Aku terburu-buru mengemas buku yang akan dibawa ke kampus. Sesekali mengangkat pergelangan tangan untuk melihat jam. Ck! Pasti telat! Dengan kesal berdecak sebab lima belas menit lagi tepat pukul delapan. Hari pertama semester tujuh sudah kacau karena terlambat masuk kelas. Kuraih jaket jeans yang tergantung di punggung kursi lalu segera keluar. Pandanganku tertuju pada dus-dus berbagai ukuran yang disusun teratur tepat di depan pintu masuk kamar 301, kamar kost persis berhadapan dengan kamarku, 303, yang hanya berjarak lorong dengan lebar kira-kira dua meter. Kamar itu sudah kosong nyaris selama empat bulan, bahkan sebelum libur semester enam. Dus-dus itu berjejer hampir menyentuh semua lantai lorong, membuatku harus sedikit berjingkat dan punggungku harus bersentuhan dengan dinding untuk bisa lewat. Seorang perempuan datang dari arah tangga, dia memeluk sebuah penanak nasi dengan kepala miring untuk memperhatikan langkah. Kami berpapasan. Dia terperangah melihatku yang jelas sekali kesusahan berjalan, lalu berkata, “Maaf, Mas,”dengan memperlihatkan raut tidak enakan, kemudian tersenyum ringan. Walau sekilas, aku dapat melihat rambut pendek sebahu itu bergerak ringan saat dia melompat-lompat kecil di antara dus. Sebagai balasan, aku mengangguk singkat. Pikiranku hanya satu: sampai kampus tepat waktu –walau mustahil. Setelah terbebas dari kepungan dus-dus itu, aku berlari menuruni anak tangga, menuju parkiran dan memacu motor.
Benar saja, aku datang terlambat sekitar sepuluh menit. Beruntungnya, dosen pagi itu terkenal baik. Aku masih diberi kesempatan untuk mengikuti kelas Saat ini aku tengah menyelesaikan kuliah jurusan Desain Komunikasi Visual pada salah satu kampus kesenian di Jakarta. Masih dua mata kuliah yang harus aku selesaikan untuk dapat maju mempresentasikan karya tugas akhir. Selain sibuk di kampus, saat ini aku juga bekerja sebagai freelancer di sebuah perusahaan garmensebagai fotografer komersial. Akhir-akhir ini kecenderungan berbelanja online sedang marak, ditambah dengan perubahan tren dalam industri fashion yang begitu cepat membuat perusahaan ini selalu memproduksi pakaian-pakaian baru dalam rentang waktu dekat. Aku juga melakukan pekerjaan kecil lainnya, misal: diminta satu media online untuk meliput behind the scene proses pembuatan film, atau sekedar meliput acara-acara yang sering diadakan di mall bahkan acara pernikahan. Pada dasarnya aku tidak pilih-pilih pekerjaan selagi waktunya tepat dan yah, menghasilkan. Hari-hari berlalu dalam rutinitas kampus, pengumpulan materi untuk karya tugas akhir dan pekerjaan. Tidak jarang aku kembali ke kost saat hari sudah mulai gelap.
“Wih, anak kuliahan baru pulang, nih …,” sapa Pak Yahya, petugas kebersihan gedung kost ini. Dia tengah merapikan kursi-kursi plastik yang memang disediakan untuk tamu. Aku yang baru saja memarkirkan kendaraan, mendekatinya sambil tertawa ringan.
“Iya, nih, Pak,” sahutku lantas berhenti sejenak, ikut merapikan kursi.
“Jangan, Mas. Saya aja yang beresin,” tegurnya.
“Gini doang, Pak. Lagian juga buat saya duduk. Nih!”candaku sambil duduk. Pak Yahya tertawa dan ikut duduk di sampingku sambil membakar rokoknya.
“Capek-capek belajar di waktu muda, biar tua nanti kerja nyantai banyak uang kayak pejabat negara,” guyonnya. Pak Yahya adalah sosok yang dikenal sangat ramah dan memiliki keahlian khusus dalam mengingat semua penyewa yang datang dan pergi dari setiap kamar lengkap dengan historinya.
“Wah, Bapak kelewatan nih!” aku membalas lagi guyonannya.
“Lah? Bener, gak?”
“Kelewatan benernya,” ucapku lagi dengan cepat. Lalu kami tertawa. Setelah mengobrol sedikit, aku pamit undur diri untuk segera naik.
