Kini, sudah hampir berjalan sebulan proses ta’arufnya dengan Jo. Itu pun jika bisa benar-benar disebut ta’aruf. Jo hanya datang dan pergi sesukanya, juga berbicara sesukanya. Nana benar-benar tidak lagi berharap pada sosok Jonathan. Dia berusaha keras untuk tidak pernah lagi memikirkan tentang Jonathan.
Pagi itu Nana betul-betul jengkel sekali karena sudah 4 kali berusaha order taksi online, tapi selalu ditolak oleh drivernya. Sudah pasti dia akan telat.
“Na, hati-hati! Jangan lewat jalan Sudirman-Thamrin, sedang ada demo besar-besaran,” begitulah menurut info dari dokter Maya melalui pesan whatsapp.
“Pantas saja, orderanku selalu dicancel driver taksi online,” balas Nana.
“Driver taksi online yang mengantarku bahkan harus menurunkanku sejauh 300 Meter sebelum sampai di depan rumah sakit. Jalanan begitu macet oleh demonstran. Parah!!!”
“Mungkin driver taksi online itu bisa membaca isi pikiranmu dan tahu tentang resolusi dietmu, lalu sengaja menyuruhmu untuk jalan kaki he he he.”
“Preeetttt!” balas dokter Maya terhadap candaan Nana.
Akhirnya Nana girang ketika terdapat notifikasi di layar ponselnya. Ada seorang driver yang bersedia dan sedang menuju ke arahnya.
Tak berlangsung lama, taksi online yang ditunggunya datang lalu merapat ke arahnya. Ban depan mobil itu sedikit menghantam trotoar ketika mendekat. Sontak Nana menjadi kaget dan ragu-ragu. Diperhatikannya setiap bagian dari taksi online itu. Mulai dari kesesuaian jenis mobil, nomor plat hingga pengemudinya. Meski jenis mobil dan nomor platnya sesuai, Nana tidak bisa memastikan rupa pengemudinya karena kaca depannya gelap. Supir taksi online itu pun mendadak kesal karena penumpangnya hanya planga-plongo dan tidak segera naik. Dia pun turun dari mobil dan menampakkan diri.
“Ayo buruan naik!!!” ajaknya dengan agak teriak.
Melihat penampilan pengemudi yang begitu kusut, Nana benar-benar ragu. Selain pakaiannya yang kucel, mukanya juga terlihat lesu seperti kurang tidur. Pantas saja tadi mobilnya sedikit menabrak trotoar.
“Neng, ayo!” ajaknya lagi, kali ini dengan membentak.
“Pak, maaf, dicancel aja ya,” kata Nana ketika dirinya dibentak.
“Yeehhh, gimana, sih! Udah capek-capek nyamperin, seenaknya aja lo maen cancel. Gak bisa! Naik sekarang juga!” perintah supir itu langsung marah.
Nana langsung takut dan mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Apalagi supir taksi online itu mulai mendekati dirinya.
“Pak, maaf, ini dicancel aja ya.” Nana semakin takut. “Saya kasih 20 ribu deh buat ganti rugi.”
“Apaan? 20 ribu? Gak mau! Kasih gue cepek!” kini supir taksi itu berniat memeras Nana.
Sebenarnya Nana memiliki uang tunai seperti yang diminta supir taksi online itu. Namun Nana sangat keberatan dan mencurigai niat jahat supir taksi online itu. Nana berusaha menghindar ketakutan ketika supir itu mendekat.
Mendadak sebuah mobil hitam merapat dan seorang pria di dalamnya langsung meloncat turun. Dengan cekatan pria itu langsung mencengkeram leher supir itu lalu menamparnya berkali-kali.
Plak! Plak! Plak!
“Kalo gak mau jangan maksa, Bajingan! Cabut lo!” maki pria yang dikenal oleh Nana sebagai pasiennya semingguan yang lalu. Supir taksi itu langsung ciut nyali dan melarikan mobilnya terbirit-birit.
