Laki-laki muda itu tersentak kecil saat pramusaji datang, es kopi pesanannya baru saja di antarkan ke meja kayu bundar, lamunan panjangnya terputus.
“Silahkan …,” kata pramusaji itu dengan keriaan profesional pada wajahnya.
Laki-laki itu mengangguk, “Thanks,” katanya kemudian.
Dia mengaduk minumannya, busa-busa lembut khas cappucino itu mulai pudar seiring perputaran sedotan. Laki-laki muda itu memang menatap pada es kopinya, namun sesuatu pada matanya menyiratkan hal berbeda; tidak memikirkan busa kopi, juga sepertinya tidak peduli apakah kopi itu sesuai seleranya atau tidak, pikirannya seakan terpaku pada hal lain. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menyedot minumannya. Dia duduk pada kursi yang sama saat bisnisnya dulu porak-poranda. Jika tiga tahun lalu dia duduk dengan kegundahan dan kesedihan, kini dia duduk dengan kelegaan. Lalu menatap pada jendela besar di sebelahnya. Jendela yang dulu pernah menampilkan baliho pasangan capres dan cawapres sebelum pemilu digelar kini menampilkan semacam ajakan untuk segera mendapatkan vaksinasi dosis kedua. Desain baliho yang buruk, pikirnya, membuatnya terkekeh pelan, terutama ketika menyadari bahwa dia sendiri belum vaksinasi.
Jalanan lalu-lalang dengan wajar –ramai dan padat. Pandemi seperti tidak memiliki harga diri lagi. Orang-orang yang bertahan hidup atau berhasil melewatinya hanya berusaha tidak acuh saja dan ingin menjalani hari-hari seperti biasa. Perut harus diisi, kebutuhan primer harus direalisasi. Lantas meninggalkan luka lama, dan tidak membiarkan luka itu menganga lebih lebar, orang-orang bersama-sama seperti saling merangkul demi kehidupan berjalan benar-benar normal. Bukan normal yang baru, bukan juga normal akal-akalan.
Handphone di dalam ranselnya berdering. Temannya, Ares menelepon.
“Gimana?” tanya temannya segera setelah telepon itu dia dekatkan ke telinga.
“Diterima.” Kata laki-laki itu dengan cepat dan singkat.
“Selamat, Nyet!”
“Yo’i!”
Telepon selesai.
Dia menggulung lengan flanel hitam-birunya hingga siku sambil berpaling ke langit yang berwarna lebam. Lalu memejamkan mata, hatinya membisikkan kata-kata penyemangat untuk dirinya.
Gamma Aditya, lu pasti bisa. Harus.
Setelah menyeruput habis minumannya, dia meraih ransel dan segera pergi dari kafe itu.
Sampai di kostnya, dia segera mandi. Mengenakan kaos tanpa lengan yang biasa dia kenakan saat musim panas, juga celana pendek yang menutupi hingga lutut. Dia merokok sebatang dua batang pada balkon kecil kamarnya. Lampu jalan kuning temaram di persimpangan gang sudah menyala menghantam aspal. Juga sudah terdengar hilir-mudik kendaraan lalu lalang –pulang kerja, pulang kuliah, atau segala jenis pulang yang mereka tuju setelah lelah selama siang.
Tidak ada teman cerita, juga sepertinya pekerjaannya selesai tepat waktunya, dia lantas merogoh handphone dalam saku celana, membuka galeri foto dan melihat-lihat kembali foto dua bulan lalu. Pada layar tampak dirinya, ibunya serta adik perempuannya. Dia –yang terlihat gagah mengenakan beskap Sunda berwarna cokelat muda– tengah merangkul adiknya, Marwa. Si Pengantin Wanita.
Foto berikutnya menampilkan dirinya berjabat tangan dengan pengantin pria dan pada masing-masing mereka seseorang telah siap memegang mic untuk prosesi ijab kabul. Gamma tersenyum kecil, ingatannya kembali pada hari itu. Hari pernikahan adiknya, yang membuatnya tidak hanya bahagia tetapi juga sangat gugup. Dia hampir tidak tidur malam sebelumnya karena terus-menerus berlatih mengucapkan lafaz ijab. Tentu saja, dia menjadi wali pengantin wanita karena ayah mereka—yang biasa mereka panggil bapak—telah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Wajah dua pria yang duduk berhadapan dan berjabat tangan terlihat tegang. Masing-masing berharap agar lidah mereka tidak tiba-tiba kelu. Ikhsan, si Pengantin Pria, yang terbiasa bersikap tenang karena gelar fungsional yang dia raih selama delapan tahun di universitas, juga karena tuntutan profesionalitas selama tiga tahun di klinik psikologi yang dia bangun sendiri, kenyataannya tidak hanya gugup tapi juga gelisah. Butiran keringat membuat peci biru mudanya basah pada garis rambut, juga butiran air bulat-bulat membuat lehernya tampak seperti dilapisi manik intan saat diterpa cahaya lampu. Kedua tangan yang saling berjabat itu terasa lembab, entah tangan siapa yang berkeringat tapi ijab yang lancar (walau sedikit bergetar) dari si Kakak Kandung dijawab cepat dan tepat oleh kabul si Pengantin Pria, dengan sedikit menggigil juga. Setelah prosesi suci dan sakral itu, bak acara-acara pernikahan lainnya, acara ini berjalan dengan tangisan haru dan tawa bahagia pada jam-jam berikutnya. Tamu yang memang dibatasi keluar dan masuk oleh pihak hotel –karena status pandemi belum dicabut pemerintah– tidak membuat suasana berkurang kegembiraannya. Gamma banyak tersenyum saja, menyambut tamu yang datang, yang mungkin kebanyakan tidak dia kenal. Tampak Ares yang dengan gagah memegang gimbal untuk merekam video serta seorang teman lagi, Zacky, siap sedia di depan tripod. Sesekali Gamma menghampiri mereka, terkadang ikut memotret pula. Di ruangan yang serba bunga –baik dekorasinya maupun aromanya– tidak ada detail yang berlebihan. Semuanya sederhana namun itulah yang disebut sempurna. Wajah Gamma, setiap pori-porinya, setiap garisnya, memancarkan kebahagiaan yang tampak bebas. Dua sudut bibirnya menukik tinggi, seolah-olah dia telah melupakan segala kesusahan hati. Dia tidak menceritakan kepada siapa pun, bahkan kepada dirinya sendiri, tentang apa-apa yang dia rasa sebab pikulan bapaknya berpindah ke bahunya. Tidak dia ungkapkan betapa lelahnya dia dalam setiap pekerjaan, berjuang keras untuk mendapatkan komisi lebih demi ibu dan adiknya. Tidak dia tunjukkan letih yang hinggap di tubuhnya karena kurang istirahat. Juga tidak dia perlihatkan segala hal yang membuatnya cemas, lemas, dan kewalahan—demi kebahagiaan dua perempuan.
Rokoknya habis, nyamuk mulai mendenging di telinga dan juga mengerubungi betisnya yang terbuka. Gamma memutuskan masuk dan menutup jendela rapat-rapat, beserta gordennya.
Dia duduk di depan komputer dengan layar yang menunjukkan pukul tujuh malam. Dia sadar, dia belum makan. Mungkin sejak siang, dia juga lupa. Karena hari ini sejak bangun tidur yang ada di kepalanya hanya menjumpai Pak Adimas untuk mengatakan niat baik menikahi anak perempuannya, Tyas. Perempuan itu sudah menjadi teman baiknya selama dua tahun terakhir. Dan sejak empat bulan lalu, sejak dia yakin ingin menikahinya, dia berusaha status teman baik itu berubah menjadi kekasih. Dua bulan pertama dia berusaha keras –tidak berhasil. Lalu dia berpikir bahwa cinta itu seharusnya datang dengan murni dan apa adanya. Cinta seharusnya masuk dengan cara paling lembut, tidak memaksa. Maka masuk bulan ketiga, dia mencoba sedikit santai.
Tyas, perempuan yang bahkan tidak tahu akan mendapatkan lamaran dari Gamma tampak tidak ada yang berubah padanya. Hari-hari dia jalani sebagaimana mestinya. Bekerja di perusahaan yang dua pertiganya dimiliki oleh ayahnya, sedang sepertiga lagi dimiliki oleh Gamma. Tentu bagaimana juga, sedikit banyaknya, kepemilikan dua pertiga itu suatu saat akan berada di atas nama Tyas. Dia tahu itu, maka dia belajar banyak dari Gamma bagaimana mengelola perusahaan periklanan ini. Mungkin dengan alasan itu dia menjadi lebih dekat dengan Gamma, mungkin juga ada alasan lain yang hanya diketahui olehnya. Menyukai Gamma, misalnya, dengan cara paling diam, paling biasa dan paling tenang.
