Setelah memutuskan untuk melangkah, Karina pun merekomendasikan salah satu tempat teduh yang ada di sekitar taman, tepat di depan perpustakaan yang ada di sekolah mereka.
“Kalau kita duduk di taman sana, gimana?” tanya Karina.
Kini, Karina dengan bergantian melihat ke arah mereka.
Mendengar kalimat tanya itu dari sahabatnya, Zahra pun langsung menyetujuinya—ia tampak mengangguk, tepat setelah Karina turut melihat ke arahnya.
Tak hanya Zahra—tanpa bersuara—temannya Karina pun turut menyetujui hal ini. Sebenarnya, tanpa adanya rekomendasi dari Karina pun, dia memang terlihat sering berada di sana, dia memang suka duduk di sana—sembari membaca buku—setelah ia meminjam buku-buku itu dari perpustakaan.
Lantas sebab hal ini, mengetahui dan menyadari akan persetujuan itu dari mereka, langkah kaki Karina pun lekas melaju—dengan sengaja membiarkan sahabat dan temannya itu hanya berjalan berdua.
***
Beberapa saat telah berlalu, kini mereka telah duduk nyaman di sana, bahkan mereka pun juga telah sempat sedikit mengobrol.
...
Karina melirik ke arah Zahra, lalu berlanjut melihat ke arah temannya. Ia terlihat kembali tersenyum kulum. “Mmm, kita kan udah cukup lama ngobrol ‘ni,” -Karina lekas melihat ke arah layar handphone-nya—hendak melihat waktu jam yang telah tertera di sana- “ada kisaran hampir lima belas menit, kita udah saling bicara, tapi kok kalian belum kenalan juga?” Karina tampak kembali tersenyum kulum.
Sebab ucapan itu, keduanya pun kembali sama-sama melihat ke arah Karina.
Karina yang menyadari hal itu pun turut berkata, “Kenalan dong. Masa tadinya kita udah ngobrol, tapi kalian nggak saling kenal,” –belum usai berucap, Karina pun lekas melihat ke arah temannya- “ya ... meskipun kamu udah tahu nama dari sahabat aku, tapi Zahra ‘kan belum tahu siapa nama kamu. Coba kasih tahu, Lik. Kali aja cocok,” tambah Karina—kembali merayu.
“Karina,” panggil Zahra, yang kembali merasa tersulitkan.
“Ya?” sahut Karina, seolah tanpa dosa.
“Jangan gitu ....” Zahra terdengar meminimkan suaranya—mendekatkan mulutnya ke arah telinganya Karina.
“Nggak apa-apa kali, cuma saling kenalan doang kok. Dia aja kelihatan nggak ada masalah. Lagian ... aku sama dia itu udah cukup dekat, nggak ada yang perlu disegani lagi,” –Karina menoleh ke arah teman cowoknya kembali—setelah ia memberi penjalasan perkara ini ke Zahra. Seolah merasa, jika temannya itu telah mendengar ucapannya yang tadi bersama Zahra, maka dengan terlihat percaya diri, Karina pun lekas bertanya padanya- “benar, ‘kan, Lik?”
Temannya tampak mengernyitkan alisnya. “M-maksudnya?”
“Kamu nggak dengar?”
“Gimana mau dengar, aku aja nggak tahu pasti pangkalnya apa.”
Karina tampak terdiam—merasa usaha kecilnya telah sia-sia. Karina sadar, sifat keduanya terasa mirip—cukup kaku, dan sedikit kurang asik ketika dijahili.
Kini, ia telah melihat ekspresi itu darinya. Tak ingin membuat temannya merasa kecewa, dia pun lekas berucap, “Ngambek, Rin?”
“Ng-nggak, ngapain juga ngambek,” bantah Karina.
“Terus?”
“Kamu kenalan aja dulu. Kasih tahu nama kamu siapa, dari kelas mana, dan kalau perlu ... kasih tahu nomor handphone-nya kamu juga ke dia. Oke.” Karina kembali tampak bersemangat—merasa ada peluang, untuk bisa mencomblangi keduanya.
Entah apa alasannya, tapi sepertinya, Karina terlihat begitu bahagia—di saat ia melihat keduanya terlihat malu dan saling gugup—menurut sudut pandangnya Karina.
Melihatnya tanpa gerakan, Karina pun berinisiatif untuk meraih pergelangan tangan temannya itu—hendak mengantarkan tangannya tepat di hadapannya Zahra—untuk bisa melihat mereka secara terbuka saling berkenalan.
Deg!
Tanpa pengelakan, kini tangannya pun telah terulur sempurna di hadapannya Zahra, atas ulah jahilnya Karina.
Dia masih terdiam kala itu. Namun sebab tak ingin membiarkan keinginannya kembali sia-sia, Karina pun lekas memberi kode pada temannya, untuk bisa secepatnya mengucapkan sepatah kata secara eye to eye, di hadapannya Zahra. Menurut Karina, setidaknya hanya sebatas mengucapkan siapa namanya, atau mungkin lebih jauhnya mampu saling bertukar identitas, hal ini bisa membuat mereka sedikit jauh melangkah—bisa lebih saling mengenal.
