Kini, Zahra telah berada tepat di depan sekolahnya—hendak menyaksikan kemiripan yang mungkin akan lagi ia dapatkan, dengan apa yang sempat termimpikan—mengenai banyaknya kemisteriusan yang hingga kini belum jua mampu ia pecahkan.
Beberapa saat setelahnya, suara yang terdengar sedikit berat pun terdengar menyapa.“Assalamualaikum. Permisi.”
Deg!
Mata Zahra membulat—merasa terkejut—setelah sebelumnya ia hanya terdiam—memperhatikan banyak hal yang tengah berlawanan arah dari sang penyapa.
Merasakan ada suatu hal yang kembali ada kemiripan, sontak Zahra pun memilih untuk berpikir sejenak—belum ingin menoleh ke arahnya.
“Permisi ... assalamualaikum.” Sesorang itu pun kembali menyapa.
Setelah kembali mendengar hal ini darinya—merasa harus memastikan dan turut harus menghargai—Zahra pun mau tak mau harus segera menoleh ke arahnya—menyahuti kalimat sapaan tersebut darinya. “Waalaikumussalam,” jawabnya.
Kini, posisi Zahra telah sepenuhnya menghadap ke arah anak remaja laki-laki itu.
“Mmm ... maaf mengganggu. Apa saya boleh tanya sesuatu?”
“M-mau tanya soal apa?” tanya Zahra, tampak gugup.
“Kamu, salah satu anggota kelompok bidang profesi Arsitektur?”
“Hm? B-bukan, b-bentar dulu ya.” Masih sama, Zahra masih tampak gugup. Bahkan jauh lebih gugup daripada yang sebelumnya—tepat setelah dalam sesaat, ia melihat jeli ke arahnya. Zahra merasa, bahwa remaja laki-laki itu seakan memiliki suatu sejarah di dalam ingatannya, walaupun sejatinya, hal itu masih sebatas suatu dugaan belaka.
Selain itu, meskipun Zahra belum tahu pasti, apa dia adalah ‘Malik’ yang Karina maksudkan atau bukan. Namun yang pasti, pertanyaan dari remaja laki-laki itu memang seolah memberinya petunjuk, bahwa bisa saja, memang dialah yang bernama Malik—teman satu kelompoknya Karina.
Lantas sebab kedua hal tersebut, Zahra pun memutuskan untuk kembali masuk, guna kembali menemui Karina—sekaligus ingin meredakan rasa kegugupannnya—yang kini tengah menyerangnya secara bertahap.
***
Beberapa saat kemudian.
“Karina,” panggil Zahra, setelah ia kembali berada tepat di hadapannya.
“Ya? Kenapa?” tanya Karina dengan santai.
“Kayaknya ... teman sekelompok kamu itu, udah ada di depan.”
“Maksud kamu Malik?”
“Kayaknya sih gitu. Soalnya aku nggak begitu ingat, kalau itu soal anak kelas lain.”
“Perasaan ... kayaknya aku udah pernah kasih tahu ke kamu ... fotonya Malik sama semua teman-teman sekelasnya, deh.” Seingat Karina.
“Benaran?” Zahra kembali mencoba mengingat. Menurutnya, Karina belum pernah menunjukkan yang mana yang namanya Malik di antara tiga puluh siswa dan siswi lainnya, yang ada di dalam sebuah foto yang memang sempat Karina tunjukkan padanya.
“Iya.”
“Mmm, mungkin, aku kurang merhatiin kali ya, atau mungkin aku lupa ...,” kata Zahra—mempersingkat pembahasan.
“Ya ampun, cepat banget lupanya? Mmm, ya udah, yuk. Kita samperin aja.” Karina lekas meraih tangannya Zahra—ingin membawanya, ikut bersama-sama menemuinya.
Ingin rasanya menolak—sebab rasa gugup itu masih saja tersisa.
Sebenarnya Zahra masih ingat, bahwa salah satu siswa yang ada di dalam foto yang sempat Karina tunjukkan itu melalui MEDSOS—benar sangat mirip, dengan seseorang yang sempat ia temui barusan. Namun hanya saja, Zahra tak begitu mengingat siapa namanya. Fokusnya sempat buyar pada kala itu—mengingat suatu hal yang kembali terbesit buram di dalam ingatannya, dan hal ini pun terus saja berulang.
Meskipun rasanya ingin menolak, tapi sepertinya Zahra tak mampu mengatakan hal itu pada Karina—terlebih lagi di saat Karina telah menggenggam tangannya. Ya, lantas sebab hal ini, mau tak mau, ia pun hanya mampu mengikuti langkah kakinya Karina, sembari berharap, rasa gugupnya yang tadi tak akan pernah kembali, dan tak akan pernah memiliki tahapan, apalagi sampai kian memuncak.
***
Tak butuh waktu lama, kini Zahra dan Karina pun telah berada tepat di hadapannya.