Pada bulan keempat, bulan dimana Gamma akan mengatakan niatnya pada Pak Adimas, dia mulai menerima sebuah pendapat lama yang disetujui banyak orang, bahwa tidak ada yang lebih baik daripada menikahi sahabat sendiri. Dia tahu dia gagal, baik dengan cara keras maupun dengan cara lembut sekalipun, cinta itu tidak muncul. Belum mungkin, pikirnya. Tapi itu sama sekali tidak membuat niatnya memudar. Dia maju. Itulah sebabnya, hari ini sejak terjaga kepalanya penuh oleh Pak Adimas dan Tyas.
Minggu siang yang terasa membakar, tepat setelah menelepon ibunya, meminta restu dan doa, dia melajukan motor ke rumah Pak Adimas. Sepanjang perjalanan, di tengah desiran angin dan suara mesin kendaraan, dia terus-menerus merangkai kalimat dalam benaknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya.
Sesampainya di sana, seperti biasanya, dia disambut bak kolega –karena selama ini begitu, pembicaraan mereka berdua kebanyakan hanya tentang Midas Creativity saja. Pak Adimas, yang tidak mengetahui apa-apa mengenai rencana Gamma terhadap putrinya langsung saja bertanya, “Jadi gimana Midas sebulan ini, Gam?”
Gamma tersenyum simpul. Dia diam sejenak sebelum akhirnya dengan perlahan, menyampaikan tujuannya bukan untuk membicarakan pekerjaan, tetapi justru meminta izin untuk melamar kemudian menikahi anak perempuannya. Apa yang terjadi selanjutnya adalah Pak Adimas termangu, dengan cara kebapak-bapakan, tentu. Pembicaraan berlanjut lebih serius dan lebih matang. Mata Pak Adimas menyiratkan sebuah ketajaman sedangkan Gamma, baik matanya, wajahnya, suaranya, semuanya, seluruh tubuhnya berbicara dengan kesungguhan. Berusaha tanpa menyentuh kata cinta, Gamma menunjukkan tekadnya. Dia laki-laki yang jujur, juga seseorang pernah mengatakannya sebagai pembohong yang buruk. Karena itu, sekalipun belum cinta, dia akan menunjukkan kesungguhannya. Dua laki-laki ini, di rumah yang sepi ini (sebab Tyas, ibunya –yang dia panggil mama– dan seorang pembantu rumah tangga sedang pergi jalan-jalan ke pusat perbelanjaan) seperti sedang dalam proses interogasi; Pak Adimas harus bertanya macam-macam, memastikan putrinya kelak mendapatkan perlakuan baik sedangkan Gamma harus bisa memberikan jawaban meyakinkan mengenai apa-apa yang Pak Adimas khawatirkan.
“Saya menerima, Gam. Tapi saya kembali harus menanyakan sama mamanya Tyas dan Tyas sendiri, ” kata Pak Adimas, “tapi kalau saya pribadi, saya menerima kamu sebagai menantu.” Pak Adimas mengulang kata menerima itu hingga dua kali seolah meyakinkan Gamma bahwa tidak perlu ragu dengan hasil pembicaraan mereka sekeluarga nanti.
Gamma mengangguk, “Saya akan datang lagi bersama keluarga saya, Pak.” Dia juga tidak menambahkan kata kalau diterima, dia –seperti saat pertama kali Pak Adimas mengajaknya berbisnis dulu, yakin bahwa dirinya bisa dipercaya mengelola uangnya– seolah juga percaya bahwa kini Pak Adimas bisa mengatur agar semuanya berjalan seperti yang telah dia utarakan.
Keluar dari rumah itu, Gamma sempat berhenti sebelum berbelok ke jalan besar. Dia menelepon ibunya, mengatakan bahwa dia sudah menyampaikan niat baiknya. Seperti dirinya, ibunya juga lega. Dan mereka hanya menunggu kabar dari Pak Adimas selanjutnya. Dengan kepercayaan yang sama besarnya dengan yang dimiliki oleh Gamma, ibunya menanyakan kira-kira baju apa yang pantas untuk ibunya kenakan saat datang melamar anak perempuan bakal calon menantunya. Wanita yang sudah lewat dua tahun dari setengah abad itu terdengar sedikit gugup di telepon karena ini merupakan pengalaman pertama datang ke rumah calon besan untuk melamar. Sedang anak laki-lakinya menjawab dengan bercanda, “Ibu pede banget aku bakal diterima Tyas!”
“Lah?! Kalau papanya udah oke, ya yang lainnya juga ikutan oke! Kamu gimana, sih!” sambar ibunya segera.
Anak dan ibu itu tertawa dari seberang handphone masing-masing.
Begitulah yang terjadi sepanjang siang.
Gamma bangkit dari kursi, merogoh-rogoh ranselnya untuk menemukan dompet. Dia akan turun ke bawah, ke kedai makan di samping kostnya untuk makan malam. Baru saja akan turun tangga, dia melihat Tyas datang. Tatapan mereka bertemu dengan jarak dua meter, tapi pada jarak itu Gamma bisa melihat dengan jelas bahwa Tyas, perempuan yang dilamarnya beberapa jam lalu, menampilkan wajah yang lembab dan sembab. Gamma menjadi khawatir, perlahan dia turun mendekati Tyas yang diam dengan tatapan kekecewaan.
Dalam hatinya dia berpikir macam-macam.
Apa Pak Adimas sudah menyampaikan niatku?
Lantas Tyas tidak suka lalu akan menolak secara langsung?
Atau justru dia tahu karena tidak ada perasaan yang seperti itu di antara kami maka dia berpikir pernikahan tidak akan berhasil?
Atau lagi-lagi dia tersinggung?
Begitu. Kira-kira begitu apa yang ada dalam pikiran laki-laki ini jika diperhatikan dari rautnya yang gelabah.
“Yas? Ayo, naik,” ucap Gamma setelah sampai di hadapan perempuan itu. Tanpa bertanya ada apa, dia hanya meminta Tyas kembali naik, masuk ke kamarnya. Sedikit-sedikit dia was-was jika saja Tyas dengan tegas menolaknya saat mereka berada di tangga, di ruang publik.
Tyas menuruti, dia berjalan di belakang Gamma. Gamma yang malas menoleh-noleh ke belakang, lantas merangkul bahu Tyas untuk membuat mereka berjalan bersisian.
“Ada apa, Yas?” kata Gamma sedikit gemetar kembali duduk di kursi kerjanya menatap Tyas lamat-lamat yang duduk dengan wajah tertekuk di sofa. Malam itu hening, bahkan, tidak seperti biasanya; tetangganya tidak karaoke, padahal ini hari Minggu, jadwal rutin Gamma akan mendengar suara nyanyian dangdut atau koplo yang cempreng. Dalam hati, Gamma berpikir mungkin lebih baik jika ada suara-suara yang ribut sedikit, karena untuk pertama kali, suasana kamarnya terasa menekan saat Tyas berada di sini. Gamma sengaja mengambil jarak cukup jauh, setidaknya jika dia mendengar penolakan, dia tidak melihat dengan jelas sorot mata ketidaksukaan dari Tyas.
Dia melihat Tyas mulai mengepalkan kuat-kuat kedua tangannya di atas paha, “Maaf, Kak. Gua datang tiba-tiba,” lalu mendengar Tyas berkata seperti itu dengan suara parau.
Gamma semakin gusar, “Ya, Yas. Gak apa-apa.” Dia sebenarnya ingin memutar kursi kerja ke arah jendela, melepaskan resahnya. Namun dia tahan karena ingin menunggu Tyas melanjutkan pembicaraan.
“Tadi … tadi papa ngomong ke aku kalau ada cowok datang ke rumah buat lamar aku. Dan …,” Tyas mendongak, menatap Gamma yang kini rautnya tegang, tegang dan menunggu. “Gua gak mau,” kata Tyas lagi. Walaupun dengan suara yang nyaris tidak terdengar tapi nadanya kukuh. Sekelebat Gamma melihat kemarahan pada wajah Tyas. Kendati sudah diperkirakan pun, Gamma tetap terkejut mendengarnya penolakan, terutama saat melihat ekspresi Tyas. Dia ingin segera menjelaskan pada Tyas, bukan, membujuk sepertinya, karena wajahnya sedikit memelas. Tapi baru saja akan membuka mulut untuk berbicara, Tyas menyambar segera, “Gua rasa dia ada maunya sama Midas! Gak mungkin tiba-tiba, kan?”
Gamma menautkan alisnya. Dia? Midas? Laki-laki itu mulai tersesat. Mulai bingung.