“M-Malik.” Dengan terlihat datar, temannya Karina pun memperkenalkan namanya di hadapan Zahra—sesuai dengan keinginannya Karina.
Bukannya ia takut pada Karina, bukan pula ia merasa terpaksa. Namun hanya saja, ada beberapa alasan yang telah membuatnya terlihat sedikit kaku di hadapan Zahra—di samping rasa penasarannya, yang sebenarnya telah sedari tadi ia pendam.
“Owh ... M-Malik?” Tanpa meraih uluran tangannya Malik, atas ulahnya Karina, Zahra pun hanya bertanya demikian—sama terlihat gugupnya.
“Iya. Aku Malik.”
“Ternyata benar,” batin Zahra setelahnya.
Layaknya apa yang sebelumnya telah Zahra asumsikan, ternyata benar, ternyata temannya Karina itu benarlah Malik yang sebelumnya sempat Karina katakan padanya.
Bukan tanpa alasan, kenapa Zahra membatinkan kalimatnya. Namun meskipun begitu, bukan punya alasan yang pasti pula, kenapa Zahra seakan merasa heran mengenainya. Lagi dan lagi, ini semua mengenai ingatan buramnya, dan juga apa yang sempat ia mimpikan.
Ternyata, seseorang yang sempat ia perhatikan di hari pertamanya bersekolah, seseorang itu ialah Malik, dan nama Malik pun kerap ia dengar dari Karina. Lantas sebab hal ini, menurutnya, mengapa cukup banyak hal yang tengah merujuk padanya? Bahkan mimpinya pun terkesan serupa, dan terasa mirip, dengan suatu hal yang juga pernah terjadi di tempat itu.
“Siapa dia sebenarnya?” batin Zahra.
Mereka saling melihat satu sama lainnya, dalam kurun waktu yang cukup singkat. Sementara Karina, untuk kali ini ia hanya terdiam—memperhatikan keduanya.
Sebenarnya Karina paham, kalau Zahra tak akan pernah menerima uluran tangan dari cowok mana pun, sebelum adanya kata halal. Namun kala itu, Karina hanya sebatas iseng—ingin mengetahui responsnya Zahra belaka.
Kini keadaannya, Karina masih memegang tangannya Malik—meski dalam kisaran dua menit sebelumnya, ia telah turut menurunkan tangannya Malik dari hadapannya Zahra—tepat di saat Zahra telah merespons ucapannya Malik.
Melihat Zahra yang hanya terdiam, Karina pun turut memegang tangannya. “Kenapa, Za?”
“Hmm?” Zahra berdeham—menyudahi apa yang sempat ia pikirkan mengenai Malik.
“Kenapa? Kamu marah, ya?”
“Ng-nggak. Aku nggak marah.”
“Terus kenapa diam?” tanya Karina dengan nada yang sangat lembut—merasa ada banyak hal lainnya yang tengah Zahra sembunyikan darinya.
Zahra tampak tertunduk sejenak, lalu kembali melihat ke arah Malik, sembari tampak tersenyum gugup—memilih membuka obrolan kembali. “Mmm, aku Zahra,” -Zahra turut menyatukan kedua tangannya—sebagai bentuk pemberian salam untuk mereka yang bukan mahramnya- “maaf, karena tadi aku nggak langsung balik ngenalin diri. Bukannya aku mau mengabaikan kamu, cuma ... cuma memang lagi ada sesuatu yang lagi aku ingat, dan itu yang udah buat konsentrasi aku pecah haluan. Maaf, ya.”
Malik juga tampak tersenyum gugup dalam menanggapinya. “Mmm, nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah, kok. Lagi pun tadi, Karina udah kasih tahu aku, siapa nama kamu. Jadi, nggak usah terlalu di bawa serius, ya. Ini juga karena ulahnya Karina, kok. Bukannya aku nggak mau kenalan kayak tadi—kayak yang Karina mau. Cuma kayaknya ... kalau gini caranya ... kesannya kayak terpaksa gitu, ya?
“Maaf ya, kalau misalkan kamu ngerasa kayak gitu. Selain aku, pastinya kamu juga tahu, kalau Karina memang sedikit suka maksa orangnya,” tutur Malik dengan penuh kehati-hatian. Sepertinya ia paham, bahwa Zahra adalah salah satu tipikal perempuan lembut yang pernah ada. Ia mengemas tutur katanya dengan lembut terhadap Zahra—tak ingin menyinggungya. Namun tidak begitu terhadap Karina, karena sepertinya pula, Malik juga telah paham bagaimana karakternya seorang Karina—yang jauh lebih nyebelin—menurut Malik.
Muncul fakta lainnya. Next up, Kak 🙏🏻🤍
Comment on chapter Chapter 10. Dea?