Seorang laki-laki tampak sedang mengancing kembali celana panjang hitamnya. Tak lupa ia memakai kembali kemeja putihnya dan merapikan penampilannya.
Ia baru saja menyelesaikan 'permainan' nya dengan perempuan 'langganan'-nya.
Di belakangnya, seorang perempuan berambut pirang juga sedang duduk sambil merapikan penampilannya. Ia mengancing kemeja putihnya yang terbuka, setelah itu merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Hei,Shiro..."
Cowok berambut putih itu mendecak kesal. "Ini masih di sekolah, Akira. Kalau mau lanjut main, nanti malam, OK? Akan kubayar sekalian dengan tarif nanti malam,"
"Bukan itu. Aku punya permintaan," kata Akira.
"Permintaan apa?"
Akira melingkarkan tangannya ke leher Shiro, memeluk lelaki itu dari belakang, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Shiro, berbisik dengan nada seduktif, "Kau anggota klub Kurotake,kan?"
Shiro mendecak. "Tapi aku asal bergabung saja di sana, bukan murni karena keinginanku sendiri,"
Akira tersenyum. "Kalau kamu mau mengabulkan permintaanku ini, aku akan menggratiskan tarifku saat main denganmu. Terserah mau berapa ronde,"
Mata Shiro membelalak mendengar ucapan perempuan itu.
"Bagaimana? Kau mau?"
Shiro tersenyum miring. Siapa laki-laki yang tidak tergiur dengan penawaran semacam itu?
Ia melepaskan tangan Akira yang memeluknya dari belakang. Tangan Shiro mengelus wajah Akira dengan lembut.
"Kalau begitu...apa yang bisa kulakukan untukmu, sayang?"
Akira menunjukkan foto yang ada di layar ponselnya. "Namanya Chihaya Hamada, kelas 10-1. Dia sudah merebut Mamoru, laki-laki yang kusukai. Aku ingin kau melakukan sesuatu yang membuatnya menderita dan hancur!"
****
Keseharian Chihaya berubah dengan perhatian dan kehadiran Shiro. Setiap kali Chihaya membutuhkan Shiro, Shiro akan langsung menghampirinya. Dia lelaki yang menepati janjinya dan bersedia melakukan berbagai hal untuk memperbaiki suasana hatinya. Ia selalu bersedia mendengarkan setiap kali Chihaya bercerita atau curhat tentang masalah yang dihadapinya. Tidak hanya memberikan perhatian dan waktunya, tapi juga memberika Chihaya barang seperti gelang dan juga komik.
Chihaya sebenarnya tidak terlalu suka membaca komik, namun ia akhirnya memilih menyimpannya untuk menghargai Shiro.
Sudah satu bulan Chihaya dan Mamoru tak saling bicara. Mamoru tak pernah lagi menjemput gadis berkepang itu ke kelas atau mengajaknya pulang bersama. Setiap kali melihat Mamoru, Chihaya juga selalu menghindar.
Namun, selama beberapa bulan menjalin hubungan dengan Shiro, Chihaya pun mengetahui sifat asli cowok itu. Cowok berambut putih yang ia kira baik dan perhatian perlahan berubah menjadi agresif. Shiro beberapa kali pernah melakukan sentuhan fisik tanpa persetujuan Chihaya, seperti memegang tangannya, merangkul, dan mencium.
Shiro juga sangat posesif. Shiro mulai mengekang kehidupan Chihaya. Chihaya hanya boleh pergi ke mana pun bersamanya. Ia melarang Chihaya pergi bersama dengan teman-teman sekelasnya atau teman di klub Kurotake. Chihaya bahkan tidak diperbolehkan pergi untuk kerja kelompok.
Chihaya tidak peduli. Ia tetap pergi ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Namun lelaki itu terus-terusan menghubunginya. Chihaya merasa tak nyaman. Ia mulai tak suka dengan sikap Shiro. Setiap kali ia berusaha menjelaskan, cowok itu tidak mau mendengarkannya. Setiap kali marah, ia suka memaki Chihaya dengan kata-kata kasar dan menyakitkan.
