20 April 2017
Dean membuka pagar terburu-buru dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya berusaha menyeimbangi agar payung lipatnya itu tetap dalam genggaman sehingga air hujan tidak punya kesempatan untuk membasahinya. Namun sekuat apapun ia berusaha, setetes air hujan tetap jatuh mengenai pelupuk matanya.
"Ah sial!" Gumamnya.
"Mas kehujanan ya? Biar ibu aja Mas yang ngunci. Mandi air hangat mas, biar ndak masuk angin," kata seorang wanita sekitar umur lima puluh tahunan keluar dari pintu utama, sadar ada seseorang membuka pagar. Sementara Dean berhasil masuk dan bebas dari hujan.
"Iya bu, enggak begitu basah. Saya pakai payung kok," kemudian ia meletakkan payungnya di dekat pagar agar cepat kering. "Saya ke kamar dulu ya bu," lanjutnya.
"Iya Mas."
Kemudian laki-laki berusia 22 tahun itu masuk lewat pintu samping menuju kamar kosnya di lantai dua. Dean harus melewati dapur pribadi Ibu Kos dulu sebelum menuju tangga, dilihatnya semangkuk soto ayam. Kemudian perutnya bergetar, padahal rasa laparnya tadi hampir hilang karena fokus dengan hujan. Kemudian dia berlalu dan menaiki tangga menuju kamar kosnya.
***
Ia baru saja membilas tubuhnya, berganti baju dan duduk di belakang meja kayu.
Diseruputnya sereal coklat hangat yang sudah lima menit lalu ia seduh.
Lumayan menunda lapar. Batin Dean
Kemudian ia kembali memasang kacamatanya lalu menatap sehelai memo berwarna biru yang menempel di dinding kamar kosnya. Sementara hujan masih terdengar jatuh bertubi-tubi di atap, menderu kencang.
Jum’at, 21 April 2017 -> Interview ke Australia. One step closer!
Tulisan pada selembar memo biru tadi.
"Ah iya, hape gue lowbatt!" Tatapannya buyar lalu buru-buru bangkit dari tempat duduknya dan merogoh ponselnya di tas. Ia sambungkan kabel chargernya yang sudah menempel di terminal ke ponselnya. Ponselnya kemudian menyala dan suara tanda pesan masuk bertubi-tubi.
Dua panggilan tak terjawab dan satu pesan masuk dari yang Dean namai dengan: Mama. Sisanya pesan dari berbagai grup. Maklum Dean mahasiswa yang aktif di kampusnya. Join UKM entrepreneur, klub bahasa inggris, berbagai kepanitiaan sampai grup santai teman-temannya.
Dean hampir membuka pesan mamanya, tetapi kemudian seseorang disana memanggil Dean lewat aplikasi video call WhatsApp. Panggilan itu dari yang Dean namai dengan: Kieran.
"Dean!!!" Perempuan di layar ponsel Dean menyapanya dengan wajah sumringah.
"Hai sayang!" balas Dean sembari tersenyum, perempuan itu ikut tersenyum.
"Kehujanan ya? Aku baru sampai rumah," wajah perempuan itu agak blur di layar ponsel.
"Kenapa enggak bersih-bersih dulu?" ujar Dean
"Ah entar, aku lagi nunggu air hangatnya matang buat mandi."
"Oh..." Dean tersenyum lagi.
"Doain aku besok ya, Ran. Besok seleksi tahap kedua. Semoga aku bisa lolos masuk ke tahap terakhir dan bisa berangkat ke Australia."
"Jauh deh kamu..." Jawab Kieran.
"Setahun aja kok, itu juga kalau keterima, hehe. ‘Kan setahunnya lagi tetap di Jogja,"
ujung kiri bibir Kieran tertarik, menandakan senyuman seadanya.
"Eh aku mandi dulu ya. See you! Istirahat aja, Yan."
"Oke, see you too Kieran," jawab Dean.