“Hai Lik,” sapa Karina dalam senyuman manis—suaranya sedikit terdengar kaku di awal mula.
“Hai,” balas Malik, turut tersenyum manis.
Beberapa detik sejenak terdiam—secara spontan melihat ke arahnya—sungguh, tatapannya seakan menggambarkan, bahwa ada berbagai pertanyaan yang tengah ia simpan, atau mungkin terasa sulit untuk bisa dengan spontan ia katakan secara gamblang. Entah apa alasannya, tapi seperti itulah yang tengah terpancar dari raut wajahnya. “Mmm, dia teman kamu, ya?” tanya remaja laki-laki itu, kepada Karina.
“Iya ... dia teman aku, namanya Zahra,” tutur Karina memperkenalkan Zahra—turut merasa aneh, melihatnya tampak kebingunan, seolah-olah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan—seakan-akan, Zahra telah membuat pikirannya yang semula tenang, menjadi sedikit terusik.
Ya, anggapannya Karina memang ada benarnya—penilaian hanya dalam sesaatnya mengenai ekspresi dari temannya itu memang terkesan mudah ditebak, terlagi hal ini juga yang bukan pertama kalinya bagi Karina, dalam membaca ekspresi orang-orang yang sempat dekat dengannya, termasuk temannya yang satu ini.
Awalnya, tepat di saat ia melihat Zahra—sebelum adanya Karina, ekspresinya memang terlihat biasa-biasa saja. Namun untuk kali ini, entah kenapa semacam ada suatu hal yang seakan tengah ia penasarankan mengenainya.
“Zahra?”
“Iya. Memangnya kenapa, Lik?”
“Mmm, nggak ada apa-apa sih. Kayak pernah ketemu, tapi lupa ketemunya di mana,” balasnya, atas pertanyaannya Karina yang tadi.
Tentunya Zahra masih ada di sana. Namun hanya saja, Zahra hanya memilih diam, bahkan setelah ia pun sempat ikut dengan spontan, menetapkan netranya ke arahnya. Keduanya memang sempat saling menatap satu sama lainnya.
“Lik? Karina panggil dia dengan sebutan ‘Lik?’, apa dia memang Malik yang Karina maksud, ya?” batin Zahra dalam diamnya.
Setelah Karina mendengar ucapan dari temannya itu, Karina pun lekas melihat ke arah Zahra, yang kini masih memilih diam tanpa suara, dan turut tampak tengah menundukkan pandangannya.
Setelah Karina melihat ke arah Zahra, Karina pun lekas kembali melihat ke arah lawan bicaranya yang tadi—seorang remaja laki-laki yang masih saling berhadapan itu dengannya. “Benaran cuma itu? Nggak ada yang lain?” Karina mengatakan kalimatnya, dengan nada suara yang terkesan tengah merayu.
Tak hanya itu, bahkan Karina pun turut tersenyum kulum setelahnya—menyangka bahwa temannya itu telah jatuh hati pada pandangan yang pertama terhadap sahabatnya—Zahra.
Matanya tampak membulat—melihat ke arah Karina. Sementara Zahra, setelah ia mendengar nada ucapan bak rayuan itu dari sahabatnya, ia pun turut mendongkak—menoleh ke arah Karina.
Suasana pun semakin terkesan penuh warna, sebab rayuan itu dari Karina. Kali ini, Karina bersikap demikian hanya untuk mereka—hanya untuk sang sahabat dan juga temannya itu.
Hanya terdiam dalam beberapa saat, lalu lagi dan lagi, Karina pun semakin melebarkan senyuman kulumnya—seolah ia sangat yakin, bahwa keduanya memang telah sama-sama memiliki rasa di awal pertemuan.
“Kamu kenapa nanya kayak gitu?” tanya temannya Karina, sembari tersenyum kaku—tak ingin membuat kericuhan, apalagi sampai akan meluapkan kekonyolannya di hadapan Zahra.
“Nggak ada, cuma vibes-nya ... kalian ‘tu kayak udah fall in love di first impression, terus kayak malu-malu kucing gitu,” ucap jahilnya si Karina.
“Karina,” cekal Zahra, sembari menggeleng lirih—berharap Karina tak akan lagi melanjutkan hal ini.
Karina tampak tersenyum, turut kembali meraih tangannya Zahra. “Ya udah yuk, kita masuk ke dalam dulu. Kita ngobrolnya di halaman dalam aja,” ucap Karina yang tak hanya tertuju pada Zahra, melainkan juga terhadap temannya, yang kini masih saja menghadap ke arah mereka.
Mendengar ajakan itu dari Karina, ia pun tampak memanggut kecil—menyetujui hal tersebut.
Lantas setelahnya, mereka pun secara bersama-sama, menentukan tempat di mana mereka akan nyaman saling mengobrol—sebelum nantinya, Karina akan menghubungi anggota kelompoknya yang lain.
Muncul fakta lainnya. Next up, Kak 🙏🏻🤍
Comment on chapter Chapter 10. Dea?