresi aku yang ngaku ke ayah kalau aku udah gagal. Oh ya! Bu Ningsih itu istri ayahku. Dia perempuan yang baik banget. Sekilas kayak Bu Dewi, ceria dan heboh! Juga rajin banget siapin bekal untuk aku bawa kerja di puskesmas. 

Kamu lagi apa? Kamu dimana?

Aruna, Cintamu.

 

Juni 2019

Aku hamil, Gam.

Aku hamil.

Aku harus gimana?

Kamu dimana, Gam? Dimana?


 

Akhir Juni 2019

Kekasihku, Gamma (kamu masih kekasih)

Aku gak tahu harus mulai cerita dari mana. Apa dari malam kita saling menautkan diri? Atau dari setengah lusin test pack yang bergaris dua? 

Gam, aku baru menyadari aku udah gak mens tiga bulan terakhir. Dan benar, aku hamil. Anak kamu. Anak kita.

Aku senang sekali pas Andre bilang dia akan datang menjemputku dan berjanji akan menemukanmu bersama-sama. Sesampainya di Tangerang, aku katakan pada Andre bahwa aku benar-benar ingin memastikan kehamilan. Kami ke RSIA dan benar, benihmu ini sudah tumbuh selama enam belas minggu dalam diriku. Aku bingung, Gam. Aku juga takut kalau-kalau kamu gak kami temukan. Tapi ternyata Tuhan punya jalan. Kita bertemu bahkan sebelum aku mulai mencari. Tapi mungkin Tuhan mempertemukan bukan untuk menyatukan. Justru memberitahukan bahwa kita tidak lagi bisa bersama.

Langit mendung.

Aku lapar.

Dan aku memutuskan berhenti di tempat makan yang ternyata kamu di sana juga, bersama seorang perempuan yang aku dan kamu kenal cukup lama. Jantungku diremas melihat kemejamu dikenakan Tyas. Juga akhirnya jantung itu jatuh ke perut saat Tyas mengatakan kalian punya hubungan.  Kamu juga bahkan terlihat cemas melihatku lagi. Wajah itu, wajah yang selalu aku tahu memancarkan kehangatan itu kini terlihat dingin dan kaku. Aku nyaris gak percaya kamu begitu cepat melupakan aku, melupakan kita. 

“Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.” Itu yang wajah kamu katakan. Aku tahu terakhir kali kita bicara adalah suatu momen perpisahan, bahwa sudah tidak ada lagi aku dan kamu. Sudah habis “kita” itu.  Dan untuk menghargai hubungan kalian, aku dengan sendirinya memutar cincin yang kamu berikan, yang masih terpasang di jariku, untuk menyembunyikan permatanya darimu. Aku bersandiwara menjadi istri Andre, dan Andre terpaksa mengikuti permainan. Kamu mungkin telah lelah, dan aku juga tidak ingin mempertahankan ego sendiri. 

Aku memilih diam tentang anak kita. Aku gak mau dan khawatir kamu anggap anak ini suatu kesalahan yang membuat kamu terpaksa menjalani kewajiban. Tiba-tiba, aku merasa iba dengan anak ini. Aku tidak ingin dia sepertiku. Sendirian. Maka aku putuskan, aku akan melahirkannya, membesarkannya dengan limpahan kasih sayang hingga dia merasa tidak kekurangan. Kedepannya aku tahu akan sulit dan aku gak bisa mengira-ngira dengan cara apa dan gimana aku menghadapinya. Aku hanya yakin dan percaya aku bisa.

Aruna, Kekasihmu (Mungkin)


 

Agustus 2019

Gam?

Berat badan aku naik 7kg! Baru juga enam bulan. Gimana nanti pas sembilan bulan, ya? Aku seneng banget anak kita udah tumbuh normal. Aku belum cerita, di trimester awal, anak kita pertumbuhannya lamban, karena aku kurang makan, juga karena terlalu sibuk. Jadi aku harus kebut dong, biar anak kita lahir sehat.  Dan bener! Aku cek di puskesmas tadi, semuanya aman, semuanya normal.

Ah, aku sampai lupa. Padahal aku mau cerita kalau malam ini anak kita nendang untuk pertama kalinya. Aku kaget banget! Aku lagi ceritain tentang kamu, sambil usap-usap perut. Aku ceritain awal kita ketemu, terus pas aku cerita kita jalan-jalan pertama kali, kamu salah pesen kopi itu, aku ketawa. Eh, anak kita mungkin ikutan ketawa, pakai nendang segala. Gemes! Aku merasa aneh, tapi aku suka. Terus aku coba lagi cerita,  mungkin karena udah gak lucu lagi, jadi yaa dia diem aja. Ha-ha-ha.

Atau bisa aja udah tidur, ya? Kecapean. Dia ikut mamanya kemana-mana. Bantuin kakeknya di kebun, ke pasar, bahkan ke puskesmas. 

Aku berharap, anak kita sehat saat dilahirkan Desember nanti (perkiraan bidan). Dan juga berharap, suatu saat aku punya keberanian mengatakan bahwa kamu punya anak. Kita punya anak.

