“Apa? Menikah?”
Nana kaget ketika tiba-tiba ibunya menyinggung tentang pernikahan di telpon.
“Bu, aku baru saja resmi menjadi dokter dan baru menikmati karirku. Rasanya terlalu terburu-buru jika aku harus menikah,” kata Nana kepada ibunya.
“Apanya yang terburu-buru, Nak. Kamu sudah punya karir yang bagus dan usia kamu juga sudah matang untuk menikah. Apa kamu tidak pernah memikirkannya selama ini? Berapa usia kamu sekarang?”
“Dua puluh… sembilan. Tapi, Bu, bukannya aku hanya fokus ke karirku saja tanpa memikirkan tentang jodoh. Aku juga sudah berusaha. Kalaupun aku ingin menikah, aku harus menemukan lelaki yag tepat, lalu berusaha untuk mengenalnya lebih dalam, mungkin jika cocok kita baru membicarakan tentang pernikahan. Semua proses itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bukan?”
“Lalu, apa kamu sudah punya pacar?”
“Aku tidak pernah pacaran.”
“Huuuhhhh,” keluh ibunya. “Apa kamu ingat tentang Jonathan?”
“Siapa?”
“Jonathan, teman masa kecil kamu dulu?”
“Maksud Ibu, Jo… Jonathan Rocky?”
“Betul. Putra sulungnya Bu Desi.”
“Ya. Lalu?”
“Apa kamu berminat untuk menikahinya?”
“Astaga! Apa Ibu serius mau menjodohkanku dengannya?”
“Serius.”
“Bukankah Ayah sangat membenci Jo karena kemiskinannya?”
“Oh, Nana sayang, selama ini kamu terlalu fokus dengan karirmu dan jarang pulang ke rumah. Kamu harus tahu tentang Jonathan dan telah menjadi seperti apa dia sekarang.”
“Memang seperti apa dia sekarang?” Nana mulai penasaran ingin mendengar kabar tentang Jo teman masa kecilnya itu. Seakan kepalanya memanggil kembali kenangan tentang Jo dari masa lalunya.
“Kamu tahu komplek perumahan mewah Permata Biru? yang tidak begitu jauh dari rumah kita? Keluarganya Jo sekarang tinggal di sana.”
“Benarkah? Syukurlah. Apa dia sekarang begitu sukses?”
“Sangat, Nak. Sangat sukses. Bahkan, ayahmu pernah meminjam uang dari keluarganya.”
“Benarkah itu, Ibu? Lalu bagaimana perasaan ayah? Apa dia merasa malu? Mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap Jo.”
“Malu? Tentu saja. Hanya saja, waktu itu keadaannya sangat genting, Na. Ayahmu sudah berusaha keras meminjam uang kesana-kemari namun tiada hasil. Hanya keluarganya Jo lah satu-satunya yang bersedia mengulurkan tangan.”
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Ayah hingga harus meminjam uang kesana-kemari?”
“Ceritanya panjang, Na.”
“Lalu apakah Jo juga menyetujui hal ini?”
“Belum. Ayah dan Ibu belum pernah bertemu dengan Jo sama sekali. Hanya saja, Bu Desi cukup tertarik ketika kami secara tidak sengaja membicarakan tentang perjodohan ini. Dia bersedia untuk berbicara dengan Jonathan dan mengatur sebuah pertemuan.”
“Jujur saja. Aku tidak suka dengan cara Ayah dan Ibu memanfaatkanku dengan perjodohan ini. Apalagi hanya karena memandang bahwa Jo sekarang orang yang sukses.”
“Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu punya calon yang lebih baik ketimbang Jonathan.”
“Memang belum ada. Tapi…,”
“Lalu apa salahnya dicoba? Kamu telah mengenal Jonathan sejak kecil dan dia memang anak yang baik bukan?”
“…” Nana tidak punya sedikit pun kata untuk membantah ibunya.
“Bagaimana kalau tanggal 5 Mei kamu pulang dulu ke rumah?”
“5 Mei? Berarti itu hari Sabtu seminggu dari sekarang dong?”
“Betul. Bu Desi bilang, bahwa Jonathan akan berkunjung ke rumah ibunya di tanggal itu.”