Gedung ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama dan kedua masing-masing memiliki lima kamar lengkap dengan kamar mandi dan satu dapur umum. Sedangkan lantai tiga hanya memiliki tiga kamar. Kamar di lantai tiga memang lebih luas dibandingkan kamar pada lantai lainnya karena fasilitas dapur kecil, pantry istilahnya, di dalam kamar. Saat mencari kamar kost dulu, hanya terdapat dua kamar kosong, satu pada lantai dua dan satu lagi pada lantai tiga, aku tidak masalah jika menggunakan dapur bersama, toh nyatanya aku juga tidak memasak, namun akan tidak nyaman jika menjadi satu-satu nya pria di lantai dua. Lantas aku memilih kamar kosong pada lantai tiga untuk ditempati. Tetanggaku, kamar 302 ditempati oleh sepasang suami istri lalu di kamar 301 merupakan pasangan baru –dulu.
Lorong lantai tiga sudah terlihat bersih, tidak ada lagi barang-barang yang memenuhinya seperti pagi tadi. Kali ini aku bisa melangkah seperti biasanya, tidak perlu mencari celah. Sempat kulirik pintu kamar 301yang kedatangan penghuni baru, pintu itu tertutup rapat. Aku masuk ke kamar, membersihkan diri, lalu sudah sibuk lagi di meja kerja untuk mengangsur beberapa pekerjaan; seleksi foto dan koreksi dasar beberapa foto pakaian yang tadi siang aku potret. Lagu “Believer” dari Imagine Dragons sedang mengalun pelan melalui speaker bluetooth, tepat berdampingan dengan komputer. Saat tengah menikmati suasana pekerjaan yang menyenangkan, pintu kamarku diketuk.
Aku berdiri dan membuka pintu hanya selebar wajah.
“Hai, maaf mengganggu sebentar. Kenalin, aku Aruna, tetangga baru,” ujarnya cepat dan nyaris tanpa jeda. Tampak perempuan yang tadi pagi sibuk dengan barang-barangnya sedang berdiri dengan memangku dua kotak makanan yang sepertinya memang dipersiapkan untuk diberikan. Lantas kubuka pintu lebar. Kemudian dia mengulurkan tangan setelah kesusahan menyeimbangkan dua kotak itu agar tidak jatuh. Badannya cukup kecil dan juga pendek, kepalanya sejajar dengan bahuku yang sebagai pria juga tidak terlalu tinggi, normal.
“O iya. Gamma,” ujarku memperkenalkan diri seraya menyambut uluran tangannya, “udah selesai semua?”
“Udah,” jawabnya. “Nah, ini ada cemilan. Silahkan, Mas.” Dia memberikan satu kotak makanan yang dipangkunya. Aku menyambut pemberiannya. Saat pagi tadi melihatnya sekilas, aku tidak sempat memperhatikan bahwa ternyata wajahnya sangat ramah dengan sorot mata penuh keriaan. Tipe wajah dimana seseorang tidak akan segan meminta bantuannya walau baru kenal. Rambut hitam pendek sebahu itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu dan selalu mengikuti dengan ringan bahkan saat kepalanya membuat gerakan kecil.
“Terima kasih, Mbak.”
Dia tersenyum, “Jangan panggil Mbak. Panggil nama aja,” pintanya.
“Oh? Kelahiran tahun berapa?” tanyaku sedikit ingin tahu.
“Tahun sembilan lima. Tahun ini baru dua puluh dua,” katanya malu-malu.
Aku tersenyum lebar, tanpa sadar, karena mendengar kami lahir pada tahun yang sama. Senang seolah mendapat teman, sebab tetanggaku di unit 302, Bu Dewi dan Pak Rully, merupakan pasangan suami istri yang usianya hampir sama dengan orang tuaku “Kalau gitu panggil saya Gamma aja. Kita seumuran.”
“Oh, ya? Saya pikir tadi lebih tua.” Katanya kemudian.
Aku diam, bukan karena tidak suka dikatakan lebih tua, tetapi berpikir, bukannya dia yang terlihat seperti anak SMP?
Tidak lama, Bu Dewi keluar dari kamarnya, dia menoleh kepada kami, “Eh, Gam? Udah pulang?” tanyanya berbasa-basi, dia bahkan tampak sedang mencari-cari sendalnya pada rak yang bersandar disamping pintu kamar.
“Mau kemana, Bu?” tanyaku.
“Biasa, minimarket depan, beli tepung. Nitip?”
“Gak, deh. Hati-hati, Bu.”
“Makanya kamu temenin biar lebih aman,” ujarnya berseloroh.
Aku terkekeh.
