Motor Dani membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Angin malam menerjang buku-buku kaki. Suhu dinginnya merayap hingga seluruh tubuh. Namun, Kira yakin, Dani yang berada di depannya itu merasakan kedinginan lebih hebat. Padahal, katanya masih, dan sepanjang mata memandang, perjalanan di gunung itu terus menanjak.
Kira membuka helm sejenak. "Tanganmu nggak beku?" celotehnya memecah keheningan, meski dia tidak yakin Dani akan mendengar jelas.
"Hah?"
Tuh, kan. Seharusnya Kira tidak memaksakan diri. "Nggak jadi," teriaknya mengurungkan pembicaraan.
"Oh, oke."
"Lah, tadi nggak dengar. Giliran dibilang 'nggak jadi' malah bisa jawab bener. Kalau nggak pengin ngobrol mah, bilang aja," gerutunya dalam hati. Arah pandangnya dialihkan ke sembarang arah. Kabut tipis menghalangi jarak pandang. Entah berhasil atau tidak, dia menyipitkan mata untuk mempertajam fokus netra. Terlihat hal ganjil di depan sana.
Seorang laki-laki paruh baya mendorong gerobak. Mata Kira membesar kala menyadari itu. Dia bisa saja berteriak sekarang agar Dani segera menekan rem kuat-kuat. Namun, sebuah aturan tidak tertulis telah tertanam kuat dalam dirinya. Tidak boleh membuat tindakan mengagetkan pada pengemudi. Apalagi kalau berkendara pada kecepatan tinggi. Itu akan sangat berbahaya. Jadi, Kira bungkam sejenak.
Dia menepuk pelan bahu Dani. "Dani, Dani, pelankan lajunya." Volume dan intonasinya diatur sedemikian rupa. Meski Kira tidak yakin laki-laki itu akan mendengar jelas, setidaknya ada atensi yang didapatkan untuk meningkatkan kesadaran.
Belakang helm Dani bergerak mendekati Kira, berharap perkataannya diulangi lagi.
Langkah pertama berhasil. Kira segera memulai tahap keduanya.
Tangan Kira terangkat cepat untuk menunjuk orang di seberang sana. "Ada orang mau lewat. Pelankan lajunya," ulang perempuan itu setenang mungkin. Padahal, hatinya begitu gusar. Jantungnya sudah lompat ke sana kemari sedari tadi. Takut-takut kalau mereka akan mengalami hal yang tidak diinginkan. Sungguh, dia masih belum mau mati sekarang. Setidaknya dia ingin lulus dulu.
Dani yang akhirnya menyadari itu, ikut membelalak. Napasnya tertahan sejenak. Namun, untungnya, jemari-jemari itu dengan lancar menekan rem. Secepat sekaligus seaman yang dia bisa. Dan, sebuah pemberhentian . Seribu keberuntungan sedang berpihak pada mereka malam ini.
Kabut putih tebal menyelimuti jalan itu tiba-tiba. Dingin membalut keberadaan mereka.
"Dani, Dani!" panggil Kira pelan. "Aku nggak bisa lihat apa-apa." Salah satu tangannya melindungi resistivity meter, sedang tangan lainnya meraih ... tas Dani. Pokoknya, satu-satunya orang yang Kira kenal di situ nggak boleh kabur. Bisa jadi tumbal setan kalau sendirian sana.
Kabut mulai menipis. Entah apa yang terjadi. Dani mengucek matanya sejenak. Laki-laki pendorong gerobak tadi telah menghilang dari pandangan. Tidak percaya, kepalanya celingukan ke kanan, ke kiri. Nihil. "Kira?" Dia menoleh ke belakang. Baiklah, pacarnya masih duduk dengan aman di belakang.
Apa? Aman? Kira mendelik seolah bisa mengetahui apa yang Dani pikirkan. "Bapak dan gerobaknya hilang, Dan!"
Dani hanya mengangguk mengiyakan. Iya, dia tahu. Tidak perlu diperjelas. Meski tangannya sebeku pikirannya, laki-laki itu memutuskan untuk melajukan kendaraan. Pelan. Sehati-hati mungkin.
"Kok, jalan, sih?" bisik Kira.
Ya, terus? Mau diam di tempat sampai kapan, Neng? Dani mengembuskan napas berat. "Ini masih lurus, kok." Dani berkendara pelan mengandalkan insting. Di ingatan terakhir, jalanan masih lurus.
Kabut terus menipis sampai di belasan meter berikutnya. Kira mulai mengatur deru napasnya agar lebih normal.
Belum lewat semenit, Dani menoleh sepenuhnya ke Kira. "Kir, bensinku mau abis."
Oh, Tuhan. Cobaan apa lagi ini? Belum juga sepenuhnya tenang, Kira sudah disuguhi kejutan lagi. "Di daerah sini pasti nggak ada pom bensin, ya?" Lehernya terjulur mengintip seberapa darurat kondisi bensin mereka. Dan, Kira hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat ketika melihat jarum telah melewati garis merah yang menunjukkan batas kekosongan bensin.