“Berkunjung? Apakah artinya Jonathan tidak tinggal bersama ibunya?”
“Arrghhh! Nadia Maharani putri Ibu tercinta yang paling cantik. Sesungguhnya banyak hal yang harus Ibu ceritakan padamu tentang Jonathan. Jadi usahakanlah kamu harus pulang pada tanggal 5 Mei!” perintah ibu dengan gemas.
“Baik, Ibu, karena masih seminggu lagi, sepertinya aku bisa. Akan aku usahakan!”
“Ok, Ibu tunggu kamu di rumah dengan tidak sabar. Muach muach muach. Wassalamuallaikum!”
“Waallaikumsalam!”
Nana merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tiba-tiba kepalanya dipenuhi kenangan tentang sosok Jonathan sewaktu mereka masih SD. Jonathan, si Jo, si Raja Buaya, si Jojon adalah anak yang selalu ceria, baik hati dan selalu berbakti kepada orang tuanya. Semua kenangan tentang Jonathan membuat Nana tersenyum-senyum sendiri. Tapi tiba-tiba dia teringat terakhir kali berbicara dengan Jonathan sepulang dia ngaji malam itu. Itulah terakhir kalinya mereka berbicara, bahkan hingga mereka lulus SD, tidak pernah ada lagi kata yang keluar dari mulut mereka.
“Apa kabar kamu sekarang, Jo?
Aku dengar sekarang kamu sudah sukses.
Syukurlah! Kamu pantas mendapatkannya.
Jo, apakah kamu pernah memikirkan tentang aku?
Aku kangen kamu yang selalu ceria.
Aku kangen kamu yang baik hati.
Aku kangen kamu yang selalu pemaaf.
Jo… aku kangen kamu sebagai sahabat baikku.”
Malam itu, Nana berpikir banyak hal tentang Jo. Lalu dia membuka Instagram dan mencari nama Jonathan Rocky. Sayangnya terlalu banyak nama akun Jonathan Rocky. Lalu dia melihat akun teman-teman SD nya dulu yang masih berhubungan baik dengannya, seperti Wahyu dan Mimi. Dia mengetik nama Jonathan Rocky di daftar pencarian followers akun Wahyu dan Mimi satu persatu. Namun seberapa keras pun Nana mencari, akun media sosial Jo tidak kunjung ketemu. Nana sempat berpikir untuk mengirim DM kepada Wahyu dan Mimi untuk menanyakan akun media sosial Jo. Namun hal itu diurungkannya, mengingat dia pernah punya pengalaman tidak baik tentang ayahnya yang pernah memukul Jo. Jika dia tiba-tiba bertanya tentang Jo kepada Wahyu dan Mimi, tidak terbayangkan berapa banyak pertanyaan yang akan dia hadapi nanti.
Jika saja ayahnya tidak pernah membuat masalah dengan Jo. Mungkin sekarang mereka masih berteman dan berhubungan baik. Tiba-tiba Nana menjadi gemas ketika memikirkan tentang Jo. Dia tidak sabar menunggu tanggal 5 Mei tiba.
***
“Benarkah Jo tinggal di komplek ini?” gumam Nana ketika memasuki gerbang komplek Permata Biru yang terkenal sebagai tempat tinggal kalangan elit.
“Hanya ibu dan adiknya yang tinggal di sini,” sahut ayah yang tidak sengaja mendengar gumaman Nana sambil menyetir mobil.
“Lalu ayahnya?”
“Dengar-dengar meninggal karena overdosis miras ketika Jonathan masih SMA.”
“Innalillahi wa innaillaihi rajiun.”
“Kata Bu Desi, Jonathan punya beberapa tempat tinggal di Jakarta, bahkan juga di luar kota. Dia jarang sekali di Jakarta dan lebih sering di luar kota,” kata ibu memberikan penjelasan.
“Begitukah?”
“Apakah kamu pernah bertemu dengannya, Na? atau pernah melihat wajah Jo? Mungkin kalian menjalin kontak di media sosial?”
“Tidak, tidak pernah, Ibu. Semenjak kejadian itu, aku benar-benar lost contact dengan Jo,” jawab Nana sambil melirik ke arah ayahnya. “Sepertinya dia juga tidak memiliki akun media sosial.”
