Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Spark Between Us
MENU
About Us  

TIKA bergegas turun dan hendak berlari masuk ke pekarangannya ketika Emil menahan Tika di lengan.

"Tika! Tika, tunggu."

"Ada apa sih, Bang?" Sepertinya jengkel karena dipermainkan Emil tadi masih ada sisanya.

"Maaf, Abang kelewatan tadi." Sepertinya Emil sadar diri. 

"Ck! Abang, sih."

"Tapi kamu jangan buru-buru masuk dulu."

"Kenapa? Aku cuma ingin memastikan siapa yang ada di rumah," ujar Tika sebal sambil melepaskan pegangan Emil. Tersadar, Emil segera melepaskan tangannya.

"Kata kamu Om, Tante, dan Ikal lagi di Bali?"

"Iya."

"Trus nggak ada yang punya kunci rumah selain kamu dan keluarga?"

Kening Tika kusut tanda ikut berpikir, tapi tetap menjawab, "Iya."

"Lalu, menurut kamu, siapa yang ada di dalam rumah sekarang?"

Mata bulat itu menatap Emil yang menaikkan alisnya. Tika langsung sadar dan membekap mulutnya.

"Makanya, jangan buru-buru masuk. Kita masuk bareng." Tika mengangguk tanda setuju.

Emil memimpin berjalan di depan dengan Tika membuntuti Emil tepat di belakangnya sambil meremas bagian belakang kemeja Emil karena gugup. Ia takut dengan apapun yang akan di hadapi di dalam rumahnya sendiri.

Belum sempat Emil menginjakkan kaki di teras rumah, pintu terbuka lebar. Tika semakin mengeratkan cengkeraman tangannya di baju Emil.

"Eh, ada Emil. Ayah, Emil ternyata, Yah." Sahut suara itu. Sosok lain juga muncul di belakang. Beliau ternyata Pak Fauzan. 

"Tante Nur? Kapan datang, Tan?" Emil bergerak cepat menyongsong Buk Nur dan menyalami tangannya.

Ha? Ibu udah datang?

"Tadi sore, Mil."

"Ibu? Kok, di rumah? Bukannya Ibu pulang tiga hari lagi?" Kening Tika mengernyit saat Buk Nur tergopoh-gopoh hendak memeluk anak perempuan satu-satunya

"Ini anak bikin cemas saja. Ke mana saja kamu sih, Kak? HP ditinggal, rumah nggak dikunci, taman berantakan. Hampir saja Ayah nelepon polisi. Si Adek nangis, khawatir kakaknya kenapa-kenapa." Buk Nur semakin mengeratkan rangkulannya. Tika balas memeluk ibunya dengan penuh penyesalan. 

"Maafin Kakak, Bu. Tadi Kakak kecelakaan waktu–"

"Apa?!" Buk Nur segera menarik dirinya melihat keadaan Tika. "Kecelakaan? Kamu nggak apa-apa, Kak?" Raut wajah Buk Nur berganti cemas saat memeriksa satu per satu bagian tubuh Tika.

"Bu, Ibu. Sebentar, tunggu dulu." Tika memegang bahu ibunya agar segera menghentikan kegiatan scanning atas dirinya.

"Kakak cuma luka di jari, Bu." Ia mengangkat telunjuknya yang sudah dibalut kain kasa dan perban coklat. Tika melirik sebentar ke Emil yang sedang tersenyum manis melihat interaksi mereka. "Trus Bang Emil yang bawa Tika ke IGD."

Buk Nur mencerna dengan seksama kata demi kata yang dilontarkan putrinya. Mata beliau mengamati anaknya dan Emil bergantian.

"Beneran cuma jari, Nak?"

"Iya, Bu."

Sayangnya Tika terlanjur melihat senyum cibiran dan rolling eye-nya Emil dan itu membuat Tika mesti menahan pembalasannya yang tak bisa langsung terlaksana.