Aruna.
 

8 Desember 2019

Tuhan. 

Engkau yang sering aku tinggalkan. 

Aku memang jarang datang. 

Sekalinya menghadap, aku terlalu banyak meminta dan berharap.

Aku tahu mungkin aku datang dengan ruh yang tak layak.

Maafkan aku, Tuhan.

Maafkan aku yang tak tahu malu datang padamu bagai tamu yang hanya ada perlu.

Engkau segala Yang Tahu. Orang menyebutmu Maha Tahu atas yang tersembunyi baik di sebalik batu ataupun yang tampak jelas seperti cahaya petir di malam kelabu. Engkau tahu, aku pun tahu bahwa tanggal 8 Desember adalah salah satu hari bahagia dalam hidupku. Hari kekasihku menyatakan perasaannya hingga bertahun-tahun kemudian, tanda kasih itu tertanam dalam diriku, tumbuh dalam tubuhku, menghuni rahimku selama 38 minggu. 

Aku tahu, tidak seharusnya kutuliskan hal berdosa ini padamu. Aku tahu aku hamba yang hitam legam dihadapanmu. Tapi anak ini, anak yang suci dan putih ini, Engkau atur lahir juga pada tanggal yang sama dengan tanggal ayahnya melompat kegirangan karena mendapatkan cinta ibunya. Aku berharap memohon, sampaikanlah pada ayahnya bahwa hari ini anaknya untuk pertama kali menghirup udara dunia. Bahwa sebagian dirinya telah lahir pada tubuh yang baru. Yang begitu dia dan aku.

Sampaikanlah, Tuhan, sebab suaraku tertahan. 


Tuhan.

Engkau paling pemelihara. Maka salah satu namamu adalah Yang Maha Pemelihara aras segala yang ada di dalam dan di luar semesta.

Sudilah kiranya Engkau tak menautkan dosa orang tuanya pada anak ini. Yang berdosa tetaplah si pendosa. Dengan segala kerendahan hati, aku memohon, biarkan dia mengenal dunia tanpa beban orang tuanya.

Aku mohon perlindungannya kepadamu. Peliharalah anak ini melalui diriku, melalui kemampuanku. Titipkanlah setitik kasih sayangmu agar dia tumbuh tidak kurang cinta, tidak kurang suatu apa. 

Menggunung harapanku pada rahmat yang mungkin tak layak kudapatkan. Tapi aku tahu, Engkau Maha Penyayang.

Hambamu yang lebih hitam dan lebih kotor dari arang,

Aruna Gantari.

 

8 Desember 2019

Selamat, Gam. Kamu seorang ayah. 

Dia lahir sehat. Pekik tangisnya yang kuat menunjukkan bahwa dia anak laki-laki yang penuh tekad. 

Aku ingin menulis lebih banyak, tapi aku mengantuk. Sangat.

Besok akan kutuliskan nama anak kita. Kamu akan terkejut atau mungkin tertawa.


 

Januari 2020

Gam… Maaf. 

Aku bukan lupa menuliskannya. Aku hanya tidak sempat saja.

Terjepit antara siang-siang yang terasa berkejaran dan malam-malam yang tidak pernah benar-benar berakhir. Menjadi ibu, ternyata … begitu rumit. Aku tahu, semua ini pernah kusaksikan sendiri, selama aku bekerja. Tapi meski begitu hapal dengan polanya, saat harus menjalaninya sendiri, segalanya berubah menjadi lebih berat dari yang kukira.

 

Namun, di tengah semua itu, aku bahagia.

Luar biasa bahagia.

Setiap lelah yang merambati, setiap letih yang singgah, sirna seketika saat dia menatapku dengan mata cokelatnya yang berbinar saat menyusu. Dia bahkan masih bayi, tapi ada sesuatu pada caranya menatapku, sesuatu yang mengingatkanku padamu, mata yang lembut dan penuh malu.
 

Alpha. Namanya Alpha Arutama.

Kamu terkejut? Sama. Aku juga. 

Aku jadi teringat waktu-waktu itu. Lalu aku tertawa. Sama sekali gak mengira bahwa ternyata akhirnya aku namai begitu.

Dan aku menambahkan Arutama. Menyatukan Aruna Gantari dan Gamma Aditya pada sebuah nama, pada satu jiwa yang membawa jejak kita kemanapun langkahnya. Yang tidak berhasil kita satukan dalam sebuah ikatan, aku sematkan pada tubuh baru dengan harapan baru juga. Kelak dia akan seperti nama depannya, Alpha, seorang pemimpin (katamu) dan berjiwa seperti nama belakangnya, Arutama, seorang yang bijak dan mulia.

Kamu suka?


 

April 2020

Alpha baru lima bulan, dan setiap hari aku harus meninggalkannya untuk bekerja. Ketakutan menjalar dari ujung kaki hingga ke kepala. Aku takut membawa pulang virus ini, takut menempel di baju, di rambut dan di kulit. Bahkan aku takut menghirup udara dan membaginya saat aku berdekatan dengan Alpha. Dia batuk sedikit saja, mungkin cuma tersedak, aku langsung cemas. Alpha terlalu kecil untuk menghadapi dunia yang penuh ancaman. Rasanya seperti dilempar ke dalam jurang ketidakpastian, tanpa pegangan, tanpa jaminan bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Akhir-akhir ini, sejak virus ini merajalela di udara, setiap hari terasa seperti pertarungan. Aku cuma bisa berharap semoga Alpha tetap terlindungi, tetap sehat di tengah segala ancaman ini.