Semenjak kejadian itu, hubungan Ayah dan Nana menjadi renggang. Nana jarang sekali berbicara dengan ayahnya. Dia tidak pernah terbuka dengan ayahnya, dan hanya terbuka pada ibunya seorang.
“Lalu, ketika kalian meminjam uang kepada keluarga Jo, siapa yang kalian temui?” tanya Nana.
“Ibunya, lalu Bu Desi menyuruh putra keduanya, Bobby. Semuanya terjadi melalui perantara Bobby,” jawab ibu.
“Bobby? Terakhir kali aku melihatnya masih balita, dia dan Emma sangat lucu dan menggemaskan.”
“Bobby pemuda yang tampan dan gagah juga telah menjadi seorang pengusaha yang bergerak di bidang kuliner. Sedangkan Emma, Ibu belum pernah melihatnya. Kata Bu Desi, Emma sedang di Jepang menyelesaikan kuliahnya.”
“Keren!” kata Nana mengomentari kabar keluarga Jo.
“Kita sudah sampai,” kata ayah begitu mobil berhenti di salah satu rumah type 120 dengan 2 lantai.
Ibu Jo menyambut keluarga Nana dengan sangat gembira, ramah dan sopan sekali.
“Mashaallah! Bu dokter ini cantik sekali. Terakhir kali lihat Nadia, kamu masih kecil. Tapi memang dari kecil, Nadia sudah cantik,” puji ibunya Jonathan. Nana langsung salim begitu berhadapan dengan ibunya Jo.
“Terima kasih, Tante. Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Kalaupun kabar Tante tidak baik, kan ada dokter disini he he he,” kelakar ibunya Jo. “Mari, mari masuk!” ajaknya.
Ketika mereka sedang duduk di ruang tamu, seorang gadis cantik dengan rambut pendek sebahu berumur 20an mendekati mereka sambil memegang nampan berisi minuman.
“Perkenalkan, ini Emma, si paling bungsu. Dia sedang libur kuliahnya dan memutuskan untuk liburan di Tanah Air. Emma, perkenalkan ini Nadia. Mungkin kamu tidak ingat karena masih bayi, tapi Nadia adalah teman baik kakakmu dan pernah bermain denganmu dulu,” ucap Bu Desi memperkenalkan putrinya.
“Emma? Cantik sekali. Terakhir kali aku melihat dan bermain bersama Emma ketika dia masih balita,” kata Nana mengomentari kecantikan adik bungsu Jo.
“Terima kasih, Kakak juga terlihat sangat cantik dan anggun sekali dengan hijab itu,” balas Emma. Keduanya berjabat tangan.
“Lalu kalau Bobby, Tante?”
“Bobby nanti akan datang bersama Jonathan. Mohon maaf sebelumnya karena Jonathan terlambat karena pekerjaan.”
“Oh, tidak apa-apa, Bu Desi. Justru kami yang berterima kasih karena keluarga Bu Desi berkenan menerima kedatangan kami. Di hari Sabtu ini Jonathan masih kerja, sungguh lelaki yang pekerja keras,” kata Ayah basa-basi sambil berusaha memuji.
“Begitulah Jonathan. Selalu sibuk. Dia jarang ada di satu tempat lama-lama. Kadang di sini, kadang di situ. Hari ini di kota ini, minggu depan di kota itu. Bahkan saya sering harus membuat janji dengan sekretarisnya atau Bobby terlebih dulu jika ingin bertemu dengannya.”
“Tapi Kak Jo pernah muncul tiba-tiba di depan pintu tempat tinggalku di Jepang hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku,” sela Emma.
“Wah tidak terbayang sibuknya ya si Jonathan, tapi masih sempat mengunjungi adiknya,” puji ibunya Nana.
“Pekerjaan seperti apakah yang digeluti Jonathan sampai sesibuk itu, Tante?” tanya Nana penasaran.
“Tante kurang tahu jelasnya, tapi menurut Bobby, pekerjaan utama Jonathan di bidang jasa. Nah itu dia datang!” kata Bu Desi saat melihat mobil hitam masuk dan terparkir di halaman rumahnya.
