Dua minggu telah berlalu semenjak pertemuannya dengan Jo. Selama dua minggu itu, belum sekalipun Jo menghubunginya. Bukannya Nana sangat berharap, hanya saja dia meminta kepastian dan keseriusan Jo terhadap dirinya. Ibunya Jo sudah memberikan nomor telpon Jo kepada Nana. Hanya saja, Bu Desi pernah berpesan bahwa Jo jarang sekali mengangkat telpon darinya. Maka dari itu, Bu Desi juga memberikan nomornya Bobby yang lebih tahu tentang aktivitas Jo.
Dari pada selalu memikirkan tentang Jo, Nana lebih memilih fokus pada pekerjaannya sebagai dokter. Apalagi dia terbilang masih baru di rumah sakit tempat dia bekerja.
“Permisi, dokter Nadia,” sapa seorang perawat ketika dia sedang berjalan di lorong setelah dari toilet.
“Ya, Suster?”
“Anda diminta oleh dokter Bran untuk membantunya mengoperasi pasien, sekarang juga ditunggu di ruang operasi.”
“Oh begitu. Baiklah saya kesana sekarang juga!”
Nana segera berlari ke ruang operasi yang dituju. Semenjak mulai bekerja di rumah sakit Salomon, Nana telah mendengar banyak hal tentang dokter Bran. Dokter Bran adalah pria berusia 60 tahunan dan salah satu dokter senior di rumah sakit ini. Sikapnya sangat tegas dan begitu dingin, baik kepada pasien maupun koleganya. Selain itu, yang paling terkenal dari dokter Bran adalah caranya berpakaian. Selain jas putih khas seorang dokter, dokter Bran selalu memakai pakaian serba hitam dari kemeja, celana hingga sepatunya.
“Pasien kita adalah seorang pria Jepang dengan luka tembak di perutnya. Kondisinya kritis. Peluru bersarang cukup dalam di tubuh pasien. Saya akan berusaha mengangkat pelurunya, Anda lakukan sisanya.”
“Baik, dimengerti, dokter Bran!”
Begitulah keterangan dari dokter Bran tentang kondisi pasien begitu Nana telah mengenakan pakaian steril khusus untuk operasi. Nana langsung paham dan berusaha untuk mengerjakan tugasnya sebaik mungkin.
Sekujur tubuh pasien itu dipenuhi oleh tato. Mulai dari leher, seluruh badan hingga ke batas mata kakinya. Hanya bagian wajah, telapak tangan dan kaki bagian punggung dan telapaknya saja yang tidak bertato. Nana mengenali motif tato yang ada di tubuh pasien itu. Motif tato tradisional khas Jepang ini biasanya dipakai oleh Yakuza, sekelompok gangster dari Jepang. Apalagi pasien ini terkena luka tembak, pastilah dia seorang Yakuza. Tapi apa yang dilakukan seorang Yakuza di Indonesia? Meski kepalanya dipenuhi tentang asal-usul sang pasien, Nana berusaha untuk fokus pada proses operasinya bersama dokter Bran. Nana pernah mendengar, bahwa ada dokter magang yang langsung dikeluarkan dari rumah sakit karena tidak fokus saat sedang praktek langsung bersama dokter Bran.
Akhirnya kondisi pasien stabil dan telah berhasil melewati masa kritisnya. Operasi yang dilakukan Nana bersama dokter Bran telah menyelamatkan nyawa pria itu. Dokter Bran memasukkan peluru itu ke dalam plastik khusus dan membawanya. Setelah semuanya telah teratasi, dokter Bran pergi begitu saja meninggalkan ruang operasi tanpa sepatah kata pun. Sikap seperti inilah yang banyak tidak disukai koleganya tentang dokter Bran.
Setelah mengganti pakaiannya kembali. Nana bersiap untuk meninggalkan ruang operasi. Namun dia terkejut ketika melihat dokter Bran sedang berbicara dengan seorang pria yang nampak tidak asing baginya di depan ruang operasi. Keduanya berbicara menggunakan bahasa Jepang.
“Jo?” panggil Nana saat dokter Bran sudah pergi.
“Nadia,” Jo sedikit terkejut melihat Nana.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Orang yang baru saja dioperasi oleh dokter Bran adalah teman saya.”
“Ohh.”
