TIKA bergegas turun dan hendak berlari masuk ke pekarangannya ketika Emil menahan Tika di lengan.
"Tika! Tika, tunggu."
"Ada apa sih, Bang?" Sepertinya jengkel karena dipermainkan Emil tadi masih ada sisanya.
"Maaf, Abang kelewatan tadi." Sepertinya Emil sadar diri.
"Ck! Abang, sih."
"Tapi kamu jangan buru-buru masuk dulu."
"Kenapa? Aku cuma ingin memastikan siapa yang ada di rumah," ujar Tika sebal sambil melepaskan pegangan Emil. Tersadar, Emil segera melepaskan tangannya.
"Kata kamu Om, Tante, dan Ikal lagi di Bali?"
"Iya."
"Trus nggak ada yang punya kunci rumah selain kamu dan keluarga?"
Kening Tika kusut tanda ikut berpikir, tapi tetap menjawab, "Iya."
"Lalu, menurut kamu, siapa yang ada di dalam rumah sekarang?"
Mata bulat itu menatap Emil yang menaikkan alisnya. Tika langsung sadar dan membekap mulutnya.
"Makanya, jangan buru-buru masuk. Kita masuk bareng." Tika mengangguk tanda setuju.
Emil memimpin berjalan di depan dengan Tika membuntuti Emil tepat di belakangnya sambil meremas bagian belakang kemeja Emil karena gugup. Ia takut dengan apapun yang akan di hadapi di dalam rumahnya sendiri.
Belum sempat Emil menginjakkan kaki di teras rumah, pintu terbuka lebar. Tika semakin mengeratkan cengkeraman tangannya di baju Emil.
"Eh, ada Emil. Ayah, Emil ternyata, Yah." Sahut suara itu. Sosok lain juga muncul di belakang. Beliau ternyata Pak Fauzan.
"Tante Nur? Kapan datang, Tan?" Emil bergerak cepat menyongsong Buk Nur dan menyalami tangannya.
Ha? Ibu udah datang?
"Tadi sore, Mil."
"Ibu? Kok, di rumah? Bukannya Ibu pulang tiga hari lagi?" Kening Tika mengernyit saat Buk Nur tergopoh-gopoh hendak memeluk anak perempuan satu-satunya
"Ini anak bikin cemas saja. Ke mana saja kamu sih, Kak? HP ditinggal, rumah nggak dikunci, taman berantakan. Hampir saja Ayah nelepon polisi. Si Adek nangis, khawatir kakaknya kenapa-kenapa." Buk Nur semakin mengeratkan rangkulannya. Tika balas memeluk ibunya dengan penuh penyesalan.
"Maafin Kakak, Bu. Tadi Kakak kecelakaan waktu–"
"Apa?!" Buk Nur segera menarik dirinya melihat keadaan Tika. "Kecelakaan? Kamu nggak apa-apa, Kak?" Raut wajah Buk Nur berganti cemas saat memeriksa satu per satu bagian tubuh Tika.
"Bu, Ibu. Sebentar, tunggu dulu." Tika memegang bahu ibunya agar segera menghentikan kegiatan scanning atas dirinya.
"Kakak cuma luka di jari, Bu." Ia mengangkat telunjuknya yang sudah dibalut kain kasa dan perban coklat. Tika melirik sebentar ke Emil yang sedang tersenyum manis melihat interaksi mereka. "Trus Bang Emil yang bawa Tika ke IGD."
Buk Nur mencerna dengan seksama kata demi kata yang dilontarkan putrinya. Mata beliau mengamati anaknya dan Emil bergantian.
"Beneran cuma jari, Nak?"
"Iya, Bu."
Sayangnya Tika terlanjur melihat senyum cibiran dan rolling eye-nya Emil dan itu membuat Tika mesti menahan pembalasannya yang tak bisa langsung terlaksana.
"Kak Tikaaa–"
"Mbuuul–" Tika merentangkan tangan bersiap menerima pelukan dan beban berat adik bungsunya yang sedikit over weight untuk umurnya yang baru 14 tahun.
Si bungsu menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Tika. Hampir saja Tika terjungkal ke belakang kalau saja Emil tidak menahan punggungnya.
"Kamu iteman ya, Dek. Bagus. Biar tambah macho, Dek. Tinggal ngilangin lemak di pipi sama pinggang kamu aja." Kali ini Ikal tidak peduli dengan bercandaan kakaknya.