Empat orang pria dengan warna pakaian senada serba gelap keluar dari mobil. Dua orang yang keluar dari pintu depan mobil memakai setelan jas dengan kemeja putih. Sekilas Nana melihat sebuah pistol terselip di pinggang dari kedua orang itu. Hal itu membuatnya cukup kaget.
“Apakah Ibu sempat melihat pistol tadi?” kata Ayah kasak-kusuk.
“Betul, Yah” jawab Ibu setengah berbisik.
“Aku juga melihatnya,” timpal Nana karena ruang tamu itu terdapat jendela besar yang langsung menghadap halaman.
Emma langsung keluar menyambut mereka, sementara kedua orang yang membawa pistol itu langsung duduk di kursi yang tersedia di beranda halaman. Karena Nana tidak mengenali wajah Jo maupun Bobby, dia berasumsi bahwa dua orang yang membawa pistol tersebut bukanlah Jo maupun Bobby.
Emma langsung berlari memeluk pria dengan penampilan paling necis. Pria itu memakai jas beserta rompi, kemeja dan dasi yang serba hitam. Lalu Emma bergantian memeluk pria satunya lagi yang hanya memakai celana bahan dengan kemeja panjang berwarna senada yaitu biru navy. Karena matahari di luar begitu terik, Nana tidak dapat melihat wajah keduanya dengan jelas. Emma berada di tengah-tengah kedua pria itu dan menggandeng tangannya begitu manja menuntun mereka ke ruang tamu. Ketika sudah berada di ruang tamu, kedua pria itu bergantian memeluk ibunya.
“Perkenalkan, ini Bobby,” tunjuk Bu Desi mengarah pada pria yang hanya mengenakan kemeja panjang dan celana panjang. Bobby tersenyum ramah sambil sedikit membungkuk.
“Dan ini, Jonathan,” tunjuk Bu Desi kepada lelaki yang berpenampilan paling necis.
Nana terpana melihat penampilan Jonathan. Sahabat masa kecilnya itu terlihat gagah dan tampan dengan sedikit bekas luka vertikal di pelipis sebelah kanannya. Kulitnya cerah sedikit kecoklatan dengan rambut rapih nan klimis. Badannya lebih tinggi dari semua orang yang hadir di ruangan itu. Nana tersenyum ketika sepasang matanya dan mata Jonathan beradu. Namun tidak dengan Jonathan, dia hanya melihat dingin tanpa ekspresi kepada tamu-tamunya saat dia sudah mendudukkan dirinya di sofa.
“Jadi langsung saja,”
“Jo, setidaknya kamu basa-basi dulu,” tegur ibunya. “Kamu sudah lama tidak melihat Nadia, sahabat masa kecilmu. Tanyakanlah dulu kabarnya,” potong Bu Desi ketika Jo baru membuka mulutnya.
“Maaf jika aku tidak sopan, Ibu. Hanya saja aku tidak punya banyak waktu. Malam ini aku harus ada di Singapura urusan bisnis, bahkan Bobby akan ikut denganku.”
“Benar, Ibu. Tiba-tiba ada panggilan mendadak untuk Kak Jo, sore ini kami harus mengejar pesawat,” kata Bobby mendukung alasan kakaknya.
“Benarkah? Bolehkah aku ikut? Aku lama tidak bertemu dengan Kak Jo,” rengek Emma.
“Kak Jo hanya semalam di Singapura, Emma. Besok dia sudah kembali,” jawab Bobby mewakili kakaknya.
Bu Desi hanya diam saja dan tidak bisa berkata apa pun tentang kesibukan putra-putranya itu.
“Jadi, apakah Anda berada dalam paksaan orang tua?” tanya Jo terus terang tanpa tedeng aling-aling kepada Nana dengan ekspresi dingin dan datar.
“Oh, tentu tidak, Nak Jonathan.”
“Saya sedang berbicara kepada Nadia!” kata Jo ketika ayahnya Nana menyela pertanyaannya.
Meski nada bicara Jo pelan, namun terkandung ketegasan yang membuat ayahnya Nana langsung ciut. Apalagi ekspresi wajah Jo yang selalu dingin dan kaku senantiasa. Tentu saja Nana kaget dengan pertanyaan Jo yang terbilang frontal itu. Dia juga kaget dengan sikap Jo yang tidak seperti bayangannya.
