Loading...
Logo TinLit
Read Story - Desire Of The Star
MENU
About Us  

Mungkin kita semua pernah merasakan jatuh cinta, tapi sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Terkadang, rasanya tidak masuk akal dan sulit untuk didefinisikan. Kita juga tidak bisa mengandalkan kata-kata untuk memberi arti pada perasaan ini. Namun, meskipun sulit, mari kita coba untuk berbicara tentang cinta dan mimpi-mimpi yang tercipta saat kita jatuh cinta. Karena pada akhirnya, semua ini adalah bagian dari kehidupan yang penuh dengan kisah klise dan kenyataan bahwa setiap pertemuan pasti diikuti dengan perpisahan.

***

Malam ini bulan enggan menunjukan seluruh rupanya, bintang juga sedang malas untuk bersinar. Aku memilih berselimut dalam udara yang kian mendingin, menunggu malam lebih pekat dari biasanya. Sudah tiga bulan lamanya sejak pesan terakhir yang aku kirim padanya tidak lagi ada balasan. Sempat aku mencoba beberapa kali untuk memulai kembali percakapan klise itu, namun tetap tidak ada jawaban. Aku rasa ini saatnya aku harus menerima perpisahan itu.

Malam berganti begitu cepat, aku terbangun dengan harapan yang baru dan nyata. Sudah cukup aku seperti ini, batinku. Aku mulai menyibukan diri dengan semua kegiatan kampus. Siang itu sepertinya langit sedang dilanda dilema, setengah cerah dan setengahnya lagi temaram yang  berada persis di atasku. Mungkin ia tau keadaan hati yang sedang dilanda resah ini.

Aku berjalan menuruni anak tangga dari lantai dua menuju kantin, tempat biasa aku dan teman – teman yang lain nongkrong atau sekedar duduk melepas lelah. Aku tidak bertemu Gopal di kelas hari itu. Katanya ia telat bangun dan absen saat kelas pagi. Mataku menyisir setiap sudut meja – meja disana. Tidak ada Gopal, batinku. Saat itu aku mengirim pesan padanya. “Dimana kau, Pal?” .

Sambil menunggu balasan Gopal aku duduk di kursi warung teh Lina. “Mau pesan apa a Mahesa?” tanyanya. Entah mengapa saat itu aku memesan es jeruk padahal aku merasa tidak begitu haus. Beberapa teman dari fakultas lain menyapaku. Sesekali singgah di mejaku sekedar untuk basa – basi. Beberapa menit berlalu aku masih berdiam diri di warung teh Lina. Kali ini ditemani Khalil dan Darma, teman satu angkatanku namun berbeda fakultas. Sesekali menyeruput es jeruk yang tidak begitu aku inginkan, namun harus aku habiskan sebab mubazir jika tidak habis. Terlihat beberapa mahasiswa lain berlalu lalang, cukup ramai siang ini. Beberapa dari anak kampus sibuk dengan urusannya masing – masing. Disini seolah semua ekspresi adalah seni. Beberapa lelaki berambut gondrong berkumpul tepat di depan mejaku. Dari tampangnya aku tahu, mereka adalah bangkotan kampus yang belum lulus dan sibuk dengan seninya.

Beberapa menit kemudian aku menerima pesan dari Gopal, “Sa, sini ke Kantin Pojok” katanya. Tanpa membalasnya aku langsung menuju sebuah kantin yang jarang aku datangi. Kantin itu dinamai Kantin Pojok- posisinya yang berada di pojok serta tempatnya yang lumayan tertata rapih seperti coffee shop. Lokasinya cukup dikelilingi rindangnya pepohonan yang membuatnya sejuk. Kantin ini kebanyakan dihuni oleh anak – anak dari jurusan seni kriya, sebab lokasinya tidak jauh dari tempat mereka untuk membuat karyanya. Mereka biasa menyebutnya bengkel seni.

Aku  berjalan melewati bengkel seni itu. Bangunan nya seperti aula terbuka yang merupakan fasilitas kampus yang disediakan untuk Fakultas Seni Rupa & Design. Semua mahasiswa boleh menggunakan aula ini sebagai tempat untuk membuat karya seninya. Ada beberapa mahasiswa disana sedang sibuk dengan tugasnya. Beberapa sedang memahat sebuah batang pohon, beberapa lagi terlihat sedang membuat seni tiga dimensi dengan cetakan sebagai medianya.

