Read More >>"> RESTART [21+] (Bab 20 (Suka Cita)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RESTART [21+]
MENU
About Us  

Dua  hari sebelum berangkat ke Bogor untuk mengisi seminar, tepatnya hari Senin, Pak Adimas dan Tyas yang kembali lagi ke Jakarta datang ke studio. Seperti biasa, Tyas berdiskusi mengenai skripsinya, kali ini dengan Ares sebab aku sedang menerima telepon dari seorang pelanggan. 

“Nah, kalau begini-begini Gamma yang paham, Yas,” ujar Ares saat aku menutup telepon.

“Gimana?” aku menghampiri mereka yang duduk bersebelahan menghadap layar laptop terbuka. Ares berdiri dan dia pindah ke sofa lain sedangkan aku duduk menempati posisi Ares sebelumnya.

Tyas menyampaikan permasalahannya bahwa dia kurang paham tentang prinsip-prinsip desain. Aku menjelaskan singkat lalu mengatakan jika dia mau aku bisa meminjamkan buku lagi. Tyas menolak dengan mengatakan akan lebih baik jika dia punya.

“Bakal aku coret-coret, kak. Walau pembahasan ini gak begitu banyak di skripsi aku, tapi, ya tetap perlu sebagai referensi, kan? Kalau ditanya penguji, I’ll show them the book with all my notes or markings,” jelasnya.

Aku mengangguk. Ares mengangguk juga sambil minum.

Pak Adimas pamit pergi sebab ada urusan lain. 

“Saya pamit dulu. Tolong temenin Tyas cari bukunya, Gam,” pinta Pak Adimas. 

“Iya, Pak. Aman,” jawabku.
 

Sore sekitar pukul lima aku dan Tyas sudah sampai pada salah satu toko buku di sebuah mall.  Aku menyarankan beberapa buku yang sesuai dengan skripsinya. Tyas sangat serius dalam memilih buku, dia membaca dengan teliti sesuai kebutuhan lalu membeli dua dari lima buku yang aku rekomendasikan. Setelah itu kami duduk sebentar di sebuah coffee shop. Tyas penikmat  kopi dan dengan percaya diri memilih kopi untukku.

“Biar aku tebak kakak suka apa, aku pilihin, ya?” katanya.

Aku ikut saja, “Ya udah. Aku juga sebenarnya minum apa aja asal kopi.”

Kami duduk di meja sudut dengan pembatas dinding kaca pada toko. Untuk pertama kali yang kami perbincangkan bukan skripsi. Dimulai dari Tyas yang menceritakan kehidupan kuliah di Yogyakarta. Lalu menceritakan pacarnya yang sudah sidang duluan. Daripada kesal, dia terlihat bangga, “Ya gak apa-apa, jadinya dia bisa kerja duluan, kan?” 

Aku mengangguk sambil menyesap  Americano dingin.

Saat Tyas masih bercerita tentang makanan di Yogya yang jarang cocok pada lidahnya, handphone-ku di atas meja bergetar tanda pesan masuk. Pesan itu dari Aruna:

Aku masih harus nunggu ibu ini sampai suaminya  pulang. Kamu gak perlu khawatir aku sampai ke studio lebih lama dari biasa.

Aku membalas dengan mengatakan bahwa aku juga tidak sedang di studio sebab menemani teman mencari buku. 

“Kakak punya pacar?” tanya Tyas tiba-tiba saat seorang pelayan yang terlihat angkuh mengantarkan pastry yang sudah dihangatkan. Aku menunggu pelayan itu selesai dengan pekerjaan dan juga pergi membawa keangkuhannya.

“Nih, baru aja dia chat,” kataku sambil menggoyang pelan handphone kemudian menyimpannya ke saku celana. Tyas mengangguk. Pada dasarnya dia seperti tidak mau tahu urusan orang lain. Jelas sekali dia bertanya untuk menunjukkan interaksi dalam obrolan ini atau malah sekedar basa-basi. Kopi habis. Obrolan sudah menipis. Kami keluar mall dengan tampilan langit yang sudah gelap dan sedikit gerimis.

“Lanjut aja, Kak. Gak apa-apa,” ujar Tyas saat aku menanyakan apakah sebaiknya ditunggu sampai reda.

Aku mengantar Tyas pulang, untungnya gerimis itu tidak menjadi hujan dan sampai pada rumahnya tepat pukul tujuh malam.

