Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Spark Between Us
MENU
About Us  

Sebulan sudah Ikal memulai awal semesternya di kelas 8. Jadi Tika menawarkan diri untuk mengantar jemput adik satu-satunya itu ke sekolah setiap hari. Walaupun sebenarnya Ikal tidak masalah pergi sekolah dengan angkutan umum. Ayah dan Ibu mereka sangat setuju, karena berkurang satu penumpang yang harus diantar. Kini ayahnya hanya perlu mengantar istrinya saja, mengingat macet yang mesti dihadapi setiap hari.

Sepulang 'ngojek', Tika dapati mobil Lexus hitam selalu datang setiap pagi ke rumah Tante Helen. Dan dengan kedatangan mobil itu setiap hari, Tika tahu hidupnya tidak akan pernah bisa sama lagi. Bertemu Emil adalah satu hal. Terkadang Emil masih suka melempar ledekan 'patah hati', membuat Tika kesal saja. Nah, bertemu boneka-boneka oriental milik Emil adalah hal lain. Meski kesal, Emily dan Galih dapat mengobatinya.

Emil keluar dari kursi kemudi menuju pintu penumpang di belakang. Pagi ini ia tampil rapi dalam balutan kemeja putih, dasi kelabu garis putih, dan celana bahan abu-abu dengan potongan lurus formal.

Ia dengan senyum Pepsodent-nya menyapa Tika yang sudah stand by di depan pagar hitam Om Tamam.

Seperti biasa, senyum Kak Emil memang luar biasa manis. Tapi syukurlah gue udah imun!

"Pagi Tante Ika," sapa Emil hangat. 'Ika' adalah panggilan barunya dari anak-anak Emil. Dan Tika menyukainya. 

"Pagi, papanya Emi," balas Tika. Matanya tidak sabar dengan apa yang ada di balik pintu belakang penumpang Lexus itu.

"Tante Ika," sapa suara bak gemerincing bel. Emil menurunkan si sulung yang langsung berlari menyongsong Tika.

"Emily." Sebuah pelukan hangat kini menjadi kebiasaan baru antara Tika dan Emily.

"Selamat pagi, Em. Mau berangkat sekolah?"

"Selamat pagi, Tante Ika. Iya, Tante. Emi mau ke sekolah."

"Have fun di sekolah, ya?"

"Mm," jawabnya sambil mengangguk. Rambutnya yang dikuncir satu turut bergoyang. Tika tidak tahan ingin mencubit pipi gembul itu tapi ia tahan.

Sabar Tik, ada papanya.

Di belakang, setelah tidak sabar untuk segera lepas dari baby car seat, satu lagi boneka oriental lain meronta-ronta ingin lepas dari gendongan Emil. Matanya tertuju pada satu titik. Tika.

"Ante Ika. Ante Ika." Emil terpaksa cepat menurunkan anak laki-lakinya dan membiarkan Galih jalan tertatih-tatih menuju Tika.

Tangannya sudah merentang siap menyambut si boneka yang langkahnya belum terlalu mantap. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Jalan komplek sedatar aspal jalanan Thamrin pun tak mampu membuat lari Galih bebas hambatan. Si boneka oriental tersandung sepatunya sendiri.

"Galih!"

"Galih!"

Dua manusia dewasa berlomba secepat Flash demi menangkap Galih yang dalam sekejap mata bisa mencium aspal komplek.

Tangan Emil berhasil menahan badan Galih sehingga anaknya tetap berada di tempat.

Tika juga berhasil menangkap badan Galih dan memegangnya kokoh agar tetap berdiri. Namun sayang, karena badannya sendiri oleng, ia harus menumpu tubuhnya dengan kedua lutut dalam hentakan keras ke aspal.

"Aw!" Celana kulot khaki Tika mencetak seberkas noda di lutut. Sakitnya membuat tubuh Tika bergetar kesakitan. 

"Tika! Kamu nggak apa-apa, Dek?"

"Perih dan ngilu, Bang. Kayaknya luka, deh." Tika menunjuk beberapa titik noda merah di kain celananya.

"Abang ambil kotak P3K, ya. Tunggu sebentar." Secepat kilat Emil masuk ke rumahnya.

Galih dan Emily ikut jongkok di samping Tika yang terduduk di jalan. Mereka berdua juga kelihatan cemas dengan gaya khas anak-anak.