Suatu hari Shiro memaksa Chihaya menemaninya. Chihaya yang tak ingin bertengkar memilih menurutinya. Di luar dugaan, ternyata Chihaya dibawa ke sebuah klub malam. Tempat itu sangat ramai. Cahaya lampunya begitu temaram. Beberapa orang minum, tertawa, mengadakan transaksi, dan sisanya menari mengikuti dentuman musik yang terdengar memekakkan telinga.
Chihaya melihat perempuan yang menari rata-rata memakai pakaian seksi dan minim. Sementara Chihaya memakai baju terusan berwarna merah dengan motif kotak-kotak dan kerah putih polos dengan renda kecil di bagian ujung. Ia juga memakai stocking hitam dan sepatu kets putih.
"Shiro, untuk apa kita ke sini?" tanya Chihaya dengan suara sedikit keras. Raut wajahnya khawatir melihat pemandangan menjijikkan yang membuatnya tak nyaman.
"Ini tempat yang bagus untuk bersenang-senang. Kau belum pernah ke tempat seperti ini,kan?" balas Shiro. Ia menarik paksa tangan Chihaya ke salah satu meja yang kosong di sudut. Sambil memainkan ponsel, lelaki berambut putih itu memesan segelas vodka, sementara Chihaya yang tidak ingin mabuk memilih memesan strawberry float.
Beberapa saat kemudian, Shiro mulai mabuk. Matanya sayu. Wajahnya memerah. Ia kemudian memojokkan Chihaya ke tembok. Pemuda itu melingkarkan tangannya ke leher Chihaya, bahkan bibirnya mulai menciumi wajah Chihaya dengan rakus.
"Uh...S-Shiro! Hentikan!" Chihaya kaget dengan perilaku Shiro. Bau alkohol dari mulut cowok itu membuatnya ingin muntah. Chihaya mencoba memberontak untuk melepaskan diri dari cengkeraman cowok itu, namun ternyata tangan Shiro menahan tubuh Chihaya lebih kuat.
Chihaya tak sengaja melihat ke arah ponsel Shiro yang diletakkan di atas holder lipat di salah satu sudut di ujung meja. Gadis itu kaget ketika mengetahui Shiro ternyata merekam dirinya sendiri yang tengah mabuk dan berusaha melecehkan Chihaya. Chihaya memberontak, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Shiro. Shiro pun menjadi semakin agresif. Bibir Shiro mulai menciumi leher Chihaya, tangannya mulai menyusup ke dalam pakaian Chihaya, membuka kancing bajunya dengan paksa, dan meraba-raba bagian dadanya. Chihaya mulai ketakutan. Ia tak berdaya. Air matanya mulai menggenang.
Saat itulah pertolongan datang. Seorang lelaki berambut cokelat mendorong Chihaya sehingga ia terlepas dari cengkraman Shiro. Kemudian datang lelaki lainnya yang menghajar Shiro hingga jatuh ke lantai.
"Bajingan!"
Lelaki berambut cokelat tadi langsung menarik Chihaya keluar dari dalam klub. Chihaya kaget saat mengetahui siapa lelaki itu.
"Ryuto-senpai?" tanya Chihaya. Ia langsung menghapus air matanya dan merapikan penampilannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Ryuto langsung menginterogasi Chihaya. Sorot matanya terlihat cemas. "Bisa-bisanya kau mau diajak pergi ke tempat seperti ini!"
Belum sempat Chihaya menjawab pertanyaan Ryuto, cowok yang tadi menghajar Shiro keluar dari bar. Chihaya ternganga ketika mengenali sosoknya.
"Yukio-senpai?"
"Bagaimana bisa kamu dekat dengan Shiro?!" cecar Yukio. "Kenapa sekarang kamu pergi dengan cowok itu? Apa kau mempermainkan Mamoru? Apa kau berpacaran dengan Shiro?"
Mendengar nama ketua Klub Kurotake itu disebut membuat Chihaya membuang muka sambil menghela napas.
"Kau sudah gila?! Shiro itu berbahaya!" kata Yukio cemas.
"Yukio, cukup!" tegas Ryuto. Lelaki yang bekerja sampingan sebagai model remaja itu sepertinya paham kalau Chihaya sedang dalam situasi kebingungan.