"Kak Tikaaa–"

"Mbuuul–" Tika merentangkan tangan bersiap menerima pelukan dan beban berat adik bungsunya yang sedikit over weight untuk umurnya yang baru 14 tahun.

Si bungsu menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Tika. Hampir saja Tika terjungkal ke belakang kalau saja Emil tidak menahan punggungnya.

"Kamu iteman ya, Dek. Bagus. Biar tambah macho, Dek. Tinggal ngilangin lemak di pipi sama pinggang kamu aja." Kali ini Ikal tidak peduli dengan bercandaan kakaknya.

"Kakak kok ngilang? Kata Bunda Kakak nggak bisa ditelepon. Ikal pikir Kakak diculik." Suara sedih Ikal teredam di bahunya.

"Siapa juga sih, Kal, yang mau culik Kakak kamu?" Emil dengan santainya menyela reuni adik-kakak yang sedang melepas rindu itu. Lagi-lagi si pemilik senyum pepsodent itu mengulum jahil.

"Kak Tika kan cantik, baik hati, suka beliin Ikal buku. Ya iya lah, Ikal takut Kakak diculik. Gimana sih, Om Emil?" bela Ikal. Tika menjulurkan lidahnya merasa di atas angin.

Usia mereka terpaut dua dekade. Makanya Ikal menambah kata 'om' di depan nama Emil. Emil sendiri tidak masalah dengan itu.  

"Sudah, sudah. Yang penting Tika sudah pulang, selamat wal afiat, walaupun jarinya luka," ucap Pak Fauzan, sekaligus menyudahi debat tak penting ini.

"Kalau gitu Emil pamit ya, Tan, Om, Ikal. Emil mesti jemput anak-anak di rumah Mami," katanya sambil menyalami Pak Fauzan dan Buk Nur. Tak lupa orang tua Tika mengucapkan terima kasih kepada Emil karena sudah menolong putri mereka.

"Udah, jangan nangis lagi, ya," kata Emil mengerling jahil ke Tika sambil mengucek kepala Ikal. "Jaga kakak kamu, Kal. Bilang, nggak boleh ngelamun kalau lagi pegang gunting rumput." Ikal menggangguk patuh.

Dasar bapak-bapak rese! 

***
Keluarga Pak Fauzan sedang menghadapi makan malam dengan makanan yang dipesan secara daring.

Walaupun sedang makan, tatapan Buk Nur sungguh tidak main-main. Sepertinya banyak sekali yang ingin disemburkannya ke Tika kalau saja tidak sedang mengunyah dan menghormati suaminya di meja makan.

"Sabar, Ibu. Makan aja dulu," kata Tika yang tahu diri diperhatikan sang ibu.

"Kamu, Kak. Kok nggak ngomong-ngomong pulang ke Jakarta? Pake acara menghilang segala," kata ibunya disela-sela mengambil tambahan sayur.

"Ibu, Ayah, Ikal juga nggak ngomong-ngomong kalau mau pulang," balas Tika tidak mau kalah. Tika tidak bermaksud balas-balasan. Hatinya belum siap mengeluarkan semuanya dalam sekali tuang.

"Nanti saja, Nur. Kita makan saja dulu. Kal, jangan malas makan sayur, Nak. Tambah sayurnya. Tika, kok makannya sedikit? Kamu makin kurus Ayah lihat. Tambah lauknya," titah Pak Fauzan. Dan seketika dua anak itu dengan patuh menuruti kata-kata ayah mereka.

"Ibu tadi sampai rumah jam berapa?" Mereka sekarang sedang di atas karpet ruang TV, minus si bungsu yang sudah tak tahan mengantuk karena kecapekan. Tika sedang membongkar oleh-oleh dari koper ibunya. Sang ayah berselonjor di sofa menukar-nukar saluran TV.

"Sampai rumah jam lima. Bagus nggak, Kak?" Buk Nur menyodorkan sling bag rotan pesanan Tika. Spontan Tika memeluk tasnya dan mengecup pipi ibunya.

