Warning 21+
Ada beberapa keputusan tokoh, adegan dan latar dalam kisah ini yang membuat beberapa orang mungkin tidak nyaman, sebab itu saya melabeli Restart sebagai kisah dewasa (bukan vulgar). Harap bijak dalam membaca.
Salam,
HelloHayden.
Sapa saya di IG @helllohayden.id (Psst! Banyak teaser dan ilustrasi Restart)
PROLOG
Malam ini diselimuti oleh gelap yang lebih tebal dari biasanya. Angin dan dingin menusuk kulit ketika aku mengemas peralatan fotografi seperti tripod, lensa tambahan, reflektor dan beberapa baterai cadangan dari bagasi mobil. Suara daun-daun yang saling bergesekan, awan yang menggumpal dan tetesan air dari langit menunjukkan malam ini sepertinya Jakarta akan diguyur hujan. Aku bergegas mengemas peralatan, memikul ransel besar di pundak dengan langkah tergesa-gesa. Pikiranku hanya satu: istirahat.
Gedung kost ini tidak memiliki kesan berlebihan. Sederhana dan tertata. Memiliki pagar besi yang cukup kokoh, tegak dengan tiga lantai, terdapat area parkir dan seorang petugas kebersihan yang terkadang merangkap sebagai 'bapak tukang' jika penghuni gedung ini mengalami kesulitan dan butuh bantuan. Semua itu membuat kost ini menjadi pilihan yang tidak bisa ditolak oleh mahasiswa, karyawan bahkan untuk keluarga kecil.
“Nge-job begini seru juga kali, bang?” tanya basa-basi seorang tetangga saat kami berpapasan. Aku tersenyum, mencoba menyembunyikan kelelahan. Pekerjaan ini memang seru, tapi terkadang ada hari-hari yang harus aku lewati dengan tidak mudah. Kami berpisah di lantai dua sedangkan aku masih harus naik satu lantai lagi untuk sampai di kamarku. Samar terdengar suara gemuruh dari luar yang membuat dinding bergetar.
Baru saja menapaki lorong lantai tiga, aku merasakan getaran tegang di udara, menggema dalam benturan suara-suara dari ujung sana. Bukan. Ini bukan suara gemuruh tadi. Suara ini memilin hati menimbulkan kekhawatiran yang menggelisahkan. Kejadian ini lagi. Pertengkaran pasangan. Ini sudah yang kedua kali dalam dua minggu terakhir. Aku hanya bisa menunduk melewati mereka, berjalan perlahan, berusaha tidak campur tangan.
Aku meraih kunci dari dalam ransel dan segera membuka pintu. Saat hendak menutup pintu, aku tidak bisa menghindari kilatan mata wanita yang sedang berusaha menahan air pada pelupuk matanya. Aku semakin gelisah melihat dia harus beradu kata dengan laki-laki di depannya. Dia tidak pernah begitu, dulu.
Dinding ini tipis, gedung ini juga sangat sederhana sehingga tidak memiliki fasilitas peredam suara. Suasana di dalam kamar ikut-ikutan menegangkan sebab lengkingan suara di luar. Tiap perkataan saling beradu, silih berganti, tidak jarang terdengar suara lelaki semakin tinggi. Sulit sekali menemukan ketenangan di tengah riuh ini. Meski lelah, aku bahkan tidak bisa hanya sekedar rebah.
Cukup lama akhirnya perlahan suara ketegangan di luar mulai reda. Suara pria itu semakin sayup tidak terdengar menjauhi pertikaian. Aku terus saja memusatkan perhatian pada kamera yang sedang aku bersihkan. Tidak lama, pintu kamarku terbuka, membuat ku tersadar bahwa pintu itu belum sempat aku kunci sebelumnya. Sebuah kebiasaan. Tanpa menoleh, aku tahu dengan pasti siapa yang baru saja masuk. Langkah-langkah yang cepat mendekat. Tiap hentakan kaki nya membuat jantungku berdegup semakin kencang.
Sosok itu memeluk dari belakang. Seorang wanita yang dulu aku rindu, masih aku rindu, selalu aku rindu. Dia diam, namun pelukannya mengantarkan cerita yang bahkan belum dia sampaikan. Pandanganku masih setia menatap ke depan, namun hatiku telah terbang ke tempat-tempat di mana kami dulu mempunyai kenangan.
Dia masih di sana, memelukku dalam kesunyian yang penuh makna. Suaranya yang biasanya menjadi melodi penyejuk telinga, kali ini terengah-engah di antara nafas yang tercekat. Waktu seakan berhenti, membiarkan kita tenggelam dalam momen yang sulit ini. Dalam malam yang kian kelam, kita terdiam. Meskipun tidak ada kata-kata, namun di antara kita, segalanya telah diungkapkan. Kisah yang terpendam dan kerinduan yang tak sempat padam. Tubuhku tidak bergerak walau jantung tidak terkendali berdetak. Napas terhela panjang, mengembuskan beban yang terasa berat. Lalu, dengan suara parau aku mengucapkan pertanyaan yang selama ini terpendam, “sampai mana kamu sanggup menyakitiku, Runa?”
Detik itu berubah menjadi jeda panjang yang terisi dengan keheningan menekan. Tangisannya pecah dalam isakan yang menyakitkan. Aku diam, membiarkan dia melepas segala rentetan kepedihan. Tanpa kusadari, baju kaos yang kukenakan kini basah oleh air matanya yang bagai air bah. Suara tangisnya terdengar berpacu dengan gemuruh dan hujan yang mulai saling berdatangan.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)