“Aina mana, Bi?” tanya Rayyan.
Pukul lima tiga pukul menit saat Rayyan tiba di rumah. Ia langsung bertanya kepada salah satu asisten rumah tangga tentang keberadaan Aina.
“Non Aina di kamarnya, Tuan. Apa perlu saya panggil?” ujar bibi art tersebut.
Rayyan hanya diam sambil melirik pria berambut pirang yang berdiri di belakangnya. Kali ini memang Rayyan datang bersama Davin. Tepat seperti permintaan Davin tadi siang, kali ini Rayyan mengajak Davin berkunjung ke rumah untuk menjenguk Aina.
“Iya, Bi. Bisa panggilkan dia!” Rayyan akhirnya bersuara.
“Hei, Rayyan!! Kalau dia benar sakit, kenapa kita tidak menjenguk di kamarnya saja?” sahut Davin.
Rayyan mengernyitkan alisnya menatap Davin. Rayyan masih paham adat istiadat dan tata krama yang berlaku. Sepertinya pantang bagi seorang pria masuk ke kamar seorang gadis. Apalagi jika tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka.
“Kenapa? Apa tidak boleh?” Davin menepuk bahu Rayyan menginterupsi lamunannya.
“Gak boleh, Davin. Kita gak boleh masuk ke kamarnya. Biar Bibi yang panggilkan Aina.”
Davin manggut-manggut kemudian sudah duduk di ruang tamu. Sementara Rayyan bergegas masuk menuju kamarnya. Ia sudah meminta bibi pelayan untuk memanggil Aina tadi. Namun, sepertinya bibi pelayan itu tidak berhasil memanggilnya. Rayyan mendengar penolakan Aina. Sepertinya Aina sedang berada di balkon dan Rayyan bisa mendengar dengan jelas suara Aina dari kamarnya.
Usai berganti baju, Rayyan segera berjalan keluar balkon dan tepat dugaannya. Aina sedang berdiri melamun sambil memangku tangan di atas pagar balkon.
“Pacarmu datang, tuh!! Buruan keluar!!” Rayyan bersuara dengan keras.
Aina terkejut dengan ucapan Rayyan dan gegas menoleh ke arahnya. Aina melihat Rayyan dengan sinis sementara kedua alisnya ikut terangkat bersamaan.
“Aku gak punya pacar.” Aina menjawab tidak kalah ketus.
“Terus Davin siapa, kalau bukan pacarmu?”
Aina seketika membelalakkan mata melihat ke arah Rayyan. Melihat reaksi Aina, Rayyan langsung tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Jadi masih pedekate, belum jadian. Aku pikir sudah jadian.”
Aina semakin kesal mendengar ucapan Rayyan. Ia tidak menggubris dan gegas masuk ke dalam kamar. Rayyan hanya tersenyum miring melihat reaksi Aina.
Aina baru saja hendak menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, tiba-tiba Nyonya Amanda masuk ke kamar.
“Aina, apa kamu tidak tahu kalau ada temanmu datang?”
Aina terkejut, urung berbaring dan duduk di atas kasur dengan bingung. Padahal dia malas bertemu siapa pun hari ini. Kenapa juga Rayyan malah mengajak Davin ke rumahnya?
“Eng ... iya, Nek.”
“Cepat temui dia!! Sebelum papamu marah.”
Aina terperangah kaget. Kenapa juga sekarang malah ada Tuan Farid? Jangan-jangan Tuan Farid asyik mengobrol dengan Davin. Dengan gegas Aina, bangkit. Merapikan rambutnya kemudian berjalan keluar kamar. Tepat tebakannya, di ruang tamu Aina melihat Davin sedang mengobrol dengan Tuan Farid. Kali ini ada Rayyan juga yang duduk di sebelah Davin.
“Nah ini Aina. Ayo, sini Aina!!” seru Tuan Farid.
Aina berjalan pelan sambil menundukkan kepala, kemudian duduk di sebelah Tuan Farid berhadapan dengan Davin. Davin tersenyum melihatnya.
“Temanmu menjenguk, Aina. Kenapa kamu tidak keluar tadi?” imbuh Tuan Farid.
Aina hanya tersenyum meringis sambil mendorong juntaian rambutnya ke balik telinga.
“Aku ketiduran, Pa. Tidak dengar.” Mendengar jawaban Aina, Rayyan langsung memalingkan wajah sambil berdecak.
Aina hanya diam sambil melirik Rayyan dengan tajam. Pria satu itu memang menyebalkan. Rasanya tingkat kebencian Aina padanya sudah di atas puncak dan siap meletus kapan saja. Ia tidak peduli meski Rayyan kemarin sudah menolongnya.
“Om tinggal dulu, ya!!” Tuan Farid gegas bangkit meninggalkan mereka bertiga.
Tak lama kemudian, Rayyan sudah bersiap bangkit. Namun, Aina langsung memelotot ke arahnya seakan meminta Rayyan kembali duduk. Awalnya Rayyan tidak menghiraukan permintaannya. Namun, Davin sudah bersuara.
