Read More >>"> RESTART [21+] (Bab 5 (Godaan Jiwa)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RESTART [21+]
MENU
About Us  

Aku, Ares dan Trisna sedang dalam perjalanan menuju Tangerang. Hari ini adalah hari pertama kami bekerja pada acara Festival Kuliner yang diadakan pada salah satu Exhibition Hall di sana. Sepekan sebelumnya, pihak brand tersebut telah mengirimkan e-mail berisikan rundown acara dan dokumen legal yang menandai kesepakatan kerjasama. Setelah menyusun strategi teknis, kami memutuskan perjalanan menggunakan mobil orang tua Ares untuk memudahkan membawa berbagai alat dan perlengkapan yang akan kami gunakan, serta memastikan tidak ada dari kami yang terlambat. Trisna langsung diantar oleh orangtuanya ke rumah Ares, sedangkan aku sudah mengendarai motor sejak pukul lima dini hari untuk menuju ke rumah Ares yang berjarak kira-kira tiga puluh menit dari kost. Sehari sebelum acara dimulai,  Aku dan Ares sudah datang untuk cek lokasi di hall tersebut. 

“Udah pada baca rundown ama MoU yang gua kirimin, kan?” tanyaku pada Ares dan Trisna.

“Udah. Banyak juga ya pesertanya. Enam puluh,” jawab Trisna dari bangku belakang sambil merapikan jilbabnya. Kami bertiga sepakat mengenakan baju kaos berwarna hitam untuk memperlihatkan kekompakan. Ares mengikat rambutnya dengan gaya man bun –diikat setengah dan digulung, serta bulu-bulu halus pada wajahnya dia rapikan sedemikian rupa sehingga terlihat lebih segar.

“Udah gitu yang diundang juga pejabat kota sama Kepala Baparekraf. Keren juga,” sambung Ares sambil mengemudikan mobil. 

“Nah? Paham kan lu harus gimana?” aku menoleh ke arah Ares sambil menggerakkan bola mata  ke arah Trisna.

“Iya! iya!” Ares berujar jengkel.

Acara itu berlangsung dari pukul 10.00 hingga pukul 20.00. Kami tiba di hall sekitar dua jam sebelum acara dimulai. Ares dan Trisna langsung bersiap, menempatkan semua alat pada posisinya. Sementara itu, sejak dalam perjalanan, aku sudah  ditelepon untuk segera menemui seseorang bernama Purwa sesampainya di lokasi. Begitu tiba, seorang kru menyambut da mengantarku melewati beberapa stan yang sudah berdiri kokoh.

“Pagi, Mas Gamma. Saya Purwa,” sapa pria paruh baya di depanku ini sambil mengulurkan tangan. Badannya tinggi tegap. Sorot mata di balik kacamata tebal itu tampak bersahaja, wajahnya terlihat segar meskipun sudah tampak garis-garis halus pada wajahnya. Pak Purwa mengenakan kaos polo berkerah dan celana jeans, memperlihatkan dia masih trendy dan berpakaian sesuai acara. Aku yang mengenakan topi sedari tadi, lantas membukanya, melipat topi itu seadanya, lalu dengan cepat memasukkannya ke kantong celana.

“Pagi, Pak.” Ujarku menjabat tangannya.

Kami berada di sebuah ruangan yang sepertinya digunakan untuk menyimpan souvenir dan peralatan pendukung lain. Ruangan itu sedikit berantakan, banyak kotak-kotak  kardus tersusun di lantai yang aku sendiri tidak tahu isinya apa. Hanya ada beberapa kursi plastik yang juga tampak serampangan  di dalam ruangan ini, tidak ada meja.

“Maaf, ya, berantakan,” ujarnya sambil duduk di sebuah kursi plastik dan memberi isyarat dengan tangannya agar aku ikut duduk.

“Ya, kalau acara begini lah, Pak,” jawabku dengan tersenyum sopan. 

“Gini Mas Gamma, saya ini copywriter untuk website brand ini. Nah, nanti kira-kira saya akan nulis begini,” Pak Purwa mengambil sebuah draft yang terletak di atas tumpukan kardus, lalu ia membolak balik halaman mencari tulisan yang ingin ia perlihatkan kepadaku. Aku menggeser kursi untuk mendekat padanya agar bisa melihat isi halaman yang ia tunjuk.  Tiap kalimat yang masih berupa coretan-coretan itu dengan teliti kubaca, memastikan detail-detail penting agar tidak ada yang terlewatkan. Pak Purwa menginginkan kami menghasilkan materi yang sesuai dengan tulisannya nanti yang akan dipublikasikan pada website. Sejujurnya ini justru mempermudah pekerjaan kami, membuat lingkupnya semakin jelas dan memperkecil kemungkinan adanya materi yang tidak terpakai.

“Oke,” jawabku mengangguk pasti sambil masih membaca draft tersebut.

“Nah, yang untuk menu-menu nanti, resep-resep nya itu, loh. Saya ralat di sini aja, ya. Sebelumnya di email saya bilang perlu dibuatkan video proses memasaknya. Tapi setelah tim bicarakan lagi, kami memutuskan untuk tidak mengambil video itu. Rasanya  tidak perlu. Mas Gamma dan tim nanti cukup memfoto menu unggulan pesertanya aja. Selain itu, semua konsep foto dan video lainnya sudah sesuai dengan yang saya email kemarin. Ada pertanyaan, Mas?” papar Pak Purwa.

“Boleh, nggak, saya lihat hasil video dan foto acara tahun sebelumnya, Pak? Untuk acuan.” Aku ingin memastikan apakah format, gaya, dan tone warna pada materi sebelumnya akan ada perubahan tahun ini jika mereka meminta, atau akan tetap sama.

“Oh, Boleh. Bentar ya Mas,” Pak Purwa langsung merogoh tas kecil yang sedari tadi ia selempangkan. Dia mengeluarkan handphone dan menelepon seseorang sebentar.

“Yuk, Mas. Lewat sini.” Ujar Pak Yahya setelah menutup telepon.

Kami  kembali berjalan melewati beberapa stan-stan yang tampak sudah mulai dipenuhi bahan-bahan makanan. Aroma makanan mulai menyeruak masuk hidung. Di ujung sana aku melihat Ares dan Trisna sedang mengatur pencahayaan sebuah panggung yang akan digunakan untuk penyampaian kata sambutan oleh tamu-tamu kehormatan. Ares yang tengah mengulur-ulurkan kabel, melihatku berjalan bersama Pak Purwa, dia sedikit mengangkat kepala seolah dengan isyarat itu dia bertanya ada masalah apa?

Aku menjawabnya dengan mengacungkan jempol kanan kepadanya, memastikan padanya bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ares memahami dan melanjutkan pekerjaan.

            Aku dan Pak Purwa sampai di sebuah meja di belakang hall. Di sana aku bertemu dengan seorang wanita yang tengah bekerja pada laptopnya. Wanita itu sepertinya lebih muda sedikit dari Pak Purwa, dengan pakaian jauh lebih formal dari Pak Purwa, menunjukkan bahwa ia seorang yang berwibawa. Lalu Pak Purwa berbicara sebentar dengannya. Wanita itu berdiri dan menyalamiku kemudian mempersilahkan aku dan Pak Purwa melihat file acara sebelumnya pada laptop yang tadi tengah ia gunakan. Ia berdiri di samping kami yang kini duduk berdampingan melihat ke satu layar.