"Ada apa, Chihaya?" tanya Ryuto, kali ini dengan suara yang pelan. "Apa yang terjadi? Kau dan Mamoru bertengkar?"
Chihaya menelan ludah. Pertanyaan Ryuto tepat sasaran. Ia mengangguk pelan.
"Lalu kenapa kau mau diajak pergi oleh Shiro?" tanya Yukio. Pemuda berjaket merah itu terlihat frustrasi. "Dia cowok yang berbahaya! Kau tidak ingat apa yang dia lakukan pada Klub Kurotake?"
Ah, Chihaya benar-benar menyesali kebodohannya sekarang. Ia menunduk semakin dalam, tak mampu membantah Yukio.
Ryuto dan Yukio saling berpandangan. Ryuto kemudian menepuk pundak Chihaya.
"Ikut aku dan Yukio. Kita pergi dari sini sekarang, mumpung dia sedang tidak sadar. Akan kami beritahu orang seperti apa Shiro itu," perintah Ryuto mutlak.
****
Chihaya tak mengira akan dibawa oleh kedua kakak kelasnya itu ke rumah Yukio. Chihaya yang belum pernah berkunjung ke rumah Yukio ternganga, takjub saat melihat wujud rumah kakak kelasnya yang dijuluki 'Sultan Klub Kurotake' itu.
Rumahnya sangat mewah dan terlihat seperti istana. Dindingnya bercat putih dengan sedikit kuning pucat. Halamannya sangat luas, dengan rumput hijau dan bunga-bunga yang ditata rapi, lengkap dengan lampu taman yang menyala. Di tengah halaman tersebut terdapat sebuah bonsai setinggi pinggang orang dewasa.
Pilar-pilar raksasa yang menopangi bagian depan rumah itu, juga lampu gantung antik yang mewah mengingatkan Chihaya pada salah satu rumah yang pernah ia lihat di sinetron.
Chihaya pernah mendengar dari Ouka, kalau keluarga Yukio merupakan keluarga konglomerat yang memiliki beberapa pabrik konveksi dan bisnis kontaktor. Perusahaan milik keluarga Miyazawa juga bekerja sama dengan seorang pengusaha keturunan Perancis-Indonesia untuk mengembangkan bisnis real-estate dan properti. Chihaya baru-baru ini mengetahui kalau kompleks perumahan tempat tinggalnya merupakan salah satu perumahan milik anak perusahaan keluarga Miyazawa.
Harta kekayaan keluarganya tentu lebih dari cukup untuk membangun rumah sebesar itu. Yukio kabarnya juga dipersiapkan untuk menjadi penerus bisnis keluarganya.
Seorang pelayan muncul dan membungkukkan badan. Setelah berbicara dengan Yukio selama beberapa detik, ia menuntun mereka masuk ke dalam rumah.
Mereka masuk ke dalam rumah. Di ruang utama ada sebuah lampu gantung berukuran besar yang terbuat dari emas. Chihaya dan Ryuto mendongak, terpesona dengan kemewahan rumah Yukio.
Yukio menuntun mereka ke ruang tamunya. Ruang tamunya sangat luas. Dindingnya dihiasi oleh lukisan-lukisan dengan aliran seni yang tinggi. Di setiap sudut ruangan, terdapat guci-guci keramik antik. Selain itu ada sebuah meja kaca di tengahnya.
Mereka langsung duduk di atas sofa biru yang panjang dan besar.
Yukio sempat membisikkan sesuatu pada pelayannya sambil menunjuk Ryuto dan Chihaya. Pelayan itu mengangguk lalu bergegas pergi ke arah dapur.
Tak berapa lama pelayan itu kembali dengan membawa nampan berisi beberapa gelas teh dengan piring berisi beberapa roti melon. Lelaki berambut hitam dan berkacamata itu mengucapkan terima kasih, setrlah itu pelayan tersebut pergi meninggalkan mereka. Setelah dipersilakan oleh Yukio, Chihaya dan Ryuto pun mengambil roti itu dan memakannya.