 

Desember 2020

Berapa banyak perasaan yang dianggap hilang hanya karena tidak sempat disampaikan? 

Banyak.

Perasaanku salah satunya. 

Gam,  sepuluh hari lalu aku bertemu Gina. Kamu ingat Gina, kan? Tetangga kita di kost lama. Ya. Kost lama yang ternyata udah gak ada seorang pun di sana. Aku melihat bangunan itu, dan terkejut melihatnya kini dalam kondisi tak terurus. Tulisan “U PIL” yang dulu begitu mencolok kini memudar, nyaris gak kelihatan. Jalan di depannya juga berubah, gak lagi terang seperti dulu. Ranting-ranting pohon dengan daun lebat menutupi sinar matahari. Segalanya tampak berbeda. Sudah berapa tahun berlalu? Dua tahun? Aku menatap hal-hal yang biasa kita lihat kini tampak menyedihkan.

Juga Gina, dengan kepercayaan diri luar biasa, meyakinkan dengan sangat hebat padaku, mengatakan dengan kesungguhan bahwa kamu bukan dalam hubungan dengan Tyas. Dia katakan kalau kalian bertemu di Tangerang awal tahun ini, juga dengan Gilang, pacar Tyas. Gilang yang pernah Tyas ceritakan padaku dan aku juga mengingatnya sebagai pacar Tyas. Ada apa sebenarnya? Apa kalian mempermainkanku saja? Atau memang waktu itu kalian pacaran lalu sesuatu terjadi di antara kalian dan akhirnya berpisah? Entahlah, Gam. Aku ingin menyerah untuk percaya tapi kemudian aku mengingat Alpha. Juga sesuatu dalam hatiku merasa bersuka cita dan kemudian muncul keyakinan bahwa memang Gamma untuk Aruna. 

Kamu tentu ingat Syahreza. Resa si Culun, kamu bilang. Kami sekelas reuni kecil-kecilan, mumpung aku di Tangerang. Juga dia menyerahkan padaku isi loker yang aku tinggal begitu saja. Lalu dia mengatakan kamu mengalami kecelakaan, cukup parah hingga cedera pergelangan tangan.

Aku di sana, Sayang.

Aku menemanimu dari pagi hingga menjelang petang. Kamu terbaring di ranjang rumah sakit, matamu terpejam lama sekali, juga badanmu terasa dingin. Aku sedih. Kita bertemu tapi kamu dalam keadaan yang tidak mengetahui apa-apa. Aku ingin menunggu lebih lama tapi aku mendapat telepon, bahwa Alpha menangis dan demam. Aku pulang. Lalu di lorong yang ramai, aku berpapasan dengan Ares. Dia tidak menyadari, karena tengah sibuk dengan handphone-nya. Aku juga tidak berani menyapa. Aku lega, setidaknya kamu bersama seorang teman yang setia. Aku ingin datang kembali tetapi, Alpha lebih rewel dari biasanya. Dia demam hingga tiga hari, tidak mau makan, juga tidak ceria.  Aku khawatir dia terjangkit Covid, tapi Alhamdulillah tidak. Demam biasa. Lalu aku mengakui bahwa firasat itu memang ada di antara kalian berdua. Kamu sakit, Alpha sakit. Ayah dan anak yang tidak pernah bertemu, tapi tetap saja darah jauh lebih kental dari air. Kalian terikat, kalian saling terhubung.

Aku kembali mengunjungi kamu setelah Alpha sembuh. Saat itu aku datang bersama Andre. Tapi, aku terlambat. Kamu sudah keluar dari rumah sakit. Lalu aku menemui Reza sebelum pulang. Dan dia katakan ada barangmu tertinggal sambil menyerahkan satu paper bag yang berisi buku. Buku yang sama dengan yang ada padaku, yang aku tuliskan kini, hanya beda warna saja. Aku katakan pada Reza bahwa aku yang akan mengantarnya. Dari dia juga aku akhirnya tahu alamat kost kamu yang baru. Bersama Andre aku ke alamat itu. Aku minta maaf telah lancang membuka bukumu, tapi dari sanalah aku tahu, dari surat-surat yang gak pernah kamu kirim ke aku. Bahwa selama ini kita saling mencari, saling merindu dan tentu masih saling mencintai. Aku kesal sendiri bagaimana bisa dua orang yang sangat kuat ingin menemukan justru semakin jauh terpisahkan? Lalu aku katakan pada Andre, bahwa aku memutuskan untuk mengatakan semuanya. SEMUANYA. Tentang kita, tentang Andre yang nanti akan dia ceritakan sendiri, tentang Alpha dan tentang cinta yang masih ada. Masih sangat nyata. 

