Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Spark Between Us
MENU
About Us  

TIKA bergegas turun dan hendak berlari masuk ke pekarangannya ketika Emil menahan Tika di lengan.

"Tika! Tika, tunggu."

"Ada apa sih, Bang?" Sepertinya jengkel karena dipermainkan Emil tadi masih ada sisanya.

"Maaf, Abang kelewatan tadi." Sepertinya Emil sadar diri. 

"Ck! Abang, sih."

"Tapi kamu jangan buru-buru masuk dulu."

"Kenapa? Aku cuma ingin memastikan siapa yang ada di rumah," ujar Tika sebal sambil melepaskan pegangan Emil. Tersadar, Emil segera melepaskan tangannya.

"Kata kamu Om, Tante, dan Ikal lagi di Bali?"

"Iya."

"Trus nggak ada yang punya kunci rumah selain kamu dan keluarga?"

Kening Tika kusut tanda ikut berpikir, tapi tetap menjawab, "Iya."

"Lalu, menurut kamu, siapa yang ada di dalam rumah sekarang?"

Mata bulat itu menatap Emil yang menaikkan alisnya. Tika langsung sadar dan membekap mulutnya.

"Makanya, jangan buru-buru masuk. Kita masuk bareng." Tika mengangguk tanda setuju.

Emil memimpin berjalan di depan dengan Tika membuntuti Emil tepat di belakangnya sambil meremas bagian belakang kemeja Emil karena gugup. Ia takut dengan apapun yang akan di hadapi di dalam rumahnya sendiri.

Belum sempat Emil menginjakkan kaki di teras rumah, pintu terbuka lebar. Tika semakin mengeratkan cengkeraman tangannya di baju Emil.

"Eh, ada Emil. Ayah, Emil ternyata, Yah." Sahut suara itu. Sosok lain juga muncul di belakang. Beliau ternyata Pak Fauzan. 

"Tante Nur? Kapan datang, Tan?" Emil bergerak cepat menyongsong Buk Nur dan menyalami tangannya.

Ha? Ibu udah datang?

"Tadi sore, Mil."

"Ibu? Kok, di rumah? Bukannya Ibu pulang tiga hari lagi?" Kening Tika mengernyit saat Buk Nur tergopoh-gopoh hendak memeluk anak perempuan satu-satunya

"Ini anak bikin cemas saja. Ke mana saja kamu sih, Kak? HP ditinggal, rumah nggak dikunci, taman berantakan. Hampir saja Ayah nelepon polisi. Si Adek nangis, khawatir kakaknya kenapa-kenapa." Buk Nur semakin mengeratkan rangkulannya. Tika balas memeluk ibunya dengan penuh penyesalan. 

"Maafin Kakak, Bu. Tadi Kakak kecelakaan waktu–"

"Apa?!" Buk Nur segera menarik dirinya melihat keadaan Tika. "Kecelakaan? Kamu nggak apa-apa, Kak?" Raut wajah Buk Nur berganti cemas saat memeriksa satu per satu bagian tubuh Tika.

"Bu, Ibu. Sebentar, tunggu dulu." Tika memegang bahu ibunya agar segera menghentikan kegiatan scanning atas dirinya.

"Kakak cuma luka di jari, Bu." Ia mengangkat telunjuknya yang sudah dibalut kain kasa dan perban coklat. Tika melirik sebentar ke Emil yang sedang tersenyum manis melihat interaksi mereka. "Trus Bang Emil yang bawa Tika ke IGD."

Buk Nur mencerna dengan seksama kata demi kata yang dilontarkan putrinya. Mata beliau mengamati anaknya dan Emil bergantian.

"Beneran cuma jari, Nak?"

"Iya, Bu."

Sayangnya Tika terlanjur melihat senyum cibiran dan rolling eye-nya Emil dan itu membuat Tika mesti menahan pembalasannya yang tak bisa langsung terlaksana.

"Kak Tikaaa–"

"Mbuuul–" Tika merentangkan tangan bersiap menerima pelukan dan beban berat adik bungsunya yang sedikit over weight untuk umurnya yang baru 14 tahun.

