Aku masih di tempat tidur, duduk bersandar pada dinding yang hangatnya terasa seperti bantal terapi milik ibu. Laptop pada pangkuan hanya memutar lagu pop-rock dengan acak dan pelan, jari-jari mengetuk mousepad, mata memandangi aplikasi desain dengan kanvas kosong pada monitor. Entah sudah berapa lama aku seperti ini, memikirkan ide logo untuk satu merk keju produksi rumahan, tapi pikiranku sibuk pada lain hal. Tidak berapa lama, pintu kamar terbuka, “Duh! Gerah banget di luar!” seru Ares masuk sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke wajah, bau tengik matahari seketika menguar. Kepalanya langsung mendongak melihat AC yang masih menyala,“Eh! Panas sih, panas, Nyet! Matiin, noh! Gua lagi bokek!” seru Ares setengah kesal.
“Token udah gua isi tadi,” aku menyambar cepat.
“Oh, hehehe …, ” Ares langsung cengengesan sambil mengacungkan jempol. Dia mengeluarkan tablet dari tas selempang yang dibawanya bekerja dan melempar sebungkus roti padaku, “Bagi dua!” katanya. Dia sudah berganti pakaian hanya dengan celana boxer dan kaos oblong longgar saat mengunyah roti kasur yang utuh, sebab aku mengatakan tidak lapar. Sudah sekitar seminggu Ares berhenti bekerja untuk Bang Panca. Dengan upah yang lumayan besar, dia gunakan membayar kontrakan ini untuk satu tahun kedepan, menghabiskan nyaris seluruh uangnya. Lalu setelah itu dia mengutuk kebodohan diri sendiri karena menyesal dengan mengatakan kenapa dia tidak membayar enam bulan saja. Kini dia harus serba hemat. Untuk keperluan sehari-hari dia hanya mengandalkan sisa tabungan dan komisi-komisi dari pekerjaan yang dia lakukan. Itu juga tidak banyak.
“Aruna nge-WA, nanyain lu.” Ares tegak pinggang melihatku, seolah menunggu reaksi yang dia inginkan.
Aku tersenyum enggan, memikirkan ternyata Aruna bisa seperti itu saat kehilangan. Aku perkirakan dia tidak akan bertanya pada Ares, atau Trisna (mungkin) karena tidak ingin ditanyai kembali oleh orang. Dia, bahkan aku juga, tidak suka jika orang lain tahu detail bahkan sampai campur tangan dalam urusan pribadi. Tapi kali ini, dia menerobos batas itu untuk mengetahui kabarku.
“Gua bales apaan?” tanya Ares lagi.
Aku diam. Ares juga tidak menuntut jawaban. Dia lantas mengambil kemoceng dan membersihkan debu yang menempel pada bingkai potret kakeknya yang dilukis nenek. Dua lukisan neneknya terpajang di kamar, dengan konsisten dia bersihkan dua kali sehari meskipun (kalau dilihat-lihat) tidak ada debu yang menempel, tidak berani sepertinya.
Sudah empat hari aku menginap di rumah Ares. Hari kedua Trisna datang bersama Tyas, dengan niat membantu menata kontrakan, tidak mengetahui aku menginap. Lalu Ares menceritakan kepada mereka alasan kenapa aku berada di sini. Keduanya terkejut setengah mati. Bahkan Trisna sampai ingin menelepon Aruna untuk mendengar cerita selengkapnya. Aku jelas melarang. Tyas dengan wajah kaku menanyakan sekali lagi, apakah laki-laki yang datang saat Aruna sakit itu yang bernama Andre –calon suami Aruna. Aku mengangguk. Dia yang nyaris selalu berwajah serius itu melontarkan candaan yang justru terlihat seperti sebuah rencana jahat yang gagal, “I should knock him down a peg by sending him rolling down the stairs!”
Kata-kata Tyas membuat kami semua tertawa.
Menjelang malam, kami berempat berada di ruang tamu. Ares menginginkan ruangan mungil ini diubah menjadi studio kerja. Trisna sedang mengeluarkan barang-barang saat aku dan Ares mengecat ulang dinding dari warna biru menjadi abu-abu. Tyas disampingku, sedang membuka satu dus yang berisi poster-poster, sesekali dia menoleh ke arahku. Dari ekor mata, aku tahu dia menatapku iba.
