"Kalau itu aku, kenapa dia punya rambut lebih rapi dan abs lebih banyak?"
Langit Ethereal kini sepenuhnya gelap, seperti tirai malam yang menelan warna.Petir ungu menyambar-nyambar. Angin membawa bisikan yang menyeramkan.
Suara sejati… tak selalu berasal dari terang.
Satu detik yang lalu, semuanya tampak seperti klimaks dari konser dunia yang epik. Detik berikutnya, atmosfer berubah drastis, seperti panggung yang tiba-tiba mati lampu saat encore belum dimulai.
Petir ungu kembali menyambar di udara. Bumi (atau apapun yang membentuk dataran Ethereal ini) bergetar seperti speaker rusak di konser metal. Di depan para pangeran, berdiri tujuh sosok yang tampak persis seperti mereka, tetapi lebih suram, lebih dingin dan lebih stylish dalam cara yang sedikit menyeramkan. Dan tentu saja, lebih banyak glitter di mata.
“Perkenalkan…” ujar Orpheus memecah kesunyian. Ia melangkah maju dengan gaya presenter reality show, lengkap dengan suara dramatis dan spotlight yang entah muncul dari mana, “Mereka adalah… The Echoed Seven. Bayangan dari luka, trauma, dan kebohongan yang kalian sembunyikan selama ini.”
MarJayHop menatap takjub. “Kita punya versi evil? Dan kenapa dia pakai eyeliner sekelas drag queen?”
MarViTae menyipitkan mata. “Dia kelihatan lebih cool dari aku sendiri. Aku tersinggung.”
MarChimmy, seperti biasa, mencoba melakukan pendekatan diplomatis. “Hai ..., aku tahu kamu mungkin sakit hati. Tapi gimana kalau kita selesaikan ini dengan milkshake dan pelukan?”
Dark Chimmy hanya menyeringai, lalu mengeluarkan nada tinggi yang menyebabkan lantai di bawah mereka retak seperti hati habis dighosting.
Serana berdiri di tengah. Di antara tujuh pangeran yang datang untuk menyelamatkannya, dan tujuh versi gelap yang—anehnya—tampak seperti tahu apa yang dia rasakan.
Orpheus tersenyum simpul. “Kau pikir, mereka datang untuk menyelamatkanmu? Mereka ke mari hanya untuk menyelamatkan versi dirimu yang mereka inginkan. Bukan yang sesungguhnya.”
Serana memandangi mic ungunya atau lebih tepatnya, mic ungu punya MarJuki yang kini berdenyut lembut seperti jantung kedua. Suara-suara di kepalanya saling bertarung, berusaha untuk saling mengalahkan, merasa paling benar. Suara harapan dan suara dendam. Suara “ayo bertahan” dan suara “sudah cukup.”
“Jadi… kamu ingin aku ikut menghancurkan Bumi?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Bukan menghancurkan,” jawab Orpheus. “Menyucikan. Dunia yang tidak pernah mendengarkan kita, maka dari itu, harus diganti.”
Dan tiba-tiba saja, semua bergerak sekaligus bersamaan.
****
The Battle of the Backsound
MarYoonGa menghadapi Dark YoonGa. Keduanya tampak seperti rapper underground yang lupa membawa beat. Mereka saling lempar rima penuh emosi. “Kau sembunyikan kesedihanmu di balik irama!” teriak Dark YoonGa.
“Dan kau sembunyikan egomu di balik kemarahan!” balas MarYoonGa.
Sementara itu, MarJooni terpaksa menghadapi versi dirinya yang jauh lebih disiplin. Dark Jooni membawa penggaris. Aura yang terpancar dari versi gelapnya adalah layaknya visual seorang guru matematika yang tegas.
“Kamu terlalu memaafkan orang lain!” bentak Dark Jooni.
“Dan kamu terlalu keras pada dirimu sendiri!” balas MarJooni sambil nyengir, lalu melempar binder berisi puisi.
MarJayHop bertarung melawan dirinya yang jago breakdance. Namun, dia malah lebih sibuk mengeluh.
“Nggak adil! Dia bisa flair sambil split, aku aja baru bisa handstand tiga detik!”
Dark JayHop jungkir balik tanpa berkeringat. “Karena aku bagian dari ambisi yang kau pendam. Aku adalah semangat yang kau takutkan!”
Di sisi lain, MarViTae terkunci dalam ilusi waktu oleh versinya yang bisa menghentikan detik.
“Kau selalu berpura-pura tenang,” ujar Dark ViTae, “Padahal kau hanya takut kecewa.”
“Bukan takut,” jawab MarViTae sambil menarik napas. “Aku hanya ..., belum siap.”