“Tunggu,” Gamma menelan ludah, tanpa memikirkan lagi bagaimana ketidaksukaan Tyas, tanpa ragu dan dengan kecepatan yang sangat menunjukkan rasa ingin tahu, Gamma mengayuh kursi kerjanya mendekati sofa yang diduduki Tyas, “laki-laki yang melamar itu, kamu tahu?”
Kamu. Tiba-tiba saja Gamma –dan juga sepertinya di antara, mereka tidak ada yang menyadari bahwa Lu itu malam ini sudah berganti menjadi Kamu.
Tyas menggeleng. Menangkupkan kedua tangannya ke wajah, terlihat sangat rikuh, “Gua langsung cabut pas papa ngomongin itu. Gua udah gak peduli lagi dia siapa. Kenal, kek. Engga. Gua udah …,” Tyas membuka tangannya yang menutupi wajah, menatap Gamma dengan gerak bola mata gelisah, “udah males duluan. Siapa dia? Orang sejak kecelakaan aja gak ada teman cowok yang peduli, jangankan nanya, semuanya kayak ngindarin. Basa-basi palsu doang! Cuma lu, Kak. Cuma lu yang ada!”
“Jadi Pak Adimas belum selesai bicara?”
“Belum! Bahkan gua gak jadi makan. Baru mau duduk udah diajak ngomongin lamaran orang!”
“Ooh …,” Gamma menggaruk-garuk alisnya. Tampaknya ada kelegaan yang lain dari wajahnya. Juga dia terlihat ingin tertawa karena wajahnya berkerut-kerut. Baginya situasi ini lucu sekali. Dia sampai tidak tahu harus berkata apa. Apa langsung mengatakan bahwa dia lah laki-laki yang dimaksudkan ayahnya, atau memintanya kembali pulang dan mendengarkan cerita ayahnya secara lengkap. Tentu saja Tyas bisa kembali lagi ke sini setelah tahu bagaimana kejadiannya, entah mengatakan akan menerima atau menolak dengan tegas kepada wajahnya. Yang mana satu pilihannya, sesuai kehendak hati perempuan itu, bagi Gamma tidak mengapa. Tapi sejujurnya, jauh di dalam hatinya dia berharap perempuan itu menerima saja. Gamma menyukainya. Suka yang seperti apa dia masih belum tahu. Dia hanya berkata pada temannya bahwa tidak ada alasan untuk tidak menyukai Tyas. Kemudian jika perempuan ini menolak, satu rentetan proses baru akan terpaksa dia jalani dan merupakan cara yang paling membuatnya malas: berkenalan lagi dengan perempuan lain. Mengamati dengan baik karena akan menjadi seorang istri, melewati proses pendekatan yang tidak sebentar dan melelahkan, lalu akan berujung hanya pada dua hal: lanjut menikah atau putus di tengah. Lagi pula dia sadar dia bukan pada usia huru-hara asmara murahan.
“Yas.”
“Kak …,”
Suara mereka berhimpitan. Gamma memanggil dengan tegas, sedangkan Tyas dengan sedikit segan.
“Ya?” Laki-laki itu mengalah. Dia mempersilahkan Tyas mengambil waktu untuk berbicara terlebih dahulu.
Tyas ragu-ragu berbicara. Pada wajahnya jelas tergambar pertempuran batin. Apakah sebaiknya dikatakan atau tidak kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya. Entah sejak kapan dia menyadari bahwa dirinys menyukai Kak Gamma. Tapi sepertinya Kak Gamma-nya itu tidak menyukainya sebagaimana dia. Tidak seperti dia melihat Gamma sebagai pria, laki-laki itu melihat dia sebagai teman. Teman perempuan. Yang diperlakukan dengan baik dan tidak pernah melewati batas. Lagi pula, dia tahu dan cukup sering melihat bagaimana Gamma mencintai kekasih lamanya –Aruna, juga bagaimana kondisi laki-laki itu setelah berpisah dengan wanitanya itu. Dia tahu dia kalah jika dibandingkan dengan Aruna. Dia juga meraba-raba mungkin perasaannya untuk Gamma tidak lebih besar dari perasaan Aruna dulu untuk laki-laki ini. Lalu hal-hal lain mengganggu keputusannya, misalkan saja, dia katakan pada Gamma bahwa dia menyukainya, lalu Gamma, seorang laki-laki yang penuh tanggung jawab, yang sedari awal ingin melakukan apa saja untuk mengobati luka paras dan luka hatinya tentu akan menerima. Dan itu artinya sebuah keberatan hati. Tapi Tyas disadarkan sesuatu lagi, dia bak berjudi pada nasib sendiri. Dilakukan atau tidak, dikatakan atau tidak, pilihannya tetap hanya dua: menang dan kalah. Meskipun judi tetap satu permainan yang kamu tahu kamu akan kalah meskipun sudah berapa kali menang. Pertama, dia katakan pada Kak Gamma-nya bahwa dia menyukainya, lalu Gamma akan menerima dengan hati yang serba susah dan dia akan menjalani hubungan dengan kondisi hanya satu orang mencintai serta menerima seluruh konsekuensinya. Kedua, dia masih akan katakan perasaannya, tapi Gamma menolaknya lalu hubungan pertemanan yang baik ini semakin lama semakin tidak nyaman hingga salah satu atau bahkan kedua dari mereka menjaga jarak. Ketiga, dia bungkam, merahasiakan perasaannya dan menerima menikah dengan pria lain yang melamarnya dan mungkin seperti yang dipikirkannya: Midas terancam. Keempat, dia tetap bungkam dan akan melakukan hal-hal yang tidak biasa dia lakukan, misal: memohon sambil menangis, merengek bahkan mengemis pada ayahnya agar diberi waktu untuk mencari pasangan sendiri sembari di waktu-waktu itu dia akan membuat Kak Gamma-nya menyukainya. Opsi keempat dia ragu. Dia sendiri bergidik ngeri membayangkan harus merengek bahkan pada ayah sendiri. Juga dia tidak memiliki keyakinan kuat meski telah berusaha keras bahwa pada akhirnya Kak Gamma akan membalas perasaannya.
“Yas?” panggil Gamma lagi, karena Tyas tampak kebingungan sendiri, antara tidak ingin berkata apa-apa atau berpikir, “apa gak mau balik dulu aja? Obrolan papa kamu gan-”
“Gua suka kakak ….” Suara Tyas dirambati kegetiran, akhirnya dia mengungkapkan dengan seluruh keraguan dan ketakutan. Gamma terbelalak, kedua alisnya naik tinggi tapi bahunya melorot. Tyas, dengan tatapan mata yang sibuk mencari-cari sesuatu pada wajah laki-laki yang ternganga di depannya, berkata, “Maaf …, maaf, Kak.”
Dia merasa telah membuat susah Gamma dengan pernyataan yang tiba-tiba.
Baru saja Gamma akan bicara, dering ponsel Tyas terdengar nyaring dari saku celana jeans-nya.
Tyas yang memang sudah malu, tampak senang mendengar dering itu. Dia lega meskipun yang menelepon adalah ayahnya. Jika saja memungkinkan, ponsel di genggamannya itu akan dia cium-cium senang, lalu berkata terima kasih kamu sudah berbunyi!
“Papa …,” gumam Tyas.
Gamma tersenyum, senyum yang tampak cerdik, “Angkat aja. Loudspeaker coba. Pengen denger juga …,”
“Loudspeaker?” tanya Tyas heran, “tapi, kan …,”
“Udah …, coba aja,” bujuk Gamma pelan.
Tyas menuruti dengan setengah bingung, setengah khawatir.
“Pulang!” Tanpa basa-basi, tanpa menanyakan keadaan dan keberadaan anaknya, Pak Adimas dengan tegas meminta Tyas pulang.
“Pa …, aku gak mau bicarain lamaran,” Tyas memelas.
“Papa jemput paksa atau kamu pulang sendiri?” Pak Adimas mulai mengancam, “dimana kamu?”
Tyas melirik Gamma segera, Gamma mengangguk dengan bibir terkatup rapat –menahan sekuatnya untuk tidak tertawa. Tapi Tyas tidak melihatnya sebagaimana semestinya, bagi Tyas, Gamma terlihat seperti sedang menahan untuk tidak kelepasan berbicara.
“Kamu tahu papa gak suka kalau gak dijawab dan gak akan mengulang pertanyaan untuk kedua kali.”
Mendengar peringatan itu, akhirnya Gamma tahu kenapa Pak Adimas sangat yakin bahwa dia bisa membuat keluarganya setuju mengenai lamarannya siang tadi. Berbeda dari yang selama ini dia tahu, kini Pak Adimas terdengar tegas, menjurus kepada menakutkan. Dia bahkan mempunyai kekuatan untuk mengancam anak perempuannya. Jelas sekali sikap tegas Tyas adalah warisan dari Pak Adimas.