“Masuk?” tanya Tyas saat mendorong pagar. Awalnya aku ingin mengatakan tidak, namun saat pagar itu sudah terbuka hampir setengahnya, aku melihat pada teras seorang wanita  duduk di kursi roda dengan seorang yang aku hafal sekali dari jauh bahkan cara berdirinya, Aruna!

“Masuk.” Jawabku yakin.

Saat aku memarkirkan motor tepat di sebelah teras, Tyas menyalami ibu di kursi roda, “Maaf, Ma. Aku agak lama. Nyari buku dulu. Papa belum balik, ya?” Seperti itulah obrolan mereka. Aku mulai memahami situasi yang mengejutkan ini. Bahwa aku dan Aruna berada di irisan lingkaran orang-orang yang sama. Pak Adimas sebagai rekan bisnisku, memiliki istri sebagai pasien Aruna. Jadi selama ini kami berkisah tentang mereka tapi saling tidak mengetahui siapa. Astaga, ini lucu sekali bagiku.

“Ma, masih ingat Kak Gamma, kan? Yang datang makan malam tahun baruan,” jelas Tyas.

“Masih. Yang bantuin skripsi kamu juga, kan?” tanya ibunya, “Makasih, ya, Gam,” ujar ibu itu tersenyum ramah kepadaku.

Aku mengangguk dan mengulurkan tangan kepada ibu ini. Jadi inilah alasannya kenapa waktu acara makan malam tahun baru istri Pak Adimas tidak berdiri saat tamunya pamit. Kursi roda ini menjelaskan, kakinya lemah karena stroke ringan, yang justru di rawat oleh pacarku sendiri.

“Ini Kak Aruna, yang bantuin Mama,” kata Tyas lagi sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Aruna.

“Hai.” Aruna tersenyum enggan. Sangat jelas terlihat pada wajah Aruna betapa berusahanya dia untuk tidak terkejut. Tangannya tidak lepas dari pegangan kursi roda sedang matanya terus memandangku seolah akan melahap habis jika-jika aku salah sikap atau salah bicara.

Pasti cemburu, nih!

Aku tersenyum lebar pada Aruna menunjukkan bahwa tatapan tajamnya itu bukan ancaman.

“Masuk, yuk. Makan dulu,” ajak ibunya Tyas, “kamu juga, Run. Makan dulu sebelum pulang,” katanya kemudian sambil menoleh ke arah Aruna.

“Makasih, Bu. Tapi saya langsung pulang aja. Udah malam juga,” tolak Aruna dengan sopan.

“Saya juga, Bu. Mau balik ke studio,” ujarku kemudian.

Tyas dan ibunya mengangguk.

“Udah? Yuk!” Aku mengambil tangan Aruna  dari genggaman kursi roda.

Tyas ternganga.

Ibunya terbelalak.

Aruna tersenyum. Akhirnya tatapan sinis itu berubah menjadi tatapan manis.

“Tyas, Aruna ini pacar aku.” Aku menunjukkan keakraban dengan merangkul Aruna. Aruna sedikit canggung, senyumnya terlihat kaku. Tyas yang sempat diam dan terkejut, kini tertawa lepas, “It’s a small world after all!”. Lalu ibunya yang tadi terbelalak kini ikut tekekeh.

Kami berpamitan dan motor keluar dari pagar seturut dengan Aruna mencubit pinggangku sekuat-kuatnya, “Bantuin skripsi, makan malam tahun baru, jalan-jalan ke toko buku, nganterin pulang. Itu yakin banget gak pakai perasaan?” tanya Aruna geram dan menekankan tiap kata-katanya. Aku yakin, jika menoleh ke belakang, dia pasti berbicara dengan gigi yang rapat.  Aku tertawa riang sepanjang jalan walau Aruna mencubit-cubit bahu hingga pinggang. Saat malam menghembuskan angin sejuk, justru Aruna kepanasan diselimuti api cemburu. 

Sesampainya di studio, Aruna masuk dengan wajah ditekuk. Cemberut. Ares yang tengah membalas e-mail di meja reservasi bertanya-tanya kenapa kami bisa berbarengan dan kenapa raut wajah Aruna terlihat kesal.

“Si Gamma, tuh! Ngeselin!” dengus Aruna sambil menghempaskan diri pada sofa, melepaskan jaket jeans yang sedari tadi katanya membuat gerah.