Sejak pagi pertama setelah pertengkaranku dengan Aruna, aku selalu bangun dengan keadaan sakit kepala. Seluruh isi hatiku terasa menyangkut di dada sedangkan kata-kata yang ingin aku ucapkan hanya berputar-putar di benak saja. Aku yang tidak pernah mengira hal buruk terjadi di antara kami, tentu saja merasa ini tidak adil. Jauh lebih mudah menyelesaikan permintaan klien yang menginginkan desain dengan pengerjaan lama dan rumit daripada membuat keputusan untuk masalah aku dan Aruna. Aku katakan membutuhkan waktu sendirian untuk memikirkan dan membuat keputusan. Tapi kenyataannya, aku malah menolak, menghindar dan menjauhi rasa sakit yang muncul akibat permasalahan ini. Aku terkejut sendiri mengetahui bahwa aku rentan untuk hal-hal yang bersangkut paut dengan perasaan.
Empat hari ini pesan dan telepon Aruna tidak aku hiraukan. Dia tidak lelah dan tidak juga menyerah. Setidaknya dia akan mengirimkan lima pesan dan menelepon dua kali dalam sehari. Dalam pesan yang dikirimkan dia menanyakan apakah aku sudah bangun, akan kemana saja, makan apa, lalu tiap malam ditutup dengan pertanyaan apakah aku sudah tidur. Di antara pesan itu selalu ada satu yang memintaku kembali ke kost. Lalu pada bagian bawah terselip kata maaf atau -yang paling membuatku semakin terluka- kata rindu. Saat siang, aku mencoba sibuk dan terlihat sibuk dengan pekerjaan, kalau sedang senggang aku akan keluar ikut Ares atau ke studio foto Kak Roni, kakaknya Fahmi. Lalu malam, saat kembali merebahkan badan pikiranku melayang kepada hal-hal yang bertentangan: melepaskan atau mempertahankan.
Suatu pagi yang mendung, aku sudah pergi ke satu perusahaan nirlaba untuk menemui seseorang CMO, dua hari sebelumnya kami sudah membuat janji temu. Dia memintaku untuk menjadi desainer UI/UX untuk website perusahaan.
“Cuma sepuluh hari aja, Mas. Nanti kalau udah jadi, dikelola sama anggota saya. Mas buat tonggak dasarnya aja.” Ucap wanita yang aku taksir berada pada usia yang sama dengan ibuku. Lalu setelahnya kami dengan serius memperbincangkan berapa komisi yang akan aku terima. Aku yang tahu ini merupakan perusahaan nirlaba tentu tidak berharap banyak, dan benar saja, angka yang mereka tawarkan sedikit di bawah untuk standar pekerjaan ini. Aku tidak rewel dan tidak terlalu memusingkan, pada dasarnya aku memang sedang butuh uang. Kami bersalaman tanda persetujuan lalu aku pulang, ke kontrakan Ares maksudnya.
Melewati rumah sakit tempat Aruna bekerja, perasaanku menjadi tidak tenang. Apa dia dinas pagi? Apa dia baik-baik saja? Apa ada yang mengganggunya? Apa aku coba mampir saja? Selama memikirkan itu rumah sakit sudah tertinggal jauh di belakang. Aku langsung memulai riset untuk merancang website perusahaan nirlaba. Malam menjelang, saat aku baru saja selesai mengirimkan video dan foto-foto pembukaan klinik Bu Sarah kepada Pak Purwa, Ares masuk bersama Trisna, lantas aku memutuskan keluar mencari udara segar, duduk pada bar yang biasa aku kunjungi namun akhir-akhir ini sudah tidak lagi. Kursi di samping diduduki oleh pria yang sepertinya baru saja pulang dari kantor, kemeja polos hitamnya masih rapi masuk pada celana kain. Dia sedang mengetuk-ngetuk layar ponsel saat melirik padaku.
“It’s been ages, bro! Kemana aja?” tanya Rega, bartender yang sudah aku kenal sejak pertama kali datang ke sini bersama Ares, saat kuliah semester satu. Dia datang dari balik back bar sambil membawa dua gelas.