“Kak Gamma! Aku di kost Kak Gamma. Papa gak malu apa ribut-ribut di depan kolega?” Tyas menjawab ketus.
Pak Adimas diam sebentar, membuat Tyas sempat berpikir bahwa ayahnya benar-benar akan datang dan membuat keributan. Tyas menatap Gamma dengan cemas, “Gimana, nih?” bisiknya sambil menutup mic ponsel dengan sebelah tangannya. Laki-laki yang ditanya hanya mengangkat bahu dengan santai. Tyas semakin kesal.
“Tyasworo Adimas. Kamu yang gak malu? Baru dilamar tadi siang, malamnya udah seenaknya datang ke rumahnya. Dia bukan teman lagi. Dia calon suami!” ucap Pak Adimas serak. Gamma perkirakan Pak Adimas baru saja selesai tertawa, “Pulang!” Seru Pak Adimas kemudian setelah membersihkan tenggorokan.
Tyas dengan alis yang naik satu, bibir sedikit terbuka, suatu pemandangan yang menggambarkan terperanjat luar biasa, dengan cepat menatap Gamma yang kini tertawa, memukul-mukul pahanya sendiri. Akhirnya laki-laki itu tidak bisa menahan diri untuk tidak bereaksi.
“Ma-maksudnya, Pa?” Tyas dengan terbata-bata meminta penjelasan ayahnya. Matanya bolak-balik antara ponsel yang masih menempel di pipinya dengan Gamma yang masih tertawa.
“PULANG!”
Telepon diputus Pak Adimas. Tyas yang masih memegang handphone itu tampak bingung bukan kepalang. Tidak berselang lama, dengan rautnya yang masih kaku itu ujung matanya berair dan itu membuat Gamma berhenti tertawa. Gamma mendekatinya, mengulurkan tangan untuk menyapu pipi kanan Tyas yang dihiasi garis kecokelatan, “Makanya,” katanya lembut, “besok-besok harus dengerin papa kamu sampai selesai. Mau suka atau enggak, mau satu pandangan atau enggak. Papa kamu berhak didengar dan kamu wajib mendengar. Gak baik main pergi aja.”
Air mata Tyas betul jatuh tepat pada ujung jari telunjuk Gamma. Dia merasa lega dengan cara yang paling dia suka. Terlebih kata kamu itu kini dia sadari keluar dari mulut laki-laki ini. Dadanya berlubang dan lubang itu ditumbuhi bunga yang banyak serta saling berebut bermekaran. Dia penuh sesak oleh kegembiraan. Dia ingin mengatakan bahwa dia senang, bahwa memang ini yang dia inginkan, bahwa dia ingin menjadi pendamping setia Kak Gamma-nya, tapi desakan bunga-bunga yang bermekaran itu tumbuh melesat cepat menutup tenggorokannya hingga dia kesulitan berbicara.
“Mau, ya, nikah sama aku, ya?” tanya Gamma lagi. Bukan. Dari nadanya sepertinya Gamma tidak bertanya. Tidak ingin mendengar kata tidak lantas Gamma sepertinya menimang-nimang Tyas dengan rayuan, dengan nada yang melemahkan pula. Dan berhasil, Tyas mengangguk. Anggukan pertama, dia mengatupkan bibir sekuat-kuatnya. Anggukan kedua terdengar isakan yang membuat laki-laki itu memeluknya, mengusap-usap punggung calon istrinya yang kini menangis haru bahagia. Tidak ada dari keempat pilihan yang dipikirkannya tadi terjadi. Ternyata, tanpa dia ketahui, ada pilihan kelima. Pilihan yang tidak berani dia pikirkan, meskipun sebenarnya dia harapkan. Pilihan yang paling tinggi bagai langit juga paling dalam bagai perasaan.
Keduanya masih berpeluk dengan kata cinta yang menggantung di antara mereka. Tidak ada salah satu dari mereka berani bertanya. Apakah kamu mencintaiku? Apakah pernikahan ini didasarkan cinta? Mereka berdua sama-sama cukup dewasa memahami bahwa bertanya seperti itu adalah sebuah malapetaka. Membuka jalan konflik baru dan memunculkan kisah lama yang sama-sama ingin mereka tinggalkan. Bahkan Tyas hanya mengatakan suka. Gua suka sama kakak. Bukan cinta. Gamma juga memilih diam, tidak menanyakan lebih mengenai suka yang bagaimana Tyas rasakan pada dirinya. Tyas tidak berani tamak sedangkan Gamma tidak ingin congkak. Mereka hanya ingin menikmati momen ini dan mengingatnya sebagai kenangan lucu yang indah saja. Tyas masih menyembunyikan isakan pada bahu Gamma, sedangkan Gamma, yang merasa senang juga, hanya bisa tersenyum saja. Sejurus kemudian senyumannya surut pula. Tiba-tiba wajahnya mendung. Dalam hatinya ada sesuatu yang berdesir berlainan arah. Dia merasa telah mengkhianati kekasih lamanya karena akan menikah dengan perempuan lain. Maka dia berkata maaf sebanyak tiga kali sambil memejamkan mata, dan tentu dalam hati saja. Meskipun dia tidak tahu kenapa dan untuk apa. Meskipun dia tahu tidak ada gunanya.
Maaf. Maaf. Maaf.
-oOo-
Bulan Ramadhan tahun ini dimulai awal April. Seminggu sebelumnya, rombongan keluarga Gamma: Ibu, Marwa dan suaminya serta seorang paman yang merupakan adik ayahnya juga datang bersama istri, mengunjungi rumah Pak Adimas untuk melamar Tyas secara formal. Saling memperkenalkan kedua belah pihak keluarga. Kedua keluarga sepakat untuk tidak mengadakan acara lamaran besar-besaran sebab akan fokus pada acara pernikahan dan resepsinya yang akan dilangsungkan di hari yang sama pada Sabtu pertama di bulan Agustus. Lantas selama Ramadhan, banyak hal berubah di antara Tyas dan Gamma. Mulai dari panggilan, Tyas memanggil Gamma dengan sebutan Mas. Awalnya Gamma merasa tergelitik jika sapaan Mas dan namanya dipadukan. Telinganya langsung memerah tiap kali mendengar itu dari Tyas.
“Ah, gak cocok aku dipanggil Mas!” protesnya suatu sore di hamparan Hutan Kota GBK, dia terkikik-kikik geli.
Tyas ikut tertawa, “Lah, masa masih Kak Gamma. Gak romantis!”
“Ayang. Ayang, gitu kalau mau romantis.”
“Ah! Apa, sih! Lebih aneh tahu! Geli!” Tyas mendorong bahu Mas Gamma-nya dengan kuat, hingga laki-laki itu nyaris saja jatuh dari duduknya. Jika dia benar-benar terjatuh, habislah sudah makanan berbuka puasa mereka, yang sedang dipangku Gamma, akan terserak tumpah mengenai rumput. Mereka tertawa bersama. Satu hal yang Gamma yakin pada dirinya sendiri, dan dia sangat berterima kasih karena memiliki kemampuan itu, bahwa, kendati pun belum cinta, dia bisa memperlakukan Tyas dengan hati yang lapang. Dia mampu bersikap selayaknya pria yang segera menjadi suami: mengayomi dan menyenangkan. Gamma menyadari, sensasi yang muncul bersama Tyas adalah sesuatu yang berbeda, tidak bersinggungan dengan yang muncul jika dia bersama kekasih lamanya. Setiap momen dengan Tyas memiliki nuansa tersendiri juga suguhan kebahagiaan yang lain. Dia tahu bahwa debaran yang dia miliki untuk Tyas dan kekasih lamanya berotasi pada perasaan yang berbeda.
Karena tidak juga berubah menjadi Ayang atau sebutan lain yang lebih diterima telinga Gamma, akhirnya laki-laki itu mengalah saja dipanggil Mas. Panggilan itu sudah tidak mengganggu telinganya juga sudah tidak menggelitik pula pada minggu-minggu setelahnya.
