Read More >>"> Desire Of The Star (DOTS - Chapter 7 : Lika-Liku Kehidupan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Desire Of The Star
MENU
About Us  

“Hujannya lebat, anginnya kencang, petirnya menggelegar. Tidak ada uluran tangan, tidak ada rangkulan, tidak ada dekapan, yang tertinggal hanya kebingungan. Menangis tersedu merasa sendirian sejak ia tiada. Saat itu– saat merenungi betapa sakit, hancur, dan ketidakberdayaan diri sejak hidup dan matinya menyusul.” –Ibu.

***

TRING!!!

[Pesan diterima]

(01:15pm) Gopal : Mahesa, dimana?

(01:23pm) Raka : Oiiii, rapat oi…

(01:40pm) Laura : Sa, tidak ke kampus atau belum bangun?

(02:00pm) Laura : Sa, kamu betulan belum bangun kah?

(02:01pm) Laura : Kalau sudah bangun, nanti ke kampus ya. 

(02:03pm) Gopal : [Panggilan tidak terjawab]

Suara panggilan telepon membangunkan aku dari tidur. Tanganku meraih ponsel yang terus berbunyi sejak tadi. DEG!!! Aku terkejut melihat enam pesan yang masuk ke ponselku. Aku lupa bahwa hari ini ada rapat persiapan festival seni. Biasanya aku tidak tidur selelap itu. Dengan tergesa-gesa aku langsung mandi dan bersiap. Menuruni anak tangga dengan terburu-buru.

“E-eh buru-buru sekali, Nak …, bukannya tidak ada kelas hari ini?” tanya ibu terlihat heran.

“Ada rapat. Berangkat ya, Bu ….” Aku pamit sambil menyalami ibu terburu–buru.

Motorku melaju kencang, entah mengapa hatiku rasanya kesal ketika terlambat bangun dan tidak ingat bahwa hari itu ada rapat. Mungkin karena aku bergadang semalaman bermain Play Station. Beruntungnya siang itu langit sedang cerah, mungkin akan lebih repot jika turun hujan saat aku harus segera sampai di kampus. 

Sesampainya di kampus aku berjalan cepat menuju Bengkel Seni, sebab rapat diselenggarakan disana. Sesekali aku dan temanku yang lain saling sapa sambil berjalan. “Loh kok masuk Mahesa?” tanya Aca yang berpapasan denganku. “Rapat, Ca. Duluan ya…,” balasku melambaikan tangan.

Tepat pukul tiga sore aku sampai di Bengkel. Mataku menyisir tiap baris mahasiswa yang duduk disana, mencari dimana divisiku berada. “Mahesa!” Raka memanggilku sambil tangannya mengisyaratkan bahwa mereka ada disana. Dan aku menghampirinya. “Ra, sorry aku ketiduran …,” ucapku pelan pada Laura. Laura tersenyum. “Tidak apa–apa, Sa. Rapatnya baru mau mulai kok … oh iya layout formulir yang waktu itu kita buat dibawa, kan?” tanyanya. Aku lega sebab ternyata rapat belum dimulai. “Bawa, Ra.” Aku merogoh tasku dan memberikan layout formulir yang tempo hari kami buat. “Thanks, Sa,” katanya. 

Setelah dua jam berlalu, dari hasil rapat itu aku menangkap beberapa hal. Tema dari festival seni yang akan diselenggarakan ini yaitu Nostalgia 90’s. Kami mempunyai waktu lima bulan untuk mempersiapkan semuanya. Entah, itu waktu yang cukup atau bahkan begitu mepet sebab ini kali pertamaku berkecimpung langsung dalam kegiatan pameran di kampus.

Guys, inikan waktunya mepet. Jadi kita harus gerak cepat, sebab harus survey ke beberapa Museum untuk memudahkan kita saat proses seleksi dan kurasi karya …” Raut wajahnya serius, matanya melihat ke arah kami, “nanti kita datangi beberapa Museum di Bandung, dan untuk menghemat waktu … kita bagi menjadi dua kelompok, ya,” jelasnya.

“Lima bulan memang cukup mendesak, ya?” tanyaku pada Laura.