Aku melihat Gopal di Kantin Pojok, duduk berkumpul diantara beberapa mahasiswa lainnya. Ada beberapa yang aku kenal, beberapa dari mereka ada yang berkumpul terlihat sedang berdiskusi dan beberapa bermain gitar, juga yang lainnya terlihat bermain game. Aku menghampirinya, disana juga ada Narendra dan teman satu kosnya yang belum aku kenal. Sesampainya disana, aku bersalaman dengan teman – teman yang lain sambil berkenalan. “Kenalin nih temen kelasku, Mahesa.” Ucap Gopal dan mereka pun menyambut baik kehadiranku. 

“Mahesa kita mau bikin acara pameran, barangkali kamu mau ikut serta sebagai panitia?” Ajak Gibran, anak dari jurusan seni kriya. Wah ini kesempatanku untuk menyibukan diri agar lupa dengan Aceline, batinku. Tanpa pikir panjang aku langsung meng-iyakan ajakan Gibran. Terlihat Anya sedang mengetik sesuatu di laptopnya, aku rasa wanita ini berperan sebagai sekretaris yang sedang membuat proposal. Yang lainnya juga sedang menentukan kepanitiaan untuk berlangsung nya acara ini. 

Aku bangkit dari kursiku dan hendak memesan minum. Berjalan melewati beberapa mahasiswa disana, langkahku terhenti pada meja yang menghadap ke beberapa tanaman dan satu pohon rindang yang menjadikannya terasa sejuk. Namun, mataku fokus pada wanita yang sedang membaca buku- duduk menghadap ke arah pepohonan itu. Wanita yang aku temui di halte bus saat hujan lebat kala itu. Aku memesan minum dan sengaja berjalan mendekat melewati mejanya untuk menunggu minumanku. Ada perasaan dihatiku yang mengatakan aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini.

Tibalah aku di samping meja itu. “Boleh ikut duduk?” Tanyaku sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Memang benar ini hanya akal – akalan klise seorang pria untuk berkenalan dengan wanita. Ia menoleh padaku, “duduk saja” katanya. Matanya langsung tertuju kembali pada buku yang sedang ia baca, Hujan karya Tere Liye. Bukunya sama dengan buku favoritku, ucapku dalam hati. 

“Jangan pernah jatuh cinta saat hujan. Karena besok lusa kamu akan patah hati. Setiap hujan turun kamu akan terkenang pada kejadian yang menyakitkan itu.” Aku mengucapkan sedikit kutipan yang aku hafal dari buku itu, membuat ia menoleh padaku dan menutup bukunya.

“Baca juga?” tanyanya.

“Buku favoritku” jawabku.

Raut wajahnya terlihat sedang mengingat sesuatu sambil melihat ke arahku. “Aku seperti pernah melihatmu…” katanya.

“Iya, kita bertemu di halte bus saat hujan kala itu.” Balasku sambil menerima minuman yang diantar penjaga kantin.

“Oh iya, aku ingat sekarang.” Katanya, tangannya terangkat mengajakku berkenalan.

“Laura Zed Rainnatasya, panggil saja Laura” ucapnya

Dengan sigap aku meraih tangannya, “Mahesa Bintang” balasku

“Nama yang bagus” katanya.

“Terimakasih, namamu juga bagus” balasku memuji balik namanya.

Sesekali aku meneguk minumanku sambil melihat sorot matanya yang berwarna coklat, terlebih sinar matahari sore yang membuatnya tampak lebih indah. Laura masih fokus membaca buku, terdengar suara Gopal memanggil. “Mahesaaa…” katanya. Aku menoleh padanya, ia melihatku dan menyuruh kembali ke meja dengan isyarat tangannya.

“Aku balik ke mejaku ya…” Aku berpamitan sambil menunjuk mejaku dan Laura ikut menoleh.

“Oh iya” katanya.

Aku kembali pada kerumunan mahasiswa yang sedang menyusun kepanitiaan. Mataku sesekali melirik pada sosoknya, ternyata Narendra yang duduk di sebelahku memperhatikan sejak tadi.

“Namanya Laura,” bisik Narendra. Aku menoleh padanya, “sudah tau” balasku.  Lalu Narendra membuka ponselnya, memperlihatkan isi galeri fotonya. Ia menunjuk satu foto dirinya dengan dua teman kosnya. Ada Narendra, Gibran dan satunya lagi  laki – laki yang belum aku ketahui namanya. 