"Makasih, Bu. Bagus banget."

"Itu jari kenapa sampai luka begitu? Kalau nggak biasa berkebun jangan coba-coba, Kak," kata ibunya meringis. Lalu Tika menceritakan alasannya meminjam gunting, tentang lukanya, lalu Emil yang bersedia menolong mengantar Tika ke IGD.

"Tika cuma nggak hati-hati aja kok, Bu." Tentu saja alasan mengapa dirinya emosi ketika menggunting rumput tidak ia ceritakan.

"Kan sudah ada Mang Asep yang datang bersih-bersih taman. Kenapa tiba-tiba pengen berkebun, sih?" Si Ayah ikutan nimbrung.

"Kakak lagi pengen coba sesuatu yang baru aja, Yah."

Tika cuma pengen mengalihkan pikiran aja, Yah. Daripada kepikiran dia mulu.

"Untung ada Nak Emil yang lagi di rumah. Kan, Emil sudah tidak tinggal di rumah sebelah. Dia sama anak-anaknya sudah lama pindah ke rumahnya sendiri." Pak Fauzan mengangguk menyetujui istrinya.

Ooh, jadi Kak Emil nggak tinggal di rumah Tante Helen lagi? Begitu banyak gue ketinggalan informasi sejak jarang pulang.

"Ibu kenapa tiba-tiba pulangnya? Liburannya tiga hari lagi, lho. Tika kan mau kasih surprise bikin taman depan jadi cantik."

Ia baru ingat, harusnya dirinya menanyakan pertanyaan penting ini dari tadi. Tika menyenggolkan bahunya menggoda Buk Nur. Ia tahu ibunya sepertinya masih marah. 

"Itu gara-gara Kakak," celetuk ibunya.

"Kok gara-gara Kakak?"

"Ayahmu yang suruh balik ke Jakarta setelah terima telpon dari Kakak."

"Emang Tika kenapa, Yah?" tanya Tika heran.

"Ayah nggak tenang setelah dengar suara Kakak. Kayak ada masalah. Mau cerita ke Ibu atau Ayah?" Bukan Pak Fauzan yang menjawab. Melainkan sang Ibu. Pak Fauzan hanya manggut-manggut saja. Tapi perhatiannya kini sudah tertuju pada si sulung, bukan lagi TV.

Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Tika jadi kikuk sendiri.

"Emang kelihatan banget, ya?" Yang diperhatikan menggaruk kepalanya.

Gini, nih. Kalau punya orang tua yang jeli, sejeli seorang pemimpin redaksi yang menemukan kesalahan tata bahasa dan selihai kepala cabang bank yang menemukan kejanggalan kontrak kredit ratusan juta. Two Thumbs Up, Yah, Bu.

"Nih anak kebiasaan. Kalau ada masalah selalu dipendam sendiri. Ibu kan sudah sering bilang, kalau ada apa-apa, cerita. Walaupun kami belum tentu memberikan solusi, setidaknya beban di sini, Kak, bisa berkurang." Buk Nur menunjuk dada Tika. Seketika si sulung menunduk. Pak Fauzan sudah pindah duduk di sebelah Tika dan merangkul bahu anak gadisnya.

Selama beberapa saat, Tika tak mampu bicara. 

"Kalau belum mau ngobrol, nggak apa-apa. Mungkin Kakak belum siap cerita. Tapi Ayahmu siap mendengar. Ibu juga. Ya kan, Nur?"

Tika mengangguk sambil menunduk.

Ketika Ayahnya membuka suara, Tika tahu akan ada bulir air mata yang akan jatuh. Tapi tidak malam ini. Ia hanya ingin istirahat dengan segala kejadian seharian ini. Karena menangis juga butuh tenaga. Mulai dari pujian Emil, jarinya yang terluka, ledekan Emil yang menyinggung soal patah hati, kejutan keluarganya yang datang tiba-tiba, hingga tebakan jitu Ayah dan Ibunya.