"Jadi, Chihaya, bagaimana kau bisa berada di klub malam tadi?" tanya Yukio sambil menatap Chihaya.
Chihaya terpaksa menceritakan bagaimana awal hubungannya dengan Shiro, hingga berada di klub itu. Chihaya mengatakan kalau awalnya ia tidak nyaman berada di sana, namun Shiro memaksanya untuk menemaninya minum, hingga situasi tak menyenangkan itu terjadi.
Yukio dan Ryuto saling berpandangan ketika mendengar ucapan Chihaya. Yukio lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Chihaya berdua bersama Ryuto.
Tak lama kemudian pemuda bertubuh tambun itu kembali dengan sebuah map hitam. Ia menaruhnya di atas meja, di hadapan Chihaya, lalu membukanya.
Di dalamnya ada banyak sekali foto-foto Shiro.
"Kami, pengurus Klub Kurotake, sudah lama berurusan dengan Si Rambut Putih ini. Sejak ia membakar lemari di ruang Klub Kurotake, aku dan Mamoru mengawasinya. Aku juga mendapat beberapa fakta yang mengerikan tentangnya," kata Yukio. Ia lalu menunjukkan foto-foto Shiro yang memakai seragam SMP dan SMA.
"Mantan anggota klub Kurotake yang satu ini berbahaya. Selain dari informan yang kubayar, aku juga mendapat informasi tambahan dari Jiro Kazuma,"
Chihaya tentu mengenal Jiro Kazuma. Dia anak kelas 10-3 dan juga anggota Klub Kurotake. Ia cowok bertubuh tinggi (sama seperti Yuji) dan berambut cepak. Cowok itu jarang hadir di klub karena dia sibuk mengikuti olimpiade sains mewakili SMA Sakura.
"Jiro kebetulan dulu satu sekolah dengan Shiro saat SMP. Ia menceritakan kalau reputasi cowok ini sangat buruk. Ia murid yang bandel dan sering berurusan dengan guru BK. Dia suka bolos pelajaran, membuat onar, dan kabarnya dia punya koneksi dengan mafia dan gangster. Ayahnya adalah pemilik beberapa klub malam di Cibubur,"
Tubuh Chihaya gemetar. Ia tidak percaya saat mendengar fakta yang diungkapkan Yukio, juga saat melihat foto-foto yang terpampang di depannya.
"Dia suka minum alkohol, padahal masih di bawah umur," Yukio menggelengkan kepalanya, mengambil beberapa foto lain. "Dia juga suka main perempuan. Dia suka datang ke klub dan menyewa beberapa wanita panggilan untuk bermain dengannya,"
Perut Chihaya terasa mual mendengar penuturan Yukio.
"Aku dan Ryuto —kebetulan Ryuto tadi ke klub karena ada undangan dari salah satu rekan kerjanya di dunia hiburan— mendapat info tentang perempuan yang dekat dan pernah tidur dengan Yukio. Dua di antaranya ternyata murid SMA Sakura. Kau tahu siapa?"
Chihaya menggeleng.
"Akira Naomi dan Miko Hanazawa," Ia menunjukkan foto Akira dan Miko yang ternyata juga ada di dalam file itu. Chihaya terkejut luar biasa, sampai-sampai ia menutup mulut dengan tangan. Ia ingat, gadis itu dan teman-temannya pernah merundungnya di ruang loker.
"Akira Naomi menyuruh Shiro menyusup menjadi anggota Klub Kurotake," jelas Ryuto. "Ia ingin balas dendam padamu, karena Akira tak terima Mamoru berpacaran denganmu. Shiro melecehkanmu bukan karena keinginannya sendiri, tapi karena perintah Akira,"
Yukio memutar bukti rekaman suara yang ada di ponselnya. Ia mendapat rekaman itu dari Ouka. Terdengar dengan jelas suara Akira dan Shiro yang berencana melecehkan Chihaya.
Tangis Chihaya pecah begitu mendengar bukti rekaman itu. Ia benar-benar syok. Ia sama sekali tak percaya dengan kenyataan yang baru ia dengar.
Akira...? Jadi...Shiro selama ini punya hubungan dengan Akira? Jadi Shiro mengajaknya ke klub malam karena ia sudah bersekongkol dengan Akira untuk menjebaknya?