“Ini udah yang di publish kan, Pak?” tanyaku memastikan.

“Udah, mas. Yang raw udah gak di simpen,” jelas Pak Purwa lagi. 

“Jadi gimana, Pak? Ada permintaan khusus mengenai hasil akhir video dan photo nanti? Apa pengen nanti nuansanya beda karena dari tema yang sekarang juga beda sama tahun lalu, kan?”

Pak Purwa tersenyum lalu ia menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. Wanita itu menjawab, “Saya senang sekali melihat antusias Mas Gamma. Gini aja Mas, itu nanti kita bahas selama proses pengeditan. Saya Mariska, Advertising Manager. Kita bicara nanti setelah Mas Gamma dan tim sudah selesai meliput disini. Via telpon juga gak masalah.”

Kami bersalaman lagi, lalu setelahnya ia memberikan kontaknya kepadaku. Tidak lama setelah itu, aku pamit undur diri untuk segera menemui teman-temanku, menyampaikan hal-hal yang perlu untuk menjalankan pekerjaan ini dengan baik

            Acara sudah dimulai. Aku mengenakan topi yang tadi aku simpan. Saat ini aku tengah meliput Bupati Tangerang yang sedang memberikan kata sambutan sekaligus membuka acara ini. Di sekitarku juga ada beberapa kru televisi. Aku bertugas meliput panggung dan pelataran selama masih ada aktifitas di sana, Trisna terlihat tengah mewawancarai salah seorang peserta festival yang sedang memasak sedangkan Ares tampak sibuk merekam di pintu masuk. Kami memang berpencar agar tugas ini selesai dengan baik sesuai yang direncanakan. Sesekali kami bertemu untuk memberikan kabar atau mengutarakan masalah dan kendala yang ada di lapangan. Antusiasme masyarakat terhadap acara ini sangat besar,  para pecinta kuliner mulai berdatangan memadati hall. Mereka terlihat sangat senang bisa menonton secara langsung proses memasak makanan-makanan khas nusantara. Di tambah lagi brand ini telah menyiapkan edukasi berupa pertunjukkan mini proses pembuatan kecap mulai dari pemeliharaan kedelai hingga sudah terbungkus menjadi kecap yang siap dijual di pasaran. Hal ini membuat acara semakin menarik dan istimewa. Semua bagian divisi tampak sibuk dalam hiruk-pikuk, menjalankan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

“Untung lu gak jadi bawa Aruna, ya?” ujar Ares di sela-sela pekerjaan. Saat ini kami sedang turun ke stan kuliner untuk meliput resep makanan.

“Iya. Rame banget, kita juga sibuk. Ntar sendirian,” jawabku sambil mengatur kamera untuk mendapatkan hasil foto yang bagus.

“Ngmong-omong ada kemajuan gak?” tanya Ares lagi. Dia tengah merogoh kantong rompi mencari-cari tisu lensa sebab beberapa kali lensa kameranya terkena cipratan minyak.

“Ada, jalan bentar. Tapi gak tahu bisa dibilang kemajuan atau engga,” ucapku datar.

“Lah? Gimana?” Ares menoleh padaku dengan raut yang sangat ingin tahu.

“Yahh…, jalan bentar. Terus dia minta pulang. Mana tiba-tiba dia gelisah gitu,” jelasku pada Ares, lalu aku memotret makanan-makanan yang sudah berjejer rapi di meja stan di depanku ini.

“FIX!”  Ares berseru lalu tertawa lepas.

“Fix apaan?”

“Mundur deh lu. Udah ada cowoknya tuh!”

“Masa? Orang dia bilang tiba-tiba kepikiran sesuatu aja,” aku berusaha menepis pikiran Ares.

“Ya itu! Kepikiran cowoknya. Lu gimana sih, Nyet? Tolol amat!” Ares melihatku dan mencibir.

Aku mengangkat kedua bahu, berusaha menyangkalnya namun sayangnya perkataan Ares memang ada benarnya.

“Gua juga gak ngira sebegini banget ramenya. Kapan gua bisa deket-deket Trisna kalo gini?” sambung Ares lagi sambil bercanda. 

“Ntar lu anterin dia pulang,” usulku dengan asal.

“Lah? Bisa pinter ni bocah,” Ares kembali tertawa, kali ini tawanya terdengar puas. “Iya, deh! Ntar gua coba!”

            Waktu berjalan cepat saat kami fokus pada pekerjaan. Seorang kru menghampiri untuk mengajak makan siang. Ares mengatakan bahwa sebaiknya kami bergantian saja agar tetap ada yang di lapangan untuk meliput acara. Aku menyetujuinya. Aku ikut bersama kru itu menuju tempat makan dan beristirahat. Di ruangan itu walaupun menjadi tempat istirahat, namun masih terlihat beberapa orang diantaranya sedang bekerja, memegang kertas-kertas, membuka laptop dan ada yang sibuk menelepon dan ditelepon.

“Mas Gamma, ayuk, makan dulu,” sapa ramah Bu Mariska sambil menunjuk meja yang dipenuhi oleh kotak-kotak makanan.

“Iya, Bu.”

“Mana yang lain?”

“Masih di depan, kami gantian.”

“Oh. Ya udah. Yuk, duduk di sana,” Bu Mariska menunjuk ke sudut yang masih terdapat beberapa kursi plastik yang kosong,”Sekalian diskusi tipis-tipis,” ujar Bu Mariska sambil tersenyum. Ternyata memang benar, meskipun ini tempat istirahat, sebisa mungkin masih digunakan untuk bekerja. Mereka seperti dikejar waktu. 

Sambil menyantap makanan, Bu Mariska menyampaikan bahwa tadi ia sempat membicarakan bersama tim nya mengenai pertanyaan yang aku utarakan tadi pagi. Akhirnya ia menyerahkan kepada kami bagaimana baiknya hasil akhirnya, karena menurut mereka kami lebih paham mengenai visual. Ia meminta untuk tetap berkomunikasi di setiap proses pengeditan nanti agar hasil akhir materi menyesuaikan tema.

            Langit sudah sangat pekat saat aku menggulung kabel-kabel penyambung. Untuk hari pertama, acara ini sudah sudah terlewati dengan baik. Kami bekerja dengan melewati masalah-masalah tidak terduga yang terjadi di lapangan. Tapi untungnya bisa dengan cepat kami tanggulangi bersama dan ini menjadi pelajaran untuk hari berikutnya. Trisna dan Ares sedang mengemas peralatan dan mengangkatnya satu per satu masuk ke bagasi mobil.

Saat sedang menggulung kabel, Bu Mariska datang lagi menghampiriku.

“Mas Gamma, ini ada makanan dari stan. Gak banyak tapi bisa di bagi buat temen-temennya.”

"Wah? Terimakasih, Bu,” aku menerimanya, lalu memanggil Ares dan Trisna untuk diperkenalkan kepada Bu Mariska. Mereka datang dan saling berjabatan tangan sambil memperkenalkan diri. Kami berbasa-basi sebentar mengucapkan terima kasih atas pekerjaan hari ini sebelum sibuk kembali dengan urusan masing-masing.