"Besok kamu kasih oleh-oleh ke rumah neneknya Emily ya, Kak? Besok Ibu plastikin."

"Emily" tanya Tika ragu.

"Itu, cucu Mbak Helen. Anak pertama Emil. Kakak lupa, ya?"

Tika hanya meringis karena memang ia tidak mengingatnya.

"Jangan-jangan, kalau anak Bang Emil laki-laki, diberi nama Emil Junior?"

Buk Nur terkekeh sendiri dan geleng-geleng kepala.

"Kakak ada-ada saja. Tebak-tebak nama anak orang. Salah. Nama adiknya Emily itu Galih, Kak." Tika mengangguk dan ber 'ooh' ria.

Buk Nur memberikan beberapa kain Bali warna warni pada Tika, lalu bertanya, "Jadi, Kakak cuti berapa hari?"

Mati gue

"Kakak cutinya lama, Bu." Tika harus cepat-cepat kabur dari situasi ini. Maka dia berkilah, "Yah, Bu, Kakak ngantuk banget. Met malem Sayangnya Tika."

Tika bersyukur bisa menyelamatkan diri, setidaknya malam ini.

Bersambung

Chapter 4

TIKA bergegas turun dan hendak berlari masuk ke pekarangannya ketika Emil menahan Tika di lengan.

"Tika, tunggu!"

"Ada apa sih, Bang?" Sepertinya jengkel karena dipermainkan Emil tadi masih ada sisanya.

"Maaf, Abang kelewatan tadi." Sepertinya Emil sadar diri. 

"Ck! Abang, sih."

"Tapi kamu jangan buru-buru masuk dulu."

"Kenapa? Aku cuma ingin memastikan siapa yang ada di rumah," ujar Tika sebal sambil melepaskan pegangan Emil. Tersadar, Emil segera melepaskan tangannya.

"Kata kamu, Om, Tante, dan Ikal lagi di Bali?"

"Iya."

"Trus nggak ada yang punya kunci rumah selain kamu dan keluarga?"

Kening Tika kusut tanda ikut berpikir, tapi tetap menjawab, "Iya."

"Lalu, menurut kamu, siapa yang ada di dalam rumah sekarang?"

Mata bulat itu menatap Emil yang menaikkan alisnya. Tika langsung sadar dan membekap mulutnya.

"Makanya, jangan buru-buru masuk. Kita masuk bareng." Tika mengangguk tanda setuju.

Emil memimpin berjalan di depan dengan Tika membuntuti Emil tepat di belakangnya. Saking takutnya, Tika meremas bagian belakang kemeja Emil. Ia takut dengan apapun yang akan dihadapi di dalam rumahnya sendiri.

Belum sempat Emil menginjakkan kaki di teras rumah, pintu terbuka lebar. Tika semakin mengeratkan cengkeraman tangannya di baju Emil.

"Eh, ada Emil. Ayah, Emil ternyata, Yah," sahut suara itu. Sosok lain juga muncul di belakang. Mereka adalah Buk Nur dan Pak Fauzan. 

"Tante Nur? Kapan datang, Tan?" Emil bergerak cepat menyongsong Buk Nur dan menyalami tangannya.

Ha? Ibu udah datang?

"Tadi sore, Mil."

"Ibu? Kok, di rumah? Bukannya Ibu pulang tiga hari lagi?" Kening Tika mengernyit saat Buk Nur tergopoh-gopoh hendak memeluk anak perempuan satu-satunya

"Ini anak bikin cemas saja. Ke mana saja kamu sih, Kak? HP ditinggal, rumah nggak dikunci, taman berantakan. Hampir saja Ayah nelepon polisi. Si Adek nangis, khawatir kakaknya kenapa-kenapa." Buk Nur semakin mengeratkan rangkulannya. Tika balas memeluk ibunya dengan penuh penyesalan. 