Sebuah jalan baru terhampar di hadapanku, sebuah harapan, sebuah asa indah. Sambil mendekap buku itu, aku pejamkan mata dan membiarkan angin Jakarta menyapu wajahku selama perjalanan. Lalu bayangan rumah kecil yang hangat serta anak-anak yang bergembira menyambut ayah mereka kembali dari bekerja, penuh dalam kepalaku, beserta suara-suaranya.

Lalu semua itu kembali hitam, kembali gelap.

Dan entah sebuah penyesalan, atau lagi-lagi Tuhan menunjukkan, bahwa siang itu, di depan pintu kamarmu yang tidak tertutup rapat itu, aku mendengar percakapan yang luar biasa menyatu di antara kalian, kamu dan Tyas. 

Aku tahu kamu. Bagaimana juga kamu tidak akan meninggalkan Tyas yang sudah luka parasnya. Bagaimana juga kamu akan kerahkan segala usaha untuk memperbaikinya. Bagaimana juga, aku tahu, meskipun tidak  belum kamu rencanakan, pada akhirnya kamu akan menikahi Tyas. Kalian akan menjadi pasangan paling pantas. 

Semua bayangan sepanjang jalan tadi sirna, Gam.

Begitu juga dengan harapan dan asa.

Aku benar-benar dipermainkan nasib.

Karenanya aku menjadi lelah.

Di titik ini aku menyerah, melepaskan dan merelakan.

Juga tidak akan terkecoh lagi oleh harapan-harapan baru yang terasa jauh.

Sebab memang benar, terasa lebih menyakitkan ketika diiming-imingi kepalsuan. 

Kekuatan bisa saja lepas dari diri ketika harapan itu berhenti.

Jadi sekarang, sebelum seluruh kekuatanku hilang. Aku putuskan cukup sampai di sini. Habis sudah “kita” itu. Benar-benar habis. 

Maaf, entah sampai kapan, tapi aku sepertinya belum bisa menceritakan keberadaan Alpha. Aku khawatir kamu akan mengambil dan membawanya.

Cuma dia yang aku punya, Gam. Biarkanlah dirimu yang lain bebas aku miliki. 

Aku janji gak akan menghilangkanmu dari dirinya. Dia tetap wajib tahu siapa ayahnya. Akan aku ceritakan hal-hal menyenangkan tentang dirimu, tentang kita padanya. Hingga kelak, dengan kemauannya sendiri dia akan datang padamu. Di tahun kapan aku tidak tahu. Mungkin saat kita masih berusia dewasa, atau bisa saja saat kita sudah renta. Aku pastikan, dia datang kepadamu tidak membawa kebencian, dendam dan prasangka yang bukan-bukan. Aku pastikan, dia menemuimu persis seperti kamu datang kepadaku dulu: dengan lembut dan merayu.

 

Sayangku,

Tidak ada penyesalan apa-apa dalam hatiku.

Tidak  juga aku menyalahkanmu atas segala sesuatu.

Perasaan kita bukan suatu pengorbanan, bukan juga sesuatu yang dikorbankan. 

Selamat menjalani hari-hari baru. Aku mendoakan kebaikanmu selalu.

Sampai bertemu di tahun kemudian, pada hati yang tidak lagi menggenggam kerinduan.
 

Aruna.

Mama Alpha.

 

November 2021

Hai, Gam. Malam ini aku menulis lagi untukmu. Ternyata udah lama banget, ya? Semuanya baik-baik aja. Aku udah gak kerja di Puskesmas lagi. Udah sejak selesai Idul Fitri tahun ini aku diminta merawat ibunya Bang Budi yang memang udah tua, udah renta. Jauh lebih mudah daripada bekerja di puskesmas, karena gak harus merasa bertarung sama Covid. Juga aku bisa bawa Alpha sambil kerja. Alpha tumbuh sehat. Desember besok dia akan berusia dua tahun. Dia anak yang lincah dan menyenangkan. Kakek dan neneknya sangat menyayanginya. Juga tetangga-tetangga kami di Pesawaran, termasuk ibunya Bang Budi, bahkan Bang Budi sendiri jika pulang ke rumah untuk melihat ibunya, maka dia akan membawakan mainan baru untuk Alpha.

Yah, intinya aku ingin menyampaikan bahwa Alpha tidak kekurangan apa-apa.


 

Gam? Hari ini hari terakhirku di Tangerang.  Empat hari lalu aku kembali menginjakkan kaki di kota dengan kenangan lama dan harapan yang pernah disisipkan. 

Bu Sarah, seorang perempuan yang aku khianati kepercayaannya dulu, ternyata telah benar-benar menjelma menjadi ibu. Tanpa aku tahu, juga entah sejak kapan, dia adalah seorang ibu untukku. Dan aku merasa bersalah besar padanya. Bahkan, tahun lalu, saat kamu kecelakaan itu, aku sebenarnya kembali ke kota ini karena permintaan Bu Sarah yang ingin meminta maaf padaku, sebab sudah tahu rahasia Andre (yang Andre ceritakan langsung padanya) tidak lama setelah itu, Bu Sarah terjangkit Covid. Lalu aku tergerak untuk datang melihatnya. Tidak perlu meminta maaf, dia bahkan tidak bersalah apapun padaku. Aku yang seharusnya merangkak dan memohon maaf padanya. 