“Tris, Lu gua anter aja ya?” Ares mulai melancarkan aksinya saat kami sudah berada di mobil, bersiap untuk pulang. Jam pada monitor mobil sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang tujuh menit. Ares mengikat kembali rambut panjangnya yang sudah sedikit berantakan juga melepas rompinya dan dia gantungkan di punggung kursi kemudi, tepat pada sandaran kepalanya. 

“Gua ntar dijemput bokap di rumah lu,” jawab Trisna datar. 

“Gak kasian bokap lu malem gini nyetir? Jam segini aja kita baru mau jalan,” Ares menyudutkan Trisna dengan permainan kata-kata. Malah sebenarnya terkesan memaksa.

Trisna tampak berpikir, dia seolah membenarkan perkataan Ares.

Trisna masuk perangkap! Batinku

“Iya, sih. Kalau gitu ntar gua sama Gamma aja, deh. Kami satu arah,” sambut Trisna lagi yang sekarang menjadi senjata untuk Ares, “Ya, Gam? Boleh?”

“Lah? Gamma? Orang dia katanya mau pacaran abis ini. Iya kan, Gam?” Ares dengan cepat membalas. Aku terkejut melihat Ares yang membesarkan matanya kepadaku. Sebuah kode.

“Iya,” jawabku cepat, “lagian gua gak bawa helm lain.”

“Dih? Pacaran!” Trisna mencibir. “Istirahat woy! Besok masih kerja, mana subuh udah siap-siap,” seru Trisna kemudian.

“Bisa. Bisa. Aman.” Jawabku seadanya.

“Jadi gimana? Gua anter, ya? Abis nurunin Gamma, ntar kita pindah ke motor gua.” Ares mengulangi, dan kali ini terdengar lebih mendesak.

Aku melihat Ares lagi sambil mengernyitkan dahi, bingung sendiri kenapa tidak pakai mobil saja yang jelas-jelas lebih aman untuk mengantar Trisna. Lalu Ares dengan gesit memberikan isyarat dengan jarinya yang dia sembunyikan hingga ke bawah setir agar tidak terlihat oleh Trisna yang duduk di belakang. Ares tersenyum nakal sambil mendekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya dan melipat sisa jarinya. Oh, aku paham maksudnya. Dasar Ares tidak pernah kehabisan ide agar lebih dekat dengan perempuan incarannya. Melihatnya begitu aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum tidak percaya.

“Ya udah, deh,” Trisna akhirnya pasrah. Dia yang tadinya duduk sedikit lebih maju, kini menghempaskan punggungnya untuk bersandar, memperlihatkan bahwa dia sedikit keberatan, namun apa daya dia tidak punya pilihan.

            Lalu kami melaju menuju rumah Ares dengan pikiran masing-masing: Ares yang tengah memikirkan cara untuk melancarkan aksinya mendekati Trisna, Trisna yang tampak gelisah harus pulang bersama Ares,  dan aku, saat seperti ini malah memikirkan perkataan Ares lagi soal Aruna sudah memiliki pacar. Sambil menatap keluar jendela, aku merenungkannya kembali.

            Aku sampai di kost  setelah hampir satu setengah jam berada di jalan, berpindah dari mobil ke motor. Ranselku kali ini lebih ringan karena beberapa peralatan memang sengaja kami tinggal di rumah Ares sampai pekerjaan ini selesai. Aku menenteng bungkusan makanan dari Bu Mariska yang sudah kami bagi-bagi sebelumnya. Sebenarnya, aku berharap makanan ini bisa menjadi alasan untuk bertemu Aruna lagi, tapi ini sudah larut malam, bukan waktu yang tepat untuk berkunjung atau bahkan sekedar mengirim pesan.

            Aku menyimpan makanan di kulkas. Setelah membersihkan diri, lalu berbaring telentang di kasur yang wangi pewangi laundry, alasnya baru saja kuganti tadi pagi. Telapak tangan kiri menjadi pembatas antara bantal dan kepala. Mataku jauh menatap langit-langit kamar pada cahaya yang nanar. Entah apa yang kupikirkan, semuanya berputar secara acak di kepala, tidak ada satupun yang benar-benar aku pikirkan secara dalam. Hanya berupa kilasan kejadian masa lalu yang terlintas begitu saja dalam ingatan. Yang paling membuatku lama terdiam adalah mengingat kenangan bersama bapak, walau tidak banyak tapi itu meninggalkan kesan. Bapak yang selalu membawa kami jalan-jalan, bapak yang dengan selalu hadir saat kami ada acara di sekolah, bapak yang mengajari ku bermain catur padahal saat itu usiaku masih enam tahun. Bapak yang diam-diam memberikanku uang jajan lebih hanya karena saat SMP aku mendapatkan sebuah surat cinta dari seorang teman perempuan di kelasku, kata bapak saat itu ia bangga anak laki-lakinya ditaksir seorang gadis. Bapak yang dulu sempat rajin mengajak kami memancing di akhir pekan –mengikuti hobi barunya yang dadakan. Pada awalnya ibu paling semangat karena akan mengira bapak mendapatkan banyak pancingan, sampai-sampai ibu menyiapkan peralatan membakar ikan. Nyatanya tidak satupun ikan yang memakan umpan. Marwa menangis karena ia mengira akan melihat banyak ikan. Ibu susah payah membujuk Marwa saat itu. Lalu setelah kejadian itu, ibu tidak pernah menyiapkan alat bakar lagi, lantas ibu langsung saja berinisiatif membeli makan siang untuk kami tanpa menunggu hasil pancingan bapak lagi. Tanpa sadar, aku tersenyum mengingatnya. Sejurus kemudian perasaan sedih tiba-tiba menyusup mengingat bapak tidak lagi ada di sini. Lalu aku berdo’a. Mendoakan bapak, mendoakan ibu dan adikku.

Saat aku memejamkan mata hendak tidur,  wajah Aruna masuk tiba-tiba. Aku di sini masih bisa mengenang hangatnya masa kecil bersama keluarga. Lalu bagaimana dengan Aruna? Kenangan masa kecil seperti apa yang dia punya? Apa selama di panti dia hidup dengan baik? Lingkungan yang bagaimana yang dia hadapi? Berapa banyak kesulitan yang telah dia lalui untuk akhirnya sampai ke sini? Kemana orang tua kandungnya? Tidak. Bahkan dia tidak pernah menyebutkan nama panti asuhan tempat dia dibesarkan. Dia tidak banyak bercerita tentang masa lalu. Dia hanya menceritakan apa yang ada sekarang, yang dia hadapi, bahkan rencana tentang masa depan pun tidak  pernah terlompat dari bibirnya, apa cita-cita nya, apa keinginannya, tempat seperti apa yang ingin dia datangi, tidak pernah sekalipun aku mendengarnya. Mataku masih terpejam saat mengingatnya hingga aku sendiri tidak sadar sedang merajut benang-benang mimpi di tidur lelap.