“Yah, sibuk gak jelas aja.”
“Vodka?”
Aku menggeleng, “Cocktail, basil ginger mint.”
“Ok. Eh, gua udah denger masalah studio, dari Ares. Sayang banget,” ujarnya lagi sambil, sepertinya, membuat gin. Aku mengangguk saja.
“If it's not destined, it won't be attained.” Rega menepuk pundakku pelan. Lalu dia mengulurkan minuman yang sudah dibuatnya kepada pria kantoran di sebelahku. Kemudian dia sudah sibuk membuatkan vodka pesananku. Aku tahu pasti yang dimaksud Rega memang tentang studio tapi rasanya akhir-akhir ini tiap perkataan atau tindakan orang sedang menguji akal sehatku yang menuntun pikiran kepada Aruna. Rega tersenyum saat memberikan pesananku.
“Ya, mau gimana juga berusahanya, kalau gak takdir ya gak jadi juga,” kataku. Aku menatap lama telunjukku yang menyusuri bibir gelas dengan hiasan daun mint.
Pria kantoran disebelahku mengumpat-ngumpat kasar. Aku menahan diri untuk tidak menoleh. Rega yang sedang mengelap gelas justru berceletuk, “Pak, coba tanya sama dia,” ucap Rega seraya menunjukku dengan dagu, “Sependek yang gua tahu, dia fotografer.”
“Desainer.” Aku menyanggah cepat lalu menoleh ke pria kantoran.
“Yang kerja pakai kamera, komputer juga,” ledek Rega kemudian.
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada pria ini.
Dia menatapku lama, “Apa aja yang udah kamu kerjakan?” tanyanya dengan keangkuhan yang tampak jelas.
Aku mengangkat bahu dengan santai, mengeluarkan ponsel dari saku dan memberinya ponsel itu dengan layar menampilkan portofolio, “Itu. Itu semua yang saya kerjakan dan hari ini, tadi pagi, saya mendapatt kepercayaan untuk merancang UI/UX sebuah perusahaan nirlaba. Belum sempat saya tambahkan di portfolio.”
Dia membaca dengan teliti, jempolnya sesekali menggeser layar ponsel. Wajahnya yang penuh keangkuhan itu surut perlahan menjadi lebih luwes, “Kirimkan portofolio itu ke saya,” ujarnya. Keangkuhannya kini bisa aku balas dengan sederet pekerjaan yang pernah aku lakukan. Sambil mengembalikan handphone, dia memberikan kartu nama yang aku baca sekilas, membuatku tahu pria ini seseorang dari sebuah organisasi cukup terkenal, yang didirikan dengan tujuan untuk memberikan informasi tentang lingkungan hidup dan konservasi secara global. Aku pernah beberapa kali mengunjungi website mereka untuk riset sebuah tugas membuat poster propaganda lingkungan.
“Mari bicara diluar, Mas Gamma.” Ajaknya lagi. Aku mengangguk dan membawa minumanku keluar. Saat menoleh, Rega tersenyum usil, jari tengah dan jempolnya bergesekan, “Money rolling in …” ujarnya berbisik.
Aku menaikkan kedua alis dan mengembangkan senyum puas.
Nama yang tertera pada kartu nama ini sama dengan nama presiden Indonesia yang ke tiga. Hanya terdapat satu perbedaan saja: huruf J menjadi huruf Y. Bacharuddin Yusuf Habibie. Dia lebih suka dipanggil Bahar.
Pak Bahar, dengan basa-basi sewajarnya, mengatakan ibunya langsung memberikan dia nama itu karena terlalu senang mendengar berita Pak Habibie diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada 1978, satu hari kemudian Pak Bahar lahir.
“Kalau saya sendiri sih, sangat menyanjung beliau karena bisa menekan inflasi. Bayangin! Dia menjinakkan perekonomian hanya dengan masa kedudukannya yang gak sampai dua tahun!” Pak Bahar memukul meja dengan antusias sambil bergeleng takjub
Aku mengangguk saja tanpa menunjukkan reaksi berlebihan. Memang benar Pak Habibie memiliki pencapaian yang luar biasa dalam memperbaiki rupiah yang anjlok, malah hingga saat ini, belum ada presiden setelahnya yang mampu menyamai kinerja tersebut. Namun, seingatku dulu, saat membantu seorang mahasiswa ilmu politik untuk membuat ilustrasi editorial dalam blog-nya, Pak Habibie pernah menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk berpuasa Senin-Kamis agar menghemat beras dan mengurangi impor beras. Ini disebut Pak Habibie sebagai proses pembudayaan. Reaksi beragam muncul.