"Maafin Kakak, Bu. Tadi Kakak kecelakaan waktu–"

"Apa?!" Buk Nur segera menarik dirinya melihat keadaan Tika. "Kecelakaan? Kamu nggak apa-apa, Kak?" Raut wajah Buk Nur berganti cemas saat memeriksa satu per satu bagian tubuh Tika.

"Ibu. Sebentar, tunggu dulu." Tika menahan bahu ibunya agar segera menghentikan kegiatan scanning atas dirinya.

"Kakak cuma luka di jari, Bu." Ia mengangkat telunjuknya yang sudah dibalut kain kasa dan perban coklat. Tika melirik sebentar ke Emil yang sedang tersenyum manis melihat interaksi mereka. "Trus Bang Emil yang bawa Tika ke IGD."

Buk Nur mencerna dengan seksama kata demi kata yang dilontarkan putrinya. Mata beliau mengamati anaknya dan Emil bergantian.

"Beneran cuma jari, Nak?"

"Iya, Bu."

Sayangnya Tika terlanjur melihat senyum cibiran dan rolling eye-nya Emil dan itu membuat Tika mesti menahan pembalasannya yang tak bisa langsung terlaksana.

"Kak Tikaaa–"

"Mbuuul–" Tika merentangkan tangan bersiap menerima pelukan dan beban berat adik bungsunya yang sedikit over weight untuk umurnya yang baru 14 tahun.

Si bungsu menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Tika. Hampir saja Tika terjungkal ke belakang kalau saja Emil tidak menahan punggungnya.

"Kamu iteman ya, Dek. Bagus. Biar tambah macho, Dek. Tinggal ngilangin lemak di pipi sama pinggang kamu aja." Kali ini Ikal tidak peduli dengan bercandaan kakaknya.

"Kakak kok ngilang? Kata Bunda Kakak nggak bisa ditelepon. Ikal pikir Kakak diculik." Suara sedih Ikal teredam di bahunya.

"Siapa juga sih, Kal, yang mau culik Kakak kamu?" Emil dengan santainya menyela reuni adik-kakak yang sedang melepas rindu itu. Lagi-lagi si pemilik senyum Pepsodent itu mengulum jahil.

"Kak Tika kan cantik, baik hati, suka beliin Ikal buku. Ya iya lah, Ikal takut Kakak diculik. Gimana sih, Om Emil?" bela Ikal. Tika menjulurkan lidahnya merasa di atas angin.

Usia mereka terpaut dua dekade. Makanya Ikal menambah kata 'om' di depan nama Emil. Emil sendiri tidak masalah dengan itu.  

"Sudah, sudah. Yang penting Tika sudah pulang, selamat wal afiat, walaupun jarinya luka," ucap Pak Fauzan, sekaligus menyudahi debat tak penting ini.

"Kalau gitu Emil pamit ya, Tan, Om, Ikal. Emil mesti jemput anak-anak di rumah Mami," katanya sambil menyalami Pak Fauzan dan Buk Nur. Tak lupa orang tua Tika mengucapkan terima kasih kepada Emil karena sudah menolong putri mereka.

"Udah, jangan nangis lagi, ya," kata Emil mengerling jahil ke Tika sambil mengucek kepala Ikal. "Jaga kakak kamu, Kal. Bilang, nggak boleh ngelamun kalau lagi pegang gunting rumput." Ikal menggangguk patuh.

Dasar bapak-bapak rese! 

***
Keluarga Pak Fauzan sedang menghadapi makan malam dengan makanan yang dipesan secara daring.

Walaupun sedang makan, tatapan Buk Nur sungguh tidak main-main. Sepertinya banyak sekali yang ingin disemburkannya ke Tika kalau saja tidak sedang mengunyah dan menghormati suaminya di meja makan.

“Sabar, Ibu. Makan aja dulu.” Tika tahu diri sedang diperhatikan sang ibu.