"Mana ada."
"Terus, gimana?"
"Sambil jalan, coba lihat kanan-kiri. Sapa tahu ada rumah warga atau penjual bensin botolan."
Kira mengangguk mengerti.
Sepanjang perjalanan, hanya ada gelap. Hanya ada cahaya rembulan dan motor yang menerangi perjalanan mereka. Sedari tadi, kanan mereka hanyalah badan gunung yang sengaja dikikis untuk membuat jalan. Sementara itu, kiri mereka adalah jurang dalam. Jadi, kemungkinannya kecil sekali ada rumah warga atau toko kecil di sana.
"Jalanan berkelitnya bakal habis. Seingatku, habis ini kita ketemu hutan. Semoga ada penolong di sana." Dani bertutur.
Walaupun belum melihat rumah atau toko nyata, Kira merasa lega. Jalanan ini beraspal dengan lubang-lubang di tengah jalan. Kemungkinan ada kendaraan besar seperti truk yang cukup sering berlalu-lalang. Bisa juga menjadi lintasan para penggemar sepeda ontel. Kalau begitu, seharusnya ada warung kecil di antara perjalanan ini. Tentu saja sebagai tempat peristirahatan sejenak mereka.
Bagusnya lagi, hutan itu berupa lahan. Jelas sangat mungkin ada warung kecil di sana.
"Wah, sip. Ada rumah di situ!"
Mata Kira berbinar kala melihat bangunan dengan dinding yang terbuat dari gedek it. Meski gelap dari luar, pendar penerangan menyeruak keluar dari celah-celah gedek. Semoga berpenghuni. Harap Kira.
Kira dan Dani tersentak kecil bersamaan. Motor itu berhenti tiba-tiba.
"Rupanya si bensin benar-benar tidak mau bekerjasama." Kira turun dari motor. Tangannya tetap terulur memegangi resistivity meter. Kira mengikuti Dani yang menuntun kendaraan ke bangunan itu. Kakinya mulai kelu karena dingin yang teramat sangat. "Dani, kamu yakin ini tempat manusia? Jangan-jangan penampakan bangunan jin, lagi."
"Hush, ini hutan. Kalo nggak bisa ngomong yang baik, setidaknya nggak perlu ngomong kayak gitu."
Kira menepuk bibirnya sendiri. Entah kenapa mulut itu tidak bisa diam mengerem apapun yang ada di pikiran. Selalu terlontar begitu saja.
"Setidaknya, ini satu-satunya harapan kita sekarang. Atau, kita akan berjalan beberapa kilo lagi," tambah Dani.
Penasaran, Kira bertanya, "Memangnya masih seberapa jauh, Dan?"
"Tujuh kilo lagi." Dani menarik lurus kedua sudut bibirnya. Dengan jalan yang menanjak, tentu saja."
Kira menahan napas, terkejut mendengar itu.
Dani menoleh dan terkekeh mendapati ekspresi perempuan itu. "Enggak, enggak. Bentar lagi juga sampai. Tapi, sekalian buat bensin pulang."
"Ya elah. Kalau gitu sih, masih aman. Setidaknya ketika bangunan itu ternyata kosong, kita masih bisa isi bensin di tempat warga besok pagi."
"Eh? Mana bisa." Dani mengerutkan kening. "Aku harus kembali sebelum matahari terbit. Jadi, ini nanti paling istirahat bentar, terus langsung balik lagi."
"Serius, Dan. Terus, aku di Desa Kramati ambil data sendiri gitu? Jangan bercanda, ah. Nggak lucu."
"Hei, Mbakyu, siapa yang bercanda. Kan, sudah kukatakan tadi di Lab Geolistrik kalau aku hanya longgar hari ini."
"Dan," panggil Kira setelah mereka memarkirkan motor di depan rumah sederhana itu.
Mengerti omelan akan menghampirinya secara brutal, Dani segera menyahut, "Toh, ya, tiap orang yang menjalani skripsi itu akan ada tantangannya masing-masing. Anggap aja ini bagian dari tantangan itu. Daripada harus merasakan neraka yang sama lagi di semester depan? Gagal wisuda? Ya, kan? Dah, dah. Dah bener aku nganter kamu sekarang ke sini," cetus Dani panjang lebar. Berharap suraranya tidak sampai membangunkan seluruh penghuni di sini.
Ujung matanya membendung air. Rasa takut membekapnya kuat-kuat. Seribu kata yang biasanya bisa terlontar, entah bagaimana ceritanya bisa tercekat di tenggorokan. Kira benar-benar membeku di tempat. Dengan sisa kekuatan, perempuan itu memanggilnya sekali lagi, "Dan."
Hanya itu yang mampu terucap.