Si bungsu menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Tika. Hampir saja Tika terjungkal ke belakang kalau saja Emil tidak menahan punggungnya.

"Kamu iteman ya, Dek. Bagus. Biar tambah macho, Dek. Tinggal ngilangin lemak di pipi sama pinggang kamu aja." Kali ini Ikal tidak peduli dengan bercandaan kakaknya.

"Kakak kok ngilang? Kata Bunda Kakak nggak bisa ditelepon. Ikal pikir Kakak diculik." Suara sedih Ikal teredam di bahunya.

"Siapa juga sih, Kal, yang mau culik Kakak kamu?" Emil dengan santainya menyela reuni adik-kakak yang sedang melepas rindu itu. Lagi-lagi si pemilik senyum pepsodent itu mengulum jahil.

"Kak Tika kan cantik, baik hati, suka beliin Ikal buku. Ya iya lah, Ikal takut Kakak diculik. Gimana sih, Om Emil?" bela Ikal. Tika menjulurkan lidahnya merasa di atas angin.

Usia mereka terpaut dua dekade. Makanya Ikal menambah kata 'om' di depan nama Emil. Emil sendiri tidak masalah dengan itu.  

"Sudah, sudah. Yang penting Tika sudah pulang, selamat wal afiat, walaupun jarinya luka," ucap Pak Fauzan, sekaligus menyudahi debat tak penting ini.

"Kalau gitu Emil pamit ya, Tan, Om, Ikal. Emil mesti jemput anak-anak di rumah Mami," katanya sambil menyalami Pak Fauzan dan Buk Nur. Tak lupa orang tua Tika mengucapkan terima kasih kepada Emil karena sudah menolong putri mereka.

"Udah, jangan nangis lagi, ya," kata Emil mengerling jahil ke Tika sambil mengucek kepala Ikal. "Jaga kakak kamu, Kal. Bilang, nggak boleh ngelamun kalau lagi pegang gunting rumput." Ikal menggangguk patuh.

Dasar bapak-bapak rese! 

***
Keluarga Pak Fauzan sedang menghadapi makan malam dengan makanan yang dipesan secara daring.

Walaupun sedang makan, tatapan Buk Nur sungguh tidak main-main. Sepertinya banyak sekali yang ingin disemburkannya ke Tika kalau saja tidak sedang mengunyah dan menghormati suaminya di meja makan.

"Sabar, Ibu. Makan aja dulu," kata Tika yang tahu diri diperhatikan sang ibu.

"Kamu, Kak. Kok nggak ngomong-ngomong pulang ke Jakarta? Pake acara menghilang segala," kata ibunya disela-sela mengambil tambahan sayur.

"Ibu, Ayah, Ikal juga nggak ngomong-ngomong kalau mau pulang," balas Tika tidak mau kalah. Tika tidak bermaksud balas-balasan. Hatinya belum siap mengeluarkan semuanya dalam sekali tuang.

"Nanti saja, Nur. Kita makan saja dulu. Kal, jangan malas makan sayur, Nak. Tambah sayurnya. Tika, kok makannya sedikit? Kamu makin kurus Ayah lihat. Tambah lauknya," titah Pak Fauzan. Dan seketika dua anak itu dengan patuh menuruti kata-kata ayah mereka.

"Ibu tadi sampai rumah jam berapa?" Mereka sekarang sedang di atas karpet ruang TV, minus si bungsu yang sudah tak tahan mengantuk karena kecapekan. Tika sedang membongkar oleh-oleh dari koper ibunya. Sang ayah berselonjor di sofa menukar-nukar saluran TV.

"Sampai rumah jam lima. Bagus nggak, Kak?" Buk Nur menyodorkan sling bag rotan pesanan Tika. Spontan Tika memeluk tasnya dan mengecup pipi ibunya.

"Makasih, Bu. Bagus banget."