“Kalau gitu saya pamit dulu, Gam. Saya mau menemui ibu itu sebentar untuk ngasih ini,” ujar Aruna lagi-lagi nyaris tanpa jeda sambil sedikit mengangkat kotak makan yang kini tinggal satu. Aku membalas dengan anggukan, dan segera menutup pintu setelah Aruna pergi beberapa langkah. Terdengar sayup suara halusnya itu berkata menawarkan diri akan menemani Bu Dewi ke bawah. Ramah banget! Batinku.
Malam entah sampai jam berapa, aku melanjutkan pekerjaan dengan cemilan dari Aruna sebagai teman pekerjaan. Kue bolu coklat-strawberry.
-oOo-
Selama ini tidak ada masalah yang berarti dalam kehidupan bertetangga kami. Penghuni lantai tiga memang sangat jarang bertemu dikarenakan masing-masing penghuni sibuk dalam rutinitas hari-hari. Pak Rully –suami Bu Dewi, merupakan pegawai swasta yang hampir setiap hari kekurangan waktu sehingga lebih sering pulang larut karena menyelesaikan pekerjaannya. Lantas Bu Dewi sehari-hari mengisi waktu senggang di rumah dengan membuat konten memasak untuk menyibukkan diri –pada awalnya, namun sepertinya sekarang Bu Dewi mendapatkan kebahagiaan karena hal itu. Setiap kali Bu Dewi membuat makanan, tak jarang hasilnya berakhir pada meja pantry di kamarku. Kuakui Bu Dewi memang mahir dalam hal ini, tak heran jika Bu Dewi menjadi terkenal diantara pengikut akun sosial memasaknya yang kebanyakan ibu-ibu muda di sekitar sini. Sementara itu, Aruna beberapa kali terlihat mengenakan seragam khas mahasiswi sekolah kesehatan. Aku menduga dia adalah seorang mahasiswi di Akademi Tenaga Kesehatan, mungkin jurusan keperawatan atau kebidanan.
Suatu sore, dia baru saja turun dari ojek saat aku baru sampai, sedang memarkirkan motor. Aku sengaja menunggunya dan menyamai langkahnya. Lalu berbincang-bincang ringan sambil menjelang sampai kamar. Saat itu Aruna menjawab bahwa dia adalah mahasiswi salah satu akademi keperawatan di sekitar kost kami. Aku tahu kampus itu. Lumayan dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki jika sedang tidak dikejar waktu. Ponsel Aruna yang berdering membuat perbincangan kami terhenti. Kami tidak banyak berbicara lagi setelah itu. Jika memang berpapasan atau kebetulan bertemu, hanya senyuman atau anggukan yang saling kami berikan. Begitulah kira-kira situasi di lantai tiga, lorong menjadi tempat paling sering untuk kami saling melempar senyuman ringan atau sekedar berbincang.
Sesekali aku menyempatkan video call dengan Ibu, Bapak dan adik perempuanku di Bogor.
-oOo-
Salah seorang temanku –teman baik, Ares, datang untuk menginap. Dia masuk begitu saja saat aku tengah video call dengan Ibu, Bapak dan adik perempuanku di Bogor. Pada masa awal kuliah, Ares seringkali bermalam di sini. Sering kami habiskan malam dengan serunya bermain PES atau gitar-gitaran. Tak jarang pergi ke bar dan minum sedikit untuk melepas tegang urusan kuliah atau pekerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, kunjungannya semakin berkurang. Aku sepenuhnya paham, mengingat semua dari kami tengah sibuk mempersiapkan kelulusan. Seperti malam ini pun, kami hanya sibuk dengan modul, jurnal dan buku untuk dipelajari ulang. Hanya suara pelan televisi yang menayangkan acara kuis-kuis murahan untuk memecah keheningan.
“Tetangga depan cakep, tuh?” celetuknya. Dia duduk dilantai bersandar pada kasur dengan mata bergerak kiri ke kanan, membaca satu buku.
“Iya, Aruna namanya,” ujarku seadanya sambil memilah modul yang akan kubaca.
“Lu nunggu apaan? Sikat lah!” seru Ares. Buku yang ditutupnya dengan kuat meninggalkan bunyi padat.
Aku diam dan melihatnya sebentar, lalu menggaruk sebelah alisku yang bahkan tidak terasa gatal.
“Ah! Lelet lu, Nyet!” rautnya mencemooh, “kalau gitu, gua aja yang maju. Gimana?” ujarnya santai, kembali membuka buku dan membacanya.