Dia yang sudah tahu rahasia Andre, menangis-nangis meminta maaf padaku. 

Gam, ibuku, Bu Sarah, memintaku kembali padanya. Tanpa syarat apa pun. Bahkan dia menerima Alpha dengan sepenuh hati. Tapi aku menolak. Aku katakan padanya, aku tetap anaknya, selalu akan menjadi anaknya, tetapi kini biarkan aku menjalani hidupku sendiri. Aku bahagia dengan pilihan ini. Bahagia tinggal dekat dengan ayahku, bahagia melihat Alpha menemukan keluarganya sendiri di Pesawaran. Aku juga berjanji padanya, sebisa mungkin, aku akan sering mengunjunginya di Tangerang. Maka, di sinilah aku sekarang.

Ah, sebenarnya bukan ini yang akan aku ceritakan. 

Aku mengikuti akun sosial Midas, sejak kapan ya, sepertinya sejak Gina dulu cerita kalau dia ketemu kamu, Tyas dan Gilang.  Lalu dari akun itu sedikit banyak aku tahu kabar kamu. Kamu yang adain seminar online, video kamu dengan tim, sampai pemberitahuan kalau kamu sebagai seniman kontributor dalam pameran fotografi di Kota Tua. Ngomong-ngomong, aku pernah menyusup sebagai peserta seminar online kamu, dua kali! Aku hanya ingin mengenalkan pada Alpha seperti apa ayahnya dan apa pekerjaan ayahnya. Alpha terlihat gembira. Dia heboh manggil-manggil kamu, “Papa! Papa!” dengan sinar mata baru, sinar keriaan yang gak pernah dia tunjukkan kepada siapapun selain ke kamu. 

Ngomong-ngomong pameran, kebetulan banget aku ada di Tangerang! Aku bersama Bu Sarah mampir ke Kota Tua. Mengunjungi pameran, melihat-lihat karya yang dipajang di sana. Aku jadi teringat, dulu kita sering datang ke acara-acara seperti ini, bukan? Dan bukankah pernah kukatakan, suatu saat kamu akan berdiri di sana bukan lagi sebagai pengunjung, tetapi sebagai seniman yang karyanya terpajang di depan mata banyak orang? Selamat, Gam. Hari ini kamu membuktikan bahwa kamu bisa.
Dan terima kasih, meski aku terkejut luar biasa, juga senang luar biasa, saat tahu kamu memilih foto ibu dan aku di Bogor untuk dipamerkan. Tiba-tiba saja, ada rindu yang begitu dalam muncul dalam hatiku, rindu pada ibu dan Marwa. Aku tak kuasa menahan air mata. Kepada Alpha, aku ceritakan bahwa yang ada dalam foto itu adalah neneknya dan ibunya. Dia hanya tertawa, mungkin belum paham juga. Terima kasih, Gam karena udah menangkap momen itu. Waktu-waktu dimana pikiran remaja yang membuat kita menggampangkan segalanya. Termasuk berpikir tak ada masalah yang dapat memisahkan kita. Waktu itu. Masa-masa itu.

Aku harus istirahat, besok pagi kapalku berangkat.

Aku sudahi cerita ini. Juga tidak tahu apakah akan menulis lagi (atau tidak).

Baik-baiklah selalu. Bahagialah selalu. 

Aruna.


 

Pesawaran, 16 Desember 2022

Anakku, Alpha yang kukasihi,

Berat bagi mama menuliskan surat ini untukmu.

Seakan mama setuju kematian menjemput, seakan mama rela meninggalkanmu di dunia dengan cerita yang bahkan belum siap kamu cerna.

Perlu kamu ingat, Nak, sebelum cerita ini terlanjur jauh dan menggiringmu kepada beban dan pikiran yang salah, kamu lahir ke dunia atas cinta besar kedua orang tuamu. Mama dan Papa. 


Namamu Alpha Arutama.

Besar do’a juga harapan yang papa dan mama sematkan pada nama itu. 

Sebagai bukti kasih dan sayang, cinta dan ketulusan. Alpha adalah pemberian papa dan Arutama, mama berikan di malam kamu lahir.


Banyak momen berat yang datang kepada kita berdua sehingga membuat hari-hari itu redup-remang, goyang dan gamang. Tapi terima kasih dengan sangat mama ucapkan karena kamu telah sabar. Tubuhmu yang kecil itu menyimpan jiwa besar. Kita berdua mampu melalui segala apa-apa yang kita hadapi dengan tidak mudah. Kamu mengajarkan mama bagaimana cara bertahan. Kamu menunjukkan bagaimana cara berbahagia meski dalam keadaan yang menyesakkan. Kamu yang telah membuktikan pada mama bahwa lelah itu hanya satu bentuk rasa seperti rasa bosan, tidak berkepanjangan, cukup istirahat sebentar, lalu kembali bangkit berjuang.