-oOo-

“Gamma? Ngapain kamu bengong di situ?” sapa Bu Dewi, membuatku tersentak dari lamunanku saat menatap pintu rumah Aruna di pagi buta. Aku membawa bungkusan yang kemarin malam tidak sempat kuberikan. Setelah kuperiksa, isinya ayam kecap. Aku berencana memberikannya pada Aruna, meskipun pesan yang kukirimkan sebelumnya belum dia baca.

“Eh … Bu Dewi...,”  aku terkekeh dengan canggung sambil menghampiri Bu Dewi.

“Baru juga sebentar dia pergi. Kamu udah kangen, ya?”  goda Bu Dewi.

Aku terkejut mendengarnya hingga dahiku berkenyit. Aruna pergi?

“Dia ke Tangerang, loh. Kapan ya, waktu itu dia pamit sama saya?” ujar Bu Dewi yang segera menangkap raut bingung dari wajahku. Bu dewi berpikir sambil mengetuk-ngetuk pelan telunjuk pada dagunya, “Oh iya, Jumat sore. Pulang kuliah dia langsung pergi.”

Tangerang! Aku juga di sana kemarin bahkan seharian. Tiba-tiba aku merasa senang mengetahui ternyata kami berada di satu daerah yang sama.

“Ke panti nya, Bu? Dia bilang gak sampai kapan di sana?” tanyaku.

“Iya ke panti tapi gak bilang bakalan berapa lama.” Bu Dewi menjawab cepat, “kamu ada perlu sama dia?”

“Enggak juga, Bu,” jawab ku malu-malu.

Bu Dewi tersenyum usil. “Heleh-heleh, masa muda ...,” katanya dengn kepala yang bergeleng-geleng. Kemudian Bu Dewi merunduk untuk meraih sepasang sepatu dari rak yang persis di samping pintu kamarnya yang kemudian aku tahu ia tengah mempersiapkan sepatu Pak Rully yang akan berangkat bekerja.

“Ini Bu. Ada makanan, saya kemarin ada kerjaan di festival kuliner.” Akhirnya aku memberikan bungkusan makanan itu kepada Bu Dewi. Ia berdiri lagi dan mengambilnya dan melihat isi bungkusan itu. 

“Buat Aruna atau buat saya?” goda Bu Dewi lagi dengan senyuman ringan.

“Buat ibu,” aku menjawab dengan senyuman lebar, “Ya udah kalau gitu saya berangkat. Masih ada kerjaan, Bu.”

“Iya, makasi loh ini, ya?” ujar Bu Dewi sambil mengangkat sedikit bungkusan makanan itu. Aku mengangguk, lalu segera menuruni anak tangga untuk segera ke parkiran dan melaju dengan motor ke rumah Ares.

-oOo-

            Pada hari kedua, deretan acara pembukaan sudah tidak banyak. Acara berjalan lancar, dan masalah yang kami hadapi kemarin kini dapat kami tanggulangi dengan lebih baik. Namun, ada satu hal yang sedikit ganjil. Sejak dalam perjalanan, Ares dan Trisna tampak lebih banyak diam dibandingkan sebelumnya. Aku tidak tahu kejadian apa yang mereka alami saat Ares mengantar Trisna kemarin. Kami belum sempat berbicara banyak karena langsung disibukkan dengan pekerjaan begitu tiba. Untungnya, meskipun mereka tampak canggung, mereka masih bisa berkomunikasi dengan baik saat berurusan dengan pekerjaan. Aku melihat Trisna mencatat setiap kata yang disebutkan Ares. Syukurlah, hal ini tidak mengganggu tanggung jawab dan tugas mereka masing-masing. Itu yang terpenting saat ini. 

Siang menjelang, aku tengah sibuk bersama Pak Purwa, mengelilingi hall mencari tiga dari ratusan pengunjung yang datang untuk menemukan orang yang cocok untuk diliput memberikan ulasan mengenai acara ini. Saat kepalaku bergerak kiri dan kanan, mataku menangkap satu wajah yang aku kenal –Bu Sarah. Aku melihat dia dari kejauhan, memastikan wajah itu, wajah yang bahkan aku belum pernah lihat secara dekat. Aku sendiripun sebenarnya meragukan ingatanku. Apakah benar itu Bu Sarah atau tidak. Lalu mataku berkeliaran di sekitarnya, mencari sosok perempuan yang tadi malam aku pikirkan. Mungkin saja Aruna di sini karena dia juga berada di Tangerang. Aku memutar kepala, memutar tubuh, meluaskan pandangan, mencarinya di antara kerumunan.

“Mas? Mas Gamma!” Pak Purwa menepuk pundakku, “ada apa?” tanyanya dengan heran.

“Eh, iya. Maaf. Ga apa-apa, Pak. Yok, jalan lagi,”  aku melangkah mengikuti Pak Purwa, namun diam-diam mataku masih bergerak mencari Aruna. Aku sedikit berharap, jika memang aku yang tidak bisa menemukannya, dia yang melihatku dan datang menghampiriku.

“Ibu yang di sana itu cocok deh, Gam,” Pak Purwa menunjuk seorang wanita dan tidak kusangka yang ditunjuknya adalah Bu Sarah. Jika diperhatikan, Bu Sarah memang tampil dengan pakaian yang baik, ia mengenakan pakaian yang dipersiapkan namun tidak terkesan berlebihan. Kemeja corak bunga dan rok panjang dengan warna netral dan mengenakan jilbab warna senada dengan corak bunga yang ada di kemejanya. Tak lupa dengan flatshoes yang memberikan kesan sederhana namun bersahaja. Cocok sekali sebagai representatif pengunjung acara ini. 

“Oke.” Aku menghela napas, mempersiapkan diri untuk mengetahui jika benar wanita itu adalah Bu Sarah.

Aku mengikuti Pak Purwa dari belakang sambil mengatur kamera, sehingga aku tertinggal beberapa langkah. Tampaknya, Pak Purwa berhasil mengajak wanita itu untuk diliput. Percakapan mereka tidak terdengar karena di sekelilingku kebisingan membaur tidak teratur. Pak Purwa melihatku dan memberi isyarat untuk mencari tempat di pinggir yang layak untuk mulai mewawancarai. Aku perlahan menerobos kerumunan, memastikan kamera tidak tertabrak pengunjung yang sibuk menoleh ke kiri dan kanan, mencari stan makanan yang dijajakan.

“Nah, ini kameramen kita, Bu,” Pak Purwa memperkenalkanku. Bu Sarah mengangguk, tampaknya enggan mengulurkan tangan karena aku sengaja menggunakan kedua tangan untuk memegang kamera. Aku kemudian mengambil posisi yang tepat untuk mulai merekam, mengatur set dan posisi mereka agar tampil bagus dalam rekaman.

“Oke?” Pak Purwa mengonfirmasi kesiapanku. Aku memberikan kode melalui tangan, mengacungkan jempol.