"Kakak kok ngilang? Kata Bunda Kakak nggak bisa ditelepon. Ikal pikir Kakak diculik." Suara sedih Ikal teredam di bahunya.
"Siapa juga sih, Kal, yang mau culik Kakak kamu?" Emil dengan santainya menyela reuni adik-kakak yang sedang melepas rindu itu. Lagi-lagi si pemilik senyum pepsodent itu mengulum jahil.
"Kak Tika kan cantik, baik hati, suka beliin Ikal buku. Ya iya lah, Ikal takut Kakak diculik. Gimana sih, Om Emil?" bela Ikal. Tika menjulurkan lidahnya merasa di atas angin.
Usia mereka terpaut dua dekade. Makanya Ikal menambah kata 'om' di depan nama Emil. Emil sendiri tidak masalah dengan itu.
"Sudah, sudah. Yang penting Tika sudah pulang, selamat wal afiat, walaupun jarinya luka," ucap Pak Fauzan, sekaligus menyudahi debat tak penting ini.
"Kalau gitu Emil pamit ya, Tan, Om, Ikal. Emil mesti jemput anak-anak di rumah Mami," katanya sambil menyalami Pak Fauzan dan Buk Nur. Tak lupa orang tua Tika mengucapkan terima kasih kepada Emil karena sudah menolong putri mereka.
"Udah, jangan nangis lagi, ya," kata Emil mengerling jahil ke Tika sambil mengucek kepala Ikal. "Jaga kakak kamu, Kal. Bilang, nggak boleh ngelamun kalau lagi pegang gunting rumput." Ikal menggangguk patuh.
Dasar bapak-bapak rese!
***
Keluarga Pak Fauzan sedang menghadapi makan malam dengan makanan yang dipesan secara daring.
Walaupun sedang makan, tatapan Buk Nur sungguh tidak main-main. Sepertinya banyak sekali yang ingin disemburkannya ke Tika kalau saja tidak sedang mengunyah dan menghormati suaminya di meja makan.
"Sabar, Ibu. Makan aja dulu," kata Tika yang tahu diri diperhatikan sang ibu.
"Kamu, Kak. Kok nggak ngomong-ngomong pulang ke Jakarta? Pake acara menghilang segala," kata ibunya disela-sela mengambil tambahan sayur.
"Ibu, Ayah, Ikal juga nggak ngomong-ngomong kalau mau pulang," balas Tika tidak mau kalah. Tika tidak bermaksud balas-balasan. Hatinya belum siap mengeluarkan semuanya dalam sekali tuang.
"Nanti saja, Nur. Kita makan saja dulu. Kal, jangan malas makan sayur, Nak. Tambah sayurnya. Tika, kok makannya sedikit? Kamu makin kurus Ayah lihat. Tambah lauknya," titah Pak Fauzan. Dan seketika dua anak itu dengan patuh menuruti kata-kata ayah mereka.
"Ibu tadi sampai rumah jam berapa?" Mereka sekarang sedang di atas karpet ruang TV, minus si bungsu yang sudah tak tahan mengantuk karena kecapekan. Tika sedang membongkar oleh-oleh dari koper ibunya. Sang ayah berselonjor di sofa menukar-nukar saluran TV.
"Sampai rumah jam lima. Bagus nggak, Kak?" Buk Nur menyodorkan sling bag rotan pesanan Tika. Spontan Tika memeluk tasnya dan mengecup pipi ibunya.
"Makasih, Bu. Bagus banget."
"Itu jari kenapa sampai luka begitu? Kalau nggak biasa berkebun jangan coba-coba, Kak," kata ibunya meringis. Lalu Tika menceritakan alasannya meminjam gunting, tentang lukanya, lalu Emil yang bersedia menolong mengantar Tika ke IGD.
"Tika cuma nggak hati-hati aja kok, Bu." Tentu saja alasan mengapa dirinya emosi ketika menggunting rumput tidak ia ceritakan.
"Kan sudah ada Mang Asep yang datang bersih-bersih taman. Kenapa tiba-tiba pengen berkebun, sih?" Si Ayah ikutan nimbrung.
"Kakak lagi pengen coba sesuatu yang baru aja, Yah."