Aku yang tidak ingin mengusik rasa puas diri Pak Bahar terhadap figur yang dia teladani juga tidak ingin peluang karirku hancur gara-gara debat politik, memilih menjawab dengan pembahasan ringan, “Tapi kebanyakan orang seumuran saya justru cuma fokus pada kisah cintanya saja, Pak. Terlebih sejak film Habibie dan Ainun.”
Pak Bahar menatapku sambil menyunggingkan senyum tipis, “Yah, gimana juga sebenarnya cinta yang menggerakkan manusia. Mungkin karena emang selain pintar, tentu ada yang memotivasinya, tentu ada yang mendukungnya. Ada alasan kenapa dia harus begitu. Di balik itu semua alasan terkuat ya, Ibu Ainun. Pak Habibie sendiri mengakui, kan?” Sorot mata Pak Bahar meyakinkan. Aku berani bertaruh, dia pasti menonton film Habibie dan Ainun lebih dari satu kali. Aku diam saja dan merasa memang benar adanya. Karena Aruna, aku merasa ingin melakukan segalanya agar dia bangga dan bahagia. Lalu cerita cinta yang bersinggungan dengan politik ini, berhasil menarik ingatanku pada momen ketika Aruna menceritakan ibunya meninggal karena salah satu kerusuhan yang terjadi di tahun-tahun terakhir kedudukan presiden Soeharto sebelum digantikan oleh presiden BJ Habibie. Bayangan raut kesedihan Aruna perlahan menguat, seperti asap tipis yang lama-kelamaan menjadi kabut tebal menghalangi penglihatan, mengurangi jarak pandang. Wajah Aruna kini dihadapanku menghalangi Pak Bahar.
“Mas? Mas Gamma?”
Suara Pak Bahar membuyarkan kabut itu seketika. Bayangan wajah Aruna tertiup angin malam.
Pak Bahar masuk ke topik utama, dia sedang mencari fotografer (dan videografer) yang akan berangkat ke Taman Nasional Siberut dua minggu lagi untuk membuat film pendek konservasi hutan. Orang yang seharusnya berangkat nyaris hampir bersamaan mengabarkan tidak bisa ikut serta dalam proyek kali ini.
“Seorang sedang terbaring di rumah sakit sejak dua hari lalu karena cedera tulang belakang, biasalah olahraga ekstrim, parkour. Terus yang satu lagi tertangkap kasus narkoba tadi pagi. Pusing saya. Waktu makin mepet! Orang-orang yang saya kenal pada nolak dengan alasan ada kerjaan lain lah, kontrak lain lah!” Pak Bahar bahkan mengumpat kasar sebelum meminum gin dengan cepat, lalu lanjut menjelaskan mengenai teknis-teknis pekerjaan di lapangan, “Ini adalah pekerjaan tim, Mas. Selain tim inti, akan ada satu orang tenaga medis.”
“Tenaga medis?” tanyaku heran.
“Ya. Kalian akan tidur di hutan atau bisa saja, malah lebih baik kalau mendapat izin menginap di rumah salah satu masyarakat adat. Usahakan lah begitu. Kemana-mana pasti jauh. Kalau ada apa-apa, kan tenang ada medis yang bantu. Kondisi hutan dan juga cuaca sangat besar pengaruhnya. Belum lagi perjalanan ke sana butuh waktu yang cukup lama dan rute yang gak gampang juga. Jadi sebelum pergi, pastikan fit.” Ujar Pak Bahar cepat nyaris tanpa jeda. Dia bahkan mengatakan kata fit dengan anggukan. Benar-benar menekankan bahwa kami tidak boleh sakit sebelum berangkat dan tetap menjaga kesehatan selama bekerja.