            Pak Purwa mulai bicara dan memperkenalkan pengunjung ini kepada pemirsa yang menonton nantinya. Saat mendengar bahwa memang benar nama wanita ini adalah Sarah, seketika aku mulai sedikit gelisah. Pikiranku kembali ke Aruna, mempertanyakan keberadaannya, apakah dia di sini atau tidak, apakah dia melihatku atau tidak, apakah dia akan datang menghampiri atau tidak. Semuanya menjadi pertanyaan tanpa jawaban. Aku berusaha fokus dengan apa yang di depanku kini. Berkali-kali aku mencoba memusatkan pikiran dan mata pada layar kamera. Bu Sarah ini terlihat pintar, ia dengan cepat bisa memahami situasi. Kata-kata yang dikeluarkan tersusun rapi. Ekspresi yang ditampilkan ketika menjawab setiap pertanyaan dari Pak Purwa sangat pas, tidak di buat-buat dan tidak mencolok. Ulasannya sangat baik sehingga Pak Purwa tampak puas. Pak Purwa menyalami Bu Sarah sambil mengucapkan terima kasih. Aku masih saja menunggu, jika mungkin Aruna memang tidak mau menemuiku, setidaknya dia akan datang menghampiri Bu Sarah. Mataku masih bergerak mencari-cari Aruna di sekitar. Nihil. Bahkan saat Bu Sarah undur diri, Aruna tidak tampak sama sekali, yang akhirnya membuatku yakin bahwa Bu Sarah datang sendiri. Kuputuskan untuk berhenti. Lalu Aku dan Pak Purwa kembali mengelilingi hall, mencari dua pengunjung lain untuk diwawancarai.

            Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acara hari kedua ini sebenarnya lebih cepat selesai daripada hari pertama. Saat aku dan teman-teman mengemas semua peralatan, tim dekorasi juga tengah membereskan kembali hall ini agar bersih seperti sediakala. Ares meregang-regangkan tangannya ke atas, sepertinya dia lelah telah memangku kamera seharian, Trisna duduk di kursi plastik yang masih tertutupi kain putih dekorasi,  menggerakkan kepalanya kanan dan kiri, melemaskan lehernya yang kaku. Malam ini walaupun angin berhembus kencang tapi hawa yang dibawanya tidak terasa sejuk sama sekali. Gerah. Aku beberapa kali mengipaskan topi ke wajah agar terasa lebih segar, namun ternyata sama saja, tetap gerah. Lantas aku kembali menggulung topi itu masuk ke kantong celana. Suara-suara di hall terdengar menggaung, pertanda ruangan ini sudah mulai kosong.

“Res! Sini bentar tolongin gua.” Aku memanggil Ares yang sedang mengemas tripod. Dia bergeming dan masih sibuk sendiri. “Ares!” Aku memanggil sekali lagi. Jarak kami cukup jauh. Dia melihatku lalu datang dengan jalan yang dibuat-buat seolah lemah.

“Apa?” ujarnya tidak bersemangat. Entah karena memang lelah atau karena masalah dengan Trisna sehingga dia jadi tidak semangat yang aku sendiri juga belum tahu apa.

“Tolong angkat ini bentar, itu kabel kita nyangkut di bawah speaker, mau gua tarik takut nya ntar kabel kita yang putus.”

Ares bergerak cepat mengangkat speaker itu dan aku segera berjongkok untuk mengambil kabel yang terselip.

“Eh, lu kenapa ama Trisna?” tanyaku pada Ares yang kini ikut mengemasi barang-barang bersamaku. Ares menoleh sebentar ke belakang, melihat Trisna untuk memastikan bahwa dia tidak mendengar percakapan kami. 

“Gua cium,” jawab Ares dengan nada jengkel.

"HAH?!" aku terkejut setengah mati hingga rahang menganga.

“Suara lu, setan!” Ares menyikut lalu kami bersamaan melihat situasi di belakang, Trisna tampak sibuk memasukkan tas kamera ke bagasi mobil. Tidak mendengarkan kami, melihat pun tidak.

“Udah gila lu?!” mataku terbelalak.

“Ck! Au ah!” decak Ares kesal.

“Terus gimana?” aku menyelidiki. Sejujurnya dengan sedikit berantisipasi atas apa yanga akan aku dengar sendiri karena rasa penasaran.

“Nih, digampar gua kemarin,” Ares memperlihatkan pipi kiri nya yang ditampar Trisna. Tidak ada bekas kemerahan, seolah biasa saja. Aku menahan tawa.

“Mana ternyata dia punya pacar,” sambung Ares dengan raut kesal. Mendengar itu akhirnya tawaku lepas juga. Dia menyikut, mengingatkan bahwa mungkin Trisna akan mendengar. Aku dengan cepat sadar dan menutup mulut.

“Lah? Kan lu yang dari kemaren ingatin gua, liat situasi, Gam. Situasi. Jangan main pepet,” kataku saat sudah tenang. “Teori doang!” Aku memukul kepalanya lalu bergeleng ringan melihat Ares yang menggerutu sambil menggulung kabel.

            Kami sudah berada di mobil dalam perjalan pulang menuju rumah Ares. Suasana di dalam terasa kikuk dan canggung. Aku tahu masing-masing apa yang sedang dipikirkan Ares dan Trisna. Suara radio yang mengalun pelan menjadi pemecah keheningan.

“Gam, gua balik bareng lu ya?” Trisna tiba-tiba membuka percakapan.

Aku menoleh kepada Ares yang tengah menyetir, dia  diam saja berpura-pura fokus pada jalan. Aku jadi tidak tahu harus menjawab apa.

“Gua gak ada helm lebih,” ujarku lagi mengulur waktu menunggu Ares memberikan kode atau jawaban langsung.

“Gua bawa kok, tuh di belakang,” Trisna menunjuk bagasi. Kali ini dia mempersiapkan diri demi menghindari Ares, “Lagian gua mau ambil buku yang dulu lu pinjem, belum lu balikin, kan?” Trisna memaparkan alasan yang kuat.

“Sama gua aja, Tris. Nanti langsung aja pakai mobil. Udah malem banget," Ares menyambar segera dengan suara pelan dan juga terdengar tertahan. Aku melirik layar handphone yang kugenggam, sudah pukul sebelas malam dan kami baru saja meninggalkan hall. Melihat lalu lintas malam ini, aku perkirakan kami akan sampai di Jakarta tepat tengah malam.

“Gua sama Gamma aja,” Trisna mencegah dengan cepat, “Lu gak ada niatan pacaran lagi malam ini, kan, Gam?" sambung Trisna lagi. 

Aku yang tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana kembali melihat Ares, namun Ares hanya menaikkan kedua bahu dengan santai dan membentuk kedua ujung bibirnya ke bawah. Justru gerak-gerik nya semakin membuatku bingung. Sepertinya dia ingin aku saja yang memutuskan.

“Ya udah. Oke.” Akhirnya aku memilih untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengabulkan permintaan Trisna. Terdengar Ares menghela napas. Membuang beban pikirannya. 

            Sebelum mengantar Trisna, dia meminta mampir sebentar pada minimarket. Dia masuk dan aku menunggunya di parkiran sambil merokok dan memandang langit malam yang berawan.

“Dah. Yok!” ajak Trisna saat keluar dari minimarket.

“Titipan gua?” tanyaku seraya mematikan api rokok dan membuangnya, melemparnya ke tong sampah yang hanya berjarak satu meter dari tempatku berdiri.