Aku masuk menyusul di belakang sambil menenteng makan malam, “Biasa. Orang kalau kecintaan tuh, cemburunya membabi buta,” aku cengar cengir. “Cemburu sama siapa?” Ares penasaran.

“Tyas.” Aku menjawab sambil melirik Aruna yang masih maju bibirnya. Dia melipat tangan di dada, wajahnya masih masam dan seketika membuang muka dengan cara menggemaskan. Sambil berlalu menuju ruang kerja, aku mengacak rambut Aruna. Dia bergeming dan membiarkan rambut itu berantakan.

“Lah? Tyas? Kok bisa?” Ares terdengar makin menuntut penjelasan.

Akhirnya kami makan sambil bercerita mengenai rentetan kejadian yang tidak terduga. Reaksi Ares beragam, mulai dari tercengang hingga tertawa terpingkal.

“Asal lu tahu ya, Run. Cowok lu ini cupu! Gak mungkin bisa naksir cewek lebih dari satu. Naksir satu aja bodohnya minta ampun!” Ares memegang perutnya sebab derai tawa.

“Gak tau, ah!” Aruna berkomentar dengan nada kesal.

“Dih? Masih marah?” tanyaku.

“Pikir sendiri, deh!” 

Ares makin menjadi-jadi tawanya, “Mampus lu, mampus! Gak dapet jatah!” olok Ares padaku sambil berlalu menuju toilet.

 

-oOo-

Rabu sore, sehari sebelum acara seminar, Aku, Ares, Aruna dan Trisna berangkat bersama dari studio mengendarai Camry mami Ares. Aruna akhirnya bisa ikut karena keluarga Pak Adimas berangkat ke Pekanbaru untuk merayakan kelahiran cucu pertama mereka dari anak laki-laki Pak Adimas. Ini memang libur akhir pekan yang panjang sebab Jumat jatuh sebagai perayaan Imlek. Trisna sedang memperlihatkan sesuatu di handphone-nya kepada Aruna, lalu mereka bisik-bisik kemudian tertawa. “Ada apa, sih?” tanyaku yang sedang mengemudi.

“Gak ada. Urusan cewek.” jawab Aruna. Aku mengangguk. 

“Udah kayak supir, nih, dicuekin.” kataku. Ares tidur di kursi penumpang persis di sampingku.

“Ngapain si Ares? Begadang?” tanya Trisna.

“Gak tau,” jawabku segera. Sejujurnya aku tahu Ares kemana, dia ke bar bersama pacarnya yang nyaris hampir tiga bulan bertahan. Namun aku memilih jawaban paling aman. Mengingat bagaimana perasaan Ares ke Trisna dan sebaliknya. Tidak jelas. Tapi justru itu makin membuatku enggan mengatakan yang sebenarnya.

“Jalan sama cewek.” Jawab Ares tiba-tiba walau dengan mata terpejam, dia mendengarkan. Tidak tidur, hanya berusaha tidur sambil berpangku tangan.

“Pacar?” tanya Trisna.

“Iya,” sahut Ares.

“Oh.” 

Aku mendelik melalui spion, Trisna tampak tidak senang. Lalu Aruna dengan cepat kembali mengajak Trisna bicara. Aku dan Aruna saling berbalas pandang melalui pantulan cermin. Aku mengangguk pelan, Aruna juga. Kami sama-sama paham akan situasi dan bagaimana cara melewati.

Mobil melaju selama dua jam, tidak ada perbincangan antara Ares dan Trisna, sedangkan Aruna sibuk memperbaiki suasana hati temannya. Aku sesekali mengajak mereka berdua bercanda.

Sesampainya di rumahku, ibu dan Marwa menyambut dengan makan malam yang masih hangat dengan asap yang menguarkan aroma sedap.

Kami makan dengan lahap menghabiskan semua yang dihidangkan, menyisakan piring-piring tandas yang kotor. Saat perempuan-perempuan membereskan meja makan dan mencuci piring, aku dan Ares bertolak ke teras depan untuk merokok.

“Lu mau diam-diaman lagi kayak dulu?” tanyaku.

Ares mengambil nafas dalam, asap rokok itu ikut terhisap kuat, “Gak tau, lah,” ucapnya kemudian melepaskan nafas dengan kasar diikuti asap tebal.

Aku diam. Merokok.

Ares diam. Mengusap-ngusap dahi.