“Tuan Morizaki?” sapa Nana sekedar memastikan. “Terima kasih, Tuan Morizaki!” ucapnya senang karena merasa tertolong.
“Selamat pagi, dokter Nadia!” balas Morizaki. “Lebih baik dokter Nadia ikut dengan kami. Situasi jalanan sangat kacau. Tujuan kami searah dengan rumah sakit tempat Anda bekerja. Mari!” ajak Morizaki.
“Baiklah. Sekali lagi terima kasih, Tuan Morizaki.”
Nana tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran dari Morizaki. Dirinya sudah terlambat 10 menit, dan akan lebih terlambat lagi jika dia menolaknya. Dengan sopan, Morizaki membuka pintu belakang dan mempersilakan Nana untuk masuk.
Nana terkejut ketika dia melihat kursi bagian belakang telah terisi oleh seorang pria yang begitu dikenalnya.
“Jo?!”
“Masuklah!” perintah Jo.
Nana pun masuk dan duduk bersebelahan dengan Jo di kursi belakang. Nana sudah tidak canggung lagi dengan kehadiran Jo. Mobil pun melaju membawa 4 orang penumpang termasuk Morizaki, Jo, Nana dan seorang supir.
“Terima ini!” Jo mengulurkan sebuah kartu nama kepada Nana. “Lain kali jika butuh kendaraan, Anda bisa memanggilnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” tolak Nana dan berusaha untuk mengembalikan kartu nama itu pada Jo.
“Simpan saja! Anda pasti butuh nanti.” Jo memaksa.
Sebenarnya Nana gengsi menerima bantuan apa pun dari Jo. Dia pun masih kesal dan belum bisa menerima perlakuan Jo padanya. Namun akhirnya Nana menyimpan kartu nama itu dengan pertimbangan mungkin suatu hari dia memang membutuhkannya.
“Hei, apa ini? Saya tidak tahu jika kalian saling mengenal,” ucap Morizaki menyela pembicaraan mereka.
“Dia calon istri saya,” kata Jo begitu enteng tanpa ekspresi.
Sontak Nana kaget mendengar kalimat yang keluar dari mulut Jo. Dia menatap Jo dengan geram karena berkata seenaknya saja. Morizaki pun memutar kepala memandangi Nana dan Jo secara bergantian. Jo membalas tatapan Morizaki dengan dingin. Lalu Morizaki kembali duduk dengan benar sambil meninggalkan senyum simpul.
“Terima kasih, Tuan Morizaki, Pak Supir!” kata Nana saat mobil tiba di depan rumah sakit. Morizaki dan supir itu hanya mengangguk saja membalas ucapan terima kasih Nana. Nana sengaja tidak menyebut nama Jo karena dia belum puas membalas Jo.
“Jotaro,” panggil Morizaki, “apakah itu benar? dokter Nadia adalah calon istrimu?” tanyanya.
“Ibuku menjodohkanku dengannya.”
“Lalu bagaimana perasaanmu? Sepertinya dia tidak menyukaimu.”
Jo tidak menanggapi pertanyaan dari Morizaki. Dia hanya menatap jauh ke luar dari jendela mobil.
“Nadia Maharani,” kata Jo. “Masukkan nama itu dan keluarganya dalam daftar perlindungan. Aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang kembali padanya.”
“Dimengerti, Jotaro!” jawab Morizaki.
Mobil itu bergegas mencari jalan alternatif ke sebuah gedung di pusat kota yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah sakit tempat Nana bekerja. Sesampainya pada gedung yang dimaksud, Jo dan Morizaki langsung menuju lantai paling atas.
“Lihat itu, Jo! Harus ku akui, temanmu itu, si Jeki, sangat berbakat dalam mengumpulkan masa,” kata seorang pria yang berdiri dekat kaca sambil memperhatikan para demonstran dari lantai atas sebuah gedung.