"Itu jari kenapa sampai luka begitu? Kalau nggak biasa berkebun jangan coba-coba, Kak," kata ibunya meringis. Lalu Tika menceritakan alasannya meminjam gunting, tentang lukanya, lalu Emil yang bersedia menolong mengantar Tika ke IGD.

"Tika cuma nggak hati-hati aja kok, Bu." Tentu saja alasan mengapa dirinya emosi ketika menggunting rumput tidak ia ceritakan.

"Kan sudah ada Mang Asep yang datang bersih-bersih taman. Kenapa tiba-tiba pengen berkebun, sih?" Si Ayah ikutan nimbrung.

"Kakak lagi pengen coba sesuatu yang baru aja, Yah."

Tika cuma pengen mengalihkan pikiran aja, Yah. Daripada kepikiran dia mulu.

"Untung ada Nak Emil yang lagi di rumah. Kan, Emil sudah tidak tinggal di rumah sebelah. Dia sama anak-anaknya sudah lama pindah ke rumahnya sendiri." Pak Fauzan mengangguk menyetujui istrinya.

Ooh, jadi Kak Emil nggak tinggal di rumah Tante Helen lagi? Begitu banyak gue ketinggalan informasi sejak jarang pulang.

"Ibu kenapa tiba-tiba pulangnya? Liburannya tiga hari lagi, lho. Tika kan mau kasih surprise bikin taman depan jadi cantik."

Ia baru ingat, harusnya dirinya menanyakan pertanyaan penting ini dari tadi. Tika menyenggolkan bahunya menggoda Buk Nur. Ia tahu ibunya sepertinya masih marah. 

"Itu gara-gara Kakak," celetuk ibunya.

"Kok gara-gara Kakak?"

"Ayahmu yang suruh balik ke Jakarta setelah terima telpon dari Kakak."

"Emang Tika kenapa, Yah?" tanya Tika heran.

"Ayah nggak tenang setelah dengar suara Kakak. Kayak ada masalah. Mau cerita ke Ibu atau Ayah?" Bukan Pak Fauzan yang menjawab. Melainkan sang Ibu. Pak Fauzan hanya manggut-manggut saja. Tapi perhatiannya kini sudah tertuju pada si sulung, bukan lagi TV.

Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Tika jadi kikuk sendiri.

"Emang kelihatan banget, ya?" Yang diperhatikan menggaruk kepalanya.

Gini, nih. Kalau punya orang tua yang jeli, sejeli seorang pemimpin redaksi yang menemukan kesalahan tata bahasa dan selihai kepala cabang bank yang menemukan kejanggalan kontrak kredit ratusan juta. Two Thumbs Up, Yah, Bu.

"Nih anak kebiasaan. Kalau ada masalah selalu dipendam sendiri. Ibu kan sudah sering bilang, kalau ada apa-apa, cerita. Walaupun kami belum tentu memberikan solusi, setidaknya beban di sini, Kak, bisa berkurang." Buk Nur menunjuk dada Tika. Seketika si sulung menunduk. Pak Fauzan sudah pindah duduk di sebelah Tika dan merangkul bahu anak gadisnya.

Selama beberapa saat, Tika tak mampu bicara. 

"Kalau belum mau ngobrol, nggak apa-apa. Mungkin Kakak belum siap cerita. Tapi Ayahmu siap mendengar. Ibu juga. Ya kan, Nur?"

Tika mengangguk sambil menunduk.

Ketika Ayahnya membuka suara, Tika tahu akan ada bulir air mata yang akan jatuh. Tapi tidak malam ini. Ia hanya ingin istirahat dengan segala kejadian seharian ini. Karena menangis juga butuh tenaga. Mulai dari pujian Emil, jarinya yang terluka, ledekan Emil yang menyinggung soal patah hati, kejutan keluarganya yang datang tiba-tiba, hingga tebakan jitu Ayah dan Ibunya.

"Besok kamu kasih oleh-oleh ke rumah neneknya Emily ya, Kak? Besok Ibu plastikin."

"Emily" tanya Tika ragu.

"Itu, cucu Mbak Helen. Anak pertama Emil. Kakak lupa, ya?"