Suara Marwa terdengar hingga keluar, tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan di dalam sana.

“Trisna itu tetap milih sama pacarnya karena mikirin bokapnya. Alasan prestise. Orang tuanya gak tahu kasus gua berantem sama si Rian itu. Lu tahu, bokap Trisna dokter umum, yah, yang biasa-biasa aja. Sedangkan bapaknya si Rian itu wakil direktur rumah sakit tempat bokap Trisna praktek.  Jalan cepat naik jabatan, lah. Ya, minimal dapat nama.” jelas Ares, “belum lagi si Rian nya lagi ambil spesialis.”

“Hm,” aku mengangguk mendengarkan cerita Ares. Ternyata cara ‘tiket emas’ itu masih ampuh untuk menjadi jalan pintas. Tidak peduli apakah orang yang mendapatkan tiket itu memiliki karakteristik yang pantas atau tidak untuk melesat cepat ke posisi atas. Yang jelas keduanya diuntungkan, yang memberi tiket mendapatkan pengikutnya, si penerima tiket  mendapatkan pengukuhannya.

“Kemarin gua susulin di mobil itu, gua bilang sekali lagi kalau gua beneran sayang sama dia. Eh, dia malah bilang kalo gua dan cowoknya gak jauh beda, ngomong sayang di depan, tapi main-main di belakang. Gak ada jaminan gua bakalan lebih baik dari cowoknya. Yah, dipikir-pikir, selama ini gua juga dilabeli playboy, kan?” papar Ares panjang lebar.

“Hm,” aku manggut-manggut lagi.

Ares menoleh, “Lu ham hem ham hem doang!” ujarnya kesal, “udah siap belum besok jadi pemateri?”

“Hm,” ujarku sekali lagi sengaja untuk membuatnya tambah kesal yang akhirnya aku terkena lemparan puntung rokok darinya.

Aku tertawa.

Sisa malam, selain ibu yang sudah tidur duluan, kami berlima termasuk Marwa duduk di teras, bercerita dan menikmati  bakso yang biasa lewat di depan rumah. Ares memetik gitar walau dengan sembarangan. Gitar itu aku beli saat SMA dengan niat mempelajari sesuatu dari musik. Ternyata dari pengalaman itu juga aku ketahui bahwa aku tidak berbakat sama sekali bermain musik.

“Sering-sering begini. Aku suka rumah rame gini,” wajah Marwa terlihat berseri-seri. Sedikit banyaknya aku merasa bersalah sebab sejak awal sudah sibuk kuliah dan bekerja, kini menjalankan usaha yang nyaris tidak ada liburnya. Raut Marwa yang seperti ini sudah lama tidak  terlihat sejak Bapak meninggal.

Ah! Bapak!

Tiba-tiba aku merasa sedih. Aruna yang duduk bersandar pada tiang di dekat Marwa menatapku dengan penuh pengertian. Dia tahu perasaanku hanya dengan melihat saja. Komunikasi non verbal diantara kami meningkat ke level yang lebih intim.

Dia paling bisa mengartikan setiap arti raut wajahku yang cenderung tidak responsif, datar. 


 

Jam sepuluh pagi, aku sedang berdiri di auditorium satu SMA Swasta Multimedia di Bogor. Suasana ramai namun terkendali. Alat-alat pendukung seminar sangat mumpuni dan bekerja dengan baik sehingga aku dan Trisna tidak mendapatkan masalah yang berarti. Seminar tentang membangun karir di industri kreatif itu berjalan baik. Mulai dari presentasi, sesi tanya-jawab, workshop dan di antaranya diselingi istirahat makan siang bersama. Semuanya berjalan sesuai rundown acara. Aruna dan Ares mengikuti acara dengan duduk di belakang. Sesekali Ares mengacungkan jempol saat kami menyampaikan materi dan tidak lupa Ares selalu menjadi pemrakarsa tepukan tangan tiap-tiap menurutnya materi yang disampaikan berkesan.

Saat acara penutupan kami berfoto bersama, Aruna dan Ares ikut bergabung pada beberapa bidikan kamera.

“Makasih, Gam. Murid gua antusias semua. Ini baru selesai gua udah di tanyain kapan bikin acara begini lagi,” ujar temanku yang mengundang kami dan juga pengajar di SMA ini.

“Syukurlah. Gua seneng bisa bantu,” jawabku.