Mendengar pemaparan ringkas Pak Bahar, aku sudah bisa mengetahui alasan orang-orang menolak pekerjaan ini, medan yang rumit untuk pekerjaan yang juga termasuk sulit. Resiko yang besar tentu mendapat bayaran setimpal. Tidak mengejutkan angka yang ditunjukkan Pak Bahar menyentuh dua digit dengan enam nol berbaris setelahnya.
“Berapa lama kami akan di sana, Pak?” tanyaku.
Pak Bahar menerawangi langit malam yang berawan, “Hmmm, berdasarkan pengalaman saya paling cepat dua minggu, paling lama, ya gak tentu. Sampai produser manggil buat balik. Pernah nyaris sebulan waktu di Maluku.”
Aku diam namun pikiranku berkeliaran kemana-mana. Untuk tawaran pekerjaan ini sebenarnya memang pengalaman baru yang justru membuat adrenalin terpacu. Namun di Jakarta masih ada urusan dengan Aruna yang belum bisa aku temukan jalan keluarnya, mau tidak mau aku harus segera menyelesaikan ini sebelum pergi lama. “Putuskan sekarang aja, mau atau enggak nya. Saya bukan mendesak, hanya saja tidak punya waktu banyak, Mas.” Ucap Pak Bahar dengan wajah yang menunjukkan harapan. Aku menatap gelas cocktail yang sudah berembun, mengambil gelas itu dan menyesap isinya. Aroma jahe dari minuman ini kembali mengingatkanku pada seduhan jahe yang pernah Aruna buatkan beberapa kali.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Aruna … Aruna …
Malam itu, sekitar pukul satu, aku dan Ares sibuk pada pekerjaan masing-masing. Ruang tamu kecil ini berhasil disulap menjadi studio kerja, sedikit berantakan namun itulah daya pikatnya. Dinding nyaris tidak menyisakan area kosong karena ditempeli banyak poster, mulai dari animasi Casper hingga tokoh seperti Albert Einstein, kutipan-kutipan dari fotografer mendunia seperti Ansel Adams hingga desainer grafis terkenal seperti Milton Glaser. Karpet polos dengan warna yang sama dengan dinding melapisi lantai marmer putih ini. Aku duduk di atas karpet, mulai mengerjakan website, mengidentifikasi target pengguna dan memahami preferensi mereka. Ares duduk di meja kerja, sepertinya membuat mockup salah satu brand makeup. Aku menceritakan pertemuanku dengan Pak Bahar, kami bahkan tidak saling bersitatap. Aku bercerita terputus-putus sebab sambil membaca hasil riset, sedangkan Ares mendengar dengan sabar juga karena tengah sibuk memikirkan ide.
“Yah, kalau gua sih, gas aja. Emang butuh duit! Dari masuk hutan sampai nyelam lautan, gak masalah asal setimpal aja bayarannya,” dia memutar kursi kerjanya menatapku dengan perhatian sepenuhnya, “masalahnya, lu gimana? Urusan sama Aruna gimana?”
Aku menghela napas, “Yah, ntar Sabtu gua balik deh, mau ngomong sama Aruna.”
“Ngomong kalau lu mau pergi lama?” tanya Ares dengan satu alis menukik.
“Obrolin masalah kami,” jawabku singkat dan berharap Ares tidak bertanya apa-apa lagi mengenai aku dan Aruna.
Ares manggut-manggut, dia tampak ingin bertanya lebih, tapi sepertinya dia telan saja sebab tahu aku tidak ingin membicarakannya, lalu memutar kursinya kembali menghadap layar.
Menjelang pukul tiga, Ares sudah masuk kamar. Aku masih duduk di ambang pintu depan dengan secangkir kopi dan rokok terselip di bibir. Pikiranku bercabang-cabang. Sore tadi Marwa mengirimkan pesan, mengabarkan akan sidang skripsi pada minggu pertama bulan Maret. Membaca itu tentu aku senang, namun sekaligus merasa didesak-desak waktu. Biaya wisuda adikku sudah di depan mata, lantas ibuku semakin tua. Aku kepalang begini-begini saja. Karena mengingat itu juga aku menerima penawaran Pak Bahar tanpa perlu pikir panjang. Kemudian aku rasa aku juga harus segera membuat keputusan sebelum pergi lama. Aku menguatkan diri, mencoba dengan serius memikirkan segala kemungkinan yang terbaik bagi Aruna, menimbang-nimbang bagaimana aku kedepannya. Dadaku disesaki harapan-harapan yang pupus. Semakin dipikirkan, semakin aku menyadari bahwa sebenarnya pertikaian ini terjadi antara aku dan Bu Sarah, bukan Aruna apalagi Andre. Mereka hanya pion yang digerakkan oleh Bu Sarah untuk mengantarkan pada kemenangan. Satu pionnya kini tampak tidak menguntungkan, dia mulai gusar dan langsung menyerang mental lawan.