Tika cuma pengen mengalihkan pikiran aja, Yah. Daripada kepikiran dia mulu.
"Untung ada Nak Emil yang lagi di rumah. Kan, Emil sudah tidak tinggal di rumah sebelah. Dia sama anak-anaknya sudah lama pindah ke rumahnya sendiri." Pak Fauzan mengangguk menyetujui istrinya.
Ooh, jadi Kak Emil nggak tinggal di rumah Tante Helen lagi? Begitu banyak gue ketinggalan informasi sejak jarang pulang.
"Ibu kenapa tiba-tiba pulangnya? Liburannya tiga hari lagi, lho. Tika kan mau kasih surprise bikin taman depan jadi cantik."
Ia baru ingat, harusnya dirinya menanyakan pertanyaan penting ini dari tadi. Tika menyenggolkan bahunya menggoda Buk Nur. Ia tahu ibunya sepertinya masih marah.
"Itu gara-gara Kakak," celetuk ibunya.
"Kok gara-gara Kakak?"
"Ayahmu yang suruh balik ke Jakarta setelah terima telpon dari Kakak."
"Emang Tika kenapa, Yah?" tanya Tika heran.
"Ayah nggak tenang setelah dengar suara Kakak. Kayak ada masalah. Mau cerita ke Ibu atau Ayah?" Bukan Pak Fauzan yang menjawab. Melainkan sang Ibu. Pak Fauzan hanya manggut-manggut saja. Tapi perhatiannya kini sudah tertuju pada si sulung, bukan lagi TV.
Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Tika jadi kikuk sendiri.
"Emang kelihatan banget, ya?" Yang diperhatikan menggaruk kepalanya.
Gini, nih. Kalau punya orang tua yang jeli, sejeli seorang pemimpin redaksi yang menemukan kesalahan tata bahasa dan selihai kepala cabang bank yang menemukan kejanggalan kontrak kredit ratusan juta. Two Thumbs Up, Yah, Bu.
"Nih anak kebiasaan. Kalau ada masalah selalu dipendam sendiri. Ibu kan sudah sering bilang, kalau ada apa-apa, cerita. Walaupun kami belum tentu memberikan solusi, setidaknya beban di sini, Kak, bisa berkurang." Buk Nur menunjuk dada Tika. Seketika si sulung menunduk. Pak Fauzan sudah pindah duduk di sebelah Tika dan merangkul bahu anak gadisnya.
Selama beberapa saat, Tika tak mampu bicara.
"Kalau belum mau ngobrol, nggak apa-apa. Mungkin Kakak belum siap cerita. Tapi Ayahmu siap mendengar. Ibu juga. Ya kan, Nur?"
Tika mengangguk sambil menunduk.
Ketika Ayahnya membuka suara, Tika tahu akan ada bulir air mata yang akan jatuh. Tapi tidak malam ini. Ia hanya ingin istirahat dengan segala kejadian seharian ini. Karena menangis juga butuh tenaga. Mulai dari pujian Emil, jarinya yang terluka, ledekan Emil yang menyinggung soal patah hati, kejutan keluarganya yang datang tiba-tiba, hingga tebakan jitu Ayah dan Ibunya.
"Besok kamu kasih oleh-oleh ke rumah neneknya Emily ya, Kak? Besok Ibu plastikin."
"Emily" tanya Tika ragu.
"Itu, cucu Mbak Helen. Anak pertama Emil. Kakak lupa, ya?"
Tika hanya meringis karena memang ia tidak mengingatnya.
"Jangan-jangan, kalau anak Bang Emil laki-laki, diberi nama Emil Junior?"
Buk Nur terkekeh sendiri dan geleng-geleng kepala.
"Kakak ada-ada saja. Tebak-tebak nama anak orang. Salah. Nama adiknya Emily itu Galih, Kak." Tika mengangguk dan ber 'ooh' ria.
Buk Nur memberikan beberapa kain Bali warna warni pada Tika, lalu bertanya, "Jadi, Kakak cuti berapa hari?"
Mati gue.
"Kakak cutinya lama, Bu." Tika harus cepat-cepat kabur dari situasi ini. Maka dia berkilah, "Yah, Bu, Kakak ngantuk banget. Met malem Sayangnya Tika."
Tika bersyukur bisa menyelamatkan diri, setidaknya malam ini.