Lalu kami berpamitan dengan banyak ujaran terima kasih dari guru-guru lainnya.

“Aku bangga sama kamu,” ucap Aruna saat aku menggandengnya berjalan menuju parkiran.

“Itu juga karena kamu yakinin aku buat ambil kesempatan ini,” jawabku.

Aruna tersenyum dan memagut erat lenganku.

“Aku juga bangga sama kamu, Gam!” 

Ares dengan nada mencibir ikut-ikutan memagut lengan kiriku sambil membungkuk bersandar manja. Dia tengah mengolok-olok situasi kami berdua.

Kini lengan kananku di pagut mesra oleh Aruna dan lengan kiriku dipagut menjijikkan oleh Ares yang kemudian aku tepis, “Ah, apa sih!”

Ares tertawa kemudian memukul kepalaku pelan.

Trisna diam saja bahkan sejak berpamitan dengan siswa-siswa dan guru sekolah, selama di mobil dan selama kami mengunjungi Kebun Raya Bogor.

Aku sejujurnya tidak masalah dengan situasi Trisna, namun Aruna justru sebaliknya, dia tampak tidak enak seolah bersenang-senang tapi temannya tidak begitu riang.

“Nggak ada banyak hari kita bisa libur begini. Kamu gunain dong hari ini buat happy-happy.” ucapku pada Aruna yang tidak sepenuhnya menikmati hari libur.

“Ya, kan, aku gak enak. Masa kita senang-senang, tapi Trisna murung gitu?” 

Aku melihat Trisna sekali lagi yang duduk sambil minum. Sedangkan Ares terlihat asyik sendiri memperlihatkan sebuah batang pohon besar kepada pacarnya melalui panggilan video. Aku menghembuskan nafas melihat situasi yang memang kurang menyenangkan bagi Trisna, “Tris!” aku memanggilnya dan mengajaknya bergabung bersama aku dan Aruna. Dia menghampiri dengan langkah malas.
 

Menjelang sore, kami berpindah dari Kebun Raya Bogor ke Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (Munasain) sesuai keinginan Ares dan kembali ke rumah saat makan malam. Meja makan di rumah penuh oleh makanan dan cemilan yang kami bawa pulang. 

Selama dua hari Jumat dan Sabtu, kami menghabiskan akhir pekan dengan mengajak ibu dan Marwa mengelilingi mall yang kini dihiasi dengan berbagai macam dekorasi khas imlek. Pertunjukan barongsai sedang berlangsung saat kami baru saja masuk. Wajah ibu cerah.  Marwa, Aruna dan Trisna tampak cocok bersama. Ares entah berpura-pura untuk membuat Trisna kesal atau memang sebuah kebenaran, dia sering menelepon pacarnya. Aku merasa tidak ada lagi suka cita yang melebihi dari ini sebab keluarga, pacar dan teman-teman  mengelilingi dengan keadaan baik.

 

“Kamu sama Aruna kompak banget. Ibu lihat kalian pagi-pagi beresin rumah, nyapu halaman belakang juga.” Ibu menatapku dengan senyum jahil. Ibu yang terlihat lelah lebih memilih duduk pada sebuah restoran, aku menemani Ibu, sedangkan Ares, Aruna, Marwa dan Trisna masih asyik di wahana bermain pada lantai atas.

Aku tersenyum malu, “Iya, Bu. Menurut Ibu gimana?”

“Kalian cocok,” anggukan ibu meyakinkan, “Jangan sampai kamu sakitin, dia baik banget. Sopan lagi,” ujar ibu kemudian sambil menepuk-nepuk lututku pelan.

Aku mengangguk lagi. 

Aku yang tidak terbiasa bercerita masalah hati kepada ibu tidak mampu menolak rasa malu dan segan yang datang bersamaan. Tapi dalam hati merasa lega karena merasa hubungan aku dan Aruna direstui.

“Kamu malu, ya?” tanya ibu sambil menahan senyum.

“Ibu tau aja,” jawabku.

 Ibu menyunggingkan senyuman. Ada kepuasan menyelinap dari senyum itu. Kami berhenti membicarakan Aruna lagi saat pesanan kami datang. Ibu makan dengan tenang, sambil sesekali menceritakan hal lain yang tidak begitu penting: grup arisan, masalah tetangga atau sekedar pohon mangga yang kini banyak semut rang-rang.