“Iya, waktu kita untuk seleksi dan kurasi karya itu tiga bulan, karena biasanya ada mahasiswa yang membuat baru karya seninya … lebih cepat lebih baiklah,” jawab Laura. Ia terlihat membereskan alat tulis dan barang-barangnya. Sesekali membuka ponselnya untuk membalas pesan seseorang.

“Baiklah, nanti kita atur saja untuk jadwal kunjung ke Museumnya,” ucap Regina. Kami semua mengangguk setuju.

“Yasudah, pembahasan kita hari ini dicukupkan saja, aku harus pergi sekarang. Ada urusan lain.” Laura berpamitan dengan kami, dan pergi begitu saja. Langkahnya terlihat terburu-buru. Dengan cepat aku melirik ke arah Raka, mengisyaratkan kemana perginya Laura. Raka menerima isyaratku dengan baik, ia spontan menaikkan kedua bahunya ke atas yang mengartikan bahwa ia juga tidak tau. “Baiklah, aku juga mau pulang saja,” ucap Regina. 

Hanya tersisa aku dan Raka di situ, dan beberapa divisi lain yang masih terlihat berdiskusi. “Kantin ayok!” ajak Raka. Aku dan Raka pergi ke Kantin, belum juga sampai disana terdengar perseturuan antara Gopal dan satu orang lelaki berambut gondrong yang tidak aku kenal. Melihat Gopal disana langkahku menjadi cepat.

“Mahasiswa baru tidak usah menjago!” bentak lelaki itu.

“Ini tempat nenek moyangmu, kah?!” Nada Gopal meninggi, ia terlihat begitu emosi. 

Emosi lelaki itu semakin memuncak setelah mendengar ucapan Gopal. Ia lantas mendatangi meja Gopal dengan kepalan tangan yang siap untuk memukul. Melihat hal itu aku dan Raka dengan cepat bergerak untuk memisahkan mereka berdua, entah apa awal perseturuan ini terjadi. Saat itu aku memutuskan membawa Gopal pergi dari Kantin agar situasi tidak semakin memanas, dan Raka terlihat sedang menenangkan lelaki itu. “Awas saja kau … lihat nanti!!!” teriak lelaki itu.

Aku membawa Gopal ke warung teh Lina, nafasnya cepat tidak beraturan. Aku mencoba meredam emosinya dengan memberinya sebotol air mineral dari warung teh Lina. “Kenapa si a Gopal?” tanya teh Lina sambil memberikan uang kembalian. Raut wajahnya terlihat heran, sebab raut wajah Gopal terlihat jelas sekali sedang emosi. “Biasalah … lelaki,” jawabku. Teh Lina mengangguk paham.

“Bisa-bisanya kamu Pal bertengkar sore-sore,” ucapku dengan nada menggoda.

“Emosi sekali aku, Sa… dengan mahasiswa sok senior seperti itu ….” Nafasnya mulai stabil.

“Awalnya bagaimana memang, Pal?” tanyaku dengan raut wajah yang ingin sekali tau.

“Sesudah rapat selesai aku dan divisiku pergi dari Bengkel, mereka langsung pulang. Sedang aku ingin duduk santai dulu di Kantin Pojok– mengantuk sekali rasanya. Nah, aku menyimpan tas di meja paling depan yang memang kosong lalu pergi untuk memesan kopi. BUK!!! Aku mendengar tasku dilempar, Sa!!!” Gopal menjelaskan kronologi perseturuannya tadi, emosinya mulai meninggi kembali.

“Loh … kok bisa tasmu dilempar?” tanyaku. 

“Entahlah, katanya itu meja yang biasa ia tempati … macam punya nenek moyangnya saja,” balas Gopal. Sesekali ia meneguk minumanya.

Hah? Hari gini masih ada orang seperti itu?” Aku terheran mendengar penjelasan Gopal … “tau gitu, saat ia akan menghajarmu aku hajar bal-” Ucapanku terhenti saat Raka mendatangi kami berdua lalu duduk di samping Gopal.

“Aman, Pal?” tanya Raka menepuk pundak Gopal.

“Aman ….” Balas Gopal sambil tertawa kecil.

“Mahasiswa abadi, semester sebelas. Ia memang terkenal arogan di kampus … sok senior,” jelas Raka dengan santai.