Tika hanya meringis karena memang ia tidak mengingatnya.

"Jangan-jangan, kalau anak Bang Emil laki-laki, diberi nama Emil Junior?"

Buk Nur terkekeh sendiri dan geleng-geleng kepala.

"Kakak ada-ada saja. Tebak-tebak nama anak orang. Salah. Nama adiknya Emily itu Galih, Kak." Tika mengangguk dan ber 'ooh' ria.

Buk Nur memberikan beberapa kain Bali warna warni pada Tika, lalu bertanya, "Jadi, Kakak cuti berapa hari?"

Mati gue

"Kakak cutinya lama, Bu." Tika harus cepat-cepat kabur dari situasi ini. Maka dia berkilah, "Yah, Bu, Kakak ngantuk banget. Met malem Sayangnya Tika."

Tika bersyukur bisa menyelamatkan diri, setidaknya malam ini.

Bersambung

Chapter 4

TIKA bergegas turun dan hendak berlari masuk ke pekarangannya ketika Emil menahan Tika di lengan.

"Tika, tunggu!"

"Ada apa sih, Bang?" Sepertinya jengkel karena dipermainkan Emil tadi masih ada sisanya.

"Maaf, Abang kelewatan tadi." Sepertinya Emil sadar diri. 

"Ck! Abang, sih."

"Tapi kamu jangan buru-buru masuk dulu."

"Kenapa? Aku cuma ingin memastikan siapa yang ada di rumah," ujar Tika sebal sambil melepaskan pegangan Emil. Tersadar, Emil segera melepaskan tangannya.

"Kata kamu, Om, Tante, dan Ikal lagi di Bali?"

"Iya."

"Trus nggak ada yang punya kunci rumah selain kamu dan keluarga?"

Kening Tika kusut tanda ikut berpikir, tapi tetap menjawab, "Iya."

"Lalu, menurut kamu, siapa yang ada di dalam rumah sekarang?"

Mata bulat itu menatap Emil yang menaikkan alisnya. Tika langsung sadar dan membekap mulutnya.

"Makanya, jangan buru-buru masuk. Kita masuk bareng." Tika mengangguk tanda setuju.

Emil memimpin berjalan di depan dengan Tika membuntuti Emil tepat di belakangnya. Saking takutnya, Tika meremas bagian belakang kemeja Emil. Ia takut dengan apapun yang akan dihadapi di dalam rumahnya sendiri.

Belum sempat Emil menginjakkan kaki di teras rumah, pintu terbuka lebar. Tika semakin mengeratkan cengkeraman tangannya di baju Emil.

"Eh, ada Emil. Ayah, Emil ternyata, Yah," sahut suara itu. Sosok lain juga muncul di belakang. Mereka adalah Buk Nur dan Pak Fauzan. 

"Tante Nur? Kapan datang, Tan?" Emil bergerak cepat menyongsong Buk Nur dan menyalami tangannya.

Ha? Ibu udah datang?

"Tadi sore, Mil."

"Ibu? Kok, di rumah? Bukannya Ibu pulang tiga hari lagi?" Kening Tika mengernyit saat Buk Nur tergopoh-gopoh hendak memeluk anak perempuan satu-satunya

"Ini anak bikin cemas saja. Ke mana saja kamu sih, Kak? HP ditinggal, rumah nggak dikunci, taman berantakan. Hampir saja Ayah nelepon polisi. Si Adek nangis, khawatir kakaknya kenapa-kenapa." Buk Nur semakin mengeratkan rangkulannya. Tika balas memeluk ibunya dengan penuh penyesalan. 

"Maafin Kakak, Bu. Tadi Kakak kecelakaan waktu–"

"Apa?!" Buk Nur segera menarik dirinya melihat keadaan Tika. "Kecelakaan? Kamu nggak apa-apa, Kak?" Raut wajah Buk Nur berganti cemas saat memeriksa satu per satu bagian tubuh Tika.

"Ibu. Sebentar, tunggu dulu." Tika menahan bahu ibunya agar segera menghentikan kegiatan scanning atas dirinya.