Nak, sedari awal, tangisanmu terdengar berbeda dari bayi–bayi yang pernah mama rawat dulu saat bekerja. Tangisanmu penuh hasrat. Dari situ mama tahu kamu akan tumbuh sangat kuat, juga kelak menjadi laki-laki dengan keteguhan yang tidak gampang digoyahkan. Namun sesuatu pada dirimu juga sangat lembut. Sesuatu yang hanya kamu tunjukkan pada ibumu atau hanya pada kekasihmu. Mama tahu. Mama tahu, Nak. Dan itu membuatmu persis seperti papa. Laki-laki yang elok juga tampak megah.

Mama pernah memikul rahasia seorang teman, dan terasa sangat berat. Tahun demi tahun berlalu, rahasia itu tetap tersembunyi di sudut terdalam hingga satu tahun yang mendesak, pikiran mama memaksa agar mulut memuntahkan segala rahasia itu. Dan andai itu terjadi, mungkin mama akan memenangkan diri mama sendiri, mungkin juga kamu akan tumbuh dalam dekapan seorang ayah. Tapi mama menahan diri, dengan seluruh tenaga dan segenap jiwa, mama kubur pikiran itu, karena seperti yang pernah dikatakan papamu, seseorang yang memiliki integritas adalah mereka yang menjaga rahasia seorang teman, bahkan ketika dikhianati. Selain itu, mama tak sanggup kehilangan teman yang kini lebih seperti saudara bagi mama, bagi kita. Juga pikiran akan menuntun kepada keegoisan yang jika tidak ditahan oleh hati, maka menimbulkan musibah besar.

Untuk itu, Nak. Karena itu, mama tidak sanggup lagi bertengkar dengan nasib. Mama menghindari sejak awal peliknya bermain rahasia-rahasiaan, terlebih kepadamu. Bukan kesalahan papamu, mengenai dia yang tidak tahu apa-apa tentangmu. Mama memutuskan pergi darinya. Mama yang memutuskan membawamu menjauhinya. Jangan katakan bahwa mama tidak berusaha. Mama sudah mencoba, Nak. Tapi keadaan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Atau mungkin begitulah yang semestinya, yang seharusnya, hanya saja mama yang membelot. Dan yang semestinya itu, dan sepertinya sudah berjalan  adalah mama bukan yang sah bagi papamu.

Ingat. Hanya mama yang tidak sah.

Kamu tetap sah sebagaimana darahnya mengaliri nadimu.

Ayahmu, Gamma Aditya. Laki-laki yang langsung mama ketahui, saat pertama kali melihatnya, akan bersangkut paut dengan mama. Entah bagaimana dan dengan cara apa.

Seorang laki-laki yang lembut perangainya namun keras kemauannya. Karena itu dia tampak seperti gunung. Tenang dan Kokoh. Menjulang tinggi namun juga membumi.

Dia cerdas dan penuh akal, seseorang yang memahami luasnya dunia jauh melampaui pandangan mama, seringkali membuat mama merasa begitu kecil di hadapannya.

Cita-citanya begitu besar, dan hati yang mengisinya pun demikian. Sehingga dia tidak menggebu-gebu meraihnya tanpa melihat kiri-kanan. Dia bukanlah sosok yang egois, hanya saja teguh, dan teguh itu adalah bentuk dari perannya di muka bumi sebagai seorang laki-laki. 

Papamu jarang mendapatkan waktu tidur yang cukup, Di saat-saat terakhir mama bersamanya, dia susah tidur dengan nyenyak. Banyak masalah yang datang kepadanya sehingga memaksanya untuk terus berjaga. Tapi sebagaimana kalian berdua begitu mirip, sekalinya nyenyak, dia akan merentangkan tangannya ke atas, kamu juga begitu, bahkan sejak bayi. Kalian berdua memiliki garis tawa yang sama juga wajah cemberut yang tidak jauh berbeda. Rambut dan alismu yang pekat dan tebal itu adalah miliknya. Kamu begitu menyerupainya, setiap jengkal dan ciri yang ada. 

Tetapi kamu bukan dia. Dan dia juga berharap demikian.

Alpha,

Hidup mama baru benar-benar bermula pada usia 21 tahun. Saat mama bertemu papa. Bersamanya mama mengerti bagaimana mencintai dan dicintai, Bagaimana cara berbahagia dan membahagiakan. Bagaimana saling berusaha untuk kebaikan. Hari-hari yang dulu terasa begitu-begitu saja, setelah bersamanya mama merasa setiap hari itu ada-ada saja. Tawa dan tangis kami bagi bersama. Suka dan duka kami rasakan bersama. Dia ada untuk mama juga mama berusaha selalu ada untuknya. Dia merasa bersyukur karena memiliki mama, tapi sejujurnya jauh dalam hati, mama merasa berkebalikan. Seharusnya mama yang sujud syukur kepada Tuhan karena telah mempertemukan dengan laki-laki paling menawan. Tapi sebagaimana perempuan, gengsinya tidak bisa dipertaruhkan. Mama selalu angkuh di hadapan papamu. Dan anehnya, dia merangkul keangkuhan itu jauh lebih dalam, merubahnya menjadi suatu ketenteraman hingga mama mampu menyerahkan jiwa raga mama tanpa ragu padanya. 