Bersambung
Chapter 4
TIKA bergegas turun dan hendak berlari masuk ke pekarangannya ketika Emil menahan Tika di lengan.
"Tika, tunggu!"
"Ada apa sih, Bang?" Sepertinya jengkel karena dipermainkan Emil tadi masih ada sisanya.
"Maaf, Abang kelewatan tadi." Sepertinya Emil sadar diri.
"Ck! Abang, sih."
"Tapi kamu jangan buru-buru masuk dulu."
"Kenapa? Aku cuma ingin memastikan siapa yang ada di rumah," ujar Tika sebal sambil melepaskan pegangan Emil. Tersadar, Emil segera melepaskan tangannya.
"Kata kamu, Om, Tante, dan Ikal lagi di Bali?"
"Iya."
"Trus nggak ada yang punya kunci rumah selain kamu dan keluarga?"
Kening Tika kusut tanda ikut berpikir, tapi tetap menjawab, "Iya."
"Lalu, menurut kamu, siapa yang ada di dalam rumah sekarang?"
Mata bulat itu menatap Emil yang menaikkan alisnya. Tika langsung sadar dan membekap mulutnya.
"Makanya, jangan buru-buru masuk. Kita masuk bareng." Tika mengangguk tanda setuju.
Emil memimpin berjalan di depan dengan Tika membuntuti Emil tepat di belakangnya. Saking takutnya, Tika meremas bagian belakang kemeja Emil. Ia takut dengan apapun yang akan dihadapi di dalam rumahnya sendiri.
Belum sempat Emil menginjakkan kaki di teras rumah, pintu terbuka lebar. Tika semakin mengeratkan cengkeraman tangannya di baju Emil.
"Eh, ada Emil. Ayah, Emil ternyata, Yah," sahut suara itu. Sosok lain juga muncul di belakang. Mereka adalah Buk Nur dan Pak Fauzan.
"Tante Nur? Kapan datang, Tan?" Emil bergerak cepat menyongsong Buk Nur dan menyalami tangannya.
Ha? Ibu udah datang?
"Tadi sore, Mil."
"Ibu? Kok, di rumah? Bukannya Ibu pulang tiga hari lagi?" Kening Tika mengernyit saat Buk Nur tergopoh-gopoh hendak memeluk anak perempuan satu-satunya
"Ini anak bikin cemas saja. Ke mana saja kamu sih, Kak? HP ditinggal, rumah nggak dikunci, taman berantakan. Hampir saja Ayah nelepon polisi. Si Adek nangis, khawatir kakaknya kenapa-kenapa." Buk Nur semakin mengeratkan rangkulannya. Tika balas memeluk ibunya dengan penuh penyesalan.
"Maafin Kakak, Bu. Tadi Kakak kecelakaan waktu–"
"Apa?!" Buk Nur segera menarik dirinya melihat keadaan Tika. "Kecelakaan? Kamu nggak apa-apa, Kak?" Raut wajah Buk Nur berganti cemas saat memeriksa satu per satu bagian tubuh Tika.
"Ibu. Sebentar, tunggu dulu." Tika menahan bahu ibunya agar segera menghentikan kegiatan scanning atas dirinya.
"Kakak cuma luka di jari, Bu." Ia mengangkat telunjuknya yang sudah dibalut kain kasa dan perban coklat. Tika melirik sebentar ke Emil yang sedang tersenyum manis melihat interaksi mereka. "Trus Bang Emil yang bawa Tika ke IGD."
Buk Nur mencerna dengan seksama kata demi kata yang dilontarkan putrinya. Mata beliau mengamati anaknya dan Emil bergantian.
"Beneran cuma jari, Nak?"
"Iya, Bu."
Sayangnya Tika terlanjur melihat senyum cibiran dan rolling eye-nya Emil dan itu membuat Tika mesti menahan pembalasannya yang tak bisa langsung terlaksana.
"Kak Tikaaa–"
"Mbuuul–" Tika merentangkan tangan bersiap menerima pelukan dan beban berat adik bungsunya yang sedikit over weight untuk umurnya yang baru 14 tahun.
Si bungsu menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Tika. Hampir saja Tika terjungkal ke belakang kalau saja Emil tidak menahan punggungnya.
"Kamu iteman ya, Dek. Bagus. Biar tambah macho, Dek. Tinggal ngilangin lemak di pipi sama pinggang kamu aja." Kali ini Ikal tidak peduli dengan bercandaan kakaknya.