Setelah kedua kakak kelasnya menjelaskan semua kebusukan Shiro, mata gadis itu terbuka lebar. Ia menyadari kalau semua kebaikan, perhatian, dan hal yang dilakukan Shiro padanya selama ini ternyata palsu. Shiro sengaja mendekatinya hanya untuk menjebaknya. Ia tak menyangka kalau Akira dan Shiro memiliki niat jahat padanya.
Seandainya tadi Ryuto dan Yukio tidak menyelamatkannya, apakah Chihaya akan menjadi korban Shiro selanjutnya?
Yukio lalu menutup mapnya. Ryuto diam, tidak mengatakan apapun.
"Sekarang, kau paham kenapa kau harus menjauh dari Shiro?" tanya Yukio.
Chihaya mengangguk sambil mengelap air matanya dengan tisu.
"Gomen ne, Senpai," kata Chihaya pelan. "Maaf karena aku sudah salah. Maaf karena aku jadi merepotkan kalian. Terima kasih... kalau bukan karena Ryuto-senpai dan Yukio-senpai yang menyelamatkanku, entah bagaimana nasibku..."
"Jangan terlalu dipikirkan," balas Yukio.
"Santai saja,Chihaya," balas Ryuto. "Tapi, seharusnya kamu minta maaf juga pada Mamoru,"
"Tapi dia..." Chihaya akhirnya menceritakan tentang hubungannya dengan Mamoru yang merenggang karena mengira pemuda itu merusak kipas uchiwa miliknya.
"Mamoru bukan orang yang merusak kipasmu, Chihaya," ujar Yukio, diikuti anggukan kepala Ryuto.
"Eh?" Chihaya kaget. "Jadi...bukan dia yang merusaknya?"
"Tentu saja bukan!" jawab Ryuto sambil memukul lengan sofa. "Kau tidak memerhatikan bagian kipasmu yang patah, ya? Tidak mungkin kipasmu akan patah seperti itu kalau bukan karena seseorang sengaja mematahkannya!"
"Jadi Senpai tahu siapa pelakunya?" tanya Chihaya.
"Izumi,"
"Eh? Apa?!" Chihaya kaget.
"Izumi itu juga iri padamu karena dekat dengan Mamoru," jelas Yukio. "Tapi bedanya dengan Akira, dia tidak berniat menyakitimu,"
Chihaya manggut-manggut. Sejak bunkasai, gadis yang merupakan saudari kembar Akemi itu selalu bersikap dingin setiap berpapasan dengannya. Terlebih lagi, Chihaya mendengar kalau ia ditolak saat menyatakan perasaannya pada Mamoru.
Ah, gadis berkacamata itu pun jadi merasa bersalah karena sudah berprasangka buruk pada Mamoru.
"Setelah ini kusarankan kalian meluruskan kesalahpahaman kalian," saran Ryuto sambil menatap Chihaya. "Juga memperbaiki hubungan kalian berdua,"
Chihaya mengangguk. "Ya, Senpai,"
Sementara itu Yukio melihat jam di layar ponselnya.
"Ah, sudah jam sembilan. Kau sebaiknya pulang, Chihaya, ini sudah malam,"
Chihaya langsung tersadar dan melihat ponselnya. Yukio benar.
"Kau mau kuantar pulang?" tawar Yukio.
"Eh, t-tidak usah, Senpai!" tolak Chihaya halus. Ia merasa sungkan. "Nanti merepotkan!"
"Kau perempuan, tidak baik pulang malam sendirian," kata Ryuto. "Belum lagi kalau tiba-tiba Shiro mencarimu,"
Chihaya bergidik mendengar nama Shiro disebut. Ia pun menyebutkan nama kompleks perumahan dan nomor rumahnya.
"Baiklah, ayo berangkat!"
****
Malam itu Yukio dan Ryuto mengantar Chihaya dengan mobil Toyota Vios milik Yukio.