Dua tahun bagiku memang bukan waktu yang singkat bersama Aruna. Tapi jika dibandingkan dengan waktu yang telah Bu Sarah berikan hingga Aruna bisa seperti yang sekarang tentu dua tahunku itu tidak berarti apa-apa. Aku juga tidak ingin bertingkah seolah waktu-waktu yang telah kulalui bersama Aruna itu suatu bentuk pengorbanan. Aku mencintainya, aku senang karena mencintainya dan segala yang aku lakukan untuknya memang atas dasar ingin dan suka. Bagaimana bisa itu disebut sebuah pengorbanan jika aku saja merasa bahagia melakukan apa pun untuknya? Pikiranku selalu saja menggantung tanpa berakhir jelas. Mungkin juga satu sisi diriku belum bisa ikhlas, entah sebab merasa dibohongi terlalu lama atau karena tidak ingin sepenuhnya melepas Aruna. Kembali, lagi-lagi, serba bertabrakan antara ego dan perasaan. Antara apa yang ada di kepala dan hati. Ada harga diri yang terlalu tinggi untuk tetap dijaga dan ada perasaan yang terlalu lemah untuk dibujuk pula.
Cukup lama aku merenung. Banyak yang aku ukur, termasuk diri sendiri, untuk membuat satu keputusan terbaik. Aruna, katakanlah aku memang cinta, sebenar-benarnya menaruh perasaan dan harapan padanya. Selalu ada dia dalam bayangan masa depan yang sedang aku tata. Sayangnya, jika dibandingkan dengan apa yang akan dia terima jika menjalani hidup sesuai rencana Bu Sarah, maka bayangan masa depan yang aku impikan itu hanya akan terdengar seperti dongeng bagi Bu Sarah, cita-cita yang kemungkinannya gagal dan berhasilnya sama besar. Saat ini aku bahkan belum bisa menjanjikan apa-apa untuk membahagiakan Aruna. Dengan malu aku menyadari dan mengakui hanya cinta yang aku miliki untuk saat ini. Aku benar-benar akan terdengar seperti laki-laki murahan jika berani membawa Aruna pergi hanya bermodalkan perasaan. Aku bukan hanya mempertaruhkan diri sendiri tapi juga menarik Aruna dan membuatnya mempertaruhkan masa depan juga. Potensinya yang luar biasa itu bisa saja terendam dan menjadi sia-sia karena menyerahkan diri padaku. Lagi pula siapa yang tahu cinta akan bertahan berapa lama di kala lapar? Di kala kehujanan dan kepanasan? Di kala sakit? Aku benar-benar bangsat jika memintanya meninggalkan kehidupan yang sudah dipastikan dia tidak akan merasa kelaparan, tidak akan kehujanan atau kedinginan, tidak akan kepanasan dan jika sakit pun akan selalu tersedia obat dan prosedur-prosedur penyembuhan.
“Gua tahu apa yang ada di kepala lu …,” suara Ares dari arah belakang memutus lamunan. Aku menoleh, dia sedang berdiri sambil menggenggam cangkir kopi.
“Lah? Gua kira tidur,” kataku.
“Pengennya. Tapi gak bisa,” Ares melewatiku dan duduk di teras, menyesap kopinya, lalu mendongak menatap langit. “Lu terlalu rapi, terlalu mengorganisir semuanya. Pikiran lu merambat ke hal-hal yang belum kejadian tapi udah lu khawatirin duluan. Pesimis,” kata Ares.