“Jaga para demonstran itu tetap kondusif, Baron. Mereka hanya membayar untuk sekedar unjuk rasa.”
“Tentu, semuanya terkendali. Aku dan Jeki telah memahaminya dengan baik.”
“Kamu dan Jeki akan bekerja sama lagi mengerjakan proyek selanjutnya. Kemungkinan 3 bulan lagi atau bisa jadi lebih cepat, Baron.”
“Jelaskan padaku, Jo!”
“Kamu tahu Undang-undang tentang korupsi yang sedang dibahas oleh para wakil rakyat?”
“Ya!”
“3 bulan lagi undang-undang itu akan disahkan. Mereka sudah memperkirakan akan terjadi demonstrasi besar-besaran menolak undang-undang itu dari berbagai elemen masyarakat. Mereka meminta kita agar demonstrasi itu menjadi ricuh untuk mendiskreditkan tujuan para demonstran itu. Seperti biasa, Jeki yang mengumpulkan kayunya, kamu yang memantik apinya. Ini dokumen selengkapnya, pelajarilah!”
“Gampang. Semua hal bisa diatur sesuai bajet!”
“Bagus.”
“Satu hal, Jo. Bisakah kamu meminta kepada atasanmu untuk melepas gelang kaki ini? Maksudku, ayolah! Aku sudah setia bekerja pada kalian selama lebih dari 10 tahun. Mencetak banyak emas untuk kalian. Bahkan om Curis harus membawa-bawa gelang kaki ini hingga akhir hayatnya. Aku selalu setia kepada kalian.” Baron memohon kepada Jo.
Morizaki yang sedari tadi diam tanpa kata dan hanya menghisap-hisap batang rokoknya, tiba-tiba menaruh perhatian kepada Baron ketika berbicara tentang gelang yang melingkar di kakinya.
“Baik, akan ku pertimbangkan. Aku akan mencoba berbicara kepada William jika ada kesempatan.”
“Terima kasih, Jo! Sesungguhnya aku iri padamu dan kedekatanmu dengan mereka, keluarga Fujiwara itu.”
Jo tidak ingin berkomentar apa pun mengenai ucapan Baron barusan. Ia melirik kepada Morizaki mengajaknya untuk pergi.
“Apa kalian akan segera pergi?” tanya Baron coba menahan Jo dan Morizaki.
“Benar. Seseorang telah menungguku.”
“Ahh sayang sekali,” keluh Baron, “aku berniat mengajak kalian untuk makan siang sambil menikmati pemandangan kota Jakarta.”
“Apa yang bisa dinikmati dari kacaunya suasana Jakarta sekarang?” tanya Morizaki heran.
“Ha ha ha itulah maksudku, Morizaki. Kita makan siang di sini sementara pemandangan di luar penuh dengan demonstran yang berteriak-teriak sambil kelaparan. Seru, kan?” kata Baron. “Ngomong-ngomong siapa yang ingin kalian temui sampai harus menolak ajakan makan siangku?”
“Kamu kenal Araffi Hamda?” tanya Jo kepada Baron sekedar memastikan.
“Maksudmu aktor, youtuber dan seseorang yang dijuluki sebagai sultan itu? Siapa yang tidak mengenalnya.”
“Ya, dialah orangnya. Aku ada bisnis dengannya.”
“Well, jika itu adalah Araffi Hamda, maka aku tidak berhak menahan kalian lebih lama lagi.”
Jo dan Morizaki segera pergi meninggalkan Baron dan ruangannya sendirian.
“Semenjak dulu, aku tidak pernah suka dengan sosok Baron. Apa-apaan itu? Makan siang sambil nonton orang unjuk rasa, dasar gila!” umpat Morizaki mengungkapkan unek-uneknya ketika dia bersama Jo di dalam lift.