“Kebiasaan. Semua perempuan di embat!” ujarku sambil melempar modul padanya. Dia tertawa setelah berhasil menghindar. Temanku ini memang dikenal sebagai sosok yang sering mendekati perempuan. Tidak hanya itu, terkadang justru perempuan-perempuanlah yang menghampirinya. Keahlian Ares dalam memanfaatkan daya tarik fisiknya sungguh luar biasa. Selain tinggi, Ares memilikiwajah yang maskulin, beralis tebal, hidungnya berdiri sombong dan kokoh, rambutnya tumbuh sehat dan sengaja dia panjangkan hingga bisa diikat lalu semua isi wajahnya itu dibingkai oleh bulu-bulu halus pada yang dia pelihara dengan baik. Sekilas dia terlihat seperti bule. Aku yakin, meskipun dia katakan tidak ada, dalam garis keturunannya, entah moyang-moyangnya mungkin saja ada yang berpaut-paut dengan penjajah. Belanda atau Portugis, misalnya.
“Pendiam, tertutup. Lagian jarang ketemu,” kataku.
“Ya iyalah ketutup, kalo kebuka, kan, gimana, ya …,” Ares menimpali dengan guyonan dan tertawa ringan. Sebagai sesama pria aku paham benar apa yang ada di kepalanya, “Lu minta nomornya lah! bego amat!”
“Ya, ntar deh itu.” jawabku sambil menghempaskan diri ke kasur.
“Terserah dah!” Ares mencibir.
Malam itu entah bagaimana caranya, aku tertidur di lantai dan Ares tertidur di sofa dengan televisi masih menyala. Pagi besoknya, dalam kecepatan yang tak terduga, kami berdua bergegas ke kampus karena jadwal kuliah mendadak maju dari seharusnya. Ares bahkan tidak sempat mandi. Dia hanya mengganti baju dengan bajuku dan segera mengemas buku-bukunya dengan cepat.
Sorenya, saat langit mulai jingga, sambil membawakannya kopi aku duduk sebentar bersama Pak Yahya. Bapak berusia pertengahan empat puluh tahun itu menerima pemberianku dengan senang hati. “Tau aja lagi haus,” ucapnya.
Aku hanya ingin melepas penat sejenak sambil santai duduk menjelang matahari tenggelam.
“Apa kabar di rumah, Pak?” tanyaku.
“Yah, gitu lah, Mas. Anak saya yang kedua minta ulang tahunnya dirayakan di sekolah.”
Pak Yahya sedikit berkesah. Anak Pak Yahya ada dua, yang bungsu ini dulu sering terlihat datang saat sore menemaninya, usianya masih sekitar empat atau lima tahun saat itu.
“Siapa? Zahara ya namanya? Udah sekolah?” aku bertanya.
Pak Yahya menghabiskan kopinya. Sambil menutup kopi itu kembali dia menjawab, “Iya, Zahara. Udah sekolah baru masuk TK kemarin ini.”
“Yaaa mungkin pada liat temen-temennya ulang tahun di sekolah.”
Pak Yahya manggut-manggut menyetujui ucapanku sambil berdiri membuang botol kopi yang sudah kosong. “Mas Gamma sendiri apa kabar? Udah akrab sama tetangga baru? Udah tiga bulan lebih, loh,” tanya Pak Yahya. Pada kalimat terakhir, dia menaikkan alisnya dengan cepat beberapa kali sambil tersenyum usil.
Aku tertawa merasa dikerjai orang tua, “Yaa gitu-gitu aja, Pak. Sama-sama sibuk jadi hampir gak pernah ketemu,” jawabku seadanya sambil membersihkan sedikit tumpahan kopi yang mengenai kemeja flanel. Aku memiliki gaya yang monoton, perpaduan kaos polos dan kemeja flanel sebagai luaran dipadukan dengan celana jeans dan sepatu converse.
“Tadi dia udah pulang, lho. Bisa kali makan malam bareng, Mas?” guyonan Pak Yahya seakan semakin menekan, menjurus memaksa.
“Itu sih jelas maunya Bapak,” ujarku membalas candaannya.
Pak Yahya tertawa, “Mas Gamma bisa aja!” sambungnya.
“Ya udah, saya naik dulu, Pak.”
“Mau makan malam bareng?” tanya Pak Yahya cepat, dia masih saja bercanda. Matanya membesar seolah menunggu jawabanku. Tapi aku memillih diam sambil menggelengkan kepala lantas melepas tawa juga.
Lorong terlihat sepi. Mataku menyelip ke arah pintu Aruna. Sunyi, tidak bisa dikira-kira apakah penghuninya benar berada di balik sana atau tidak. Sejak meninggalkan Pak Yahya, kata-katanya justru menggelitik kepala. Ada-ada saja ide Pak Yahya, tapi nyatanya aku malah mempertimbangkan ucapannya–untuk makan malam bersama Aruna.