Dari perawakannya memang terlihat ia bangkotan kampus yang sibuk dengan karyanya yang belum selesai-selesai itu, rambutnya yang gondrong- setelan semaunya. Hanya menggunakan kaos sedikit lusuh dan celana jeans yang nampak jarang dicuci, serta berbagai jenis gelang menumpuk di lengannya. Tidak lupa bandana slayer berwarna merah menutupi lehernya.

***

Aku sampai di rumah pukul tujuh malam, malam itu rumahku kedatangan adik dari ibu. Namanya Tante Mey. Tanteku tinggal dan menetap di Malang sebab suaminya memang orang sana. Aku duduk di sofa ruang TV, disana ada ibu, Lita, juga tante Mey yang sedang membongkar isi kopernya dilantai. 

Loh, Tante kapan datang?” tanyaku. 

“Tadi sekitar pukul enam sore, Sa,” balasnya.

“Sendirian aja? Lula dan om Erwin mana?” tanyaku kembali. Lula adalah anak tante Mey yang seumuran denganku, sedang om Erwin adalah suaminya.

“Lula tidak ikut baru saja sembuh dari DBD, dan om Erwin katanya ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal,” jelas tante Mey. Aku hanya mengangguk paham.

“Kamu kuliah dimana, Sa?” tanya tante Mey.

“Institut Seni Budaya Bandung, Tan,” balasku sambil memakan snack oleh-oleh yang di bawa tante Mey.

“Seni? Jurusan apa?” tanyanya dengan raut wajah yang heran.

“Seni rupa murni,” balasku singkat.

“Hari gini jadi seniman mana ada uangnya, Bintang …” ucap tante Mey dengan nada yang menurutku sedikit merendahkan, “Seperti Lula dong, Tante suruh kuliah di Universitas Brawijaya bisa tuh masuk. Ambil sastra cina dia …,” sambungnya.

Aku merasa sedikit kesal saat itu, ucapan tante Mey terdengar meremehkan para mahasiswa seni dan seniman, terlebih ia membandingkan aku dengan anaknya. Raut wajahku seketika berubah menjadi datar. Sangat datar.

“Nak, bersih-bersih dulu, gih!” Ibu menyuruhku mandi seolah tau bahwa aku kesal atas ucapan tante Mey. Mungkin ini yang dirasakan ibu dahulu, ibu pernah cerita bahwa ia selalu diremehkan oleh anggota keluarga yang lain karena keputusannya memilih fakultas seni saat kuliah. Ibu juga seringkali dibandingkan dengan kakak atau adiknya oleh Almarhumah nenek dan sepertinya sifatnya menurun pada tante Mey. Aku beranjak pergi ke kamar.

Setelah mandi, aku merebahkan diri dikasur teringat cerita ibu saat masih muda. Ibu pernah bercerita  bahwa ia mendapat perlakuan tidak adil dari Almarhumah nenek, apalagi sejak kakek meninggal. Ibu merasa tidak punya siapa-siapa lagi setelah kepergiannya. Katanya ia terpuruk cukup lama atas kepergian kakek, sebab hanya beliau yang membela dan mendukung ibu saat itu.

Kakekku adalah seorang seniman, sedang nenek saat itu adalah seorang Bankir yang cukup sukses di masanya. Sejak nenek pensiun pemasukannya hanya dari uang pensiunan nenek, saat itu galeri seni kakek sepi pembeli, hanya ada beberapa setiap bulannya. Itu pun tidak menentu. Sebab itu nenek tidak setuju jika anak-anaknya mengikuti jejak kakek, yaitu menjadi seniman. Terlebih saat itu biaya dua orang anak yang sedang kuliah cukup besar. Ibuku anak kedua dari tiga bersaudara, ia mempunyai kakak laki-laki yang bekerja di Bank, dan tante Mey adalah anak bungsu yang masih kuliah juga, satu tahun di bawah ibu.