Ia merebahkan tubuhnya di kasur single bed khas anak kos. Pikirannya gundah, hatinya menggebu-gebu ingin menyukseskan kelanjutan studi S2nya di Australia tetapi Kieran tidak pernah mendukungnya akan hal itu. Kieran takut jauh dari Dean, entah hal apa yang ia takutkan kalau harus jauh. Sebenarnya hal sepele untuk dihadapi Kieran dan Dean yang sudah dewasa. Dia sudah berkali-kali menjelaskan mimpi besarnya ini tetapi seolah Kieran menunjukan ketidak setujuannya dengan tidak peduli. Entah apa yang ada di hati Kieran. Perempuan itu begitu sulit. Kenapa dia tidak bicara saja apa maksudnya daripada bersikap acuh. Bukankah lebih mudah?
Ah Kieran. Kenapa kamu enggak pernah berpikir dewasa sih. Padahal ini untuk masa depanku.
Ringtone ponsel Dean kembali berbunyi, layarnya menyala bertuliskan: Incoming call Mom
"Ah iya lupa lagi gue, tadi ada WA—WhatsApp dari nyokap.” Ia segera mengangkat teleponnya merasa menyesal lupa membalas pesan dari mamanya.
"Iya Ma."
"Kemana aja, Yan. Kok Mama chat enggak dibalas sih?"
"Hape Dean habis baterai Ma. Ini lagi di charge."
"Sudah makan?"
"Sudah," ujar Dean sambil membayangkan soto di meja makan Bu Kos tadi kalau nanti mamanya bertanya ‘makan pakai apa.’ Dean menyebut ini sebagai berbohong demi kebaikan.
"Ma besok Dean ada interview. Doain ya Ma Dean lolos dan bisa berangkat ke Australi."
"Sudah Mama doain, Yan. Besok Mama mau sholat juga khusus doain kamu. Jam berapa mulainya?"
"Jam sepuluh Ma."
“Memang masih berapa tahap seleksi lagi sih?”
“Besok itu kan interview. Kalau lolos tahap interview, baru presentasi di depan dosen besar dari Australia langsung,” Dean menjelaskan.
“Presentasinya kapan?”
“masih dua bulan lagi.”
“Terus, kamu kapan pulang, Dean? Kamu kan sudah wisuda. Mbo’ ya istirahat dulu sini pulang ke rumah,”
“Dean masih ada rencana ikut workshop, jadi belum tahu bisa pulang kapan,” keheningan sempat terjadi di antara keduanya. Kemudian mama kembali bicara,
“yaudah enggak usah tegang interviewnya. Santai aja, kamu udah persiapan banyak. Perbanyak doa ya, Yan.”
“Iya...”
"Udah istirahat. Ayahmu masih di jalan. Disini hujan banyak nyamuk, he-he."
"Disini juga hujan.”
"Yaudah, udah ya." Sebelum mama Dean memutus teleponnya, suara dari sana terdengar,
Mas Dean jelek!!!
"Adekmu." ujar Mama Dean
Dean tersenyum. Sudah kebiasaan kalau Dean dan mamanya sedang menelepon, akan ada suara adiknya yang beda empat tahun itu meledek dari balik telepon. "Ngapain sih?! Diva gendut!" balas Dean agak keras, agar Diva bisa mendengarnya.
"Yaudah ya, Yan. Istirahat."
"Iya Ma." Dean kemudian memutus sambungan.
Ia kembali menatap sehelai memo biru di dindingnya. Darahnya bagai mengalir deras, pupil matanya melebar. Tanpa sadar bibirnya yang tipis tertarik, tersenyum dari hati. Semangatnya kembali menggebu. Doa dari wanita jauh disana yang selalu menemani hari-hari Dean di Jogja bagai hidup dan mengantar Dean sampai ke tahap kesuksesannya sebagai mahasiswa berprestasi seperti sekarang. Keresahannya akibat Kieran seperti terkubur begitu saja. Dean selalu suka ucapan Mama, Dean selalu suka kalau Mama sudah mendoakannya. Seolah jalan keluar dari semua masalahnya.
***
21 Mei 2017
Diva memasukan piyama, kerudung dan handuk milik mama ke dalam tas tenteng berwarna hijau secara terburu-buru. Tidurnya yang hampir lelap tadi terbangun karena suara mama muntah di kamar mandi. "Div, siapin baju mama. Takutnya mama disuruh rawat inap." Suara ayah agak bergetar, raut wajahnya masih sangat lelah. Baru saja satu jam yang lalu ayah tiba di rumah dari kantor. "Udah, Yah," balas Diva. Ayah kemudian buru-buru menstater mobil, mama tergopoh di tuntun Diva menuju mobil sambil memegangi plastik kalau nanti akan muntah lagi di jalan.