"Kurasa bajingan itu tidak akan mencari Chihaya," ralat Yukio yang memegang setir. Chihaya duduk di sampingnya, sementara Ryuto duduk di belakang. "Dia justru akan mencari ponselnya yang kita ambil,"
Chihaya dan Ryuto terkejut ketika melihat Yukio mengacungkan ponsel milik Shiro.
"Bagaimana bisa ponsel itu ada di tangan Senpai?" tanya Chihaya.
"Saat aku menghajarnya tadi, aku sekalian mengambilnya. Lagipula, di ponselmu ini ada videomu saat dilecehkan oleh Shiro tadi,kan?. Aku mengambilnya karena takut si bajingan itu menyebarluaskannya,"
Chihaya terbengong.
"Te-terima kasih...Senpai..." ucap Chihaya pelan.
"Tidak masalah. Oh ya, ada hal yang lupa kuberitahu padamu," ujar Yukio sambil menatap Chihaya. "Shiro juga...adalah orang yang menyebar fotomu dan Mamoru di akun gosip sekolah,"
Chihaya terperangah. Sebelum sempat menyahut, tiba-tiba terdengar lagu "Laugh Away" milik Yui Yoshioka yang menjadi nada dering ponsel milik Chihaya. Gadis berkacamata itu pun langsung membuka tas dan memeriksa ponselnya. Matanya membelalak ketika membaca nama si penelpon.
Mamoru Azai.
Setelah menarik napas, Chihaya pun menjawab panggilan itu dengan suara pelan.
"H-halo? Senpai? Oh...sekarang aku di jalan...iya...aku bersama Yukio-senpai dan Ryuto-senpai...Oh,baiklah, aku sebentar lagi sampai. Hati-hati."
Chihaya mengakhiri panggilan.
"Mamoru yang menelpon?" tanya Ryuto.
Chihaya mengangguk. "Dia menungguku di depan rumahku,"
"Rumah kalian dekat, ya?" tanya Yukio.
"Ya,"
Yukio tak menanggapi karena kini mobil yang ia kendarai sudah memasuki jalan di kompleks tempat tinggal Chihaya. Tak sulit bagi sekretaris klub Kurotake itu untuk menelusuri blok-blok rumah di perumahan tempat Chihaya, mengingat perumahan itu milik perusahaan keluarganya.
Mereka pun sampai di depan rumah Chihaya. Mamoru sudah berdiri di depan sana. Dalam sorotan lampu mobil Yukio, ia terlihat memakai jaket berwarna abu-abu bergaris merah.
Begitu mobil berhenti, Chihaya langsung turun dari mobil dan berjalan mendekati pemuda itu. Ryuto juga turun, disusul Yukio, setelah pemuda bertubuh tambun itu mematikan mesin mobilnya. Kedua pemuda itu kemudian menceritakan kejadian yang tadi Chihaya alami pada Mamoru.
Pemuda berambut ikal itu kemudian menatap Chihaya. Ia mendekati Chihaya dan memegang kedua pundaknya. Tampak kekhawatiran dalam sorot kedua matanya.
"Kau tak apa, Haya-chan? Dia tidak melukaimu, kan?"
Chihaya menggeleng.
Mamoru langsung memeluk gadis itu. Tentu saja Chihaya terkejut karena Mamoru tiba-tiba memeluknya. Namun Chihaya membalas pelukan itu. Seketika air matanya pun mengalir, antara merasa nyaman, lega, dan juga rindu.
"Takut, Senpai..."
"Ssshh, sshhh. Tak apa, Haya-chan," Dengan lembut, Mamoru menenangkan Chihaya dengan cara mengelus kepala gadis itu. "Sudah, jangan menangis. Aku di sini,"
***
Chihaya mempersilakan Mamoru masuk ke dalam rumahnya. Sementara Yukio dan Ryuto langsung pulang. Gadis berkepang itu tak lupa mengucapkan terima kasih pada kedua pemuda itu karena sudah mengantarnya.
Chihaya melepas sepatu dan stocking-nya, lalu mencuci tangan dan kakinya di kamar mandi. Sementara Mamoru menunggu di ruang tamu. Chihaya kemudian pergi ke dapur, memasak mie instan untuk dirinya dan Mamoru. Setelah jadi, ia membawanya ke ruang tamu. Ia dan Mamoru pun memakan mie dalam diam.