"Kakak cuma luka di jari, Bu." Ia mengangkat telunjuknya yang sudah dibalut kain kasa dan perban coklat. Tika melirik sebentar ke Emil yang sedang tersenyum manis melihat interaksi mereka. "Trus Bang Emil yang bawa Tika ke IGD."

Buk Nur mencerna dengan seksama kata demi kata yang dilontarkan putrinya. Mata beliau mengamati anaknya dan Emil bergantian.

"Beneran cuma jari, Nak?"

"Iya, Bu."

Sayangnya Tika terlanjur melihat senyum cibiran dan rolling eye-nya Emil dan itu membuat Tika mesti menahan pembalasannya yang tak bisa langsung terlaksana.

"Kak Tikaaa–"

"Mbuuul–" Tika merentangkan tangan bersiap menerima pelukan dan beban berat adik bungsunya yang sedikit over weight untuk umurnya yang baru 14 tahun.

Si bungsu menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Tika. Hampir saja Tika terjungkal ke belakang kalau saja Emil tidak menahan punggungnya.

"Kamu iteman ya, Dek. Bagus. Biar tambah macho, Dek. Tinggal ngilangin lemak di pipi sama pinggang kamu aja." Kali ini Ikal tidak peduli dengan bercandaan kakaknya.

"Kakak kok ngilang? Kata Bunda Kakak nggak bisa ditelepon. Ikal pikir Kakak diculik." Suara sedih Ikal teredam di bahunya.

"Siapa juga sih, Kal, yang mau culik Kakak kamu?" Emil dengan santainya menyela reuni adik-kakak yang sedang melepas rindu itu. Lagi-lagi si pemilik senyum Pepsodent itu mengulum jahil.

"Kak Tika kan cantik, baik hati, suka beliin Ikal buku. Ya iya lah, Ikal takut Kakak diculik. Gimana sih, Om Emil?" bela Ikal. Tika menjulurkan lidahnya merasa di atas angin.

Usia mereka terpaut dua dekade. Makanya Ikal menambah kata 'om' di depan nama Emil. Emil sendiri tidak masalah dengan itu.  

"Sudah, sudah. Yang penting Tika sudah pulang, selamat wal afiat, walaupun jarinya luka," ucap Pak Fauzan, sekaligus menyudahi debat tak penting ini.

"Kalau gitu Emil pamit ya, Tan, Om, Ikal. Emil mesti jemput anak-anak di rumah Mami," katanya sambil menyalami Pak Fauzan dan Buk Nur. Tak lupa orang tua Tika mengucapkan terima kasih kepada Emil karena sudah menolong putri mereka.

"Udah, jangan nangis lagi, ya," kata Emil mengerling jahil ke Tika sambil mengucek kepala Ikal. "Jaga kakak kamu, Kal. Bilang, nggak boleh ngelamun kalau lagi pegang gunting rumput." Ikal menggangguk patuh.

Dasar bapak-bapak rese! 

***
Keluarga Pak Fauzan sedang menghadapi makan malam dengan makanan yang dipesan secara daring.

Walaupun sedang makan, tatapan Buk Nur sungguh tidak main-main. Sepertinya banyak sekali yang ingin disemburkannya ke Tika kalau saja tidak sedang mengunyah dan menghormati suaminya di meja makan.

“Sabar, Ibu. Makan aja dulu.” Tika tahu diri sedang diperhatikan sang ibu.

"Kamu, Kak. Kok nggak ngomong-ngomong pulang ke Jakarta? Pake acara menghilang segala," kata ibunya disela-sela mengambil tambahan sayur.

"Ibu, Ayah, Ikal juga nggak ngomong-ngomong kalau mau pulang," balas Tika tidak mau kalah. Tika tidak bermaksud balas-balasan. Hatinya belum siap mengeluarkan semuanya dalam sekali tuang.