Satu tahun sejak kepergian kakek, ibu merasa hidup sendiri sebab tidak ada lagi yang mendukung keputusan ibu. Ibu tau betul kepergian kakek juga membuat nenek sangat terpukul, melebihi ibu sepertinya. Di tahun berikutnya nenek pergi menyusul kakek, sepertinya ia tidak mau berlama-lama sendirian jauh dari kakek. Akhirnya masing-masing dari mereka harus menentukan pilihan hidupnya sendiri. Menjadi yatim piatu ketika masih kuliah rasanya sulit sekali. Tidak bisa aku bayangkan jika aku ada di posisi ibu saat itu.

Saat itu ibu berserta kakak dan adiknya hanya hidup dari warisan yang ditinggal orang tuanya. Kakak laki-lakinya menggunakan uang warisan yang sudah dibagi itu sebagai modal usaha membuka toko grosir yang masih berjalan sampai sekarang, dan sudah membuka beberapa cabang. Cukup sukses rupanya. Sedang bagian ibu, katanya ia tabung untuk dana darurat sebab saat itu ibu belum bekerja, khawatir ada sesuatu mendadak dan senangnya ibu membuka dan melanjutkan kembali galeri seni kakek yang sudah beberapa tahun tutup sejak kepergiannya sampai akhirnya entah mengapa ibu menjualnya.

TRING!!!

Suara ponsel membuyarkan ingatanku tentang cerita ibu, satu pesan diterima. Dari Laura rupanya, langsung aku balas saat itu juga.

(09:40pm) Laura : Mahesa sudah tidur, kah?

(09:40pm) Mahesa : Belum, Lau. 

(09:41pm) Laura : Wih!!! Cepat sekali balasnya.

(09:42pm) Mahesa : Kebetulan sedang main game

(09:42pm) Laura : Yah, aku ganggu dong?

(09:42pm) Mahesa : Tidak kok, kebetulan sudah selesai. Ada apa, Lau?

(09:43pm) Laura : Banyak juga kebetulannya. Tadi aku sudah berpikir terkait jadwal survey ke beberapa Museum. Aku  memutuskan jadwal kunjungan seminggu dua Museum. Nah, rencananya aku bagi menjadi dua kelompok. Raka dengan Regina dan aku denganmu. Kira-kira kamu keberatan tidak?

(09:45pm) Mahesa : Tidak, Lau. Aku setuju …

(09:48pm) Laura : Baiklah, besok ada kelas?

(09:48pm) Mahesa : Ada sih, hanya dua mata kuliah. Paling selesai pukul dua siang.

(09:49pm) Laura : Yasudah, besok kita bahas lagi pukul tiga sore di Bengkel, ya. Nanti aku hubungi Raka dan Regina juga. Thanks, Sa.

(09:50pm) Mahesa : Okay, Lau. Goodnite, have a nice dream! >,<

Pesan dari Laura ternyata memperbaiki mood-ku walau ia tidak membalas lagi pesan terakhirku malam itu. Tanpa sadar ia membuatku melupakan rasa kesal itu, walaupun pandanganku pada tante Mey tidak berubah– selalu membanding-bandingkan orang lain. Aku tidak berhenti tersenyum ketika berbalas pesan dengan Laura, ditambah nanti aku dengannya akan sering pergi bersama. Berdua saja. Laura menjadi penutup indah hariku yang cukup melelahkan itu. Aku ingin cepat tidur, tidak sabar menemuinya esok hari.

***

Sore itu aku berjalan menuju Bengkel Seni. Dari kejauhan sudah terlihat Regina dan Raka sedang duduk di satu meja, tetapi aku tidak melihat Laura disitu. 

“Mana Laura?” tanyaku pada Regina

“Entah, katanya ia ada urusan dulu sebentar,” jawab Regina.

Karena diskusinya belum dimulai, aku memutuskan untuk membeli dulu minum di Kantin Pojok. “Mau menitip sesuatu tidak? Aku mau beli minum ke Kantin.” Aku menawarkan pada Raka dan Regina. 

“Eh, ayok! Sekalian aku mau beli rokok” ucap Raka.

“Aku tidak, deh …,” timpal Regina.

Aku dan Raka pergi ke Kantin Pojok. Saat aku sedang memesan minuman aku melihat Laura duduk di kursi dengan seorang lelaki, tidak kukenal pastinya. Raut wajah Laura terlihat kesal saat itu. Siapa lelaki itu?  ucapku dalam hati. Beberapa menit aku perhatikan Laura, Raka berbisik padaku. “Itu mantannya Laura,” katanya. Aku terdiam dengan pikiran yang mulai berlari kesana-kemari. Mengapa aku merasa kesal melihat Laura duduk dengan mantannya, batinku.