"Haya-chan... aku ingin minta maaf," ucap Mamoru sambil meletakkan mangkuk mie nya.
Chihaya menoleh.
"Karena aku, kau harus mengalami kejadian itu..."
Gadis berkepang itu menggeleng. "Aku yang harusnya minta maaf, Senpai. Aku sudah menuduh Senpai merusak kipasku. Aku juga terbawa emosi, tidak mau mendengar saat Senpai berusaha menjelaskan,"
"Sungguh, bukan aku yang merusak kipas itu, Haya-chan," Mamoru bersumpah. Kedua tangannya memegang bahu Chihaya. Matanya menatap Chihaya dalam.
Chihaya menaruh mangkuk mie nya. Gadis itu menunduk. Melihat Chihaya yang tampak malu, pemuda itu melepaskan pegangannya.
"Hari itu, aku baru datang ke ruang klub," jelas Mamoru. "Ruang klub kosong. Lalu aku melihat kipas Kaito Shion milikmu ada di meja ruang aktivitas. Tapi keadaannya sudah patah. Hingga kemudian, kau datang ke ruang klub untuk mencariku. Karena itu aku menyembunyikan kipas itu di belakang punggungku. Aku takut memberitahumu, takut kau mengira aku yang melakukannya. Tapi kau menarik tanganku, lalu mengira aku yang melakukannya..."
Mamoru dan Chihaya menunduk.
"Kata Ryuto-senpai, Izumi-senpai yang mematahkannya,"
Mamoru mengangguk. "Benar, aku sempat melihatnya. Yukio menunjukkan rekaman CCTV di ruang klub,"
Ah, benar. Sebagai anggota OSIS, Yukio punya akses khusus untuk bisa melihat rekaman kamera CCTV di beberapa ruangan di sekolah.
Mie instan di mangkuk mereka sudah habis. Suasana hening setelah pembicaraan itu. Keduanya saling diam, sibuk berpikir, merenungi kesalahan mereka masing-masing. Terkadang Mamoru dan Chihaya saling melirik, tapi tak tahu apa yang harus mereka katakan.
"Waktu itu, kenapa kau mencariku?" tanya Mamoru.
"Ah, waktu itu...aku mau menunjukkan sesuatu..."
Chihaya masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali ke ruang tamu sambil membawa kertas ulangan bahasa Jepang dengan nilai 98. Gadis berkepang itu menyerahkannya pada Mamoru.
"Wah, hebat!" puji Mamoru begitu menerima dan melihat kertas itu.
Chihaya tersenyum tipis. "Tadinya aku mau menunjukkan hasil ujianku, tapi karena kipas uchiwa-ku yang patah itu, aku tidak jadi menunjukkannya pada Senpai,"
Mamoru tersenyum dan mengelus kepala Chihaya. "Kerja bagus, Haya-chan. Pertahankan semangat belajarmu, ya,"
Chihaya mengangguk. Ia senang karena mendapat pujian dari kakak kelas sekaligus teman masa kecilnya itu.
"Dan permintaan maafmu kuterima,"
Senyum Chihaya semakin lebar.Namun sesaat kemudian, ia teringat sesuatu.
"Oh ya, ngomong-ngomong, Senpai tidak pulang? Ini sudah malam,lho,"
"Waduh, iya juga, ya!" Mamoru tersadar saat melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 10 malam.
"Ah iya, sebaiknya aku pu—"
Suara petir yang disusul hujan deras di luar menghentikan ucapan Mamoru.
"Hujan, ya..." ucap Mamoru pelan. Ia lalu menatap Chihaya. "Ngomong-ngomong...kamu sendirian di rumah?"
Chihaya mengangguk.
"Bibi Amaya dan Paman Shin ke mana?"
"Mereka sedang ke luar kota. Ah, Senpai kalau mau pulang, pulang saja. Aku tidak apa-apa,kok,"
Mamoru memandang Chihaya. Tiba-tiba, ia merasa tidak tega meninggalkan gadis ini sendirian di rumah.
"Kalau kau tak keberatan... boleh aku menginap untuk menemanimu malam ini?"
****