"Nanti saja, Nur. Kita makan saja dulu. Kal, jangan malas makan sayur, Nak. Tambah sayurnya. Tika, kok makannya sedikit? Kamu makin kurus Ayah lihat. Tambah lauknya," titah Pak Fauzan. Dan seketika dua anak itu dengan patuh menuruti kata-kata ayah mereka.

***

"Ibu tadi sampai rumah jam berapa?" Mereka sekarang sedang di atas karpet ruang TV, minus si bungsu yang sudah tak tahan mengantuk karena kecapekan. Tika sedang membongkar oleh-oleh dari koper ibunya. Sang ayah berselonjor di sofa menukar-nukar saluran TV.

"Sampai rumah jam lima. Bagus nggak, Kak?" Buk Nur menyodorkan sling bag rotan pesanan Tika. Spontan Tika memeluk tasnya dan mengecup pipi ibunya.

"Makasih, Bu. Bagus banget."

"Itu jari kenapa sampai luka begitu? Kalau nggak biasa berkebun jangan coba-coba, Kak," kata ibunya meringis. Lalu Tika menceritakan alasannya meminjam gunting, tentang lukanya, lalu Emil yang bersedia menolong mengantar Tika ke IGD.

"Tika cuma nggak hati-hati aja kok, Bu." Tentu saja alasan mengapa dirinya emosi ketika menggunting rumput tidak ia ceritakan.

"Kan sudah ada Mang Asep yang datang bersih-bersih taman. Kenapa tiba-tiba pengen berkebun, sih?" Si Ayah ikutan nimbrung.

"Kakak lagi pengen coba sesuatu yang baru aja, Yah."

Tika cuma pengen mengalihkan pikiran aja, Yah. Daripada kepikiran dia mulu.

"Untung ada Nak Emil yang lagi di rumah. Kan, Emil sudah tidak tinggal di rumah sebelah. Dia sama anak-anaknya sudah lama pindah ke rumahnya sendiri." Pak Fauzan mengangguk menyetujui istrinya.

Ooh, jadi Bang Emil nggak tinggal di rumah Tante Helen lagi? Begitu banyak gue ketinggalan informasi sejak jarang pulang.

"Ibu kenapa tiba-tiba pulangnya? Liburannya tiga hari lagi, lho. Kakak kan mau kasih surprise bikin taman di depan jadi cantik."

Ia baru ingat, harusnya dirinya menanyakan pertanyaan penting ini dari tadi. Tika menyenggolkan bahunya menggoda Buk Nur. Ia tahu ibunya sepertinya masih marah. 

"Itu gara-gara Kakak," celetuk ibunya.

"Kok gara-gara Kakak?"

"Ayahmu yang suruh balik ke Jakarta setelah terima telpon dari Kakak."

"Emang Tika kenapa, Yah?" tanya Tika heran.

"Ayah nggak tenang setelah dengar suara Kakak. Kayak ada masalah. Mau cerita ke Ibu atau Ayah?" Bukan Pak Fauzan yang menjawab. Melainkan sang ibu. Pak Fauzan hanya manggut-manggut saja. Tapi perhatiannya kini sudah tertuju pada si sulung, bukan lagi TV.

Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Tika jadi kikuk sendiri.

"Emang kelihatan banget, ya?" Yang diperhatikan menggaruk kepalanya.

Gini, nih. Kalau punya orang tua yang jeli, sejeli seorang pemimpin redaksi yang menemukan kesalahan tata bahasa dan selihai kepala cabang bank yang menemukan kejanggalan kontrak kredit ratusan juta. Two Thumbs Up, Yah, Bu.

"Nih anak kebiasaan. Kalau ada masalah selalu dipendam sendiri. Ibu kan sudah sering bilang, kalau ada apa-apa, cerita. Walaupun kami belum tentu memberikan solusi, setidaknya beban di sini, Kak, bisa berkurang." Buk Nur menunjuk dada Tika. Seketika si sulung menunduk. Pak Fauzan sudah pindah duduk di sebelah Tika dan merangkul bahu anak gadisnya.

Selama beberapa saat, Tika tak mampu bicara. 