“Gua bukan pesi-”
“Itu dulu. Gua mikir lu orang yang begitu. Bukan gua gak suka, cuma, yah, sejak pertama kenal sampe sebelum studio kebakar, gua mikir lu harus sedikit lebih santai, kayak let tomorrow take care of itself. Makanya gua ajak lu ke bar, nongkrong main biliar, biar lu lebih nyantai.” Ares memantik api untuk rokoknya, “Sampai gua disadarkan dari kejadian kebakaran. Pergi dari rumah tanpa bawa apa-apa. Beresin kebutuhan sendiri. Dan ya, gua paham bahwa kita harus merencanakan bahkan buat besok hari. Gua merasa sekarang semakin miskin semakin worry. Gak ada, tuh, istilah biar lah hidup pas-pasan asal happy. Kampret! Biar deh gua stress tapi minum cheval blanc sambil mancing ikan di sungai Garonne,” dia mendelik kepadaku, “Gua akhirnya tahu, lu bukan pesimis tapi realistis.”
Aku diam saja mendengar celotehan Ares, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah boleh memancing di sungai Garonne. Lalu kembali menghisap rokok saat Ares melanjutkan cerita, “Lu tahu? Gua pernah marah sama nenek gara-gara tamagochi gua dirampas terus dibuang. Gua asyik sama peliharaan digital sampai lupa makan, males mandi, gak main keluar. Gua nangis dan meronta-ronta ke Tante Suryani minta cariin lagi tamagochi yang dibuang nenek.”
“Hmmm,” aku merespons tanda mendengarkan.
“Pas liburan sekolah selesai, sampai di Jakarta, gua minta beliin lagi sama mami, dan kejadian lagi, gua asyik sendiri, lupa ngerjain PR, lupa makan. Dikasih tahu Mbok Rah ngelawan. Akhirnya gua sakit, dirawat beberapa hari ….”
Ares menatapku, dia tampak lega karena sepertinya aku mulai paham arah cerita ini, “Kemarin-kemarin gua mikirin itu, bahwa memang ternyata ada hal-hal yang harus kita korbankan walaupun dengan cara direnggut paksa, supaya hidup berjalan lebih baik. Tamagochi itu sampai copot casing-nya, kelelep tombolnya. Kali dia udah minta ampun ama gua. Mungkin juga tamagochi itu sendiri berterima kasih karena udah lepas dari gua yang obsesif.”
Ares menepuk pundakku, “Thanks juga udah nyembunyiin novel kriminal gua,” ucapnya melirikku dengan seringai lebar, “kalau gak, ya gua bisa aja terpengaruh karena gua sempat suka buku itu.”
“Lah? Lu tahu?” tanyaku hampir tidak percaya.
“Ya, siapa lagi? Gak mungkin setan studio, kan?”
Aku terkekeh sambil mengetuk-ngetuk abu rokok.
Kami diam, sama-sama merokok dan sama-sama menyesap kopi. “Nyet, gua merasa terlibat dalam masalah lu sama Aruna. Andai studio gak kebakar, lu bisa aja hadepin Bu Sarah, kan?” ujarnya sambil menunduk, memain-mainkan puntung rokok. Kalimat itu sepertinya telah hati-hati dia pilih dan dia ucapkan. Dia bahkan sambil menggeleng kesal dan menyesal.
Kali ini, aku tidak menghalangi Ares dari rasa bersalah, benar. Sebenarnya aku sempat berpikir hal semacam itu juga. Namun aku tidak ingin lagi larut dalam perasaan tidak menyenangkan. Aku sudah memaafkan seorang teman dan itu sudah membebaskanku dari rutukan-rutukan kebencian.
“Que sera, sera.” Kataku kemudian.
“Selama ada holcim, jadi apa pun juga …,” Sambung Ares dengan nada.
“Malah ngiklan!”
Ares tertawa, tidak lama dia mengangkat cangkir kopinya dan masuk segera, “Bangunin gua jam delapan, ya!” katanya lagi.