“Besok sebelum balik ke Jakarta, aku basmi semua.” Ujarku yang akhirnya membuat ibu lega. Tidak lama Aruna, Marwa, Trisna dan Ares datang menyusul kami berdua.

 

Minggu sore, kami pamit kembali ke Jakarta. Ibu mengantarkan kami hingga pagar dengan mengenakan jilbab yang dibeli Aruna saat di mall sebagai hadiah. Sabtu malam pulang dari mall, Aruna tampak berbincang berdua dengan ibu di ruang makan sambil menyiapkan cemilan. Aku yang sedang membersihkan kamera lama di ruang keluarga, tersentuh melihat mereka berdua. Aruna mampu mengakrabkan diri dengan santun, sedangkan ibu bisa mengikis batas dengan cara yang hangat. Dua-duanya mengagumkan dengan cara yang tepat. Aku bisa merasakan kehadiran bapak di sebelahku, kami seolah menatap dua perempuan ini dengan rasa bangga. Bapak bangga akan istrinya, aku bangga akan mereka berdua. Lalu aku mengabadikan momen itu dengan kamera yang aku pegang.

 

“Pamit, ya, Bu,” ucap Ares pada ibu.

“Kamu jangan suka keluyuran larut malam, Res!” nasehat ibu pada Ares yang dibalas Ares dengan cengar-cengir.

“Kak, sering-sering ke sini, ya!” pinta Marwa kepada Aruna. 

“Orang pada sibuk kerja, mana bisa gitu.” tegurku pada Marwa yang dibalasnya dengan cibiran, “nanti kalau gak sibuk kakak pulang,” jawabku kemudian.

“Sibuk mulu!” Marwa berdengus kesal yang kemudian mendapatkan tepukan pelan dari ibu untuk mengingatkan.

“Datang kapan aja kamu bisa, tapi kabarin sebelumnya. Aruna juga.”  ujar ibu setelahnya yang membuat Aruna tersenyum lebar.

Aku, Ares, Aruna dan Trisna kembali ke Jakarta dengan perasaan riang. Entah bagaimana sebenarnya perasaan Trisna, tapi dia cukup banyak tersenyum sejak kembali dari mall.

 

-oOo-

 

Benar kata Aruna, semenjak mengisi seminar itu, undangan-undangan mengisi materi pada seminar sejenis mulai berdatangan, dalam dua bulan ini sudah tiga kali aku menjadi pemateri, baik di SMK Multimedia atau pada sebuah acara workshop desain untuk UMKM. Ares selalu mendampingi baik sebagai rekan maupun pemateri. Website Gammares mengalami peningkatan pengunjung yang signifikan. Pelanggan baru mulai banyak berdatangan dan kini Gammares  sering kali syuting di luar ruangan untuk membuat materi iklan. Pelanggan datang tidak hanya dari kalangan UMKM. Satu perusahaan startup bergerak di bidang edutech, menelepon kami untuk bertemu membahas kerjasama jangka panjang. Awalnya aku dan Ares sedikit gugup datang ke perusahaan itu. Ares sampai melakukan hal yang jarang-jarang dia kerjakan: berdoa. 

“Seenggaknya gua udah bilang ke Tuhan kalau gua gugup. Gua minta bantuan,” ujar Ares sesaat setelah dia mengusap wajahnya sebagai penutup doa. Aku yang melihatnya mungkin lebih tercengang dari Tuhan.

Sesuai harapan pertemuan itu berjalan lancar. MoU dibuat dengan permintaan materi promosi berupa iklan naratif dan iklan testimonial yang melibatkan talent. Saat keluar dari kantor perusahaan itu, Ares kembali berdoa, “Bilang makasih ke Tuhan,” katanya. Aku tak acuh dan meneruskan menghisap rokok.

 

Lalu tawaran-tawaran dari perusahaan startup lainnya silih berganti berdatangan dengan berbagai bidang: fintech, e-commerce dan layanan perjalanan. Satu dua diantara perusahaan itu berhasil mencapai kesepakatan, namun yang lain tidak berhasil dikarenakan berbagai alasan baik dari pihak pelanggan maupun dari kami sebagai penyedia jasa iklan. Aku dan Ares memutuskan untuk mempekerjakan freelancer jika diperlukan.