Acara pernikahan berarti acara dengan semua detail harus diperhatikan. Mulai dari yang paling kecil (termasuk pemilihan buku tamu) hingga persiapan paling besar. Persiapan-persiapan kecil kebanyakan diurusi oleh Tyas, bukannya Gamma tidak mau membantu, tapi segala pendapat Gamma adalah segala sesuatu yang berbeda pula dengan pikiran Tyas. Memang benar kata orang-orang tua bahwa semakin dekat hari pernikahan, maka ujian di antara calon pengantinnya makin besar. Tapi apa yang terjadi, baik menurut Gamma maupun Tyas, masalah yang mereka hadapi bukan besar, tapi lebih kepada menjadi tidak masuk akal. Selama kenal, selama berteman, selama menjalankan Midas bahkan di waktu-waktu sulit pasca kecelakaan saja mereka mampu berkomunikasi dengan baik. Nyaris selalu satu pemikiran, tanpa bantahan yang berarti tanpa perbedaan yang menonjol. Kali ini, dalam status baru, yang justru lebih intim: calon suami-istri, pikiran mereka sering berlainan. Lantas dari pada bertengkar, mereka sepakat membagi tugas. Gamma mengurusi fotografer pernikahan dan kendaraan untuk keluarga pengantin, sedangkan Tyas mengurusi hal di luar itu. Gamma tahu, pembagiannya memang tidak adil, seolah ini hanya pekerjaan Tyas sendiri. Namun sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Maka, agar mereka bekerja dengan porsi lelah yang sama, Gamma lebih banyak mengambil alih pekerjaan di Midas.
“Aku mau jual motor.”
Suatu siang di Midas, di ruangan mereka, Gamma mengutarakan hal itu pada Tyas yang sedang sibuk mengetik pada komputernya.
“Kenapa?” tanya Tyas, dia menoleh ke kiri, ke tempat dimana Mas Gamma-nya duduk.
“Mau ambil mobil. Untuk kamu. Biar kita gak motoran lagi kemana-mana.”
Tyas tersenyum.
Gamma membalas tersenyum pula.
Laki-laki itu tahu bahwa kecelakaan yang mereka alami telah membuat Tyas trauma berkendara dengan motor. Tyas merasa terharu, hatinya hangat mendengar betapa calon suaminya begitu perhatian, terutama ketika Gamma berkata biar kita gak motoran lagi kemana-mana. Bagi Tyas, kalimat itu lebih dari sekadar perhatian; itu terdengar seperti sebuah janji—janji bahwa mereka akan selalu bersama, kemanapun mereka pergi. Sebuah janji bahwa Mas Gamma-nya akan selalu mempertimbangkan keikutsertaannya setiap kali akan pergi. Singkatnya, dia merasa bahwa Gamma bukan hanya berjanji untuk menemani, tetapi juga minta untuk ditemani.
“Thanks, Mas.”
-oOo-
Suatu malam di akhir Juli, tepat saat libur Tahun Baru Islam, Gamma di kamar kostnya yang sudah lowong. Beberapa barang tertata di dalam dus bahkan sebagian besar pakaian-pakaiannya sudah berada pada lemari baru tiga pintu di rumah baru, rumah pengantin. Dia duduk bersila, ditemani lagu-lagu yang menyala pelan dari ponselnya, lagu band lokal yang sering dia dengar semasa SMP. Di hadapannya sebuah kardus besar terbuka, berisi buku-buku juga alat-alat lain seperti kabel yang usang, beberapa tripod dengan besi yang sudah kusam tapi sepertinya sayang dibuang, juga koleksi DVD film-film lama. Dia mengemas buku-buku. Pada beberapa buku tertentu, dia membuka-buka halamannya, seperti ingin mengingat apa isi buku tersebut atau seperti mencoba menangkap kembali jejak-jejak pemikiran yang dulu pernah dia kagumi. Lalu pada satu buku, tatapannya tertahan lama pada halaman itu. Sorot matanya terlalu sendu untuk dikatakan hanya mengingat apa yang dikisahkan dalam buku itu. Itu adalah buku yang sering dipinjam kekasih lamanya. Satu paragraf diberi tanda dengan sorot warna biru muda. Isi paragraf itu mengatakan bahwa manusia tidak bisa memaksakan diri untuk tetap optimis saat dihadapkan pada kemungkinan buruk atau saat tidak memiliki harapan. Lalu pada akhir paragraf terdapat catatan ditulis tangan dengan pensil: ini yang aku rasakan, Gam.
Dia tahu, itu tulisan tangan kekasihnya. Seketika, walaupun tidak mau, air mata mengalir satu per satu melewati pipinya dan jatuh mengenai halaman buku itu, menghantam tepat pada penanda biru muda itu, membuatnya mengembang seperti cat air yang menyerap terlalu banyak air. Ingatannya terlempar pada satu percakapan sore di tahun-tahun lalu bersama kekasih lama di kamar lama. Mereka memperdebatkan segala tentang optimis dan pesimis. Laki-laki itu memejamkan mata, membuat air yang tergenang di pelupuknya terpaksa jatuh lagi. Dalam keheningan, kenangan lama muncul begitu jelas dan deras.
Kamu tahu aku sedang berusaha.
Kamu gak berniat kemana-mana, kan?
Dia mengingat kata-katanya pada kekasihnya, dulu, pada sore yang muram.
Aku gak berniat kemana-mana. Kalau akhirnya aku kemana-mana, itu bukan aku yang mau.
Kalimat itu, setiap kata itu, bahkan raut wajah kekasihnya saat mengatakan itu masih jelas dalam ingatannya, seolah baru saja terjadi sehari sebelumnya.
“Benar. Kamu akhirnya kemana-mana. Kamu pergi bahkan aku yang minta. Bukan keinginanmu, Runa.”
Dadanya padat dan pengap. Dia tahu dia sedang sekuatnya menahan isakan. Sejurus kemudian, bahunya bergetar hebat, dia telah kalah oleh perasaan. Laki-laki itu menangis sambil mendekap buku itu kuat-kuat. Laki-laki itu menangis menyadari segalanya telah berputar di luar kendalinya, dan dia bahkan tidak diberikan pilihan untuk mengelak. Dia harus menerima. Laki-laki itu menangis karena dia menyadari bahwa Aruna sudah tidak boleh dia pikirkan lagi. Sudah habis masanya, sudah tertutup kisahnya. Lagi, laki-laki itu menangis sebab kentalnya rasa bersalah terhadap calon istri karena masih menyimpan satu nama perempuan lain di dalam dirinya bahkan seminggu sebelum pernikahan mereka.
Baginya, malam itu pilu.
Malam itu kelabu.
Dan dia biarkan dirinya biru.
-oOo-
Seperti yang sudah diperkirakan mereka, dan yang sudah dirasakan beberapa teman yang sudah duluan menjalani rumah tangga, bahwa kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang berlainan dari masa-masa lajang. Mereka seolah menghadapi dunia baru. Sebenarnya dunianya tidak baru juga, mereka masih tinggal di bumi, di Jakarta, tidak jauh dari kantor Midas berada. Di rumah sebagai hadiah dari keluarga Tyas dan dengan kendaraan peninggalan almarhum bapak Gamma. Kenyataannya, meskipun Gamma akan membeli mobil (dengan cara mengangsur tentunya) dari uang hasil menjual motor, suatu sore setelah mereka kembali dari perjalanan empat hari bulan madu di Singapura, iparnya –Ikhsan, datang ke rumah mereka sambil mengendarai mobil crossover hitam milik bapak Gamma. Dia katakan bahwa kendaraan untuk rumah di Bogor sudah ada, mobilnya sendiri, juga motor Marwa –yang kini banyak berdiam di garasi saja. Mereka memang menerima kemudahan dalam dua hal vital; kediaman dan kendaraan, tapi tetap saja pernikahan butuh penyelarasan.
Gamma dan Tyas memang tidak menghadapi hal-hal rumit yang merusak perasaan, hanya saja pernikahan adalah segala rentetan kejadian yang membuat mereka takjub baik dengan cara dahi yang bertaut atau justru raut wajah merengut. Tapi tidak jarang pula dengan cara senyum menukik tinggi atau gelegar tawa. Peristiwa-peristiwa yang membuat mereka terperangah, terkejut, atau bergairah meski sudah empat bulan menikah terus saja terjadi.
Mereka bangun pagi, biasanya Gamma mandi dulu, lalu Tyas menyiapkan sarapan sederhana, yang tidak akan membuatnya bau bawang, seperti roti bakar atau telur dadar atau makanan beku yang dihangatkan kemudian dihidangkan dengan kopi hitam untuk Gamma dan cappucino untuk dirinya. Lalu saat Gamma berpakaian, giliran Tyas menggunakan kamar mandi yang sudah tidak rapi lagi; botol sabun tidak pada tempatnya, terkadang keset yang digunakan untuk alas kaki di bawah toilet ikut-ikutan basah karena cipratan air dari pancuran shower, tak jarang, dan yang sering membuat Tyas kesal adalah handuk Gamma yang tergeletak begitu saja di samping wastafel. Sebulan pertama Tyas memang mengomel, bulan-bulan berikutnya Tyas banyak diam, tapi matanya tidak begitu. Sekali lirikan saja, Gamma sadar kesalahannya dan akan tergesa-gesa membenahi segala yang dia buat berantakan di kamar mandi. Begitu juga di dapur, atau ruangan lain yang meninggalkan jejak tangan Gamma.