"Kalau belum mau ngobrol, nggak apa-apa. Mungkin Kakak belum siap cerita. Tapi Ayahmu siap mendengar. Ibu juga. Ya kan, Nur?"

Tika mengangguk sambil menunduk.

Ketika Ayahnya membuka suara, Tika tahu akan ada bulir air mata yang akan jatuh. Tapi tidak malam ini. Karena menangis juga butuh tenaga. Ia hanya ingin istirahat demi memroses semua kejadian seharian ini. Mulai dari pujian Emil, jarinya yang terluka, ledekan Emil yang menyinggung soal patah hati, kejutan keluarganya yang datang tiba-tiba, hingga tebakan jitu Ayah dan Ibunya.

"Besok kamu kasih oleh-oleh ke rumah neneknya Emily ya, Kak? Besok Ibu plastikin."

"Emily" tanya Tika ragu.

"Itu, cucu Mbak Helen. Anak pertama Emil. Kakak lupa, ya?"

Tika hanya meringis karena memang ia tidak mengingatnya.

"Jangan-jangan, kalau anak Bang Emil laki-laki, diberi nama Emil Junior?"

Buk Nur terkekeh sendiri dan geleng-geleng kepala.

"Kakak ada-ada saja. Tebak-tebak nama anak orang. Salah. Nama adiknya Emily itu Galih, Kak." Tika mengangguk dan ber 'ooh' ria.

Buk Nur memberikan beberapa kain Bali warna warni pada Tika, lalu bertanya, "Jadi, Kakak cuti berapa hari?"

Mati gue

"Kakak cutinya lama, Bu." Tika harus cepat-cepat kabur dari situasi ini. Maka dia berkilah, "Yah, Bu, Kakak ngantuk banget. Met malem, Sayangnya Tika."

Tika bersyukur bisa menyelamatkan diri, setidaknya malam ini.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Run Away
7923      1782     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Hidden Hearts
1002      633     2     
Romance
Nara dan Zian, dua remaja dengan dunia yang berseberangan, pertama kali bertemu saat duduk di bangku SMA. Nara adalah seorang gadis pendiam yang gemar menulis cerpen, sementara Zian adalah sosok populer di sekolah yang penuh pesona. Takdir mempertemukan mereka saat kali pertama Nara menginjakan kakinya di sekolah dan saat itu pula Zian memperhatikannya. Pertemuan sederhana itu menjadi awal dari p...
A & O
1657      794     2     
Romance
Kehilangan seseorang secara tiba-tiba, tak terduga, atau perlahan terkikis hingga tidak ada bagian yang tersisa itu sangat menyakitkan. Namun, hari esok tetap menjadi hari yang baru. Dunia belum berakhir. Bumi masih akan terus berputar pada porosnya dan matahari akan terus bersinar. Tidak apa-apa untuk merasakan sakit hati sebanyak apa pun, karena rasa sakit itu membuat manusia menjadi lebih ma...
Unlosing You
452      312     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Ketos in Love
1107      634     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
Reality Record
3002      1039     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Yakini Hatiku
23      18     1     
Romance
Setelah kecelakaan yang menimpa Fathur dan dinyatakan mengidap amnesia pasca trauma, Fathur mulai mencoba untuk mengingat segala hal seperti semula. Dalam proses mengingatnya, Fathur yang kembali mengajar di pesantren Al-Ikhlas... hatinya tertambat oleh rasa kagum terhadap putri dari pemilik pesantren tersebut yang bernama Tsania. Namun, Tsania begitu membenci Fathur karena suatu alasan dan...
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
4958      1695     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
NADA DAN NYAWA
15384      2890     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Premium
Adopted
2325      1081     1     
Romance
Yogi Ananda dan Damar Raditya dua pemuda yang terlihat sempurna dan mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Mereka bertemu pertama kali di SMA dengan status sebagai kakak dan adik kelas. Terlahir dengan wajah tampan, dikaruniai otak cerdas, memiliki perangai baik sehingga banyak orang menyukai mereka. Walau berasal dari orang tua kalangan kelas menengah tidak menghentikan langkah mereka untuk m...