“Ti-tidak,” jawab Nana tergagap dan gugup berhadapan dengan Jo.
“Benarkah?”
“Tentu. Bagaimana denganmu? Apa kamu juga merasa terpaksa?” Nana balik bertanya.
“Tidak ada yang bisa memaksa saya,” jawab Jo.
Pertemuan itu berubah menjadi menegangkan. Dua sahabat semasa kecil yang telah terpisah bertahun-tahun lamanya, yang harusnya menumpahkan masing-masing kerinduan, namun tidak terjadi seperti yang dibayangkan.
“Begini saja,” kata Bu Desi berusaha memecah ketegangan, “mungkin keduanya masih gugup karena sudah lama tidak bertemu. Bagaimana jika kalian saling bertemu tanpa kehadiran orang tua, untuk saling mengenal, apa namanya itu kalo dalam agama Islam, Emma?”
“Mmmm… itu, anu, ta’aruf! Ya ta’aruf!” Emma jadi gelagapan karena ibunya tiba-tiba bertanya.
“Ya betul! Bagaimana jika kalian menjalani proses ta’aruf dulu selama 2-3 bulan ke depan.”
“Betul itu, Bu Desi, saya setuju,” dukung ibunya Nana.
“Mungkin keduanya masih canggung jika ingin ngobrol lebih jauh di hadapan orang tua, mari kita berikan keduanya waktu untuk berproses,” timpal ayahnya Nana.
“Bagaimana, Na? kamu setuju?” tanya ibunya Nana kepada putrinya. Nana tidak menjawab pertanyaan ibunya dan hanya menundukkan kepala. Sayangnya, sikap Nana ini dianggap sebagai persetujuan oleh kedua orang tuanya.
“Jo? Kamu mau kan menjalani ta’aruf dengan Nadia?” tanya ibunya Jo.
Jo pun tidak segera menyetujui permintaan ibunya itu. Dia justru melihat Bobby yang sedari tadi menggosok-gosok arloji yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Baik, usul Ibu bisa aku pertimbangkan. Saya akan menghubungi Nadia untuk menyiapkan waktu dan tempatnya.”
“Alhamdulillah!” kata orang tua dari kedua belah pihak.
“Baik, karena kesepakatan telah tercapai. Kalau begitu saya ijin pamit. Sampai jumpa, Ibu, Emma!” kata Jo langsung menutup pertemuan itu.
Jo dan Bobby bergantian memeluk ibunya. Emma mengantar kedua kakaknya sampai halaman dan meninggalkan tamunya begitu saja.
“Jangan lupa oleh-olehnya!” pinta Emma.
“Oleh-oleh apa? Patung Merlion? Itu tidak bisa dimakan,” kata Bobby sambil mencubit pipi kiri Emma. Sedangkan Jo mengelus-elus kepala adik perempuannya itu. Emma sangat senang dengan perlakuan kakak-kakaknya itu.
“Tolong dimaafkan sikap Jo yang seperti itu. Begitulah kesibukan anak-anak saya,” kata Bu Desi ketika para putranya pergi. “Jo selalu kesana kemari mengurus pekerjaannya, begitu juga Bobby, sedangkan Emma lebih banyak tinggal di luar negeri. Saya kadang merasa kesepian, maka untuk mengisi waktu, saya sering mengunjungi saudara dan tetangga ketika dulu semasa tinggal di kampung. Sekedar silaturahmi. Semua orang di komplek ini kebanyakan hanya mengurusi urusannya masing-masing, jarang bergaul.”
“Kedatangan Bu Desi ke kampung kami juga memiliki banyak manfaat bagi warga. Banyak warga yang merasa terbantu oleh kehadiran Bu Desi,” puji ibunya Nana.
“Bukankah Bu Desi juga menggeluti bisnis kuliner?” tanya ayahnya Nana.
“Dibilang menggeluti sih tidak, Pak Hasyim. Saya hanya masak dan memberikan resepnya saja, soal yang lain-lain, itu sudah diurus sama Bobby. Saya mana ngerti soal manajemen restoran dan segala tetek bengeknya.”