Midas benar-benar menunjukkan kemajuan pesat. Di pertengahan tahun 2022, jumlah klien mereka meningkat drastis, mencakup berbagai jenis usaha, sehingga jumlah karyawan juga bertambah dua kali lipat. Setiap tim kini setidaknya terdiri dari dua orang. Gamma tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan gaji bulanan yang dia terima dari bekerja di Midas, ditambah bonus-bonus dan komisi lainnya yang dia dapatkan di luar Midas, Gamma berhasil mengakuisisi lima puluh persen saham Midas Creativity. Pak Adimas pernah berkomentar bahwa bukan Midas yang memiliki sentuhan emas, melainkan Gamma. “Midas hanyalah sebuah nama,” begitu katanya. Dengan semangat Gamma dan Tyas setiap pagi akan bersama-sama berangkat ke Midas. Bekerja seperti biasa di ruangan yang sedari dulu hanya milik mereka berdua. Lalu akan makan siang juga berdua, dari pada pesan-antar, mereka lebih senang langsung menjambangi kedai makan. Begitu juga untuk makan malam, jika hari kerja, mereka akan mampir ke kafe sebelum pulang. Pada hari-hari libur Tyas akan memasak. Karena banyak waktu, dia akan berada di dapur lebih lama, mencoba resep-resep makanan yang sudah disimpan pada akun sosial medianya. Sayangnya, proses memasak yang lama itu tidak sebanding dengan waktu yang mereka gunakan untuk menyantapnya, terlebih Gamma, dia makan dengan cepat, hampir tidak mengunyah dengan benar. Dan itu membuat Tyas kesal. Dia merasa Gamma tidak menikmati tiap sendokan yang masuk ke mulutnya.
“Don't rush! Enjoy the food, Mas …,” decak Tyas.
Gamma hanya menatapnya dan menampilkan raut heran.
“Is the food not good enough that you rush through eating it? Kelihatan banget gak mau ngasi waktu lidah buat nyicipin!” Tyas mulai cemberut, “Aku masaknya dari jam sembilan tahu! From scratch!”
“Justru karena enak, aku suka. Makanya makan buru-buru begini,” Gamma membela tindakannya, kemudian kembali menyendok nasi gorengnya, membiarkan istrinya menatapnya dengan mulut maju.
Tyas ingin berkata bahwa pada hari-hari lain, pada makanan lain baik dipesan atau bikinan sendiri, suka atau tidak, tetap saja cara makan suaminya begitu, buru-buru. Tapi Tyas urung. Dia diam. Berkata demikian pun dia tahu suaminya tidak akan berubah juga. Sifat keras kepala suaminya yang ditampilkan dengan cara paling lunak itu sebentar-sebentar membuat Tyas gelagapan. Dia ingin marah tapi tidak bisa. Dia ingin kesal tapi justru kemudian dia bertanya sendiri kenapa dan mengapa dia kesal pada laki-laki paling lembut ini.
Hari libur, Sabtu dan Minggu, adalah hari paling menyenangkan. Biasanya setelah makan siang mereka akan lanjut menonton serial pada satu aplikasi streaming langganan mereka, bersantai sambil saling bersandar pada tubuh pasangan. Tertawa atau bersedih karena satu adegan. Begitu hingga adzan Ashar dan bersiap keluar untuk makan malam setelah menyiram tanaman atau membersihkan rumah bersama. Hari-hari libur lain mereka akan berkunjung ke rumah keluarga, bisa-bisa menginap barang semalam saja. Sabtu dan Minggu lainnya mereka bermain di luar seharian, mengunjungi Ancol, nonton di mall, sekedar berjalan di bundaran HI atau melihat pameran seni di Taman Ismail Marzuki mungkin juga sekedar duduk ditemani cemilan dari pedagang sekitar sambil bercerita di Monas. Terkadang cerita itu berakhir dengan kedongkolan masing-masing, atau justru tawa gemas bersama. Malamnya, meskipun sudah matang direncanakan, mereka lebih sering ketiduran daripada bercinta.
Sungguhpun tidak ada satu sikap Gamma padanya yang membuatnya merasa tidak dicintai, namun satu yang Tyas selalu tandai bahwa tiap-tiap kali suaminya menyentuhnya, sentuhan itu selalu dimulai dari pipi kanannya yang luka. Suaminya mengusap-usap luka itu dengan tatapan pendosa. Rasa bersalah yang masih menyelimuti bola mata Gamma tidak dapat hilang juga. Mata mereka tidak bertaut. Suaminya lebih menyukai menatap pipi itu dari pada matanya. Lalu pada waktu-waktu dimana hatinya murung, dia mulai percaya bahwa keputusan untuk menolak tawaran bedah plastik dari Gamma adalah keputusan yang benar. Bekas luka itu, yang tidak hanya mengiris pipinya bahkan juga perasaannya, ternyata memiliki makna mendalam. Luka itu telah menjelma menjadi simbol perubahan dalam hidupnya. Bekas luka itu lah yang telah mengikat Gamma pada dirinya, yang telah merubah Kak Gamma menjadi Mas Gamma. Sesekali, juga pada waktu-waktu murung itu, dia sedikit keberatan karena tidak juga ada kata cinta keluar dari mulut Gamma, sesudah atau sebelum menikah, sama saja. Juga sebagaimana dia sadar bahwa tatapan yang diberikan suaminya adalah tatapan kasih sayang, bukan cinta. Dia tahu bagaimana suaminya akan menatapnya jika memang sudah cinta, dia pernah melihat tatapan itu diberikan untuk Aruna. Tatapan yang bisa dia artikan seperti dunia laki-laki ini hanya berputar untuk wanita itu saja. Dia sendiri tahu, sejak sebelum menikah, selama proses menuju pernikahan, bahwa dia, Tyas, si calon istri, mencintai calon suaminya lebih dari yang pernah dia rasa untuk mantan kekasihnya. Dia menyayangi, mengasihi, ingin melindungi, ingin selalu membuat Mas Gamma-nya gembira dan lega. Dia berkata pada dirinya sendiri, juga sebagai usaha mendamaikan hati, bahwa dirinya kekasih yang tidak pernah berjanji tapi juga tidak akan pergi. Dia juga tahu bahwa laki-laki yang menjadi suaminya, kendatipun belum cinta, tapi dia seorang yang setia. Dia hanya memohon pada Tuhan, dan sepertinya tidak pernah berhenti berharap bahwa suatu waktu, entah di tahun yang bagaimana, entah pada suasana seperti apa, Mas Gamma-nya akan memberikan tatapan itu padanya –tatapan bahwa dunia Mas Gamma hanya berputar untuk dirinya.
-oOo-
Hari itu adalah hari terakhir di tahun 2022, Sabtu. Malam ini menjadi perayaan Tahun Baru pertama di Jakarta usai pelarangan selama dua tahun pandemi. Gamma yang sedang membersihkan dua kamera DSLR yang tersisa –karena dua kamera digital lamanya sudah dia jual murah saja, bersusah payah membujuk Tyas untuk menikmati tahun baru di luar karena Tyas hanya ingin melanjutkan serial BBC yang dia tumpuk hingga lima episode karena kesibukan di Midas harus membuatnya masih bekerja walaupun sudah sampai rumah.
“Itu serial bisa ditonton besok. Aku temenin, deh …,” bujuk Gamma, meninggalkan kameranya dan kini mengikuti Tyas yang keluar masuk kamar dan ruang tengah, dia mendekap beberapa buku dan tablet.
“Baru ini, loh setelah dua tahun.” Tambah Gamma lagi, meyakinkan Tyas.
Tyas mengembuskan napas, “Ya karena itu aku pengen di rumah aja. Pasti rame. Sesak. Macet.” Saat Tyas menyalakan tabletnya, dia melirik Gamma yang duduk di sampingnya, mencoba menyalakan televisi dengan menjulurkan remote. “Ini juga aku masih kerja,” ungkap Tyas lagi sambil memiringkan tabletnya sedikit agar Gamma melihat.
Laki-laki itu menyandarkan punggungnya pada sofa dengan malas, terlebih sepertinya acara televisi tidak ada yang berhasil menarik perhatiannya. Dia hanya akan mengganti saluran jika acara itu sudah mulai dan kembali menonton iklan pada saluran berikutnya, begitu seterusnya.