Jam menunjukan setengah dua belas malam. Mereka menembus udara malam dalam situasi genting. Jalanan sudah sunyi, hanya beberapa mobil mewah yang kelihatannya si pemilik mobil baru pulang kantor bersama sorot lampu jalanan yang menemani . Suara sayup-sayup lagu di radio terdengar di tengah keheningan di dalam mobil, ayah mengecilkan volumenya, sekarang nyaris tidak terdengar.
Momen mama sakit seperti ini bukan pertama kali terjadi. Masih jelas di memori Diva, mama sudah sering seperti ini dan harus dibawa ke rumah sakit. Itu kenapa dia bisa sangat sigap mengemasi keperluan mama. Maag kronis mama sudah menjadi tamu setiap tahun. Diva hanya bisa menahan pilu, sambil memikirkan tugas kuliahnya untuk besok.
"Besok Diva enggak usah kuliah dulu ya. Temenin mama. Ayah enggak bisa ninggal kerjaan," kata ayah yang baru keluar dari ruang ICU.
"Iya," ujar Diva lirih. Sementara mama terbaring di ruang ICU menunggu perawat membawa beliau ke ruang rawat inap. Diva mendekat ke mama, keadaannya mulai membaik setelah dipasang infus.
"Masih mual Ma?"
"Sedikit," mama masih berusaha terlihat kuat nampaknya. Mata beliau berair, sesekali bersendawa seperti orang mau muntah.
Kini jam menunjukan pukul satu pagi.
"Nanti aku enggak kuliah." Diva kemudian duduk di samping bed mamanya.
"Kenapa enggak kuliah?" Nada mama seperti berbicara mama-baik-baik-saja-kok
"Jagain mama," mendengar jawaban Diva, mama hanya diam.
Kemudian tidak lama, dua orang perawat laki-laki menghampiri mama dan Diva bersama ayahnya yang baru saja mengurus pendaftaran di meja resepsionis. Diva terlihat begitu sigap mengangkat barang bawaannya. Kemudian mereka menuju ke lantai lima, lantai khusus kamar rawat inap.
***
Diva, ayah dan mamanya baru saja melewati malam yang begitu melelahkan, malam yang terjadi setiap tahun. Bersyukur mereka hidup dalam tim yang kompak. Malam yang sudah pernah terjadi namun sakitnya masih sama. Dan selalu tanpa Dean
Mama sudah terlelap di balik selimutnya dengan infus menggantung di sampingnya. samar-samar garis halus tidak bisa membohongi usianya terlihat dalam sorotan lampu kecil di kamar. Diva tidur di samping mama sementara ayah di sofa. Ruangan dingin dari AC kamar menusuk tulang jari-jari kakinya, membuat ia tidak bisa tidur.
Ia terlihat sedikit meneteskan air mata sambil menahan agar suara isakannya tidak terdengar. Pikirannya bagai beradu dengan hatinya sekarang.