Keduanya tidak dapat lagi menemukan kata-kata untuk diucapkan. Rasa canggung di antara mereka kembali terjadi. Keduanya hanya saling menatap sekitar 15 detik. Namun rasa canggung ini menjadikan setiap detik ketika kedua mata mereka beradu terasa cukup lama.
“Baiklah, Nadia. Senang bertemu dengan Anda. Sampai jumpa!” kata Jo dengan sikap dinginnya lalu memalingkan punggungnya begitu saja.
Nana kesal sekali dengan sikap dingin Jo. Ketika dia berusaha untuk mengejarnya, sosok Jo sudah tidak terlihat lagi bagai menghilang begitu saja.
“Suster!” panggil Nana kepada perawat yang tidak sengaja dia temui. “Apakah Anda melihat pria berbusana hitam tadi?”
“Oh, pria itu, sepertinya dia masuk lift di sebelah situ.”
“Terima kasih, Suster!” Nana segera berlari memburu pintu lift yang dimaksud. Lift itu sedang bergerak turun. Nana langsung memencet tombol turun pada lift sebelahnya. Sepertinya lift yang dinaiki Jo sedang menuju lobby. Ketika pintu lift terbuka, Nana segera masuk dan memencet tombol menuju lobby.
Nana langsung celingak-celinguk begitu pintu lift terbuka dan mengantarnya sampai ke lobby rumah sakit.
“Pak Security! Apakah Anda melihat pria dengan pakaian serba hitam di sekitar sini?” tanya Nana pada seorang security yang sedang berjaga.
“Maksud Anda dokter Bran, dokter?”
“Bukan, Pak. Dia terlihat seumuran seperti saya memakai setelan jas serba hitam.”
“Ciri-ciri pria seperti itu, kalo tidak salah tadi ada 5 orang di sini dan baru saja pergi.”
“Oh, begitu ya, Pak.”
“Mereka semua terlihat menakutkan.”
“Baiklah, terima kasih informasinya, Pak.”
“Sama-sama, dokter Nadia.”
Nana sangat kecewa karena tidak bisa berbicara dengan Jo lebih lama. Lalu dia meraba ponselnya dan mencari nomor Jo. Berkali-kali dia berusaha menelpon nomor itu namun tidak ada respon sama sekali. Meski kesal, akhirnya dia berhenti untuk mencoba menghubungi Jo dan kembali pada pekerjaannya.
***
Hari sudah hampir malam. Nana sudah beres-beres dan siap untuk pulang.
“Hai, dokter Nadia,” sapa dokter Rudi, rekan kerja Nana.
“Hai, dokter Rudi, ada perlu dengan saya?”
“Mmm… apa dokter Nadia ingin segera pulang?”
“Iya.”
“Mmm… anu, begini.” dokter Rudi mulai canggung untuk mengungkapkan tujuannya.
“Dokter Nadia!” panggil seorang perawat.
“Iya, Sus.”
“Anda dipanggil oleh dokter Bran di ruangannya.”
“Kenapa, Sus?” Nana penasaran.
“Wah, untuk itu saya kurang tahu, dok!”
“Oke. Saya segera ke ruangan dokter Bran. Terima kasih, Suster.”
“Sama-sama.”
“Apa kamu hari ini ada kerja dengan dokter Bran?”
“Iya. Siang tadi kami melakukan operasi bersama pada pasien dengan luka tembak di perutnya.”
“Hmmm… kamu harus bersiap-siap dan kuatkan hati. Berdasarkan pengalamanku bekerja dengan dokter Bran, biasanya, ketika ada dokter yang dipanggil ke ruangannya ketika jam kerja berakhir, berarti ada kekurangan dengan kinerjamu. Dokter Bran tidak pernah menegur orang di depan umum, dia akan memanggil orang tersebut ke ruangannya dan mengomelinya.”
“Benarkah? Sepertinya operasi tadi berjalan baik-baik saja.” Nana menjadi cemas setelah mendengar penjelasan dari dokter Rudi.
“Isi kepala dokter Bran sangat sulit diterka.”
“Lalu, apa yang ingin dokter Rudi sampaikan tadi?”
“Oh itu, nanti saja, sepertinya urusan dengan dokter Bran lebih penting. Kalau begitu sampai jumpa dan selamat malam, dokter Nadia.”
“Selamat malam, dokter Rudi.”