Sedikit-sedikit Gamma melirik Tyas. Juga sambil memainkan ujung rambut istrinya itu yang terikat tinggi. Dia yang tidak pernah melewati malam tahun baru bersama pasangan, hanya benar-benar ingin merasakan pengalaman itu dan melakukan hal romantis kekanak-kanakan. Dalam pikirannya, dia akan menggenggam erat tangan pasangannya saat hitung mundur dan akan mencium mesra bibir pasangannya saat kembang api meriah menghiasi langit malam. Sebagaimana gelegar kembang api itu, hanya akan kalah dengan degupan dadanya. Dia akan memeluk kekasihnya sambil berdoa untuk tahun-tahun kemudian. Hanya itu, sejak dulu hanya itu yang ingin dia lakukan.
“Yas” katanya pelan dan hati-hati, “ini tahun baru pertama kita sebagai suami-istri. Aku mau merayakannya.” Suara Gamma dirambati kekecewaan.
Tyas menatap Gamma yang tampak memelas. Buru-buru dan sedikit cemas dia mengatakan, “Ya, ayok!”
Perubahan suara Gamma yang berarti perubahan suasana hati pula. Dia tidak lagi mengkhawatirkan pekerjaannya, dia lebih khawatir jika saja, suaminya itu larut dalam kesedihan dan kesedihan itu akan membimbingnya pada kenangan lama, yang mau tidak mau itu artinya sebuah perbandingan antara apa yang Gamma miliki kini dengan apa yang pernah dimiliki Gamma pada masa lampau.
Gamma berdeham untuk mencairkan suasana, “Aku tuh mau ajak kamu main, jalan-jalan, jajan. Ares sama Trisna juga bakal di sana. Kata Ares dia mau ngabarin sesuatu.”
“Dimana? Kita bakalan kemana?” Tyas menaruh tabletnya di meja di depan mereka, tempat Gamma merentangkan kakinya lurus.
“Di Dukuh Atas. Aku sama Ares kemarin ngobrol, rencananya kita berempat main dulu di Dukuh Atas, baru jam dekat tahun baru kita ke TMII. Gimana?”
Tyas mengalah dengan tenang. Dalam hatinya dia membenarkan bahwa memang serial yang ditumpuknya itu bisa kapan saja dia tonton. Dia meraih ponselnya pada meja untuk memeriksa jam, “masih jam dua juga. Santai aja dulu.”
Gamma memeluk pinggang Tyas kegirangan dan akhirnya mereka menonton televisi bersama, sambil mempelajari dan mengomentari deretan iklan.
Sore sekitar pukul lima, mereka berangkat. Gamma menyetel lagu-lagu dengan tempo cepat yang terdengar memberikan semangat sepanjang perjalanan. Sebentar-sebentar mereka bernyanyi bersama. Ares dan Trisna sudah menunggu di tempat mereka berjanji temu. Semuanya terasa menyenangkan dan mendebarkan bagi Gamma, juga secara tidak disangka, bagi Tyas. Dalam hati, Tyas bersyukur sekali karena telah setuju untuk pergi. Suasana hiruk-pikuk, ramai dan meriah.
Mereka duduk berempat saling berhadapan. Pada meja mereka terdapat banyak kudapan mulai dari yang gurih hingga manis. Ares mengatakan kontrak kerjanya pada perusahaan telekomunikasi akan berakhir pada akhir Januari nanti. Juga dengan jeda yang dibuat-buat agar sedikit dramatis, serta wajah cerah dan mata yang berbinar, dia mengatakan bahwa pertengahan tahun depan dia sudah berada di Canberra. Anak sahabat nenek, dimana rumahnya menjadi tempat Ares menitipkan lukisan dulu, adalah salah satu petinggi satu yayasan seni rupa. Dia kemudian menginformasikan mengenai kesempatan magang di KJRI di Canberra. Tentu Ares menerima dengan senang. Juga Ares katakan dia akan melanjutkan S2 di Australian National University mengambil master sejarah seni dan kuratorial.
“Gua lagi nunggu pengumuman beasiswa. Gak full, sih. Cuma, yaa … oke, lah. Gua juga bisa sambil kerja di sana, kan? Gua ada tabungan. Mami bilang juga siap bantuin,” kata Ares sok santai. Padahal semua yang duduk pada meja itu tahu, dia sedang riang bukan main.
Gamma, pada wajahnya terlukiskan raut kebanggaan, namun kata-kata dan reaksinya bertolak belakang, mungkin begitulah pertemanan paling jujur, “Gaya lu Canberra segala!” Gamma memukul kepala Ares dengan gelegar tawa riang, Ares yang dipukul hanya cengengesan. “Jadi gimana Tris? Anak ini Don Juan!” celetuk Gamma lagi sambil melirik Trisna.
Trisna tak mau kalah, dia juga tersenyum dengan cara paling manis, “Kami rencananya bakal lamaran. Di bulan-bulan antara abis Lebaran dan sebelum Ares berangkat.”
“Woaaa!” Gamma menghambur ke hadapan temannya dan memukul-mukul kuat pundak Ares. Ares juga melakukan hal yang sama. Mereka persis terlihat seperti bocah usia belasan yang sedang kegirangan karena memenangkan sebuah permainan.
Tyas dan Trisna tampak cekikikan berdua.
Untuk sesaat mereka jadi pusat perhatian sekitar.
Setelah itu, setelah situasi cukup tenang, Ares mengatakan lagi bahwa Cak Son, yang keluarganya memang berada di Canberra, akan memberikan tumpangan hingga Ares menemukan tempat tinggal.
Malam itu malam menggembirakan bagi semua. Dan benar, semuanya yang ingin Gamma lakukan, akhirnya dia lakukan. Menggenggam tangan, berciuman dan berpelukan sambil mengucapkan harapan. Dia ucapkan berkali-kali bahwa dia tidak ingin mengecewakan istrinya, dia berharap segala tindakannya akan menyenangkan hati istrinya, juga yang paling dia inginkan adalah, dia ingin menaklukan rumah tangganya. Sedang Tyas, yang merasa nyaman dalam dekapan suaminya, dan merasakan nadi di leher suaminya berdetak, teraliri darah yang dipompa dari jantung, hanya berharap jantung itu berdetak untuk dirinya. Dia membiarkan malam itu dirinya tamak; dia ingin Gamma, penuh dan utuh, hanya untuk dirinya. “I do love you, Mas,” bisiknya hampir menangis. Gamma mengangguk, dan mengeratkan dekapannya namun tidak mengeluarkan satu kata. Bagi Tyas, anggukan dan pelukan yang erat itu hanya berarti aku tahu, tapi aku belum bisa mengatakan hal yang sama. Juga aku pembohong yang buruk.
Tyas mencium leher suaminya. Diantara ingat-bingar kembang api dan suara berisik kanan-kiri, dia berbisik lagi, “I am the unwavering lover who remains.”
“I know, Dear” Gamma membalasnya, kali ini dia tahu dia harus menjawab, untuk menenangkan risau yang melesat di dada istrinya, “I will remain steadfastly by your side,” ucapnya lagi, yang berarti itu bukan kata-kata penenang belaka, namun sebuah komitmen. Satu tali yang mengikat. Sebuah ikrar.
-oOo-
Punggung mereka menyentuh kasur tepat pada pukul tiga setelah perjalanan sesak dan menguji kesabaran karena padatnya lalu-lintas di malam pergantian. Biarpun lelah, Gamma yang hatinya lapang matanya masih nyalang. Dengan memiringkan tubuhnya, dia menatap Tyas yang berbaring dengan baju tidur tipis dan ringan, cukup terbuka namun juga di sisi lain masih memiliki tata krama, tidak murahan justru tampil berkelas, terlebih warnanya hitam. Gamma tersenyum.
“Ada apa?” tanya Tyas dengan mata menggoda.
“Gak. Gak ada apa-apa.”
Kemudian Gamma mengulurkan tangannya, mengusap mesra luka pada wajah istrinya, mencium pipi itu dengan lembut, memejamkan matanya dan berlanjut mencium bibir istrinya, lehernya, dadanya dan seterusnya. Dan seterusnya. Sejurus kemudian baju tidur itu terhampar pada lantai dan mereka saling menangkupkan tubuh hingga fajar.
Tyas bangun lebih awal dari suaminya, pukul delapan. Hatinya puas sebab awal tahun dimulai dengan gairah. Dia mandi lalu membuat kopi untuk dirinya sendiri sebab tahu suaminya akan bangun mendekati jam makan siang. Sambil mengunyah bakpia –hadiah tahun baru dari Trisna, dia membuka laptop, memeriksa pekerjaan. Jam sepuluh, dia kembali ke kamar, mengintip suaminya yang masih tidur telentang dengan celana boxer hitam yang tersingkap pula. Dia masuk, mematikan pendingin ruangan, membuka jendela, udara yang tidak terlalu segar masuk memenuhi kamar. Menarik selimut yang disepak-sepak suaminya hingga jatuh ke bawah. Lalu duduk di tepi kasur dekat suaminya tertidur. Dengan lembut dia mencium dahi suaminya sambil mengusap dada yang liat itu. Suaminya bergeming, masih pulas dan terdengar dengkuran rendah. Tahu bahwa apa yang benar-benar dibutuhkan suaminya adalah tidur, dia memutuskan tidak membangunkannya. Tyas keluar, menutup pintu dengan pelan dan duduk di ruang tengah, menyalakan serial BBC yang sudah dia tumpuk episodenya.