"Tante baik-baik aja, kok. Jangan khawatir ya, Emi, Galih," kata Tika mengelus kepala bocah-bocah itu. Emily meniup lutut Tika seakan dapat meredakan sakit. Sedangkan Galih meletakkan saja tangan mungilnya di lutut Tika. Walaupun Tika gamang dengan sentuhan itu, ia tahan karena tahu Galih hanya mencemaskan dirinya.

Tante Ika terharu, nih. Kalian kok imut dan perhatian banget, sih? Anak siapa, sih? Sayangnya bukan anak gue. Huhuhu...

"Ini, Dek. Coba lihat lukanya. Langsung dibersihkan. Nanti infeksi. Kalau parah kita ke rumah sakit." Ia menyejajarkan dirinya di depan Tika sambil sesekali memeriksa jam di tangan kirinya.

"Makasih, Bang. Nanti aku bersihin di rumah. Kayaknya nggak perlu sampai ke rumah sakit, deh," ujar Tika yang kepayahan ingin berdiri.

Tanpa aba-aba Emil menarik lembut lengan Tika dan membantunya berdiri. Tika membeku seketika. Tubuhnya menegang. Emil memang tidak menyentuhnya langsung, tapi gara-gara hal kecil itu, muncul sengatan listrik tegangan rendah yang menggetarkan jantungnya. 

Tika merasa itu sangat salah. Ia tahu tidak seharusnya ia berdebar. Dirinya sangat menghormati Anneke, mama Emily dan Galih. Ia juga menghormati Emil, sebagai kakak dari sahabatnya, dan jangan lupakan Om Tamam dan Tante Helen. Begitu banyak hati yang harus ia jaga.

Suara cemas Emil mengembalikan Tika ke kesadarannya.

"Sekarang aja, ya? Biar Abang lihat apa lukanya perlu dibawa ke rumah sakit atau tidak. Atau setidaknya pakai spray antiseptik."

Tika bergeming, menaikkan alisnya tanda tak mengerti. Ia menatap celananya dan Emil bergantian.

Harus sekarang? Gue mesti angkat celana di depan Abang, gitu?

"Ah, maaf," ucap Emil buru-buru. "Baiklah. Kamu segera ke rumah, Dek. Langsung bersihkan dengan air mengalir dan semprotkan spray antiseptik yang ada dalam kotak itu sebelum diberi plester. Mengerti?"

"Baik, Bang. Terima kasih kotak P3K-nya, aku pinjam dulu. Abang sebaiknya pergi. Nanti terlambat."

Lagi, Emil mencek jam tangannya.

"Kamu benar. Abang harus pergi. Maaf ya, Dek. Kamu jadi jatuh karena harus menangkap Galih. Beri tahu Abang kalau memang harus ke rumah sakit." Emil benar-benar tampak menyesal. "Dan terima kasih sudah mau berkorban untuk Emi," ucapnya tulus. 

Sebelum menjawab, senyum mendahului kata-kata Tika. "Bukan masalah besar kok, Bang."

***
Tika seharian disibukkan dengan proyek terjemahan buku dari Banyu. Baru dua buku selesai dari kesepuluh serinya, tapi otaknya sudah jenuh melihat layar laptop, buku, dan kamus. Tika lulusan Sastra Inggris, tapi yang namanya menerjemahkan tidak akan pernah lepas dari kamus. Karena ia butuh makna yang tepat untuk setiap kata Bahasa Indonesia yang akan dibaca oleh anak-anak nanti.

Otot-otot kaku setelah mengetik dan duduk diam berjam-jam pun diregangkan. Tika melihat jam di dinding.

"Oh, sudah waktunya jemput Mbul."

James sudah berada di depan pagar dan siap dibawa oleh pemiliknya ketika Tika mendapati Lexus Emil menghalangi jalur motornya.

"Mau ke mana?" tanya Emil to the point dari dalam mobil.

"Jemput Ikal, Bang."

"Tunggu sebentar, jangan pergi dulu." Emil memarkirkan mobil di depan pagar rumahnya, lalu turun dan langsung masuk ke rumah. Ia meninggalkan Tika dalam keadaan kebingungan.

Lima menit kemudian Emil muncul sedikit tergesa dan mendekati Tika.

"Dek, bareng Abang aja ya, sekalian jemput Emily."

Eh, maksudnya gimana, nih?