“Mau bagaimana lagi, dia pintar mencetak uang,” ucap Jo.
“Dan juga licik!” timpal Morizaki. “Aku beritahu, Jotaro. Hati-hatilah menaruh kepercayaan padanya, orang pintar dan licik seperti dia, biasanya sedang menunggu dengan sabar untuk menancapkan taringnya kepadamu. Bisa saja kamu mati seketika karena bisanya.”
“Terima kasih untuk peringatannya, Morizaki.”
Mobil yang membawa Jo dan Morizaki berusaha keras mencari jalan alternatif menghindari kemacetan yang disebabkan oleh para demonstran itu.
5 menit menuju pukul 11 siang, mobil mereka telah sampai di sebuah villa mewah yang berada di daerah Bogor. Villa itu dijaga oleh satuan pengamanan yang menenteng senjata api tipe AK-47. Dua orang satuan pengamanan yang berjaga di gerbang depan mempersilakan mereka masuk sambil memberi hormat.
Begitu Jo dan Morizaki keluar dari mobil, mereka berdua langsung disambut dengan ramah oleh tuan rumah.
“Selamat datang, Tuan Johan. Terima kasih sudah meluangkan waktunya memenuhi permintaan saya,” sambut Araffi Hamda begitu ramah.
“Sama-sama, Tuan Araffi Hamda. Sayalah yang merasa terhormat karena bisa berbisnis dengan Anda,” balas Jo.
“Panggil saja saya Araffi, biar lebih akrab. Mari-mari!” ajak Araffi kepada tamu-tamunya. Jo berusaha tersenyum ramah menanggapi ajakan Araffi Hamda.
“Tuan Johan, mau minum apa? Scoth, whiskey, champagne, bourbone, sake? Sebutkan saja, saya bisa sediakan.” Araffi benar-benar memanjakan tamunya.
“Terima kasih atas keramahannya, Araffi. Karena kita sedang berada di daerah Puncak, saya tidak keberatan jika hanya disuguhkan secangkir teh,” pinta Jo.
“Oh, tentu saja, Tuan Johan. Lalu kalo, Tuan?” tanya Araffi Hamda kepada Morizaki.
“Sake!” jawab Morizaki.
“Baiklah, tunggu sebentar.” Araffi segera memberi tahu pembantunya untuk menyediakan minuman yang diminta oleh para tamunya.
“Saya sudah mendengar reputasi hebat Tuan Johan dalam urusan impor ekspor. Maka dari itu, saya akan langsung saja pada intinya.” Jo dan Morizaki langsung mencurahkan segenap perhatiannya pada kalimat-kalimat yang akan keluar dari mulut Araffi.
“Silakan dilihat dengan seksama!” Araffi menyerahkan sebuah dokumen kepada Jo.
“2 bulan lalu, saya mendapat permintaan dari seorang tokoh politik terkemuka di negeri ini untuk mencarikannya 10 unit mobil. Saya sudah menyanggupi permintaan itu dan semua mobilnya pun sudah saya dapatkan. 4 unit dari Jepang dan 6 unit dari Qatar. Hanya saja, mobil-mobil itu masih tertahan dalam sebuah peti kemas di pelabuhan Qatar dan Jepang. Yang menjadi masalah adalah, biaya mengurus segala perijinan untuk kesepuluh mobil itu sangat besar agar bisa keluar dari negara Jepang dan Qatar dan bisa masuk ke Indonesia. Sebagai pebisnis, tentunya saya mengharapkan untung yang besar dari transaksi ini. Saya dengar, Tuan Johan bisa memberikan solusi atas masalah seperti ini, dan bisa menawarkan harga yang lebih murah, bahkan hingga 50%,” kata Araffi Hamda setelah panjang lebar menyampaikan maksudnya.
“50%? Saya bisa memberikan harga kepada Araffi hanya 30% dari harga normal mengurus segala perijinan,” kata Jo dengan penuh percaya diri.