Narendra menunjuk pada satu foto lelaki itu, “ini Dimas, kakaknya Laura, anak seni kriya juga ia satu tempat kos denganku. Laura sering berkunjung ke kosnya, makanya kau sering – sering lah main ke tempatku atau Gopal siapa tau bisa cinlok… hehehe…” Narendra menjelaskannya sambil sedikit berbisik. 

“Sudah punya pacar dia?” Tanyaku pada Narendra dengan suara yang sedikit berbisik juga.

“Bah! Katanya, dia kakak tingkat primadona di kampus. Banyak yang mendekatinya namun tidak satupun yang bisa menaklukan hatinya.” Balas Narendra dengan raut muka yang cukup serius.

“Kenapa?” tanyaku kembali.

“Menurut kabar burung sih, ia diselingkuhi pacarnya, padahal sudah berjalan empat tahun, sejak ia masih duduk di bangku sekolah.” Sesekali Narendra melihat ke arahnya sambil menjelaskan apa yang ia ketahui.

“Kau banyak tau juga ya Rend?” Alisku mengkerut sambil menahan tawa.

“Bah! Kau ini…” katanya. “Aku ini informan asal kau tau… Gratis untukmu…,” katanya sambil tertawa. 

Ternyata Narendra adalah pribadi yang cukup bisa mencairkan suasana. Terlihat Gopal duduk disebelah Gibran, raut mukanya cukup serius dan fokus ikut menyusun untuk acara nanti. Sebetulnya ini merupakan acara tahunan yang memang digelar setiap tahun. Semua mahasiswa boleh memamerkan minimal satu karya yang dibuatnya. Tentunya aku akan memamerkan lukisanku di acara itu.

“Mahesa, masuk seksi pengumpulan dan seleksi karya, ya?” Ucap Gibran sambil menyeruput kopi hitam di depannya.

“Tugasnya bagaimana?” tanyaku.

“Tugasnya melakukan pencatatan dan pendataan karya seperti; nama seniman, judul, tahun pembuatan, dan lain – lain. Nanti kamu tidak sendiri kok, ada penanggung jawab yang akan diumumkan minggu depan setelah susunannya selesai,” balasnya. Sepertinya Gibran ini sudah piawai dalam mengadakan acara tahunan. Aku dan Gibran berbeda satu tahun, dimana Gibran merupakan kaka tingkatku. 

***

Merebahkan badan setelah seharian menghabiskan waktu di kampus adalah hal yang paling aku rindukan. Beberapa bulan menjadi mahasiswa cukup menyita tenaga dan pikiranku, belum lagi berbagai tugas yang diberikan dosen. Namun, semua kegiatan yang aku ikuti tidak begitu aku sesali, alih – alih agar bisa melupakan Aceline. Orang patah hati memang butuh banyak hiburan atau kegiatan. Bukan untuk membuat hatinya sembuh, melainkan membuat dirinya merasa tidak sendirian atau kesepian. Dan, apakah aku orang yang patah hati itu? Batinku.

Aku merasa begitu lelah, rasanya mata sudah memaksa untuk terpejam. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hati. Wanita di halte bus yang namanya sudah aku ketahui, Laura. Dia mulai mengusik kepalaku. Aku tidak sempat berkenalan dengannya lebih jauh atau sekedar meminta nomor ponselnya. Kenapa aku malah kepikiran seperti ini, batinku. Aku butuh beberapa saat untuk memulihkan pikiranku. Jika ini hanya penasaran, apakah aku penasaran dengannya karena mirip dengan Aceline? Namun, jika ini memang suatu ketertarikan, apakah bisa aku menyukainya tanpa ada bayang – bayang seorang Aceline Kalea?

TOK! TOK! TOK!

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku, “masuk…” ucapku. Ternyata ibu membawakan aku satu botol air putih dan mie goreng buatannya. Persis seperti buatan abang – abang nasi goreng depan komplek rumahku. Namun, aku jamin buatan ibuku seribu kali lebih enak.

“Bintang… Makan dulu, Nak!” Ibu meletakan piring di meja belajarku.

‘Terimakasih, bu” balasku dan bangun dari kasur.

Ibu tidak langsung keluar saat itu, beliau seperti sedang memperhatikan sesuatu. Matanya menyisir setiap sudut kamarku, lalu duduk di kasur.

“Nak, masih berteman kah dengan Aceline?” tiba – tiba ibu bertanya tentang Aceline

“Tidak tau.” Balasku sambil menyuap mie goreng buatan ibu.

“Oooh… begitu…” ucapannya melambat, matanya masih menyisir sudut kamarku seperti sedang mencari sesuatu.