“Iya, udah. Nih, kan? Bener?” Trisna membuka sedikit kantong belanja itu memastikan titipanku benar, shampoo dan kopi instan.

“Ya,” jawabku. Lalu aku merogoh kantong celana, “nih…,” aku memasukkan uang ke kantong itu sebagai ganti titipan belanjaan ku.

“Banyak amat, gak gua balikin ya?” ujar Trisna kegirangan.

“Iya. Aman.”

Lalu aku melajukan motor menuju kost untuk mengambil buku yang pernah kupinjam dari Trisna.  Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, jalanan Jakarta sudah mulai sepi. Lantas aku bisa sedikit lebih laju dari biasanya. Mengingat juga harus mengantar Trisna. 

            Sesampainya di kost, aku mengajak Trisna ke atas, karena tidak aman meninggalkan dia sendirian di parkiran. Di bawah, di lorong yang memang disediakan untuk menerima tamu, sudah sepi, kursi plastik untuk tamu juga sudah tampak tersusun rapi. Pak Yahya sudah tidak tampak, mungkin sudah pulang setelah membereskan semua pekerjaan.  Selama menaiki tangga, aku dan Trisna hanya berbicara mengenai pekerjaan hari ini, menyampaikan proses pengeditan nanti. Trisna juga tidak membahas masalahnya dengan Ares. 

Sesampainya di lantai tiga, aku melirik pintu kamar Aruna. Sepi sekali. Entah dia sudah kembali atau belum.

“Tunggu di sini. Gua ambil bukunya.” Aku meminta Trisna untuk berdiri di depan pintu saja. Tanpa membuka sepatu, aku langsung masuk untuk mengambil buku Trisna. 

“Gam, ini belanjaan lu gak diambil sekalian?” Trisna mengingatkan sambil menyodorkan kantong belanjaan.

“Oh. Iya,” aku kembali ke ambang pintu, ke tempat Trisna berdiri menunggu, memberikan buku kepada Trisna dan membawa bungkusan itu ke dalam untuk memisahkan antara belanjaanku dan belanjaannya yang ternyata kebanyakan berupa cemilan.

“Dah. Turun, yok!” ujarku keluar sambil mengunci pintu kembali.

Lorong tampak redup dan sepi. Cenderung sedikit ngeri. Kami menuruni anak tangga dengan hati-hati. 

“Ini cemilan lu,” ujarku pada Trisna memberikan bungkusan belanja lagi padanya.

“Oke, thanks.”

Saat kami menuruni tangga, aku mendengar suara langkah yang semakin mendekat dari arah bawah. Langkahnya pelan namun terdengar pasti. Aku memegang pundak Trisna yang berada satu tangga di bawahku. Memperingatkannya bahwa ada yang datang. Mataku terfokus pada tangga di bawah. Suasana di lorong tangga ini sedikit redup karena lampu yang sudah tua belum sempat diganti oleh Pak Yahya. Lalu dekat belokan tangga, langkah itu semakin terdengar. Aku sempat berhenti sebentar, mengawasi sekitar. Ketika mataku terpaku menunggu, aku terkejut mengetahui bahwa ternyata Aruna yang datang. Dia mengenakan sweater tebal dan celana jeans, lengkap dengan ransel, menandakan bahwa dia baru saja kembali dari perjalanan.

“Runa? Kamu baru pulang?” aku segera turun melewati Trisna yang juga terdiam.

Langkah Aruna tertahan melihat kami bergantian. Lalu tersenyum pada Trisna. Trisna membalas dengan hal serupa.

“Iya. Baru pulang.” Aruna menjawab sambil melihatku. Lalu dia pun mulai melangkahi anak tangga,  melewati kami begitu saja menuju lantai tiga. Aku  diam, melihat punggungnya yang menjauh perlahan.

“Lu ngapain? Yuk turun!” Trisna turun ke arahku berdiri dan menarik tanganku untuk segera ke bawah. Langkahku mengikuti Trisna namun perasaanku tersangkut di Aruna. Kenapa Aruna pulang larut malam? Aku bertanya sendiri. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu: Aruna melihatku bersama Trisna pada jam yang tidak sewajarnya. Tidak. Ini tidak boleh menjadi suatu kesalahpahaman lagi seperti kejadian Ares mabuk dulu. Aku berhenti mendadak membuat Trisna terkejut. “Tris, lu tunggu di sini. Bentar aja. Ok?” Akhirnya aku memutuskan untuk mengejar Aruna dengan harapan dia belum masuk ke kamarnya.

“Apa sih?” Trisna tampak kesal. Aku berlari menaiki anak tangga lagi. Melangkahinya hingga dua sekaligus untuk mengejar waktu. Dengan pencahayaan yang nanar aku terus menggerakkan kaki menuju atas lagi. Kepalaku terus mendongak mencari keberadaan Aruna.

Ketika aku sudah sampai di lorong lantai tiga, pijakan terakhirku di anak tangga beriringan bunyinya dengan suara kunci pintu kamar Aruna yang diputar dari bagian dalam. Aku terlambat, Aruna sudah berada di kamarnya. Aku bersandar pada dinding sebentar untuk mengatur napas yang tersengal. Sebelum memutuskan untuk turun menyusul Trisna, aku menyempatkan untuk melihat pintu kamar Aruna sekali lagi. Lalu setelah itu aku turun dengan pelan.

“Ada apa, sih?” tanya Trisna saat aku sudah sampai di dekatnya. Aku menggelengkan kepala, “Gak," jawabku datar. 

            Saat menuruni tangga, aku tersadar betapa impulsifnya tindakanku barusan. Aku tidak ingin Aruna salah paham, tapi benarkah dia salah paham? Jika iya, dan dia melihatku tergesa-gesa datang untuk menjelaskan situasi, apa yang akan dia pikirkan? Kami bahkan tidak berada dalam hubungan yang mengharuskan aku untuk meluruskan kesalahpahaman. Aku menggaruk-garuk kepala, merasa bingung dengan tindakanku sendiri.

-oOo-

            Aku terbangun dengan badan pegal. Setelah mengantar Trisna tadi malam akhirnya aku kembali lagi ke kost sekitar pukul satu malam. Mandi dan membereskan barang-barang, lalu menghempaskan tubuh pada kasur tepat pukul dua malam. Belum lagi pagi ini aku harus mengambil beberapa peralatan yang masih tertinggal di rumah Ares. Dengan mata yang kembali kupejam, aku mencari-cari handphone, meraba-raba sisi kiri dan kanan kasur, lalu malah menemukannya tepat di bawah bantal. Aku memaksa membuka kedua mata, melihat jam yang ternyata sudah pukul enam pagi dan memeriksa notifikasi yang ada: beberapa e-mail tidak penting untuk pembaruan beberapa aplikasi. Tapi aku langsung terbelalak melihat satu pesan. Pengirimnya Aruna. Aku membuka mata dengan benar dan langsung duduk, membuka pesan itu dengan perasaan campur aduk. Isi pesannya sederhana, dia membalas pesan terakhirku yang aku kirimkan pada Minggu subuh sebelum berangkat ke Tangerang untuk menanyakan apakah dia di kamarnya atau tidak, karena ingin memberikan makanan yang akhirnya berakhir di meja makan Bu Dewi. Dia menuliskan permintaan maaf karena baru membalas. Aku melihat waktu balasannya, hanya beberapa menit sebelum aku bangun. Aku membalas pesan Aruna, mengatakan tidak apa, dia tidak perlu meminta maaf. Aku memperkirakan Aruna tidak akan membalas lagi, mengingat sifatnya yang tidak banyak bicara. Lalu aku segera bangkit bersiap menuju rumah Ares untuk menjemput barang dan berdiskusi mengenai proses pengeditan materi festival kuliner kemarin. 