Keterangan dari dokter Rudi tentang dokter Bran benar-benar membuat jantung Nana deg-degan. Semua orang di rumah sakit ini sangat takut dengan dokter Bran. Pria tua itu selalu memberi kesan bahwa dia tidak ingin bersahabat dengan siapa pun. Akan tetapi, bagaimana pun sikap dokter Bran, dia digadang-gadang sebagai kandidat terkuat direktur utama selanjutnya rumah sakit ini. Sebagai dokter baru, Nana sangat mengkhawatirkan karirnya.
Nana berdiri tepat di pintu ruangan dokter Bran. Dia mengumpulkan seluruh nyali yang ada pada tubuhnya untuk mengetuk pintu ruangan dokter Bran.
Tok… tok… tok!
“Masuk!” sahut dokter Bran dari dalam ruangannya.
“Selamat malam, dokter Bran. Saya dokter Nadia, apa dokter Bran ada perlu dengan saya?” tanya Nana sedikit gemetar melihat tatapan tajam dari pria tua itu.
Ruangan dokter Bran cukup luas dan terdapat kaca-kaca yang mengarah langsung pada pemandangan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Ruangan inilah yang banyak mengundang rasa iri dari dokter lain. Di ruangan ini, dokter Bran tidak sendirian. Dia sedang menerima tamu. Tamunya dokter Bran sedang duduk berhadapan dengannya, sehingga dari sudut pandang Nana, hanya terlihat punggungnya saja.
“Silakan duduk, dokter Nadia! Ada tamu untuk Anda,” ucap dokter Bran. Lalu Nana mendekati meja dokter Bran sementara dokter Bran sendiri berdiri seperti bersiap-siap hendak pergi.
“Ehh… Jo!?” Nana kaget ketika dia sudah berada di kursi dan melihat tamu dokter Bran.
“Selamat malam, dokter Nadia!” sapa Jo dingin.
“Dia adalah tamu Anda, dokter Nadia,” kata dokter Bran. Sementara itu, dokter Bran memang berniat untuk pergi meninggalkan mereka berdua.
“Silakan gunakan ruangan saya sebebas mungkin, Jotaro,” kata dokter Bran kepada Jo dengan menggunakan bahasa Jepang sebelum dia pergi.
“Arigatou, dokter Bran,” balas Jo.
Kini ruangan itu hanya ada mereka berdua. Nana menjadi gugup ketika bertemu lagi dengan Jo. Keduanya bagai sedang mencari kalimat untuk dikatakan.
“Bagaimana kamu bisa kenal dengan dokter Bran, Jo?” tanya Nana membuka obrolan dan kecanggungan di antara mereka.
“Dokter Bran adalah teman saya. Dulu, kami pernah bekerja bersama di Jepang,” jawab Jo masih dengan sikap dinginnya.
“Jadi itulah kenapa kamu selalu menggunakan bahasa Jepang dengan dokter Bran?”
“Ya,” jawab Jo singkat. Lalu Jo berdiri dan berjalan mengelilingi ruangan dokter Bran. Dia berhenti di depan kulkas mini tempat minuman pribadi dokter Bran berada. Nana hanya terdiam melihat gerak-gerik Jo. Dibukanya pintu kulkas itu, Jo mengambil sebuah minuman kaleng berupa susu murni.
“Silakan!” Jo menawarkan minuman itu pada Nana.
“Terima kasih, Jo. Apakah kamu sedekat itu dengan dokter Bran?” tanya Nana sekaligus mengkonfirmasi tingkah Jo yang berani membuka kulkas pribadi dokter Bran. Hanya saja, Jo lebih memilih diam dan tidak ingin membahas hubungannya lebih jauh dengan dokter Bran.
“Jo,” Nana terlihat ragu-ragu dengan apa yang akan diucapkannya. “Terima kasih sudah menyelamatkan keluargaku, khususnya ayahku.”
Jo hanya terdiam dan tidak merespon sedikit pun ucapan Nana. Dia hanya menatap Nana dengan ekspresi datar. Sedangkan Nana, antara ragu dan malu tidak memiliki keberanian untuk menatap balik.
“Sepertinya sudah malam. Mari saya antar pulang!” ajak Jo.
“Tidak perlu repot-repot, Jo. Terima kasih. Aku bisa pulang sendiri,” tolak Nana sehalus mungkin.