"Nggak usah, Bang. Aku pergi sendiri aja. Abang kan mesti ngantor," tolak Tika halus.

Emil menggeleng tegas. "Abang nggak ke kantor lagi, kok. Gimana? Oke ya, Dek," jawab Emil ringan.

Mentang-mentang bos, ni ye, cibir Tika dalam hati. 

"Makasih, tapi nggak perlu, Bang. Mana tahu Ikal mau ngajak aku ke mana habis ini," kilah Tika. 

Maaf Mbul, Kakak pinjem nama kamu ya. Kakak cuma nggak mau berurusan lagi sama dia.

Emil memejamkan mata sejenak dan berkata tegas, "I insist, Tika. Emi sudah terlalu lama menunggu di rumah Mami. Ikal juga. Kalau Ikal masih ingin pergi setelah ini, Abang akan antar ke mana pun dia mau. Abang nggak keberatan."

Lho, kok maksa? Sejak kapan Bang Emil suka menuntut, tidak suka penolakan, dan sangat persuasif? Apa karena pekerjaannya yang suka melobi klien, Bang Emil jadi seperti ini?

"Tapi Bang..."

"Ayo. The clock is ticking, Tika." Emil justru menunjuk-nunjuk jam pintarnya. Oh, jangan lupakan senyum Pepsodent-nya yang seakan merayu Tika mengatakan 'iya'. 

Wajah Emil bagaikan anjing golden retriver yang menuntut camilan. Tika tak mampu menolak pesonanya.

Setelah menggerutu diam-diam, perempuan berhijab itu memutar bola matanya dan berkata, "Oke, oke. Tunggu sebentar, aku masukin James ke garasi."

"Good."

***

Harum vanila kembali menyentak ingatannya saat Tika dibawa ke IGD. Ia mengusap jari telunjuk yang kini dalam masa penyembuhan. Jahitan sudah dibuka. Dan kalian tahu? Emil memaksa mengantar Tika ke rumah sakit untuk kedua kalinya. Alasannya: dirinya merasa bertanggung jawab dan ingin memastikan kesembuhan Tika sampai tuntas. Kini Tika baru menyadari, Emil memang pemaksa yang sangat persuasif. Persis dengan sifatnya siang ini.

"Bagaimana keadaan jari telunjuk kamu, Dek?" tanya Emil. Mereka sedang dalam perjalanan ke rumah mertua Emil.

"Sudah membaik, Bang." Sebagai bukti, Tika memamerkan bekas lukanya.

"Syukurlah. Habis ini kita ke rumah sakit, ya? Cek lututnya ke dokter. Kalau perlu rontgen."

"Eeh, nggak perlu, Bang. Beneran. Cuma ngilu dan lebam."

"Cuma kata kamu? Tadi benturannya cukup keras, Dek. Kita ke rumah sakit, ya? Periksa luka yang tadi."

Bang Emil nggak boleh dibiarin kayak gini terus. Bisa-bisa gue nggak bisa nolak dan benar-benar berakhir di rumah sakit.

"Aku yakin nggak perlu dicek ke dokter, Bang. Ini cuma luka biasa. Kalau terjadi sesuatu, Abang adalah orang nomor satu yang akan aku hubungi."

Oke. Bagus Tika. Lo memang berbakat mengarang indah. Lagian, ngapain juga gue ke rumah sakit?

Emil menoleh pada penumpangnya sebentar, seperti memastikan kesungguhan kata-kata Tika. Pada akhirnya ia menghela napas panjang.

"Baiklah. Kamu nyimpen nomor HP Abang, kan?"

"Iya."

Tika baru menyadari Emil tidak lagi memakai dasi. Lengan bajunya sudah tergulung hingga ke siku. Ia bisa melihat lengan kekar di balik kain kemeja itu.

He is doing so well with exercise. Maksud gue Bang Emil sering gendong Emily dan Galih, makanya lengannya sekal begitu. OKE, Tika, lo bisa berhenti memikirkan hal nggak berguna itu sekarang.

Tika cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

"Kamu kenapa, Dek?" Tika kepergok menggeleng kencang dan kini pipinya memanas.

"Nggak ada apa-apa."

Fiuuh - mode ngelap keringat.

"Abang perhatikan kamu sering di rumah. Kamu cuti panjang? Atau cuti besar?"

"Aku udah resign," jawab Tika sambil tersenyum.