“Ibu cari apasih???” tanyaku mulai geram melihat tingkah ibu.

“Tidak… ibu hanya khawatir kamu melakukan hal yang tidak – tidak…,” balasnya.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Iya, ibu melihat akhir – akhir ini kamu setiap pulang kuliah kok ya langsung masuk kamar, dan jadi sedikit pendiam…” ibu melihat ke arahku, “ini bukan karena Aceline, kan?” tanyanya dengan sorot matanya yang cukup meng-intimidasi.

“Ibu!!! Pikirannya kemana – mana deh… Aku hanya capek, kegiatan di kampus cukup banyak bu… Udah deh! Tidak usah berpikir aneh - aneh.” Balasku sambil menyuap suapan terakhir makananku.

“Yaaa.. kalau urusan kuliah sih tidak  apa – apa, tapi kalau hanya karena wanita… Aduh!!! Buang – buang tenaga, Nak” katanya- berdiri dan memegang pundakku. “Masih banyak wanita diluar sana. Sekarang kamu fokus dengan apa yang menjadi tujuanmu kuliah ya, Nak!” Ucap ibu sambil berlalu pergi meninggalkan kamarku sambil membawa piring yang sudah kosong.

Aku duduk di samping jendela yang masih aku buka, udara dingin yang masuk mulai menyelimuti diri. Ternyata selama ini rasa kehilanganku atas Aceline mengubah diriku, sekalipun ibu merasakan perubahanku. Aku mulai menutup jendela, tidak lagi membiarkan angin masuk membawa bayang – bayangnya. Aku sudah harus melupakannya, bahkan rindu pun tidak lagi aku titipkan pada angin.

***

 

Notes from author :

Hai, terimakasih sudah menyempatkan waktu di Chapter 5 ini. 

Akhirnya Mahesa capek juga guys!!! DIa mulai melupakan first love-nya. Ikutin terus ya kisah seorang Mahesa Bintang.

Jangan lupa follow @gheawllms atau @rajutanimaji untuk kenal Mahesa lebih jauh.

See you!!!

 

Love,

Ghea<3

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dei.frp

    Cant wait to the next chapter!!!

    Comment on chapter DOTS - Chapter 1 : Missing Aceline Kalea
Similar Tags
The Second Lady?
453      327     6     
Short Story
Tentang seorang gadis bernama Melani yang sangat bingung memilih mempertahankan persahabatannya dengan Jillian, ataukah mempertahankan hubungan terlarangnya dengan Lucas, tunangan Jillian?
Kisah Kasih di Sekolah
797      513     1     
Romance
Rasanya percuma jika masa-masa SMA hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Nggak ada seru-serunya. Apalagi bagi cowok yang hidupnya serba asyik, Pangeran Elang Alfareza. Namun, beda lagi bagi Hanum Putri Arini yang jelas bertolak belakang dengan prinsip cowok bertubuh tinggi itu. Bagi Hanum sekolah bukan tempat untuk seru-seruan, baginya sekolah ya tetap sekolah. Nggak ada istilah mai...
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
665      469     1     
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
Moira
25872      2640     5     
Romance
Diana adalah seorang ratu yang tidak dicintai rajanya sendiri, Lucas Jours Houston, raja ketiga belas Kerajaan Xavier. Ia dijodohkan karena pengaruh keluarganya dalam bidang pertanian dan batu bara terhadap perekonomian Kerajaan Xavier. Sayangnya, Lucas sudah memiliki dambaan hati, Cecilia Barton, teman masa kecilnya sekaligus salah satu keluarga Barton yang terkenal loyal terhadap Kerajaan Xavie...
Lepas SKS
184      159     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
JAR OF MEMORIES
622      418     1     
Short Story
and story about us a lot like a tragedy now
Premium
RARANDREW
18873      3488     50     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Heartbeat
226      178     1     
Romance
Jika kau kembali bertemu dengan seseorang setelah lima tahun berpisah, bukankah itu pertanda? Bagi Jian, perjumpaan dengan Aksa setelah lima tahun adalah sebuah isyarat. Tanda bahwa gadis itu berhak memperjuangkan kembali cintanya. Meyakinkan Aksa sekali lagi, bahwa detakan manis yang selalu ia rasakan adalah benar sebuah rasa yang nyata. Lantas, berhasilkah Jian kali ini? Atau sama seper...
Letter From Who?
488      339     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
Love and Pain
615      378     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.