“Kamu inget, Na, ketika kamu lulus kuliah kedokteran dan kita makan-makan di restoran Pelita Rasa di Bandung? Restoran itu adalah cabang dari restoran kepunyaan Bu Desi,” kata ibunya Nana.
“Benarkah? Restoran yang terkenal karena ayam bakar madunya itu punya Tante?” tanya Nana kagum.
“Memang restoran Pelita Rasa sudah sampai buka cabang di Bandung ya?” Bu Desi malah balik bertanya.
“Ibu tidak tahu tentang cabang di Bandung?” giliran Emma yang bingung.
“Seperti yang saya bilang tadi, saya hanya suka masak, perkembangan restoran itu sampai mana, itu urusannya si Bobby.”
“Ihh kok Kak Bobby gak bilang ke Ibu,” kata Emma sedikit kesal.
“Mungkin kakakmu pernah bilang ke Ibu, mungkin Ibunya saja yang lupa atau tidak mendengarkan.” Bu Desi membela Bobby. “Saya kalo udah kumpul sama anak-anak, kurang begitu nangkep cerita mereka, saya lebih suka memperhatikan tumbuh kembang mereka saja. Melihat mereka selalu sehat, akur dan tidak kurang apa pun membuat saya bahagia. Itu saja cukup.”
“Betul itu, Bu Desi. Melihat tumbuh kembang anak-anak kita memang sangat membahagiakan. Khususnya bagi seorang ibu.”
“Setuju sekali dengan, Bu Fitri. Kalau gitu ayo kita makan bersama! Emma telah memasak ayam bakar madu dari resep saya sendiri. Kalau tidak enak tinggal bilang saja ke orangnya, nanti saya marahin,” kata Bu Desi.
“Pasti enak dong. Ibu tahu, sewaktu Kak Jo mengunjungi aku di Jepang, aku masakin ayam bakar madu, dia bilang rasanya seperti Ibu yang masak.” Emma berbangga diri.
“Benarkah? Sayang sekali dia tidak bisa ikut makan bersama kita,” sesal Bu Desi.
Mereka berkumpul di meja makan untuk makan bersama menyantap hidangan yang telah di siapkan oleh tuan rumah.
***
“Bagaimana menurutmu, Na? tentang Jonathan?” tanya Ibu ketika mereka sudah kembali ke rumah dan membahas pertemuan tadi.
“Bagaimana? Rasanya aku tidak mengenal Jo sama sekali, Ibu. Dia begitu dingin, kaku, dan, entahlah, tidak seperti bayanganku,” jawab Nana mengungkapkan kekesalannya.
“Lalu kamu membayangkan Jonathan seperti apa?”
“Ya… ku pikir Jo adalah anak yang ceria dan baik. Orang itu, aku tidak yakin kalo dia Jo yang dulu ku kenal.”
“Sebagian orang pasti berubah, Na. Berarti itu tugasmu untuk kembali mengenal Jonathan.”
“Entahlah, Ibu. Aku tidak yakin dengan semua ini.”
“Kamu harus bisa merebut hati Jonathan. Keluarga kita berutang banyak pada keluarga Jonathan,” desak Ayahnya.
“Jadi maksud, Ayah, aku hanya sekedar alat pelunas utang saja, begitu? Kalian juga belum cerita bagaimana bisa kalian sampai berutang kepada keluarga Jonathan. Coba ceritakan padaku!”
Ayah dan Ibu saling pandang. Mereka ragu untuk menceritakan kronologi bagaimana bisa mereka meminjam uang kepada keluarga Jonathan.
“Selama ini Ayah bekerja keras untuk membiayai sekolah kedokteranmu, sehingga Ayah hampir saja melakukan kesalahan fatal yang melibatkan uang, Na.” Ayah mencoba menjelaskan.
“Apa maksud Ayah?” Nana penasaran dengan cerita ayahnya.
“Ayah menggunakan uang kantor dalam jumlah besar.”
“Astaghfirullah! Jadi maksudnya, Ayah melakukan korupsi?”
Ayah menundukkan kepala, dia merasa malu untuk menjawab pertanyaan putrinya. Ibu memegang pundak Nana sambil menganggukkan kepala membenarkan kesimpulan putrinya.