“Benarkah itu, Tuan Johan?” tanya Araffi Hamda dengan mata berbinar-binar.
“Tentu saja! Anda sudah mendengar reputasi saya. Saya selalu memberikan solusi kepada semua rekan bisnis saya. Asalkan bisnis-bisnis kita yang selanjutnya tidaklah terputus begitu saja.”
“Apa yang dimaksud, Tuan Johan? Bisnis kita selanjutnya?” tanya Araffi Hamda penasaran.
“Permintaan akan mobil sport, mobil mewah, dan mobil klasik di negara ini tinggi peminat. Saya mengagumi kemampuan Araffi untuk menemukan mobil-mobil ini sesuai permintaan client. Bukankah 3 dari 10 Unit mobil ini adalah barang langka yang susah dicari?” ucap Jo sambil menunjuk beberapa daftar mobil yang diberikan oleh Araffi.
“Anda sangat jeli sekali, Tuan Johan. Betul, 3 unit mobil itu memang sangat susah dicari. Akan tetapi, saya memiliki teman-teman di luar negeri yang bisa mencari mobil seperti apa pun. Bukan hanya mobil, motor-motor klasik pun saya bersedia mencarikannya.”
“Dan saya memiliki teman-teman yang memiliki minat tinggi terhadap mobil-mobil seperti ini. Jika Araffi bersedia, saya akan mengenalkan mereka pada Anda untuk membicarakan masalah mobil.”
“Wah, tentunya ini akan menjadi bisnis yang sangat menguntungkan sekali, Tuan Johan. Tentu saja saya bersedia!” kata Araffi begitu bersemangat.
“Baiklah, berarti kita menyepakati hal-hal berikut. Saya akan memperkenalkan teman-teman saya yang berminat tinggi terhadap otomotif kepada Araffi, lalu tugas Araffi adalah memenuhi permintaan itu. Sedangkan untuk masalah impor dan perijinan, semua bisnis Araffi saya yang tangani mulai dari sekarang. Bagaimana, setuju?” tanya Jo berusaha meyakinkan Araffi Hamda.
“Setuju, setuju, Tuan Johan!” jawab Araffi begitu gembira.
“Terima kasih, Araffi. Saya yakin bisnis kita ini akan selalu saling memberi keuntungan dalam jangka panjang.”
“Saya optimis sekali, Tuan Johan.”
“Salah seorang petinggi partai politik terkemuka yang menjadi client Araffi itu, sepertinya saya mengenalnya. Biar saya tebak dari inisial namanya, apakah dia pak EW dari partai Kamboja Biru?”
“Sungguh hebat Tuan Johan ini bisa menebak dengan benar. Saya bangga bisa berbisnis dengan pria bereputasi tinggi seperti Anda.”
“Terima kasih, Araffi!”
“Saya harus minta maaf sebelumnya karena harus mengganti tempat pertemuan kita. Saya mendengar kabar dari pak EW, bahwa di Jakarta akan terjadi demo besar. Maka dari itu saya meminta Tuan Johan untuk datang ke salah satu kediaman saya di Bogor, bukannya di Jakarta seperti yang telah kita sepakati sebelumnya.”
“Oh, tidak apa-apa, Araffi. Tidak masalah, hal ini bisa dimaklumi demi kenyaman bisnis kita bersama.”
Setelah semua pembicaraan bisnis mereka berjalan lancar. Jo dan Morizaki menerima keramahan dan ajakan makan siang dari Araffi Hamda.
“Morizaki,” panggil Jo setelah meninggalkan kediaman Araffi Hamda. “Kamu hubungi teman-teman kita di Jepang untuk mengurus hal ini. Sementara itu, aku akan ke Qatar untuk mengurus sisanya.”
“Dimengerti, Jotaro!” balas Morizaki.