"Kamu, Kak. Kok nggak ngomong-ngomong pulang ke Jakarta? Pake acara menghilang segala," kata ibunya disela-sela mengambil tambahan sayur.

"Ibu, Ayah, Ikal juga nggak ngomong-ngomong kalau mau pulang," balas Tika tidak mau kalah. Tika tidak bermaksud balas-balasan. Hatinya belum siap mengeluarkan semuanya dalam sekali tuang.

"Nanti saja, Nur. Kita makan saja dulu. Kal, jangan malas makan sayur, Nak. Tambah sayurnya. Tika, kok makannya sedikit? Kamu makin kurus Ayah lihat. Tambah lauknya," titah Pak Fauzan. Dan seketika dua anak itu dengan patuh menuruti kata-kata ayah mereka.

***

"Ibu tadi sampai rumah jam berapa?" Mereka sekarang sedang di atas karpet ruang TV, minus si bungsu yang sudah tak tahan mengantuk karena kecapekan. Tika sedang membongkar oleh-oleh dari koper ibunya. Sang ayah berselonjor di sofa menukar-nukar saluran TV.

"Sampai rumah jam lima. Bagus nggak, Kak?" Buk Nur menyodorkan sling bag rotan pesanan Tika. Spontan Tika memeluk tasnya dan mengecup pipi ibunya.

"Makasih, Bu. Bagus banget."

"Itu jari kenapa sampai luka begitu? Kalau nggak biasa berkebun jangan coba-coba, Kak," kata ibunya meringis. Lalu Tika menceritakan alasannya meminjam gunting, tentang lukanya, lalu Emil yang bersedia menolong mengantar Tika ke IGD.

"Tika cuma nggak hati-hati aja kok, Bu." Tentu saja alasan mengapa dirinya emosi ketika menggunting rumput tidak ia ceritakan.

"Kan sudah ada Mang Asep yang datang bersih-bersih taman. Kenapa tiba-tiba pengen berkebun, sih?" Si Ayah ikutan nimbrung.

"Kakak lagi pengen coba sesuatu yang baru aja, Yah."

Tika cuma pengen mengalihkan pikiran aja, Yah. Daripada kepikiran dia mulu.

"Untung ada Nak Emil yang lagi di rumah. Kan, Emil sudah tidak tinggal di rumah sebelah. Dia sama anak-anaknya sudah lama pindah ke rumahnya sendiri." Pak Fauzan mengangguk menyetujui istrinya.

Ooh, jadi Bang Emil nggak tinggal di rumah Tante Helen lagi? Begitu banyak gue ketinggalan informasi sejak jarang pulang.

"Ibu kenapa tiba-tiba pulangnya? Liburannya tiga hari lagi, lho. Kakak kan mau kasih surprise bikin taman di depan jadi cantik."

Ia baru ingat, harusnya dirinya menanyakan pertanyaan penting ini dari tadi. Tika menyenggolkan bahunya menggoda Buk Nur. Ia tahu ibunya sepertinya masih marah. 

"Itu gara-gara Kakak," celetuk ibunya.

"Kok gara-gara Kakak?"

"Ayahmu yang suruh balik ke Jakarta setelah terima telpon dari Kakak."

"Emang Tika kenapa, Yah?" tanya Tika heran.

"Ayah nggak tenang setelah dengar suara Kakak. Kayak ada masalah. Mau cerita ke Ibu atau Ayah?" Bukan Pak Fauzan yang menjawab. Melainkan sang ibu. Pak Fauzan hanya manggut-manggut saja. Tapi perhatiannya kini sudah tertuju pada si sulung, bukan lagi TV.

Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Tika jadi kikuk sendiri.

"Emang kelihatan banget, ya?" Yang diperhatikan menggaruk kepalanya.

Gini, nih. Kalau punya orang tua yang jeli, sejeli seorang pemimpin redaksi yang menemukan kesalahan tata bahasa dan selihai kepala cabang bank yang menemukan kejanggalan kontrak kredit ratusan juta. Two Thumbs Up, Yah, Bu.