"Kakak kok ngilang? Kata Bunda Kakak nggak bisa ditelepon. Ikal pikir Kakak diculik." Suara sedih Ikal teredam di bahunya.
"Siapa juga sih, Kal, yang mau culik Kakak kamu?" Emil dengan santainya menyela reuni adik-kakak yang sedang melepas rindu itu. Lagi-lagi si pemilik senyum Pepsodent itu mengulum jahil.
"Kak Tika kan cantik, baik hati, suka beliin Ikal buku. Ya iya lah, Ikal takut Kakak diculik. Gimana sih, Om Emil?" bela Ikal. Tika menjulurkan lidahnya merasa di atas angin.
Usia mereka terpaut dua dekade. Makanya Ikal menambah kata 'om' di depan nama Emil. Emil sendiri tidak masalah dengan itu.
"Sudah, sudah. Yang penting Tika sudah pulang, selamat wal afiat, walaupun jarinya luka," ucap Pak Fauzan, sekaligus menyudahi debat tak penting ini.
"Kalau gitu Emil pamit ya, Tan, Om, Ikal. Emil mesti jemput anak-anak di rumah Mami," katanya sambil menyalami Pak Fauzan dan Buk Nur. Tak lupa orang tua Tika mengucapkan terima kasih kepada Emil karena sudah menolong putri mereka.
"Udah, jangan nangis lagi, ya," kata Emil mengerling jahil ke Tika sambil mengucek kepala Ikal. "Jaga kakak kamu, Kal. Bilang, nggak boleh ngelamun kalau lagi pegang gunting rumput." Ikal menggangguk patuh.
Dasar bapak-bapak rese!
***
Keluarga Pak Fauzan sedang menghadapi makan malam dengan makanan yang dipesan secara daring.
Walaupun sedang makan, tatapan Buk Nur sungguh tidak main-main. Sepertinya banyak sekali yang ingin disemburkannya ke Tika kalau saja tidak sedang mengunyah dan menghormati suaminya di meja makan.
“Sabar, Ibu. Makan aja dulu.” Tika tahu diri sedang diperhatikan sang ibu.
"Kamu, Kak. Kok nggak ngomong-ngomong pulang ke Jakarta? Pake acara menghilang segala," kata ibunya disela-sela mengambil tambahan sayur.
"Ibu, Ayah, Ikal juga nggak ngomong-ngomong kalau mau pulang," balas Tika tidak mau kalah. Tika tidak bermaksud balas-balasan. Hatinya belum siap mengeluarkan semuanya dalam sekali tuang.
"Nanti saja, Nur. Kita makan saja dulu. Kal, jangan malas makan sayur, Nak. Tambah sayurnya. Tika, kok makannya sedikit? Kamu makin kurus Ayah lihat. Tambah lauknya," titah Pak Fauzan. Dan seketika dua anak itu dengan patuh menuruti kata-kata ayah mereka.
***
"Ibu tadi sampai rumah jam berapa?" Mereka sekarang sedang di atas karpet ruang TV, minus si bungsu yang sudah tak tahan mengantuk karena kecapekan. Tika sedang membongkar oleh-oleh dari koper ibunya. Sang ayah berselonjor di sofa menukar-nukar saluran TV.
"Sampai rumah jam lima. Bagus nggak, Kak?" Buk Nur menyodorkan sling bag rotan pesanan Tika. Spontan Tika memeluk tasnya dan mengecup pipi ibunya.
"Makasih, Bu. Bagus banget."
"Itu jari kenapa sampai luka begitu? Kalau nggak biasa berkebun jangan coba-coba, Kak," kata ibunya meringis. Lalu Tika menceritakan alasannya meminjam gunting, tentang lukanya, lalu Emil yang bersedia menolong mengantar Tika ke IGD.
"Tika cuma nggak hati-hati aja kok, Bu." Tentu saja alasan mengapa dirinya emosi ketika menggunting rumput tidak ia ceritakan.
"Kan sudah ada Mang Asep yang datang bersih-bersih taman. Kenapa tiba-tiba pengen berkebun, sih?" Si Ayah ikutan nimbrung.
"Kakak lagi pengen coba sesuatu yang baru aja, Yah."