Pertengahan April, Ares wisuda. Aku dan Aruna datang bersama. Nenek Ares jauh-jauh dari Magelang juga turut hadir. Walau dengan keadaan lemah nenek tampak jauh lebih merasakan kebahagiaan daripada kedua orang tua Ares. Trisna hadir dan bersalaman dengan Ares sebentar lalu menemui teman-teman lain. Hubungan mereka semakin renggang. Pacar Ares, mantan tepatnya, juga hadir walau seminggu sebelumnya mereka putus entah dengan alasan apa. Lagi-lagi acara foto bersama dilakukan di studio kami. Mami dan Papi Ares hanya berfoto dua kali, lalu mereka kembali ke kantor dengan alasan meninggalkan pekerjaan yang masih bertumpuk. Mami memeluk Ares sebentar sebelum dia pergi. Tante Suryani yang selalu menjaga nenek Ares juga ikut berfoto bersama, malah sejujurnya tante yang tidak memiliki hubungan darah dengan Ares itu justru merasakan euforia kelulusan, selain membantu membawakan hadiah dari nenek, tante Suryani juga membawa buket bunga sebagai hadiah dari dirinya. Nenek Ares ingin berlama-lama dengan cucu kesayangannya melakukan banyak pose, tanpa dugaan Ares menggendong neneknya sebagai pose terakhir.  Tante Suryani terkejut dan terpekik melihat Ares tiba-tiba mengangkat nenek. Kami semua tertawa, bahkan nenek juga, kecuali Tante Suryani yang masih shock sambil mengelus dadanya.  Ares yang sudah terbiasa menerima sikap apatis dari orang tuanya tidak terlihat sedih sama sekali walau menjelang sore dia hanya ditemani Aku, Aruna, Nenek dan Tante Suryani. Malamnya Ares mentraktirku minum di bar biasa. Dia berusaha untuk tidak mabuk dengan hanya memesan  satu botol bir. Aku memilih minuman bersoda. Andai saja besok tidak ada pekerjaan syuting, pasti Ares sudah memilih untuk mabuk.

 

Hari-hari terlewati dengan baik. Pekerjaan dikerjakan dengan lancar, maag sudah bisa dikatakan jarang kambuh, Marwa sedang berusaha dengan skripsinya untuk target lulus pada semester delapan tahun depan. Dan Aruna, akhir-akhir ini dia berusaha keras untuk diterima bekerja di rumah sakit. Dia juga mengikuti pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam menangani situasi darurat medis yang melibatkan trauma dan henti jantung. Benar-benar kegigihan yang luar biasa. Aruna sampai harus mencari penggantinya sebagai caregiver untuk ibunya Tyas sebab pelatihan itu berlangsung selama enam hari berturut-turut dari pagi hingga petang. Walau pulang dengan keadaan letih, wajahnya menunjukkan kegembiraan di hati.

 

Kini Aruna sudah melewati dua tes dan sedang menunggu panggilan tes terakhir wawancara pada rumah sakit yang diincarnya. Aku mengatakan padanya dia pasti lulus. Dia justru semakin takut saat aku memiliki keyakinan itu. “Beban, tau! Aku jadi merasa harus lulus.” Ujarnya sewot. Padahal aku hanya ingin menghiburnya. Serba salah.

 

Aruna juga bercerita bahwa sejak tahu aku adalah pacarnya, Tyas menjadi enggan meminta bantuan mengenai skripsi.

“Padahal udah aku bilang gak apa-apa, tapi dia tetap merasa gak enak.” Ujar Aruna saat aku menemaninya membuat catatan laporan perkembangan ibunya Tyas di kamarnya.

“Lah? Kemarin kamu cemburu, sekarang bolehin dia deket-deket aku,” ucapku menggodanya. 

“Oh, jadi selama ini kamu kalau bantuin skripsi dia deket-deketan, ya?” pertanyaan Aruna menjebak, dia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam yang justru membuatnya menggemaskan.

Aku terkekeh, “Iya. Deket banget, kayak gini,” jawabku segera memeluknya dari belakang saat duduk.

Aruna menghela nafas. Dia enggan berkomentar, lagipula dia sibuk dengan segala laporan. Terlebih dia tahu bagaimana sikapku terhadap perempuan lain yang cenderung tidak ambil pusing.
 