Begitulah kami.

Lalu kamu hadir. Namun situasi begitu menyulitkan kami (kamu akan ketahui saat kamu membaca seluruh isi buku ini). Segalanya tampak tak sama lagi. Segalanya menjauhkan kami.

Maka,

Kamu menjadi hidup mama setelah papa.

Juga mama percaya, andai saja, jika saja dia bersama kita, dia akan menjadi pendamping yang sangat mulia dan setia juga seorang ayah yang kamu contoh sebagai teladan atau bahkan idola.

Kamu akan menyayanginya sebagaimana mama menyayangimu.

Dia akan menyayangimu sebagaimana kamu menyayangi mama.

Mama berharap, (jika) kalian berdua bertemu suatu saat, berbesar hatilah memaafkan mama. Dia yang tidak tahu juga kamu yang tumbuh tanpanya beserta segala yang kalian rasa di antaranya adalah sesungguhnya keputusan mama. Dan keputusan itu mungkin kalian anggap kesalahan. 

Kesalahan butuh pemaafan.

Maka, Nak, maafkan mama.

Juga sampaikan padanya, bahwa Aruna-nya memohon maaf padanya. 

Nak, mama berharap bisa merayakan ulang tahunmu hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, seperti kita merayakan ulang tahunmu yang ke tiga sekitar seminggu lalu. Mama berharap bisa memberikan kado ulang tahun terbaik untuk tahun-tahun kedepan. Tapi sepertinya, kamera itu, adalah kado terakhir dari mama. Perlu kamu tahu, itu adalah kamera papa. Mama membelinya agar kamera itu menjadi penghubung rindu. Juga mama tidak ingin kamera itu dimiliki oleh anak lain selain anaknya sendiri. Kamera itu, kamera yang mengantarkan foto mama dan nenek terpampang di Kota Tua. Jaga itu seperti kamu menjaga perasaanmu ke mama. 

Mama berharap kamu tidak mengetahui sejarah dirimu melalui tulisan-tulisan ini. Mama berharap sekali bisa terus menceritakan bagaimana papa langsung dari mulut mama dan langsung kamu dengar sendiri. Satu pesan mama, apapun hal buruk yang nanti dikatakan orang tentang papa, itu tidak ada benarnya. Kebenaran hanyalah apa yang sudah mama tuliskan. Kamu cukup percaya saja.
 

Nak, mama rindu. Tidak seharipun kita pernah berpisah, tapi kini sudah tujuh hari kita tidak bertemu. Mama benar-benar berharap mama bisa pulang ke rumah, bukan ke tanah. Tapi beberapa hari ini, ada yang terlampau mencekam dalam malam.

Mama takut pergi begitu saja tanpa mengatakan betapa mama menyayangimu. Juga tanpa menuliskan asalmu. 

Maka disinilah mama, Jum’at malam, di ranjang rumah sakit yang untuk pertama kali mama benci berada di ruangan yang berbau alkohol sangat kuat, dengan tangan yang mulai tidak bisa dikendalikan, pahamilah jika tulisan tangan ini menjadi sangat buruk sekali. Mama hanya berusaha agar semua huruf  bisa terbaca. 

Alpha, jadilah anak yang sesuai namamu, sesuai do’a papa dan mama.

Pemimpin yang bijak dan mulia.

Alpha, ketahuilah, meskipun singkat waktu kita bersama, kasih dan cinta mama tiada putusnya. Tak terukur semesta. Tak terjarak angkasa.

Salam sayang,

Mama.

Sampai jumpa, Alpha, pada dunia yang berbeda.

 

Aruna,

Seorang mama dari Alpha Arutama,

Seorang kekasih Gamma Aditya,

Seseorang yang butuh dimaafkan oleh dua laki-laki yang menjadi awal dan akhir hidupnya.

 

Gamma menutup buku itu tepat ketika air matanya jatuh, membasahi sampul kulit yang telah memudar. Hiruk-pikuk di sekitarnya, wajah-wajah yang riang, seakan tak berarti. Dia tergugu, menutup mulutnya dengan tangan yang pucat dan gemetar. Tercekik oleh gelombang emosi yang tidak terbendung. Dia ingat, dia tidak bermimpi ketika terbaring di rumah sakit saat merasakan kehadiran Aruna. Dia ingat tas kertas yang berisi bukunya meninggalkan aroma tubuh Aruna karena tas itu dia dekap dan dia berdiri di depan pintu kamarnya. Dia dan Aruna, dalam masa-masa pencarian, pernah berjarak sangat dekat tapi juga terasa sangat jauh. Untuk pertama kalinya, laki-laki itu membiarkan semuanya lepas, melepaskan kesedihan dan amarah yang telah lama bergumul, yang telah tanpa ampun menggerogoti jantungnya, keluar dalam tangisan deras. Tanpa kehadiran Tyas di sisinya, Gamma merasa bebas menumpahkan segala perasaan yang terpendam, tanpa perlu mempertimbangkan perasaan Tyas. Selama ini, dia menahan semua itu, demi menghormati istrinya—menoleransi kemungkinan sakit hati jika saja Tyas tahu bahwa air mata yang jatuh itu untuk perempuan lain.