“Kamu di sini saja, Rayyan. Aku takut Aina tidak mau bicara kalau hanya kami berdua.”
Rayyan berdecak sambil menggelengkan kepala dan kembali duduk. Dia duduk di sebelah Davin yang duduk berhadapan dengan Aina. Kalau dilihat-lihat dia seperti obat nyamuk saja sekarang.
“Kamu sakit apa?” kini Davin mengajukan pertanyaan ke Aina.
Aina terdiam. Dia bingung harus bilang apa sekaligus juga malu. Kemudian tak lama Aina sudah membuka mulut.
“Sakit perut. Aku sakit perut.”
Davin manggut-manggut mendengarnya. Sementara Rayyan hanya diam sambil melirik Aina dengan sudut matanya.
“Apa sekarang sudah lebih baik?” Lagi-lagi Davin bertanya dengan penuh perhatian.
Aina mengangguk sambil menundukkan kepala. Kalau mau jujur, ia sama sekali belum sehat. Bagaimana mungkin sakit datang bulan bisa hilang secepat itu? Bukankah rasa sakit ini akan hilang jika masa datang bulannya selesai.
“Lain kali jangan makan sembarangan, ya. Oh ya, kata Rayyan kamu suka coklat. Apa tidak masalah kalau kamu makan coklat?”
Aina terdiam dan melirik ke arah Rayyan. Rayyan membalasnya dengan tatapan datar. Namun, Aina kini yang sibuk bertanya dalam hati. Kenapa Rayyan tahu kalau dia suka coklat? Padahal Aina tidak pernah mengatakan hal itu pada Rayyan. Di kehidupan sebelumnya, Rayyan memang selalu membelikan Aina coklat kesukaannya. Gadis itu akan merengek jika Rayyan tidak menurutinya.
Aina menghela napas panjang, menjauh dari mata Rayyan dan gegas mengangguk.
“Iya, tidak masalah. Terima kasih, Davin. Seharusnya kamu tidak perlu serepot ini.”
Davin tersenyum sambil meletakkan satu box coklat ke atas meja. Aina tahu betul berapa harga satu box coklat itu. Pastinya uang saku anak SMA tidak akan cukup membelinya. Namun, Aina tahu siapa Davin. Dia anak orang kaya, tentunya membeli satu box coklat itu tidak masalah baginya.
“Kamu mau memakannya? Aku bukakan, ya?”
Aina mengangguk, kemudian Davin sudah membuka kotak coklat itu dan mengulurkannya ke Aina. Aina hanya diam tertegun menatap aneka macam bentuk coklat yang terdapat di box itu. Ini adalah salah satu coklat kesukaannya. Makan coklat saat pms memang sangat memperbaiki mood. Baru saja tangan Aina hendak mengambil salah satu coklat tersebut, tiba-tiba tangan Rayyan sudah lebih dulu mengambilnya.
Seketika Davin dan Aina menoleh ke arah Rayyan. Rayyan hanya diam dan urung memakan coklat yang baru diambilnya.
“Kenapa? Apa obat nyamuk gak boleh makan coklat juga?”
Davin langsung mengulum senyum dan menggeleng.
“Gak, makan saja!! Aku akan membelikan lagi untukmu juga.” Rayyan langsung tersenyum dan tanpa sungkan memakan coklat yang baru ia ambil.
Sementara Aina semakin kesal dengan ulah Rayyan. Kenapa juga sepupunya itu selalu bertingkah menyebalkan?
Aina sudah menikmati coklat dari Davin dan mereka kembali mengobrol hal random. Lagi-lagi Rayyan jadi pendengar dan hanya sesekali menyeletuk saat Davin bertanya padanya. Aina sepertinya sudah menikmati obrolan mereka, kemudian tiba-tiba Davin izin untuk ke toilet.
Aina mengantarnya dan gegas kembali ke ruang tamu. Ia masih melihat Rayyan duduk di tempatnya dan terlihat asyik menikmati coklat. Aina hanya diam sambil melihat Rayyan dengan sudut matanya. Aina paling malas kalau harus berinteraksi berdua dengan Rayyan seperti ini.
Kemudian tiba-tiba Rayyan melihat ke arahnya. Mata pekat pria tampan itu menatapnya tajam. Aina risih melihatnya dan buru-buru memalingkan wajah. Namun, Rayyan malah bangkit dari duduknya dan menghampiri Aina. Aina terdiam saat Rayyan sudah berada dekat di sampingnya.
Tanpa berkata apa-apa, Rayyan mencondongkan tubuhnya ke arah Aina. Terang saja Aina gugup. Ia spontan memundurkan tubuhnya hingga menempel sandaran sofa. Namun, Rayyan tidak berhenti dan terus mendekat hingga mengikis jarak mereka. Wajah Rayyan sudah berada dekat di depannya hingga akhirnya Aina bersuara.
“Kamu mau apa?”