***
“Selamat pagi, dokter Nadia!” sapa seorang pria berusia sekitar 50an dengan ramah ketika Nana baru saja keluar dari rumah kontrakannya.
“Pagi, Pak!” balas Nana sambil sedikit curiga kepada pria itu.
“Silakan, Bu dokter!” kata pria itu sambil membuka pintu belakang mobil yang berada di dekatnya.
“Ehh, maksudnya apa, Pak?” Nana heran dengan kelakuan pria itu.
“Waduhhh, iya, maaf, saya lupa memperkenalkan diri,” ucapnya dengan logat Jawa yang kental namun ramah dan lucu. “Nama saya Rano, Bu dokter! Saya ditugaskan oleh Pak Jonathan untuk menjadi supir Bu dokter Nadia.”
“Rano? Rano Kusumo?” tanya Nana karena dia pernah membaca nama Rano pada sebuah kartu nama yang diberikan oleh Jo kemarin.
“Betul, Bu dokter. Rupanya saya sangat terkenal he he he,” ucap Pak Rano terlalu percaya diri.
“Disuruh Jonathan, ya? Maaf, Pak, saya gak mau merepotkkan Bapak. Saya bisa pergi sendiri.” Nana berusaha menolaknya.
“Waduuhhh,” keluh Pak Rano sambil garuk-garuk belakang kepalanya. “Saya mesti ngomong apa sama Pak Jonathan nanti?”
“Bapak bilang aja sudah mengantar saya.”
“Waduh! Saya paling gak bisa bohong sama Pak Jonathan, Bu. Saya berani bohongin siapapun, termasuk presiden negara ini. Tapi kalo Pak Jonathan, saya gak berani sama sekali. Suwer kesamber gledek!”
Sebenarnya Nana tidak keberatan diantar Pak Rano. Pria itu terlihat begitu ramah dan terkesan kocak kepribadiannya. Berbeda dengan semua orang yang pernah dikenalnya yang bekerja untuk Jo.
“Mau ya, Bu, ya!” bujuk Pak Rano.
Melihat wajah Pak Rano yang memelas, akhirnya Nana pun luluh dengan ajakannya. Dia pun masuk ke dalam mobil mewah Mercedez warna hitam mengkilap itu. Pak Rano pun langsung girang dan berjingkrak-jingkrak karena Nana mau diantarnya. Nana merasa ingin ketawa melihat tingkah Pak Rano.
“Sudah berapa lama Pak Rano kerja dengan Jonathan?” tanya Nana berbasa-basi.
“Sudah lebih dari 5 tahun, Bu. Alhamdulillah, pernah ngalamin yang namanya dua kali ganti wakil presiden.”
“Ha ha ha, bisa saja bapak ini. Lalu sebelum kerja dengan Jonathan, Pak Rano kerja sebagai apa?”
“Saya dulu polusi, Bu dokter!”
“Ehh, polusi?”
“Ehh maksudnya polisi. Duh, mulut saya kadang suka kepleset.”
“Polisi? Terus kenapa berhenti?”
“Itu… anu, gimana ya? Banyak maennya kalo jadi polisi mah. Pengabdian saya sebagai polisi sering dimanfaatkan dan tidak dihargai. Bu dokter ngerti kan maksud saya?”
“Iyaiin aja deh.” Nana memang mengerti maksud kata “maen” yang diucapkan pak Rano.
“Saya kan polisi, masa disuruh maen terus-terusan, kaya bocah aja.”
Nana berusaha menahan tawanya mendengar plesetan-plesetan Pak Rano. Tiba-tiba dia melihat gedung rumah sakit tempatnya bekerja sudah terlihat.
“Kok rasanya cepet banget sampe? Pak Rano kayanya gak lewat jalan besar ya?”