Mendengar penolakan itu, Jo hanya bisa menatap tajam ke arah Nana. Karena merasa terintimidasi oleh tatapan mata Jo, maka Nana merasa tidak enak sekaligus takut bahwa Jo marah. Maka tanpa sadar Nana sudah berdiri mengikuti Jo keluar ruangan dokter Bran. Sepanjang dari ruangan dokter Bran menuju lobby, Jo dan Nana tidak sedikit pun mengeluarkan suara. Bahkan ketika mereka berada di dalam lift, Jo hanya terdiam kaku sehingga membuat Nana menjaga jarak darinya.
Sesampainya di lobby, sebuah mobil Mercedez berwarna hitam metalik sudah menunggunya. Jo membukakan pintu dan memberikan gestur tangan kepada Nana untuk masuk ke dalam. Seperti terhipnotis, Nana tidak punya kekuatan untuk melawan.
Ketika mereka sudah di dalam mobil, supirnya Jo memberikan sebuah dokumen dan berbicara dengannya dalam bahasa Jepang. Mobil itu langsung tancap gas meninggalkan rumah sakit. Nana memperhatikan Jo yang sedang sibuk membaca dokumen sambil sesekali berbincang dengan supirnya.
“Eh aku lupa, aku tinggal di…,”
“Jalan merak putih V no 212, Gambir, Jakarta Pusat,” potong Jo sebelum Nana menyebutkan alamat tempat tinggalnya.
“Heh, kamu tahu? kamu tahu dari mana?” tanya Nana penasaran.
Jo tidak sedikit pun merespon rasa penasaran Nana dan hanya fokus membaca dokumen. Nana menjadi kesal dengan sikap Jo yang dingin itu.
“Jangan bilang kalau kamu memata-mataiku, Jo,” ucap Nana sambil menaikkan nada bicaranya.
Jo masih tidak merespon Nana. Dia malah berbicara kepada supirnya masih menggunakan bahasa Jepang. Setelah itu mobil pun melaju kencang. Nana pun mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Jo memang sudah mencari tahu tentang dirinya semenjak mereka berniat menjalani proses ta’aruf.
“Sudah sampai, selamat malam, Nadia,” ucap Jo masih tidak mengalihkan pandangan mata pada dokumen di tangannya.
“Selamat malam, wassalamuallaikum!” balas Nana ketus sambil membuka pintu mobil.
Nana langsung masuk ke dalam kontrakannya dengan perasaan jengkel. Semua hal tentang sosok Jo sangat menyebalkan. Dia pergi ketika dicari, lalu datang seenaknya saja. Dia menjawab pertanyaan semaunya saja. Tidak pernah tersenyum sedikit pun semenjak mereka bertemu. Bahkan Jo masih memanggilnya dengan nama Nadia, tidak dengan nama panggilannya Nana. Bahkan semua teman dekat dan temannya semasa kecil masih memanggilnya Nana ketika bertemu.
“Arrgghhh… menyebalkan sekali!” gerutu Nana di dalam kamarnya. “Pantas saja kamu bisa berteman dengan dokter Bran. Sikapmu, cara bicaramu, bahkan caramu berpakaian sama seperti dokter Bran. Jangan-jangan kamu adalah versi muda dari dokter Bran, atau dokter Bran adalah versi tuamu. Ugghh menyebalkan, menyebalkan, menyebalkan!” umpat Nana ketika dari jendela memantau kepergian mobil Jo.
Kini, Nana tidak yakin bahwa proses ta’arufnya dengan Jo akan berhasil. Kemungkinannya gagal, ya pasti gagal. Nana meraba tas mencari ponselnya. Lalu dia tidak sengaja menemukan minuman susu murni kepunyaan dokter Bran yang diberikan oleh Jo tadi.
Mungkin hal baik dari Jo adalah memberinya minuman susu itu dan mengantarnya pulang walau terasa seperti dipaksa. Nana menyimpan susu itu di kulkasnya.
Dia kembali mencari ponselnya dengan niat akan menelpon Ibu untuk memberitahukan keputusannya tentang Jo. Namun, ketika dia menatap layar ponsel yang bertuliskan nama dan nomor ibunya, tiba-tiba dia ragu. Dia tidak ingin mengecewakan ibu dan ayahnya. Apalagi ayahnya sangat berharap dengan perjodohan ini. Nana pun mengurungkan niatnya dan bermaksud untuk memberikan kesempatan lain kepada Jo andai dia juga masih mau melanjutkannya. Apalagi mereka baru 2 kali bertemu dalam kurun waktu kurang dari sebulan.