“Jadi selama ini, biaya sekolahku adalah hasil dari korupsi? Berapa banyak kita berutang kepada keluarga Jo?” tanya Nana geram.
“50 Milliar,” jawab Ayah lesu.
“Astaghfirullah! Ayah korupsi 50 Milliar?!” Nana sangat kaget mendengar nominal utang ayahnya. Tiba-tiba kepala Nana berpikir keras memikirkan banyak hal.
“Kalau hanya untuk membiayai sekolahku saja, rasanya uang 50 Milliar terdengar berlebihan. Biaya sekolahku tidak sampai segitu. Alasan Ayah korupsi 50 Milliar hanya untuk biaya sekolahku pastilah mengada-ada,” tuduh Nana kepada ayahnya.
“Baik, baik! Ayah akui, Ayah khilaf.” Akhirnya Ayah mengaku. “Uang 25 Milliar itu telah Ayah gunakan untuk banyak hal. Salah satunya, Ayah telah membeli tanah untuk orang tua Ayah, kakek dan nenekmu di kampung, juga untuk mendaftarkan mereka pergi haji. Mereka selalu bercita-cita ingin punya kebun dan pergi haji. Lalu untuk merenovasi rumah ini dan juga membeli mobil baru, dan juga membeli tanah di Bogor untuk investasi.”
“Sayangnya, Ayah terkena penipuan saat membeli tanah di Bogor itu, Na,” imbuh ibu.
“Astaghfirullah, Ayah. Apa yang Ayah pikirkan? Memberangkatkan haji kakek dan nenek menggunakan uang haram.” Nana menyandarkan punggungnya pada sofa sambil mengusap wajahnya dan tidak percaya apa yang telah dilakukan ayahnya.
Suasana ruang tamu tiba-tiba menjadi lesu dan muram. Nana tidak punya lagi kata-kata untuk diucapkan. Kepalanya penuh dan hatinya sesak menghadapi kelakuan ayahnya.
“Na…,” panggil ibu setelah menarik nafas panjang, “Jika bukan karena kebaikan hati Jonathan dan ibunya yang bersedia meminjamkan uang sebanyak itu, mungkin kamu tidak akan melihat Ayahmu di sini. Dengan uang dari keluarga Jonathan, untungnya Ayahmu sempat mengembalikannya sebelum diaudit oleh kantornya.”
“Ayah sudah berusaha mencicil utang kita kepada keluarga Jonathan, hanya saja pendapatan Ayah tidak akan cukup dan butuh waktu bertahun-tahun lamanya untuk melunasi hutang Ayah.” Ayah mencoba membangun harga dirinya kembali.
“Kamu tahu, Na. Keluarganya Jonathan sangat baik, bukan hanya kita yang berutang pada mereka. Semua warga kampung sini, jika mereka ada masalah, selalu lari pada keluarga Jonathan,” ucap Ibu.
“Sebenarnya, keluarga Jonathan tidak pernah menagih uang yang mereka pinjamkan pada keluarga kita, bahkan pada semua warga kampung sini yang mereka pinjami. Hanya saja, Ayah masih punya harga diri dan berniat untuk melunasinya walau entah sampai kapan. Jika kamu tidak suka dengan Jonathan dan perjodohan ini, maka itu terserah kamu saja.”
Nana langsung tersentak dengan ucapan ayahnya. Sejak kejadian dimana ayahnya pernah menampar Jo, maka sejak itu dia membenci ayahnya. Hanya saja, kalimat terakhir yang keluar dari mulut ayahnya itu terdengar sangat bijak layaknya seorang ayah.
“Baiklah, aku akan mencoba untuk menjalani proses ta’aruf dengan Jo. Tapi aku tidak berjanji untuk menikahinya.” Nana akhirnya luluh setelah mendengar semua cerita keluarganya.
“Terima kasih, Nadia putriku sayang. Apa pun nanti keputusanmu dengan Jonathan, Ibu akan mendukungnya,” ucap Ibu senang sambil memeluk putrinya.
***
Pesan hangat dari penulis,
Kamu masih suka sama ceritanya? Oke, deh, silahkan dinikmati!