Ares yang sedang menikmati suasana laut langsung menghampiri temannya. Dia duduk dan dengan segera melepas kacamata hitamnya, memasangkannya kepada Gamma. Dia melihat buku yang masih dipegang Gamma dan tahu, kenapa temannya menangis tanpa mempertimbangkan urat malu. Orang-orang yang tidak jauh dari mereka mengamati dengan tatapan yang beragam: ada yang tampak risau dan penuh tanda tanya, ada pula yang memperlihatkan raut kesal, merasa tangisan laki-laki itu mengganggu kebahagiaan mereka. Dia merangkul temannya dengan cepat. Menepuk-nepuk pundak temannya yang kelebihan beban, “Sabar, Nyet. Sabar ….”

Gamma tidak menjawab, dalam hatinya dia ingin segera sampai dan memeluk anaknya, Alpha.

“Aman. Aman. Dia cuma keinget film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck!” Seru Ares pada orang-orang yang menatap mereka. Lalu Ares yang berharap mereka menjauh dan kembali pada keriaan masing-masing, justru mendapat pelototan kejam.

“Taik! Ngedo’ain kita tenggelam dia orang!” umpat salah seorang remaja laki-laki yang disahut oleh suara-suara lain. Hanya remaja perempuan yang mendekatinya tadi yang tertawa malu-malu.

Ares cengengesan.

Gamma, yang telah reda tangisannya berdiri dan bertumpu pada pagar dek terbuka. Kacamata Ares masih bertengger di wajahnya, menyembunyikan mata yang basah oleh kenangan, sementara Ares sendiri telah terlelap, berbaring dengan tangan terlipat di atas dada, di kursi yang sebelumnya dia duduki. Gamma menatap jauh kepada laut yang menyentuh langit. Dalam hatinya dia memikirkan kekasih lamanya mulai dari awal mula hingga bayangannya di akhir-akhir hidupnya. Dia tidak mengira bahwa Aruna pergi begitu cepat, begitu muda. Dia merasa seperti setiap ombak yang menggulung di kejauhan telah membawa serta sebagian dari jiwanya.

Runa, awalnya kukira hanya matamu yang serupa lautan—menghanyutkan. Namun ternyata, kamulah lautan itu sendiri. Luas, tenang, dan penuh dengan misteri yang tersembunyi di kedalaman. Penuh rahasia. Aku nekat mencintai lautan meski tak mahir berenang. Dan ternyata benar, aku tenggelam, Runa.  Aku tenggelam dalam dirimu. 

Dan kapal terus melaju membelah selat Sunda dengan deru mesin, deru angin, deru laut, juga tanpa orang-orang sadari, deru perasaan Gamma.

(Bersambung)

 

Restart ©2023 HelloHayden

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • suryade

    Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah

    Comment on chapter Bab 14 (Cukup)
  • ana_yo

    Asli. Cerita lain yang umur SMA udah nikah, yang nikah sama CEO posesif, yang sibuk urusan cinta. Cerita ini tuh beda banget. Kebagusan tauuuu 😱. Kompleks dan real banget. Tokoh utamanya gak egois tentang dia terus. Tokoh2 lain mengisi baik. Yang paling suka mereka khas remaja semua. Lincah, semangat, pintar dan jahil.

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • aprillia

    Cerita nya bagus thor 😭 tokoh utamanya berhasil menggeser standar kim soo hyun ku. mau ngefans sama si gamma tapi dia fiksi. Tolong bgt 😭

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • hamid

    Inj bagus banget woii kata2 nya

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
208      167     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Cute Monster
614      341     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
G E V A N C I A
842      462     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Bersua di Ayat 30 An-Nur
752      342     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang wanita muslimah yang penuh liku-liku tantangan hidup yang tidak tahu kapan berakhir. Beberapa kali keimanannya di uji ketaqwaannya berdiri diantara kedengkian. Angin panas yang memaksa membuka kain cadarnya. Bagaimana jika seorang muslimah seperti Hawna yang sangat menjaga kehormatanya bertemu dengan pria seperti David yang notabenenya nakal, pemabuk, pezina, dan jauh...
TWINS STORY
590      429     1     
Romance
Di sebuah mansion yang sangat mewah tinggallah 2 orang perempuan.Mereka kembar tapi kayak nggak kembar Kakaknya fenimim,girly,cewek kue banget sedangkan adiknya tomboynya pake banget.Sangat berbeda bukan? Mereka adalah si kembar dari keluarga terkaya nomor 2 di kota Jakarta yaitu Raina dan Raina. Ini adalah kisah mereka berdua.Kisah tentang perjalanan hidup yang penuh tantangan kisah tentang ci...
Story Of Chayra
8517      2616     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
The Diary : You Are My Activist
12705      2211     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Serpihan Hati
9731      1566     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Secret Elegi
3806      1094     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
love like you
408      288     1     
Short Story