"Nih anak kebiasaan. Kalau ada masalah selalu dipendam sendiri. Ibu kan sudah sering bilang, kalau ada apa-apa, cerita. Walaupun kami belum tentu memberikan solusi, setidaknya beban di sini, Kak, bisa berkurang." Buk Nur menunjuk dada Tika. Seketika si sulung menunduk. Pak Fauzan sudah pindah duduk di sebelah Tika dan merangkul bahu anak gadisnya.

Selama beberapa saat, Tika tak mampu bicara. 

"Kalau belum mau ngobrol, nggak apa-apa. Mungkin Kakak belum siap cerita. Tapi Ayahmu siap mendengar. Ibu juga. Ya kan, Nur?"

Tika mengangguk sambil menunduk.

Ketika Ayahnya membuka suara, Tika tahu akan ada bulir air mata yang akan jatuh. Tapi tidak malam ini. Karena menangis juga butuh tenaga. Ia hanya ingin istirahat demi memroses semua kejadian seharian ini. Mulai dari pujian Emil, jarinya yang terluka, ledekan Emil yang menyinggung soal patah hati, kejutan keluarganya yang datang tiba-tiba, hingga tebakan jitu Ayah dan Ibunya.

"Besok kamu kasih oleh-oleh ke rumah neneknya Emily ya, Kak? Besok Ibu plastikin."

"Emily" tanya Tika ragu.

"Itu, cucu Mbak Helen. Anak pertama Emil. Kakak lupa, ya?"

Tika hanya meringis karena memang ia tidak mengingatnya.

"Jangan-jangan, kalau anak Bang Emil laki-laki, diberi nama Emil Junior?"

Buk Nur terkekeh sendiri dan geleng-geleng kepala.

"Kakak ada-ada saja. Tebak-tebak nama anak orang. Salah. Nama adiknya Emily itu Galih, Kak." Tika mengangguk dan ber 'ooh' ria.

Buk Nur memberikan beberapa kain Bali warna warni pada Tika, lalu bertanya, "Jadi, Kakak cuti berapa hari?"

Mati gue

"Kakak cutinya lama, Bu." Tika harus cepat-cepat kabur dari situasi ini. Maka dia berkilah, "Yah, Bu, Kakak ngantuk banget. Met malem, Sayangnya Tika."

Tika bersyukur bisa menyelamatkan diri, setidaknya malam ini.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bottle Up
2922      1218     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Te Amo
433      292     4     
Short Story
Kita pernah saling merasakan titik jenuh, namun percayalah bahwa aku memperjuangkanmu agar harapan kita menjadi nyata. Satu untuk selamanya, cukup kamu untuk saya. Kita hadapi bersama-sama karena aku mencintaimu. Te Amo.
RISA (Adik Abang Tersayang)
953      546     5     
Short Story
Abang hidup dalam bayang Risa.
TRAUMA
113      100     0     
Romance
"Menurut arti namaku, aku adalah seorang pemenang..akan ku dapatkan hatimu meskipun harus menunggu bertahun lamanya" -Bardy "Pergilah! Jangan buang waktumu pada tanaman Yang sudah layu" -Bellova
Babak-Babak Drama
457      315     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
50      45     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
CINTA SI GADIS BUTA
5021      1259     5     
Romance
Kemalangan yang dialami oleh seorang gadis yang bernama Reina. Reina, seorang gadis cantik dan juga baik hati di diagnosa oleh dokter terkena penyakit glaukoma. Dokter memperkirakan kalau dirinya masih dapat melihat dalam waktu 1 tahun. Tetapi, nasib baik tak lagi mau berpihak kepadanya. Kedua matanya buta hanya dalam 4 bulan setelah dia memeriksakannya. Dia hanya bisa pasrah menerimanya. Kehidu...
Strange Boyfriend
253      208     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Game of Dream
1392      772     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Tell Me What to do
483      345     1     
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu? Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?