“Oh, nggak, Bu. Saya mah hafal semua jalanan di Jakarta. Gak hanya jalan besar, jalan kecil, jalan tikus, curut, kalong, bahkan kalo ada kerbau nyasar lupa jalan pulang, saya yang nganterin ke kandang, Bu dokter,” ucap pak Rano melebih-lebihkan. Nana terkekeh mendengar candaan-candaan yang pak Rano lontarkan.
“Oh gitu. Terima kasih banyak ya, Pak Rano udah nganterin saya.”
“Alhamdulillah, sama-sama, Bu dokter Nadia. Saya diperintahkan untuk antar-jemput Bu dokter ketika berangkat dan pulang kerja. Selain itu, kemana saja saya mah ayok.”
“Waduh, saya jadi kasihan sama Pak Rano,” kata Nana keberatan. “Kalo gitu gini aja, Bapak boleh antar jemput saya kalo saya lagi perlu aja, gimana?”
“Wahh, kalo begitu saya harus obrolin dulu sama Pak Jonathan. Untuk sementara, gimana kalo saya antar jemput Bu dokter ke tempat kerja setiap hari sebelum saya dapet ijin lebih lanjut dari Pak Jonathan.”
Nana geram sekali jika sudah menyangkut banyak hal tentang Jo. Jika kemarin-kemarin dia selalu bersikap dingin pada Nana. Lalu kenapa tiba-tiba hari ini dia mengirimkan supir untuk Nana.
“Iya deh, Pak. Nanti saya juga telpon Jonathan.” Nana tidak ingin debat kusir dengan Pak Rano.
Karena Nana tiba 30 menit lebih cepat, dia masih sempat untuk menyisihkan waktunya dan berusaha untuk menelpon Jo. Bahkan dia juga mengirimi Jo pesan singkat. Sayangnya, tidak ada respon apa pun dari Jo meski sudah berkali-kali dihubungi. Hal inilah yang Nana benci dari Jo. Lalu Nana teringat bahwa dia juga memiliki nomor adiknya, Bobby. Tanpa pikir panjang, Nana langsung menghubungi Bobby.
“Hallo, Assalamuallaikum, Bobby!” sapa Nana begitu telponnya diangkat.
“Waallaikumsalam!” jawab Bobby.
“Hallo, Bobby, ini Kak Nadia.”
“Eh iya, Kak Nadia, ada yang bisa saya bantu?”
“Aku berusaha untuk menghubungi kakakmu, Jonathan, namun tidak ada respon darinya? Apa kamu tahu kakakmu di mana?”
“Oh, tentang Kak Jo. Saat ini Kak Jo sedang ada di Qatar mengurus barang impor. Kemungkinan seminggu atau dua minggu lagi dia akan kembali.”
“Begitu ya? Bisakah kamu sampaikan kepada kakakmu untuk segera menelponku ketika dia sudah kembali. Bilang saja ini sangat penting.”
“Baik, Kak Nadia. Akan saya sampaikan kepada Kak Jo. Ada lagi, Kak, yang bisa saya bantu?”
“Sementara hanya itu saja, Bobby. Terima kasih, wassalamuallaikum!”
“Waallaikumsalam!”
“Benar kata Tante Desi tentang kesibukan anak sulungnya itu. Bulan lalu dia harus ke Singapura. Hari ini dia ada di Qatar. Apakah Jo sesibuk itu sampai benar-benar tidak bisa dihubungi.” Batin Nana tentang kesibukan Jo. Tanpa sadar, Nana telah ikut bersimpati dengan kehidupan Jo.
Pesan hangat dari penulis,
Hai, Kamu! Iya, Kamu! Tahu gak sih kalo cerita ini sudah terbit dan dibukukan oleh tinlit.com x penerbit Indocamp? Mau punya bukunya supaya gak sekedar dibaca tapi juga bisa dipeluk? Cek halaman beranda tinlit.com atau kunjungi IG authornya @baaabaron untuk pemesanan bukunya. Yuk dukung author agar rajin berkarya dengan membeli bukunya!
Terima kasih dan penuh cinta!