***
Setelah selesai istirahat makan, Nana berjalan menuju arah lift bersama kedua koleganya sesama dokter. Ketika pintu lift terbuka, dokter Bran ada di dalamnya. Mereka bertiga sungkan untuk satu lift bersama dokter Bran. Namun dokter Bran menggeser tubuhnya seakan memberikan gestur untuk mempersilakan mereka masuk.
“Selamat sore, dokter Bran!” sapa mereka bertiga berbasa-basi dengan dokter Bran ketika berada di dalam lift.
“Selamat sore, dokter Nadia,” balas dokter Bran sambil menganggukkan kepala hanya kepada Nana.
Dokter Rudi dan dokter Maya terkejut karena dokter Bran mau membalas salam mereka walau hanya kepada Nana seorang. Ketika pintu lift kembali terbuka pada sebuah lantai, dokter Bran langsung keluar.
“Waahhh, apa yang terjadi kepada dokter Bran? Kok bisa sih, Nana?” tanya dokter Maya yang merupakan teman baik Nana tiba-tiba penasaran.
“Apanya?” Nana bertanya balik.
“Biasanya, dokter Bran tidak pernah menyapa balik, apalagi kepada dokter baru,” kata dokter Rudi.
“Memang dokter Bran sesombong itu?” tanya Nana.
“Semua pegawai rumah sakit ini sudah terbiasa jika mereka tidak disapa balik oleh dokter Bran,” jawab dokter Maya.
“Lalu, kemarin malam itu, apa yang dokter Bran bicarakan denganmu, dokter Nadia?” tanya dokter Rudi.
“Kamu dipanggil oleh dokter Bran kemarin? Ceritakan, ceritakan, buruan!” desak dokter Maya tidak sabaran.
“Oh, kemarin. Kebetulan aku dan dokter Bran memiliki teman yang sama. Kami bertemu dan ngobrol di ruangan dokter Bran,” jelas Nana agar tidak terjadi salah paham.
“Maksudmu, pria bersetelan hitam yang kemarin malam mengantarmu pulang itu adalah temanmu, Na?” tanya dokter Maya.
“Kamu melihatnya? Ya, dia adalah teman masa kecilku dan juga teman dokter Bran.”
“Aku tidak menyangka dokter Bran dan kamu bisa berteman dengan pria sekeren itu.”
“Begitulah!”
“Syukurlah dokter Bran memanggil kamu bukan untuk menegurmu. Meski dokter Bran adalah sosok yang ditakuti dan cenderung tidak disukai, tapi semua ucapan dan tulisannya sangat berpengaruh terhadap rumah sakit ini. Ulasan kinerja dari dokter Bran sangat mempengaruhi penilaian bulananmu sebagai dokter baru,” kata dokter Rudi tentang betapa berpengaruhnya sosok dokter Bran.
“Sepertinya dokter Bran adalah satu-satunya villain di rumah sakit ini,” kata dokter Maya mengomentari sosok dokter Bran.
“Villain? Tapi kamu harus dengar fakta mencenangkan ini, dokter Maya. Semua pasien yang datang dengan kondisi kritis dan dioperasi oleh dokter Bran selalu selamat,” kata dokter Rudi.
“Setuju! Tangan dokter Bran sangat cekatan sekali dan begitu presisi mengoperasi tubuh pasien,” kata Nana mendukung perkataan dokter Rudi.
“Semua kritikan dan hal buruk tentang dokter Bran selalu dia bungkam dengan keahliannya. Dokter Bran adalah satu-satunya dokter di rumah sakit ini yang selalu jadi rujukan oleh mereka yang berduit,” kata dokter Rudi. Mereka manggut-manggut mendengar penjelasan dokter Rudi.
Pintu lift terbuka, Nana segera keluar dan berpamitan dengan koleganya. Lantai yang dituju oleh Nana adalah lantai khusus pasien VVIP. Nana berniat untuk mengecek pria Jepang yang kemarin dioperasi oleh dokter Bran dan juga dirinya. Tiba-tiba dia teringat perkataan dokter Rudi barusan.
“Dokter Bran adalah satu-satunya dokter di rumah sakit ini yang selalu jadi rujukan oleh mereka yang berduit.”