Memasuki bulan Ramadhan, Aruna mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan –bekerja di rumah sakit binaan kampusnya, rumah sakit yang sama di tempat dia magang terakhir kalinya. Pagi itu kamarku yang sudah terbiasa tidak dikunci, dibuka oleh Aruna dengan tergesa-gesa sehingga meninggalkan bunyi kuat. Langkah kakinya berderap cepat di lantai dan langsung menghambur naik ke kasur, memelukku riang. Dia memegang handphone-nya dengan halaman email terbuka, “Gaaammm!! Aku diterima kerja!” serunya gembira. Aku yang masih sangat mengantuk, bahkan aku merasa belum lama selesai sholat subuh hanya bisa tersenyum dengan mata tertutup. Aku mengacungkan jempol. Aruna tertawa dan memaksaku membuka mata untuk melihat lampiran surat penawaran kerja. Pagi itu juga Aruna mencetak lampiran itu untuk ditanda tangani segera. Sementara mesin printer-ku tahu saja, dia berulah di saat Aruna membutuhkannya. Aruna menoleh ke arahku –yang akhirnya bangun dan sedang menyeduh kopi di pantry–  dengan wajah cemberut seolah mengadukan kendala yang dia hadapi. 

“Puk-puk pelan atasnya. Ntar dia nyala,” ujarku sambil mengaduk-aduk kopi yang membuat wanginya menguar kuat.

Aruna melakukannya sekali dua kali  dan ya, tidak berhasil juga. 

Melihat itu aku tertawa sejadi-jadinya. 

Aruna yang kesal justru menghampiri dan memukul lenganku kuat berkali-kali seolah printer rusak itu adalah kesalahanku. 

Printer-nya yang dipukul. Kok malah aku?” tanyaku masih sambil tertawa dan menjauhkan kopi panas dari Aruna.

“Aku kesaaaaaalll!” katanya seturut dengan pukulan bertubi-tubi.

“Ini kekerasan, aku laporin, ntar!” 

Aruna tidak peduli. 

Aku pasrah dipukuli, toh itu tidak sakit sama sekali, justru aku menerima pukulan itu dengan senang hati. Aruna tidak juga berhenti hingga aku mengangkat pinggang rampingnya, mendudukkannya di meja pantry dan mengecup bibirnya berkali-kali sambil mengatakan, “Aku belum sikat gigi.”

Mata Aruna membulat seketika, “Jorok!”

Aku yang tidak peduli justru mengecup bibir mungil itu lagi walaupun sambil merasakan perih kecil-kecil di perut akibat cubitan Aruna dengan kukunya.

Sungguh hari yang dimulai dengan suka cita. Sampai  akhirnya membuatku bertanya khawatir, apakah ada yang harus aku korbankan di kemudian hari karena mendapatkan kebahagiaan sebesar ini?

(Bersambung)

 

Restart ©2023 HelloHayden

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • suryade

    Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah

    Comment on chapter Bab 14 (Cukup)
  • ana_yo

    Asli. Cerita lain yang umur SMA udah nikah, yang nikah sama CEO posesif, yang sibuk urusan cinta. Cerita ini tuh beda banget. Kebagusan tauuuu 😱. Kompleks dan real banget. Tokoh utamanya gak egois tentang dia terus. Tokoh2 lain mengisi baik. Yang paling suka mereka khas remaja semua. Lincah, semangat, pintar dan jahil.

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • aprillia

    Cerita nya bagus thor 😭 tokoh utamanya berhasil menggeser standar kim soo hyun ku. mau ngefans sama si gamma tapi dia fiksi. Tolong bgt 😭

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • hamid

    Inj bagus banget woii kata2 nya

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Ketika Kita Berdua
30649      4221     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Mimpi Milik Shira
468      255     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Story Of Chayra
8191      2568     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
TANGAN TANGAN ASTRAL
2551      1437     2     
Mystery
Memiliki kemampuan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib justru membuat kehidupanku berantakan. Banyak hal mistis yang mengikutiku bahkan sampai ke dalam urusan asmara. Terlebih lagi saat perjalanan hidupku bersinggungan dengan sebuah petilasan keramat yang bernama Sitinggil, jalinan cintaku dengan Anggit semakin mustahil. Nini Diwut sosok perempuan renta penghuni Sitinggil seakan ta...
NADA DAN NYAWA
12794      2456     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Orange Haze
314      214     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
Begitulah Cinta?
15264      2191     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
LINN
11288      1667     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
The Past or The Future
392      310     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Frasa Berasa
57815      6409     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...