            Selesai mandi, bersiap-siap, lalu saat hendak memakai sepatu, aku meraih handphone  untuk mengirim pesan kepada Trisna, mengingatkannya tentang diskusi bertiga. Namun lagi-lagi mataku terpaku pada satu pesan yang masuk. Pesan dari Aruna lagi. Dia ternyata membalas pesanku tadi saat aku sedang mandi. Aruna menanyakan kepadaku apakah aku bisa menolongnya mengganti bola lampu. Aku segera membalas pesan itu, mengatakan aku bisa. Pesannya pagi itu membuat hatiku lapang. Akhirnya dia perlahan mulai berani untuk mengirim pesan duluan. Ya, walaupun sebuah pesan untuk meminta pertolongan. Aku bergegas memakai sepatu untuk segera keluar, mengetuk kamar Aruna.

            Saat aku membuka pintu. Aruna ternyata sudah menunggu di depan kamarnya dengan pintu terbuka. Dia berdiri di sana  dengan wajah yang masih apa adanya, terlihat baru bangun dari tidurnya, rambutnya tampak sekenanya dia rapikan dan satu hal yang berhasil membuatku hampir hilang fokus adalah, dia masih mengenakan gaun tidur. Jika diperhatikan memang tidak ada yang salah dengan gaun itu, gaun berwarna putih, berlengan hingga siku,  panjang hingga menutupi lutut, juga tidak menerawang. Benar-benar bukan tipe gaun yang menantang, namun bagiku itu sangat memabukkan. Betapa menggodanya semua itu jika dipadukan dengan tampilan wajahnya. Sama sekali berbeda dari dia yang biasa: kalau tidak memakai seragam kampusnya, dia akan mengenakan celana olahraga dan kaos longgar atau bahkan sweater sekalian.

“Gam …,” katanya dengan suara yang masih serak, “lampu kamar aku perlu di ganti, semalaman aku tidur cuma pakai lampu dari dapur,” ujarnya ketika aku berada tepat di depannya. Aku berdeham, mencoba memusatkan konsentrasi. 

“Oke, lampu gantinya ada?" tanyaku dengan suara tertahan. Lalu aku berdeham lagi

“Ada, yuk masuk. Pakai aja sepatunya, aku juga belum nyapu,” jelasnya lagi sambil mempersilahkan masuk. Aku menyusulnya, melepaskan dan meletakkan ranselku di lantai tepat di samping kasurnya.

Wangi Aruna lebih dominan kali ini di dalam kamarnya, masih wangi strawberry bercampur vanilla. 

“Aku gak punya tongkat itu, loh …,” Aruna menunjukkan gestur tangan seolah memegang tongkat pengganti lampu, “terus tadi malem juga coba naik ke meja, ternyata gak sampai,” sambungnya dengan tawa kecil.

“Meja ini?” tanyaku menunjuk meja belajar Aruna.

Aruna mengangguk.

“Kalau gitu aku pinjem, ya?” aku meminta izin darinya. Lantas Aruna dengan cepat mengemasi laptop, handphone, portable bluetooth speaker dan beberapa buku di atas meja itu untuk dipindahkan sementara ke kasur.

            Aku menggeser meja yang sudah kosong dan memposisikannya tepat di bawah lampu yang akan di ganti. Beberapa kali aku mendongak ke atas, memastikan posisi nya sudah tepat. Aku menambah kursi belajar Aruna di atasnya, kursi tanpa poros roda, lebih kokoh untuk dinaiki. Dengan cepat aku memanjat meja dan kursi yang bertumpuk itu, memutar lampu untuk melepasnya. Aruna menunggu di bawah. Lampu yang sudah berhasil kulepas itu kuberikan pada Aruna, lalu bergantian dia memberikanku lampu baru yang sudah dikeluarkannya dari dalam kotak.

“Kamu gak pakai lampu tidur, ya?” tanyaku padanya saat memasang bola lampu yang baru.

“Belum sempat beli, jadi yaah, nyalain lampu utama buat tidur,” jawabnya lagi sambil mengawasiku. Aku menundukkan kepala melihatnya dari atas sini, cahaya temaram yang merambat  dari lorong membuat siluet Aruna semakin indah.

Cantiknya….

“Udah. Coba tekan dulu saklar nya,” kataku.

Aku sengaja belum turun. Memastikan lampu baru ini bekerja dengan semestinya.

Aruna berjalan ke arah dinding lain untuk menekan saklar.

            Pats!

Lampu menyala terang menandakan sudah terpasang dengan benar. Aruna kembali ke arahku, mengawasiku yang siap-siap akan turun. Aku menunduk untuk melihat pijakan, namun satu pandangan kembali mengganggu, kali ini bukan hampir, tapi aku sudah hilang fokus karenanya. Goyah. Tadi saat gelap, aku tidak menyadari bahwa kerah leher baju tidur Aruna tidak selebar dan tidak serendah itu. Kini saat semua menyala dengan terang, aku bisa melihat jelas bahwa kerah baju itu sedikit terbuka dari yang biasanya terlihat ketika dia mengenakan baju kaosnya. Aku melihatnya dari sudut pandang atas. Dengan cepat aku mengangkat wajahku kembali, menatap lampu yang menyilaukan, sambil menutup mata untuk menahan kelebihan cahaya. Bibir bawah kini kugigit untuk menahan semua lonjakan di dada. Kedua tangan kupangku ke pinggang, napas panjang kuhembuskan,  mengatur irama detak jantung. Mungkin wajahku merah padam, mungkin juga, jika Aruna memeriksa seperti waktu itu, dia akan mengatakan tekanan darahku saat ini sedang tinggi.

“Gam? Kenapa? Kok gak jadi turun?”  tanya Aruna dengan segala kenaifan pada nada bicaranya.

“Pusing,” jawabku datar. Jujur, memang aku pusing melihat pemandangan seperti itu.

“Oh iya? Ayuk, turun dulu aku pegangin kursinya, ntar jatuh.” Suara Aruna dirambati kekhawatiran.

“Kamu geser dulu.” Kataku.

“Maksudnya?”

“Ambilin minum aja tolong.” Aku beralasan agar dia menghindar. Sedangkan di atas sini aku masih mendongak, memejamkan mata.

“O-oh? Oke. Oke.”

Aruna bergegas ke arah dapur, mengambilkan minum untukku yang bahkan tidak merasa haus sedikitpun. Lantas aku segera turun, menggeser dan menempatkan kembali meja dan kursi itu ke tempat semula.

“Nih minum dulu, sambil duduk, jangan berdiri nanti makin pusing.” Aruna menunjuk sofa kecil yang ada di samping kasurnya. Aku mengikutinya saja tanpa banyak bicara.