"Apa? Kenapa? Setahu Abang, kamu punya karir yang bagus." Emil tidak menyembunyikan keterkejutannya. Ia memutar badannya sehingga bisa melihat Tika dengan jelas. Mobil sedang berhenti di persimpangan lampu lalu lintas.

Ada perasaan nyaman ketika Tika berada di mobil Emil untuk bercerita secuil kebenaran mengenai dirinya. Apakah karena aroma vanila di mobil? Ia tak tahu.

"Hm, kontrak aku habis. Lalu, rasanya sudah cukup lama aku jauh dari orang tua. Aku masih belum banyak berbakti untuk mereka." Sekilas ia menoleh dan ternyata Emil menatapnya intens dan sangat serius. Segera Tika buang pandangannya ke baliho besar berlatar merah milik seorang politikus di senayan.

"Oke?"

Tika tahu Emil tidak puas dengan jawabannya. Kemudian ia menyambung, "Aku nggak nyaman lagi bekerja di sana."

"Kenapa?"

"Yah, ada beberapa hal yang membuatku begitu."

"Hal seperti apa? Kalau Abang boleh tahu." Kini Emil menumpukan kedua siku tangannya di setir dengan santai. Gerakan kecil itu menguarkan aroma yang Tika kenal: aroma rumput yang baru dipotong dan daun hijau segar. Tika tidak sadar mencuri aroma itu untuk dinikmati dalam benaknya.

Wangi.

“Seperti?”

"Homesick?" jawab Tika mengangkat bahu.

"Okay. Bagaimana dengan faktor internal di perusahaan kamu? Lebih spesifik lagi," pinta Emil. 

"Ada rekan kerja yang membuatku nggak nyaman."

Baiklah, gue merasa lebih baik setelah berkata jujur.

"Personal issue?"

"Sort of." Emil menganggukkan kepalanya.

"Kamu sedang menghindari seseorang."

Tika terkesiap dengan pernyataan Emil.

Apa? Secepat itu Bang Emil mengambil kesimpulan?

"Bisa dikatakan begitu." Tika memilih jujur.

"Ya, hal-hal seperti itu tidak dapat dihindari, bukan? Lebih baik pergi daripada mendapat masalah baru. Suasana yang tidak nyaman akan memperburuk performa kita dalam bekerja."

"Benar. Abang seratus persen betul." Tika menoleh heran sekaligus terkagum atas analisa Emil, membuat pria itu mendengkus pelan dan terkekeh.

"Maaf sebelumnya ya, Dek. Abang bukannya sok ingin tahu. Abang hanya berusaha memahami kenapa kamu tiba-tiba resign, nggak bermaksud menghakimi atau mencari-cari kesalahan."

"Iya, aku tahu. Aku nggak merasa terbebani dengan pertanyaan Abang. Sekarang aku lega. Banget, malah. Ternyata ada yang mau memahamiku dan nggak men-judge aku. Jujur, aku sedikit kesulitan untuk menjelaskan kepada orang lain kenapa aku resign dari perusahaan yang sudah membesarkanku dan memberiku kesempatan untuk mengembangkan diri. Sekarang aku makin yakin bahwa keputusanku tepat. Terima kasih, Bang, karena mau mendengarkan aku," ucap Tika dengan tulus.

"Sama-sama. Seperti yang Abang bilang tadi. Abang sedang belajar memahami jalan pikiran seorang Kartika."

Bersambung

Modhusss. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
NADA DAN NYAWA
15663      2941     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Catatan Takdirku
1247      739     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
KEPINGAN KATA
518      331     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!
Alumni Hati
439      226     0     
Romance
📘 SINOPSIS – Alumni Hati: Suatu Saat Bisa Reuni Kembali Alumni Hati adalah kisah tentang cinta yang pernah tumbuh, tapi tak sempat mekar. Tentang hubungan yang berani dimulai, namun terlalu takut untuk diberi nama. Waktu berjalan, jarak meluas, dan rahasia-rahasia yang dahulu dikubur kini mulai terangkat satu per satu. Di balik pekerjaan, tanggung jawab, dan dunia profesional yang kaku...
ALUSI
9751      2313     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
Gray November
3824      1314     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Pieces of Word
2645      930     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗
Ruang Suara
205      144     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Surat untuk Tahun 2001
5482      2201     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
Mendadak Halal
8243      2249     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...