Aku berjalan kembali menuju Bengkel dengan suasana hati yang seketika berubah menjadi gelisah. Tidak lama aku sampai di Bengkel, Laura datang. Sepertinya ia sudah selesai bicara dengan lelaki itu. 

“Balikan, Lau?” tanya Raka dengan nada sedikit menggoda.

“Tidak!” balasnya tegas.

Aku hanya terdiam saat itu. Laura mulai menjelaskan tentang planning-nya yang ia jelaskan tadi malam padaku. Keputusannya tidak berubah aku dengan Laura, sedang Raka dengan Regina. Ia menjelaskan bahwa kunjungan Museum seminggu dua kali, masing-masing kelompok satu Museum, artinya aku dan Laura akan pergi ke Museum sedikitnya satu minggu sekali. Ia memintaku untuk mencari beberapa Museum di Bandung yang dibangun sejak tahun 90-an.

“Sa, aku dengar kamu senang melukis dari jaman sekolah dulu?” tanya Laura. Entah dari mana ia mendengar kabar itu.

“Iya … kenapa, Lau?” tanyaku.

“Kamu tau beberapa Museum seni di Bandung?” tanya Laura, raut wajahnya seperti ada emosi yang sedang ia coba kendalikan. Nafasnya agak berat.

“Tau, Lau. Nanti aku kirim ke grup daftar Museum di Bandung yang bisa kita datangi,” balasku.

“Bener tuh, kirim saja ke grup,” timpal Raka.

Diskusi kami menghabiskan waktu kurang lebih satu jam. Selesai itu aku berencana langsung pulang, sebab melihat langit nampak sedikit murung. Khawatir akan turun hujan. Aku berjalan menuju parkiran motor. Terdengar suara Laura memanggilku, “Mahesa…” katanya. Ia menghampiriku.

“Kenapa, Lau?” tanyaku pada Laura. 

“Sa! Aku ikut! Kemana saja, asal bawa aku keluar dari sini, ayo! ” Suaranya tegas namun pelan, raut wajahnya cemas seperti ada ketakutan dalam sudut matanya, seolah menyuruhku untuk cepat membawanya pergi. Entah apa maksudnya tapi saat itu aku langsung mempersilahkan ia naik ke motorku. Namun, di sudut mataku melihat ada mantan Laura– memperhatikan kami berdua tidak jauh dari meja tempat kita berdiskusi tadi. Aku langsung menangkap bahwa Laura ingin pergi menjauh darinya.

Di perjalanan, Laura terdiam tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya atau mungkin menjelaskan mengapa ia begitu cemas tadi. Aku sedikit menoleh padanya, “Mau kemana, Lau?” tanyaku. “Entah ...,” jawabnya lirih. 

Sudah aku duga, suasana hati Laura sedang tidak baik. Aku berpikir untuk membawanya ke tempat biasa aku menenangkan diri. “Mau ikut aku?” tanyaku pada Laura, dan ia mengangguk tanpa menjawab pertanyaanku. Aku membawanya ke lapangan basket tempat biasa aku menenangkan diri. Biasanya, ketika suasana hatiku sedang tidak baik aku pergi kesana. Sesampainya disana, aku mencoba mengajak Laura bermain basket. Hanya ada aku dan dirinya disana saat itu. Aku mengajarkan Laura bermain basket. Rupanya usahaku berhasil. Suasana hatinya terlihat membaik, tapi nyatanya tidak bagi langit. Malam itu sekitar pukul tujuh, gemercik hujan mulai membasahi kami berdua. “Mau neduh?” tanyaku pada Laura. “Tidak …,” balasnya sambil menikmati air yang mulai membasahi bajunya. 

Mungkin ini cara Laura untuk memperbaiki suasana hatinya. Ia berlari, berputar, kepalanya menengadah, wajahnya basah. Melihat Laura, seketika aku melihat Aceline di waktu dulu, ia sering seperti itu. Namun, langsung aku buang jauh pikiran itu. Berbicara dalam hatiku, Ini Laura, bukan Aceline.