Ah! Sudahlah. Aku menegur diri sendiri dan memilih membiarkan hubungan ini mengalir dan saja. Sebagaimana mestinya maka seperti itulah seharusnya. Dengan nafas yang sedikit terhela, aku masuk kamar.
Warna jingga tadi mulai hilang seturut warna pekat malam datang. Mataku tengah fokus memilih-milih hasil jepretan kamera pada layar komputer sedangkan jari telunjuk bergerak atas ke bawah pada gulir bulat mouse. Tidak ada musik, bahkan saking sunyi terdengar suara tetesan air dari keran kamar mandi yang tidak bisa tertutup rapat. Getar handphone yang mendengung tiba-tiba memecah hening. Aku mengangkat panggilan itu setelah melihat nama ibu tertulis pada layarnya. Suara ibu yang biasanya kukuh, kini terdengar hancur dalam isakan tangis yang memilukan. Kata-katanya tidak lagi jelas, terhalang oleh rintihan pilu. Aku memanggilnya berkali-kali tapi isakan itu tidak juga berhenti. Aku semakin gelisah karena tidak tahu apa yang terjadi. Dadaku berdegup liar mencoba mencari-cari kepastian. Aku berulang kali meminta ibu untuk tenang, namun sepertinya ibu tidak mampu mengalahkan deru emosinya. Lantas Marwa, adikku mengambil alih ponsel dari tangan ibu.
“Kak, Bapak meninggal.”
Kalimat singkat Marwa yang baru saja kudengar justru membuat sekujur badanku gemetar panjang. Degup jantungku tidak lagi mengenal tempo dan irama, membuat setiap tarikan napas menjadi berat. Aku hanya bisa membeku sejenak, mencoba mencerna makna di balik kata-kata yang baru saja aku dengar. Suara Marwa di ujung telepon terus terdengar, berusaha menjelaskan apa yang terjadi di sana meski terbata-bata. Namun di telingaku, itu terdengar seperti gaungan samar. Mataku mulai buram sebab air mata menggantung di tepi pelupuk.
“Aku pulang sekarang,” ujarku lemah memotong pembicaraan Marwa. Lalu menutup panggilan dengan perasaan gundah.
Aku segera mengemas ranselku dengan barang yang benar-benar diperlukan. Segera kugenggam jaket yang tergeletak di kasur. Tenggorokanku terasa tercekik oleh gumpalan rasa sakit juga tengah berjuang keras menahan air mata agar tidak tumpah. Kakiku terasa gamang menapaki tiap langkah, namun aku paksakan membawa diri kepada pintu.
Baru saja pintu terbuka, aku bertatapan dengan Aruna yang sepertinya baru saja keluar dari kamar. Dia berdiri ditengah pintunya yang terbuka. Kami saling berpandangan. Namun sepertinya raut wajah kesedihan tidak dapat aku sembunyikan. Dan seperti mengetahui bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, lantas dia bertanya, “Ada apa, Gam?”
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba segala pertahananku untuk tetap tegar mulai goyah. Air mataku kini perlahan, satu-satu, jatuh membasahi pipi.
“Aku pulang sebentar. Bapakku meninggal,” ujarku pelan dan segera menyeka air mata. Bahkan mungkin suaraku terdengar parau olehnya.
Aruna terperangah dan menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian melihatku dengan wajah iba. Langkahnya semakin mendekat dan seiring itu dia mengembangkan tangan dan mendekapku. Dekapan seorang teman, dekapan seorang yang memiliki empati.
“Hati-hati dan kuatkan diri,” ujarnya sambil menempuk-nepuk pelan punggungku.
Mendengar itu, aku justru semakin tidak mampu menahan hujaman perasaan. Air mata yang tadi hanya perlahan mengalir, kini tumpah seperti air bah. Tidak terbendung. Dia melepas pelukan dan melihatku sekali lagi. Kali ini Aruna yang menyeka air mataku dengan ujung lengan bajunya yang panjang. Hal itu membuatku tersadar bahwa aku tidak bisa terus bersedih di sini. Ibu dan adikku sedang menunggu.
“Aku pergi dulu,” kataku lagi. Aruna mengangguk pelan. Lalu aku pergi meninggalkannya yang masih berdiri di sana.
Aku menguatkan diri, menuruni anak tangga dengan udara yang terasa menekan-nekan bahu. Melewati Pak Yahya yang sedang duduk dengan Bang Tigor. Mereka memanggil dengan khawatir. Aku tidak sempat menghiraukannya, berusaha secepat mungkin meraih motor.
Aku mengendaraidengan laju menuju Bogor. Selama perjalanan aku hanya bisa menangis dalam diam, mengatur tiap isakan sambil memusatkan pandangan ke jalan.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)