Sudah dua bulan terakhir Diva harus menunda segala kegiatan kampusnya di Depok kecuali kegiatan akademik. Waktunya banyak dihabiskan merawat mama di rumah, sampai akhirnya mama tumbang pada malam ini. Diva mungkin paling muda di keluarganya, terlihat paling manja atau tidak seambisius Dean yang kuliah merantau. Tetapi hatinya begitu kuat, hidupnya family oriented. Baginya, membahagiakan orang tua adalah yang utama sisanya biar mengikuti keberkahan dari membahagiakan orang tua itu sendiri. Fisiknya mungkin berkata kuat namun jiwa dan hatinya lelah. Diva sering menangis dalam tidurnya, mengapa Mas Dean terlalu asik dengan dunianya. Mas Dean tidak pernah tahu apa yang selama ini terjadi di rumahnya, pertengkaran ayah dan mama, mama yang sakit-sakitan bahkan menangis diam-diam dalam shalatnya. Diva pernah lihat lebih dari dua kali. Mungkin ini sebab penyakit mama. Terlalu khawatir akan Mas Dean di Jogja. Hal-hal itu yang membuatnya berpikir, ayah dan mamanya seolah menyayangi Mas Dean lebih darinya, kedua orang tuanya seolah menutupi hal-hal tidak menyenangkan di rumah agar menjaga Mas Dean untuk tenang disana. Bagi Diva, hal ini justru membuat Mas Dean jadi enggak peduli dengan keluarga. Pulang ke rumah bahkan hanya setahun sekali. Ada apa sih di Jogja? Diva tahu Mas Dean laki-laki, tanggung jawab di punggungnya berat, ia sedang sibuk menata masa depan. Diva tahu Mas Dean merantau ke Jogja sendirian tanpa satupun keluarga disana. Namun hati Diva selalu memberontak, bisakah Mas Dean membuka sedikit mata dan hatinya? Untuk apa keberhasilan dirinya tetapi dia tidak berhasil meluangkan sedikit waktunya untuk orang-orang paling berjasa di hidupnya. Mas Dean selalu mengatas namakan masa depan terhadap keegoisannya.
Diva lalu mencari ponselnya, ia letakkan tadi di laci kamar rumah sakit. Antara lelah, kesal dan sedih, yang jelas Diva dalam emosi yang tidak stabil. Jari jemari Diva terlihat beradu di layar ponsel seperti mengetik sesuatu. Ia terlihat menarik napas lalu membuangnya, lega membuang emosinya. Kemudian Diva memasukkan kaki dinginnya di balik selimut yang mama pakai, lalu ia pejamkan matanya. Berharap saat dia terbangun ketidak adilan ini akan selesai.
***
Krit....
Suara pintu kamar berdenyit seraya Diva melangkahkan kakinya masuk ke kamar rawat inap mama. Ia baru saja membeli sepaket ayam pedas di kantin rumah sakit lantai bawah. TV kamar menyala namun mama tidak fokus ke tv, mungkin hanya untuk meramaikan ruangan.
"Beli apa Div?" sahut mama.
"Ayam Ma."
“Yaudah dimakan dulu. Dari semalam belum makan. Nanti malah kamu yang sakit,”
"loh, mama aja belum makan tuh," Melihat catering di meja masih sangat rapih, Diva khawatir. "Makan dulu Ma."
"Mama kok mual ya mau makan?"
"Dikit-dikit aja," Diva membukakan plastik catering dan mulai menyuapi mama. Menu siang ini bubur, sup ayam dan potongan buah melon rupanya.
Krit…
Suara pintu kamar kembali berdenyit, Diva masih fokus pada sesendok bubur di tangannya yang akan ia sodorkan ke arah mama namun dari dekat, Diva bisa melihat pupil mata mama membesar ke arah datangnya suara pintu.
“Loh?Dean?” ucap mama terlihat tidak percaya.
Kini Diva bagai menyaksikan scene pada sebuah film. Kakaknya, sang penuh prestasi itu datang dengan tas besarnya, keringat mengalir di pelipisnya kemudian melewati gagang kacamata hitamnya. Seolah sangat berjuang keras.
Cih. Batin Diva. Nampaknya dia masih terbawa emosi semalam.
Dengan setelan kaos, kemeja flannel dan jeansnya, Dean langsung memeluk Mama, “Ma..” suaranya terdengar terisak. Diva hanya termenung melihat scene film itu. Hatinya bergetar. Ia tidak menyangka pesan singkatnya semalam akan mengantarkan kakaknya itu sekarang. Sejak kapan dia peduli keluarganya? Ada apa?
“Maaf Ma, Dean baru pulang sekarang,” ujar Dean. Mama melirik Diva dalam pelukannya bersama Dean. Seperti mengerti siapa dalang dari kepulangan Dean. Diva tersenyum kepada mama, begitu juga dengan mama.
“Enggak apa-apa. Kamu lagi mengejar masa depan. Mama enggak mau ganggu.”
“Kesuksesanku selama ini berkat mama. Dan juga masa depanku.”
Mendengar ucapan Dean, amarah Diva dikalahkan oleh air mata. Setetes air suci itu mengalir dari matanya. Diva tidak pernah tahu, ternyata Dean menyimpan perasaan itu.