Tika cuma pengen mengalihkan pikiran aja, Yah. Daripada kepikiran dia mulu.
"Untung ada Nak Emil yang lagi di rumah. Kan, Emil sudah tidak tinggal di rumah sebelah. Dia sama anak-anaknya sudah lama pindah ke rumahnya sendiri." Pak Fauzan mengangguk menyetujui istrinya.
Ooh, jadi Bang Emil nggak tinggal di rumah Tante Helen lagi? Begitu banyak gue ketinggalan informasi sejak jarang pulang.
"Ibu kenapa tiba-tiba pulangnya? Liburannya tiga hari lagi, lho. Kakak kan mau kasih surprise bikin taman di depan jadi cantik."
Ia baru ingat, harusnya dirinya menanyakan pertanyaan penting ini dari tadi. Tika menyenggolkan bahunya menggoda Buk Nur. Ia tahu ibunya sepertinya masih marah.
"Itu gara-gara Kakak," celetuk ibunya.
"Kok gara-gara Kakak?"
"Ayahmu yang suruh balik ke Jakarta setelah terima telpon dari Kakak."
"Emang Tika kenapa, Yah?" tanya Tika heran.
"Ayah nggak tenang setelah dengar suara Kakak. Kayak ada masalah. Mau cerita ke Ibu atau Ayah?" Bukan Pak Fauzan yang menjawab. Melainkan sang ibu. Pak Fauzan hanya manggut-manggut saja. Tapi perhatiannya kini sudah tertuju pada si sulung, bukan lagi TV.
Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Tika jadi kikuk sendiri.
"Emang kelihatan banget, ya?" Yang diperhatikan menggaruk kepalanya.
Gini, nih. Kalau punya orang tua yang jeli, sejeli seorang pemimpin redaksi yang menemukan kesalahan tata bahasa dan selihai kepala cabang bank yang menemukan kejanggalan kontrak kredit ratusan juta. Two Thumbs Up, Yah, Bu.
"Nih anak kebiasaan. Kalau ada masalah selalu dipendam sendiri. Ibu kan sudah sering bilang, kalau ada apa-apa, cerita. Walaupun kami belum tentu memberikan solusi, setidaknya beban di sini, Kak, bisa berkurang." Buk Nur menunjuk dada Tika. Seketika si sulung menunduk. Pak Fauzan sudah pindah duduk di sebelah Tika dan merangkul bahu anak gadisnya.
Selama beberapa saat, Tika tak mampu bicara.
"Kalau belum mau ngobrol, nggak apa-apa. Mungkin Kakak belum siap cerita. Tapi Ayahmu siap mendengar. Ibu juga. Ya kan, Nur?"
Tika mengangguk sambil menunduk.
Ketika Ayahnya membuka suara, Tika tahu akan ada bulir air mata yang akan jatuh. Tapi tidak malam ini. Karena menangis juga butuh tenaga. Ia hanya ingin istirahat demi memroses semua kejadian seharian ini. Mulai dari pujian Emil, jarinya yang terluka, ledekan Emil yang menyinggung soal patah hati, kejutan keluarganya yang datang tiba-tiba, hingga tebakan jitu Ayah dan Ibunya.
"Besok kamu kasih oleh-oleh ke rumah neneknya Emily ya, Kak? Besok Ibu plastikin."
"Emily" tanya Tika ragu.
"Itu, cucu Mbak Helen. Anak pertama Emil. Kakak lupa, ya?"
Tika hanya meringis karena memang ia tidak mengingatnya.
"Jangan-jangan, kalau anak Bang Emil laki-laki, diberi nama Emil Junior?"
Buk Nur terkekeh sendiri dan geleng-geleng kepala.
"Kakak ada-ada saja. Tebak-tebak nama anak orang. Salah. Nama adiknya Emily itu Galih, Kak." Tika mengangguk dan ber 'ooh' ria.
Buk Nur memberikan beberapa kain Bali warna warni pada Tika, lalu bertanya, "Jadi, Kakak cuti berapa hari?"
Mati gue.
"Kakak cutinya lama, Bu." Tika harus cepat-cepat kabur dari situasi ini. Maka dia berkilah, "Yah, Bu, Kakak ngantuk banget. Met malem, Sayangnya Tika."
Tika bersyukur bisa menyelamatkan diri, setidaknya malam ini.
Bersambung