Pintu kamar terdengar tertutup. Suasana yang sunyi dan udara dingin belum mampu mengusikku dan membuatku beranjak masuk. Aku memikirkan perkataan Ares, tentang pesimis, realistis, dan sikap obsesif. Dimanakah aku berada di antara ketiganya. Aku bahkan sempat optimis suatu saat aku dan Aruna bersama dengan keadaan jauh lebih baik. Dulu. Sebelum aku tahu dia memiliki masa depan tidak hanya satu dan dia dihadapkan pada pilihan yang lebih menjanjikan. Aku teringat perkataan Bu Sarah yang menegaskan kata tetangga dan teman bagi Aruna. Keterangan itu sebagai petunjuk yang membantuku menjawab siapa aku dan dimana seharusnya aku berdiri sejak awal tanpa perlu maju selangkah pun mendekati Aruna. Tiba-tiba saja aku marah karena menyadari tidak ada seorang pun yang bisa aku salahkan atas situasi ini. Bu Sarah, orang yang sudah dua puluh tahun terakhir tidak hitung-hitungan dalam memberi kepada Aruna. Dia bahkan bukan sedang menjalani tanggung jawabnya, jika saja dia memutuskan berhenti di tengah jalan, tidak akan ada yang menyalahkannya seperti seorang ibu yang berhenti mengurusi anaknya.
Andre, dia yang juga bergantung pada Bu Sarah hanya berusaha tahu diri dan membalas budi. Suka atau tidak dia juga tidak akan kehilangan apa-apa. Toh, dia mengikuti keinginan tante sendiri. Lalu Aruna, aku tidak sanggup menyalahkan cinta kasih yang ada pada dirinya, tidak mampu menyalahkan perasaannya dan juga mungkin memang benar cinta berlabuh tanpa dugaan. Aku tidak bisa menyalahkan sikapnya yang menangguhkan waktu demi asa yang dia mau, walau sepenuhnya menyakiti diriku. Satu-satunya dan kalau memang harus ada, seseorang yang patut disalahkan adalah aku. Dari awal sepertinya Aruna pelan-pelan sudah memberikan peringatan. Aku saja yang keras kepala mengabaikan semua peringatan itu karena sedang diselimuti kebahagiaan yang besar. Dengan meninggikan cinta, aku dan Aruna seolah menjadi korban dari kekejaman seseorang. Padahal bukan. Aruna bisa dipastikan tidak perlu rumit memikirkan hal lain jika saja malam itu, di malam kepergian bapak, aku tidak menangis di hadapannya sehingga dia tidak perlu mengusap-usap punggungku untuk meredakannya.
Aku duduk dengan mata terpejam dan kepala bersandar. Cukup lama begitu hingga aku disapa oleh tetangga depan kontrakan, seorang satpam penjaga pabrik yang baru saja kembali dari tugas malam. Motor-motor dengan bakul mulai berseliweran di gang sambil membawa sayur-mayur. Pasar akan dimulai sebentar lagi. Kuketuk layar ponsel, sudah menunjukkan pukul empat pagi. Setengah jam lagi adzan subuh mulai berkumandang. Aku kembali menyesap kopi yang sudah dingin. Telingaku dikepung oleh suara omelan Aruna tentang kopi anyep –katanya. Awalnya terdengar jelas, namun pada bagian-bagian akhir mulai lindap. Sebuah lubang muncul di tengah dadaku, dan seluruh udara di paru-paru terasa ditarik masuk ke dalamnya, membuatku merasa kosong dengan cara yang menyakitkan.
“Lu pengacaunya, Gam!” bisikku pada diri sendiri lalu meniupkan sejauh-jauhnya asap putih dari mulut seolah itu adalah semua resah yang menggulungi dada.
Aku membuka foto Aruna di handphone yang aku ambil diam-diam saat dia tengah menikmati es krim strawberry yang membumbung tinggi, saat aku membawanya makan setelah ujian kompetensinya satu setengah tahun lalu.
Wajahnya yang sebal sambil terus menggerutu karena menurutnya ujian itu susah, membuatku tersenyum. Kenangan mulai muncul seperti potongan-potongan film lama. Aku ingat, wajah kesal dan masamnya itu seketika ceria saat aku mengajaknya bercanda. Dia kembali menyendok es krim dengan semangat tanpa menawariku sama sekali.
Astaga, aku rindu sekali.
Jempolku mengusap-usap layar handphone yang masih menampilkan fotonya, penglihatanku kabur sebab air mata yang menggantung.
“Maafin aku, sayang. Maaf ternyata aku seorang pecundang.”
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)