Sementara itu MarJinny dan DarkJinny saling mematut diri dalam cermin. Mereka beradu ketampanan dan juga mencari pemenang di antara keduanya yang paling panjang dan kuat dalam hal menggerutu.
MarChimmy seperti sudah bisa kita duga, he's just being Chimmy. Dia memeluk versi gelapnya dengan paksa sambil bernyanyi lullaby.
“Aku tahu kamu cuma butuh pelukan validasi!” katanya dengan nada ceria.
Dark Chimmy menangis dalam diam. Mic-nya patah karena terus-menerus tertimpa air matanya sendiri.
MarHyuk? Duduk di pinggir arena sembari mencatat. Sesekali ia terlihat mengangguk seperti dosen yang tengah menyaksikan mahasiswanya presentasi.
“Menarik. Representasi ego dan bayangan dalam format visual. Seharusnya ini menjadi objek penelitian disertasiku.”
Hanya MarJuki yang memilih untuk tak bertarung, sebab DarJuki telah kalah telak darinya, dalam pertarungan saling beradu otot dan mencari siapa di antara mereka yang paling sixpack. Sudah jelas, dirinya yang jadi juara. Dia memalingkan wajah ke arah Serana, menatap gadis itu dengan sorot mata yang sulit untuk diterjemahkan.
“Aku tahu kamu sedang bingung,” katanya lembut. “Tapi kamu tak sendirian. Kami tak akan membiarkanmu kesepian.”
****
Mic yang Bersuara
Serana menunduk. Di dalam dirinya, terdapat dua suara yang saling bersahutan. Yang satu ingin membiarkan semuanya meledak, menjadi suara paling lantang, paling kuat, serta paling didengar. Sementara yang satu lagi, mengingat bagaimana lagu pertama yang ia tulis adalah untuk menghibur Dera sahabat masa kecilnya bila merasa sedang tak baik-baik saja. Bagaimana dulu, niat ia bernyanyi bukan untuk mencari perhatian, melainkan sebagai harapan, cahaya penerang bagi jiwa-jiwa yang kesepian.
Petir ungu kembali menyambar. Tapi kali ini, cahaya itu tak lagi terlihat menakutkan. Mic ungunya bersinar, lembut tetapi tegas. Seperti suara ibu yang memeluk dalam mimpi.
Serana maju ke tengah arena, hingga membuat semuanya diam membisu.
“Aku ..., tak akan memilih kalian.”
Orpheus tampak bingung. “Apa maksudmu?”
“Aku tidak ingin dunia memaksaku untuk membenci atau memaafkan,” tegas Serana. “Aku ingin menciptakan dunia yang menjadi pendengar.”
Mic ungu pun meledak, bukan dalam kehancuran. Melainkan dalam cahaya yang merambat seperti melodi indah yang menelusup ke dalam hatisanubari setiap insan.
"Goodbye, Shadows," bisiknya pelan.
Para Echoed Seven pun mematung.
Dark MarJuki berjalan ke versi aslinya, lalu menyampaikan sebuah pesan. “Kalau kau berani jujur pada dirimu sendiri, maka aku tak perlu ada.”
Satu per satu, mereka mulai menghilang. Seperti bayangan yang tak kuat menahan bias cahaya kebenaran. Mereka pun menarik napas lega, sementara Orpheus tampak marah, tapi raganya juga merasa lelah. Ia pun berbalik, seolah-olah menyerah kalah.
Tak lama kemudian, hal yang tak mereka sangka-sangka pun terjadi dengan cepat.
"Red Crystal. Crimson Doom," bisik Orpheus sembari tertawa pelan. Di telapak tangannya, muncul beberapa butir kristal berwarna merah darah. Ia pun menggenggam senjata terakhir andalannya itu erat-erat, seperti tak ingin sebutir kristal pun jatuh ke tanah.
“Kalian pikir ini akhir cerita?”
Orpheus mengangkat tangannya dan melempar kristal merah darah itu ke langit. Retakan dimensi membelah langit Ethereal seperti kaca pecah.
Semua pun terpaku dan kembali ke mode waspada.
“Mic ungu hanyalah salah satunya. Masih ada enam lainnya. Dan satu di antaranya telah jatuh… ke tangan musuh kita yang sesungguhnya," ancam Orpheus.
Tawanya membahana memenuhi alam sekitar, bersamaan dengan munculnya retakan yang semakin lama, semakin meluas. Dari dalamnya muncul siluet tubuh tinggi, tegap, dengan aura yang membuat Orpheus sendiri tampak gemetar, hingga ia pun mundur beberapa langkah.
Suara berat terdengar dari balik kabut.
“Selamat datang ..., di konser terakhir dunia kalian.”
Ini juga bikin ngakak
Comment on chapter Lost