Berarti pria Jepang ini adalah orang berduit atau orang penting sehingga di tempatkan di ruang VVIP, begitu kesimpulan Nana.
Sebelum Nana memasuki ruangan pria itu, langkahnya tertahan sebentar. Dari sebuah jendela kecil yang ada di pintu, dilihatnya pria itu seperti sedang berbicara dengan mata terpejam. Mungkin sedang mengigau. Karena tidak ingin mengagetkan pasiennya, maka Nana secara hati-hati membuka pintu dan berusaha agar tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Pasien itu sedang mengigau dengan bahasa Jepang. Ketika jarak Nana semakin dekat dengan cairan infus yang tergantung di sebelah ranjang pasien itu. Tiba-tiba pria itu membuka matanya dan menatap tajam Nana.
“Gggood morning, Sir!” sapa Nana dengan gugup sehingga dia salah menyebutkan waktu. “Forgive me, sir. Did I wake you up?” tanya Nana masih menggunakan bahasa inggris karena berasumsi bahwa pasiennya tidak mengerti bahasa Indonesia. Pria itu hanya menggelengkan kepala pada Nana.
Tiba-tiba terdengar nada dering sebuah ponsel. Meskipun Nana yakin bahwa suara itu bukanlah nada dering dari ponselnya, Nana tetap melihat layar ponselnya untuk mengecek, dan benar dugaannya. Nana bingung sejenak dan mencari sumber nada dering ponsel siapa yang berbunyi itu.
“Halo!”
Suara itu mengagetkan Nana. Karena suara orang sedang menjawab telpon itu bukanlah berasal dari dirinya maupun pasiennya, tapi dari pria lain yang tidak disadari Nana berada seruangan dengan mereka. Wajar saja Nana tidak menyadari kehadiran orang lain selain pasiennya. Karena ruangan VVIP memang lumayan luas dan terdapat fasilitas berupa satu set sofa yang terletak di pojok ruangan samping pintu masuk. Lebih kaget lagi ketika Nana tahu siapa pria yang sedang berbicara lewat telpon itu. Berarti, pasiennya tadi tidak sedang mengigau, tapi sedang berbicara dengan pria lain yang sedang duduk di sofa.
“Baiklah, sampai jumpa, Morizaki. Beristirahatlah dengan baik.”
“Terima kasih. Sampai jumpa, Jotaro.”
Nana kembali kaget karena ternyata pasiennya sangat lancar berbahasa Indonesia ketika berbicara dengan Jo. Meskipun tahu bahwa pria itu adalah Jo. Nana sengaja tidak ingin menyapanya sedikit pun. Bahkan Nana memasang ekspresi dingin. Semua ini sengaja dilakukannya untuk membalas perlakuan Jo padanya. Sayangnya, Jo sama sekali tidak terganggu dengan kelakuan Nana. Bahkan Jo menganggap dokter cantik itu seperti tidak ada di ruangan dan pergi begitu saja.
“Bahasa Indonesia Anda bagus sekali. Apakah Anda sudah lama di Indonesia, Tuan Morizaki?” tanya Nana berusaha ramah dengan pasiennya.
“Ya, hampir 14 tahun,” jawabnya.
“Lalu kenapa Anda tidak menggunakan bahasa Indonesia ketika pertama kali saya menanyakan kondisi Anda?” tanya Nana sedikit kesal namun berusaha tetap ramah.
“Anda sendiri yang berasumsi bahwa saya tidak bisa berbahasa Indonesia dan menggunakan bahasa Inggris,” jawabnya dingin.
Nana menyadari kesalahannya dan berusaha untuk tetap tersenyum.
“Nambah lagi satu orang yang dingin dan menyebalkan dalam hidupku. Dan semuanya selalu punya hubungan dengan Jo.”
Meski berusaha mempertahankan keramahannya, sesungguhnya hati Nana begitu jengkel.
“Baiklah. Beristirahatlah dengan baik, Tuan Morizaki,” pesan Nana sebelum meninggalkan pasiennya. Morizaki tidak merespon dan hanya menatap dingin dokternya.
“Uurrgghhhh!!! Dasar!” gerutu Nana begitu keluar dari ruangan pasien karena merasa geram dengan sikap Morizaki yang mirip seperti Jo dan dokter Bran.
***
Pesan hangat dari penulis,
Wahhh... kamu sudah baca sampai sejauh ini? Terima kasih banyak! I Love You sekebon!