“Makasih, ya, Gam. Tadinya aku mau ke bawah, mau minta tolong Pak Yahya. Tapi ragu juga apa udah datang atau belum,” ucap Aruna.

Aku berhenti meneguk minuman, “Jangan,” kataku segera. Dan aku sendiri terkejut atas apa yang baru saja aku ucapkan, “maksudnya, aku aja. Kan lebih dekat, nggak perlu ke bawah.”

Bagaimana caraku memberi tahunya bahwa baju tidurnya mengkhawatirkan. Atau mungkin tidak. Itu bahkan bukan pakaian yang tidak sopan, hanya mataku saja yang melihatnya dengan pandangan yang berbeda, dengan cara yang berbeda pula.

“Masih pusing?” Aruna menatapku lekat, “kamu itu kurang istirahat. Minum vitamin, gak?” tanya Aruna lagi.

“Pusing dikit, ntar juga ilang kena angin.”

“Vitamin?” Aruna menanyakan sekali lagi.

“Ada. Aman.”

“Kamu mau ngampus sepagi ini?” tanyanya yang melihat ranselku tergeletak di lantai di samping kasur.

“Engga. Aku ngampus cuma Rabu sama Jumat pagi. Gak sepagi ini juga. Ini mau ke rumah Ares ada perlu,” aku menjawabnya sambil melihat Aruna menata barang-barangnya ke atas meja kembali. Gaun itu terlihat gemulai di badannya, mengikuti gerakan Aruna dengan lembut. Aku lagi-lagi menghela napas. Entah sudah berapa kali aku melakukannya dari tadi.

“Kamu ngampus nanti?” tanyaku lagi, kali ini aku harus mengetahui jadwalnya dulu agar bisa mengatur waktu bersama Aruna lagi kedepannya.

“Sebenarnya mata kuliah tinggal tiga semester ini. Senin, Selasa dan Jum'at. Tapi aku suka di kampus, ketemu temen sambil nyoba-nyoba angsur karya tulis ilmiah,” jawab Aruna.

“Suka di kampus ketemu temen?" tanyaku sedikit ragu membuat alisku terangkat satu, “Teman spesial?”

Aruna terkekeh, “Teman, cuma teman,” katanya.

OKE! 

Aku merasa lega dan tidak memikirkan hal lain. Aruna seharusnya memahami arah pembicaraan ini, dan aku memutuskan untuk berpikir seperti itu. Jika dia memang sudah memiliki pacar, dia pasti akan mengatakannya sekarang. Namun, dia tetap diam dan tidak menjawab pertanyaanku.

“Oh, ya. Kemarin malam itu, Trisna, teman kuliah dan kemarin kerja bareng,” Aku mencoba meluruskan kesalahpahaman.

Aruna melihatku, dia tersenyum. Entah apa arti senyumannya itu namun dia tidak menjawab apapun. Lalu setelah selesai merapikan mejanya. Dia menuju dapur, menuangkan air dari teko ke gelasnya.

“Iya,” jawabnya setelah gelas itu terisi penuh, lalu dia minum seteguk, “kamu keren banget kemarin di acara itu,” sambungnya lagi.

Seketika mataku membesar mendengar ucapannya. Aku yang sedari tadi tidak lepas dari melihat sosok indahnya, kini mengalihkan mataku pada pandangan lain, pada jendela yang lurus di depanku melihat cahaya pagi mulai menyusup masuk. Melemparkan kecewa yang datang menyusupi.

Kenapa kemarin dia tidak datang menghampiri? Tidak perlu berlama, cukup menyapa dan berbasa-basi, itu sudah berarti bagiku.

Aku melihatnya lagi yang datang dari arah dapur, melangkah pelan lewat di depanku untuk duduk di tepi kasur.

“Kamu … lihat aku sama Bu Sarah?” tanyaku lagi memastikan jika dia memang di sekitar situ.

“Lihat. Aku beberapa meter di belakang kamu.  Di stan, nungguin Bu Sarah selesai di wawancarai.” Jawaban Aruna meyakinkan.

Aku kembali diam, menatapnya yang mampu menjawab setiap pertanyaanku tanpa rasa tidak enak. Tanpa keengganan.

“Kenapa gak manggil atau nyapa?” Aku ingin tahu kenapa dia diam saja di belakang sana waktu itu.

Apa dia tidak melihat aku mencari-cari?

“Kamu sedang kerja, aku juga sedang makan di stan,” jawabnya singkat.

Benar, dia Aruna, dia akan menahan posisinya di tempat sewajarnya, bahkan jika dia tidak sedang makan waktu itu, aku yakin dia akan tetap menahan langkahnya untuk mendekat. Aku mengangguk, menyetujui pemikiranku sendiri. Lalu detik demi detik kami diam, tidak ada lagi percakapan.

“Runa, aku ke rumah Ares ya,” ujarku sambil berdiri dan meraih ransel, “Oh, ya. Kalau ada apa-apa, coba tanya dulu ke aku. Aku bakalan usaha bantuin. Oke?” pintaku padanya. 

“Oke. Sekali lagi makasih, ya?” Ujarnya sambil mengantarku ke pintu. 

“Ya. Gak masalah. Aku senang udah bantuin kamu.”

            Untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi, aku melihat sosok di depanku ini, sosok yang mampu menyuguhkan perasaan bagai menaiki wahana roller coaster yang melibatkan perasaan terpacu dan terhuyung dalam waktu sekejap.

 

(Bersambung)

 

Restart ©2023 HelloHayden

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • suryade

    Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah

    Comment on chapter Bab 14 (Cukup)
  • ana_yo

    Asli. Cerita lain yang umur SMA udah nikah, yang nikah sama CEO posesif, yang sibuk urusan cinta. Cerita ini tuh beda banget. Kebagusan tauuuu 😱. Kompleks dan real banget. Tokoh utamanya gak egois tentang dia terus. Tokoh2 lain mengisi baik. Yang paling suka mereka khas remaja semua. Lincah, semangat, pintar dan jahil.

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • aprillia

    Cerita nya bagus thor 😭 tokoh utamanya berhasil menggeser standar kim soo hyun ku. mau ngefans sama si gamma tapi dia fiksi. Tolong bgt 😭

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • hamid

    Inj bagus banget woii kata2 nya

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Ketika Kita Berdua
30649      4221     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Mimpi Milik Shira
468      255     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Story Of Chayra
8191      2568     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
TANGAN TANGAN ASTRAL
2551      1437     2     
Mystery
Memiliki kemampuan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib justru membuat kehidupanku berantakan. Banyak hal mistis yang mengikutiku bahkan sampai ke dalam urusan asmara. Terlebih lagi saat perjalanan hidupku bersinggungan dengan sebuah petilasan keramat yang bernama Sitinggil, jalinan cintaku dengan Anggit semakin mustahil. Nini Diwut sosok perempuan renta penghuni Sitinggil seakan ta...
NADA DAN NYAWA
12794      2456     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Orange Haze
314      214     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
Begitulah Cinta?
15264      2191     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
LINN
11279      1660     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
The Past or The Future
392      310     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Frasa Berasa
57815      6409     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...