***

Tangis gerimis dari langit sudah mulai berhenti, aku dan Laura memutuskan untuk pulang sebab malam kian pekat. Aku dengan dirinya tersenyum bersama, tidak ada tawa yang begitu meledak. Baju kami berdua sama-sama basah, jelas alas kami kami yang seperti terisi air. Laura memeluk tubuhnya sendiri, menghangatkan dadanya dengan melipat tangannya di depan dada. Aku mengambil jaket yang aku simpan di dalam tas, memakaikannya pada Laura. Ia menoleh padaku, “Terimakasih, Sa …,” ucapnya lirih. Mengantarkannya pulang kerumah tanpa percakapan di atas motor- hening. Aku ingin memberikan waktu padanya untuk menenangkan diri. Tidak ada pertanyaan ‘kenapa’ saat itu. Semua berjalan begitu saja. Sesampainya dirumah aku segera membersihkan diri, meneguk satu butir vitamin agar tidak sakit akibat terkena hujan. Merebahkan diri dan mengingat kejadian yang terjadi hari ini. Aku masih belum bisa menebak Laura.

TRING!!!

[Pesan diterima]

(10:00pm) Laura : Terima kasih untuk hari ini, Sa.

(10:01pm) Mahesa : Sama-sama, selamat istirahat Laura. Mimpi indah. 

(10:02pm) Laura : You too :)

Menutup kembali hari yang melelahkan itu dengan senyuman dari Laura.

***

Notes from author :

Hai guys, terima kasih sudah ikutin kisah Mahesa sampai di chapter 7 ini. Rasanya di chapter ini Mahesa melalui hari yang berat berturut-turut ya. Author-nya jadi mikir kayaknya ini adalah awal lika-liku kehidupan Mahesa sebagai mahasiswa seni dimulai, deh. Ikutin terus kisah Mahesa di chapter selanjutnya ya >,<

Jangan lupa mampir ke instagram author-nya di @gheawllms & @rajutanimaji <3

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dei.frp

    Cant wait to the next chapter!!!

    Comment on chapter DOTS - Chapter 1 : Missing Aceline Kalea
Similar Tags
love like you
399      279     1     
Short Story
Gray Paper
489      263     2     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?
Hoping For More Good Days
433      290     7     
Short Story
Kelly Sharon adalah seorang gadis baik dan mandiri yang disukai oleh banyak orang. Ia adalah gadis yang tidak suka dengan masalah apapun, sehingga ia selalu kesulitan saat mengahadapinya. Tapi Yuka dan Varel berhasil mengubah hidup Sharon menjadi lebih baik dalam menghadapi segala rintangan.Jujur dan saling percaya, hanya itu kunci dari sebuah tali persahabatan..
Awal Akhir
649      403     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.
Si Mungil I Love You
539      311     2     
Humor
Decha gadis mungil yang terlahir sebagai anak tunggal. Ia selalu bermain dengan kakak beradik, tetangganya-Kak Chaka dan Choki-yang memiliki dua perbedaan, pertama, usia Kak Chaka terpaut tujuh tahun dengan Decha, sementara Choki sebayanya; kedua, dari cara memperlakukan Decha, Kak Chaka sangat baik, sementara Choki, entah kenapa lelaki itu selalu menyebalkan. "Impianku sangat sederhana, ...
Today, I Come Back!
3220      1041     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
CORAT-CORET MASA SMA
408      284     3     
Short Story
Masa SMA, masa paling bahagia! Tapi sayangnya tidak untuk selamanya. Masa depan sudah di depan mata, dan Adinda pun harus berpikir ulang mengenai cita-citanya.
Nonsens
450      331     3     
Short Story
\"bukan satu dua, tiga kali aku mencoba, tapi hasilnya nonsens. lagi dan lagi gadis itu kudekati, tetap saja ia tak menggubrisku, heh, hasilnya nonsens\".
Rain, Maple, dan Senja
877      519     3     
Short Story
Takdir mempertemukan Dean dengan Rain di bawah pohon maple dan indahnya langit senja. Takdir pula yang memisahkan mereka. Atau mungkin tidak?
The Journey is Love
556      382     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.