Dua episode berdurasi masing-masing tiga puluh menit itu sudah membuat Tyas jenuh. Serial yang tadinya dinantikan kini terasa membosankan, dan dia memutuskan untuk menundanya—mungkin menyimpannya agar Gamma memenuhi janji untuk menemaninya menonton. Dia melirik jam dinding, sudah pukul sebelas siang lebih sedikit. Dia memutuskan menelepon adik iparnya, Marwa, yang tengah hamil muda, sekedar mengucapkan selamat tahun baru dan menanyakan kabar seluruh keluarga suaminya.
“Aku muntah-muntah. Ampun, deh. Sampai nolak makanan,” keluh Marwa dalam panggilan video itu
Tyas –yang memang minim jika berbicara, juga sebenarnya masih sedikit canggung– terlihat bingung harus merespons seperti apa. Dia sulit menemukan kata-kata yang tepat.
“Ooh …, harus makan, dong. Biar tumbuh sehat bayinya.” Hanya itu yang dia ucapkan, itu juga dengan raut yang datar. Sungguh, dia menyayangi keluarga suaminya, hanya saja dia belum bisa mengekspresikannya.
“Iya, kan? Aku cuma bisa makan pir, Kak.”
“Kalau gitu, kapan aku ke sana, aku bawain banyak.”
Tidak lama, ibu mertuanya ikut bergabung, dan justru membuat canggung itu semakin tebal. Untungnya, tanpa Tyas sadar, Gamma sudah muncul dan duduk di sampingnya. Kehadiran Gamma membuat perbincangan pada panggilan video itu mengalir hangat. Telepon berakhir karena Marwa mulai muntah-muntah lagi.
“Kenapa nonton sendirian? Aku udah janji bakal nemenin, kan?” kata Gamma kemudian saat melihat serial yang di jeda pada closing credits.
“Gak apa-apa. Lagian aku gak tega bangunin. Pules banget tidurnya.”
Gamma tersenyum saja sambil mengusap kepala Tyas, “Aku mau mandi, abis itu kita cari makan?” tanya Gamma sambil berdiri.
“Aku kayaknya pengen masak aja. Ada resep yang mau aku coba. Tapi keju habis,” jawab Tyas, menatap Gamma dengan penuh harapan. Gamma segera menangkap isyarat dalam pernyataan itu—seolah-olah ada tugas tersembunyi bahwa dia harus pergi mencari keju yang dibutuhkan.
“Ya. Nanti aku ke depan, beli keju. Sekalian rokokku abis juga.”
Tyas siap dengan celemeknya, sedangkan Gamma sudah pergi membeli pesanannya. Mengerjakan apa yang bisa dia lakukan dulu, Tyas memecahkan beberapa butir telur ke dalam mangkuk kaca. Ponselnya yang persis terletak di samping mangkuk itu berdering singkat, sebuah pesan dengan gambar es kopi.
‘Kamu mau?’ tanya Gamma pada pesan itu.
‘Mau. Tapi yang gula aren, ya!’ balas Tyas segera.
Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala, “Bakal lama sampe rumah, nih!” gumamnya.
Telur dalam mangkuk kaca yang sudah diberi bumbu dan irisan tahu itu dia tuangkan ke teflon panas. Dua kali dia melakukan hal yang sama untuk telur yang ada di dua piring. Saat dia menyusun piring-piring itu di meja makan, bel rumahnya berbunyi. Tyas melepas celemeknya, sambil mencoba menebak siapa yang mungkin datang di libur awal tahun ini. Apakah papa dan mamanya? Atau kakaknya dari Pekanbaru datang memberikan kejutan?
Dia membuka pintu tidak lama setelah bel itu berbunyi untuk kedua kali. Lalu terperangah melihat tamu yang berdiri di hadapannya. Di siang yang panas itu, Tyas menggigil.
Gamma di telepon oleh Tyas saat dia baru saja keluar dari gerai kopi. Dengan suara terbata-bata istrinya mengatakan ada seorang laki-laki yang datang mencarinya. Dia menyebutkan nama laki-laki itu saat Gamma bertanya siapa. Laki-laki yang mereka berdua ketahui tapi tidak begitu mengenali. Dan sebagaimana Tyas menggigil saat siang hari, Gamma juga merinding pada suhu yang nyaris 36 derajat celcius. Dia segera masuk mobil, menekan pedal gas dan mobil hitam itu melesat cepat di jalan, menerobos keramaian, dan jika dia bisa melupakan kecelakaannya dulu, dia akan menerobos lampu merah hanya untuk segera sampai rumah. Sepanjang perjalanan dia terus-terusan mengkhawatirkan istrinya juga pertanyaan menggelayut di kepalanya mengenai berita apa yang akan disampaikan si tamu pria
Gamma sampai di rumah dengan mendapati satu mobil putih yang familiar terparkir di halaman kecil rumahnya. Dia masuk dan melupakan es kopi yang sedari tadi duduk di sampingnya, di kursi penumpang, dan juga dua es kopi itu menjadi saksi bagaimana raut wajah Gamma dan juga kecepatan mengemudinya berpadu membuat dua minuman itu terguncang-guncang, jatuh dan saling berbenturan. Saat mulai menginjak teras, Gamma hanya mendengar sayup-sayup suara tamunya berbasa-basi dengan sopan, menanyakan kabar istrinya dan juga dia. Suara itu, suara dari orang masa lampau yang ingin dia lupakan, kini kembali terdengar. Gamma masuk, dan melihat wajah tamunya. Dadanya menggeliat aneh; terusik dan terganggu. Tamunya berdiri melihat dia datang. Saat Gamma sudah sampai pada sofa tepat di samping istrinya, tamu itu mengulurkan tangan, ingin berjabatan. Gamma menyambutnya meskipun enggan, meskipun tegang.
“Apa kabar, Gam?” tanya tamu itu.
“Baik,” jawab Gamma dengan suara berat, dia menatap meja, di atasnya sudah disiapkan secangkir kopi dan setoples kue kering. Tangan mereka lepas dan Gamma mengisyaratkan agar tamunya untuk duduk kembali. Gamma berusaha tetap tenang saat berbisik pada istrinya dengan nyaris tanpa gerak bibir, “Aman?” tanyanya.
Tyas mengangguk pasti.
Gamma menatap kembali tamunya dan sebelum bertanya, dia sempat membersihkan kekhawatiran yang menyangkut di tenggorokan, “Ada apa, Ndre?”
Tamu itu tersenyum dengan raut yang mengalah, seolah telah menunggu-nunggu waktu-waktu seperti ini, telah menantikan pertanyaan itu keluar dari mulut Gamma.
Tamunya, dengan gerakan yang tidak menunjukkan keraguan, mengeluarkan satu amplop cokelat besar dari tas selempangnya yang ditaruh di belakangnya. Map itu cukup tebal dan tamu itu menatap amplop yang dipegangnya cukup lama sebelum meletakkannya di atas meja. Bersisian dengan toples kue kering.
Andre, tamu mereka pada siang pertama 2023. Dengan wajah dan tatapan bak seorang penyair epos, berkata, “Begini, Gam …,” sambil menatap hanya kepada Gamma. Andre berusaha dan sepertinya sengaja mengabaikan Tyas, sengaja menciptakan suasana yang khusus dan khusu’ hanya untuk mereka berdua: Andre dan Gamma. Tyas menjelma sebagai benda. Dan sebagaimana benda lain pada ruangan itu, warnanya memudar, lama-kelamaan menghilang.
Saat itu, saat kata “begini, Gam” itu terdengar olehnya dan memberatkan atmosfer ruangan, saat Tyas perlahan memudar dan dia tidak berusaha menahannya, Gamma tahu bahwa dia akan mendengar kisah heroik yang juga menjadi hukuman nasib. Juga tahu, dia akan berhadapan lagi dengan takdir yang rumit. Gamma diam, dalam hatinya dia sedang menyiapkan diri untuk tidak terkejut, terperanjat, tersentak atau bahkan kagum juga terkesima. Lalu Andre mulai menceritakan mengenai hal-hal yang tersembunyi pada tahun-tahun yang hilang atau, setidaknya, tahun-tahun kehilangan. Dan entah untuk keberapa kali dalam usianya yang bahkan belum genap tiga puluh, Gamma harus merasakan sakit dan mati berkali-kali.
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)