"Oi, oi, oi,oi," ujar Raiji, menirukan gaya bicara karakter Kenny Ackerman. "Apa ini? Pasangan-yang-sedang-banyak-dibicarakan-di-SMA-Sakura mampir ke kafe-ku?"
Hari itu pukul 4 sore. Mamoru dan Chihaya mampir ke kafe SABISU. Raiji menjadi pegawai paruh waktu di sana. Ia membantu mengelola usaha kafe milik kedua orangtuanya itu.
Kafe itu dibangun tepat di samping rumah keluarga Asagiri. Bangunannya tidak terlalu besar, tertutup oleh pagar kayu tinggi. Dinding luarnya bercat abu-abu, sementara di dalamnya dicat broken white. Di dalam hanya terdapat lima buah meja, dengan sepuluh buah kursi. Di salah satu dindingnya tergantung tiruan lukisan Ombak Kanagawa. Di sudut samping pintu masuk, terdapat rak untuk pajangan berbagai action figure karakter anime, di antaranya Nezuko Kamado dan Shinobu Kocho dari anime Demon Slayer.
"Kau bicara apa, sih, Raiji?" Mamoru membalas ucapan sahabatnya sejak kelas 10 itu sambil pura-pura berlagak bodoh.
"Kenapa kau bawa Chihaya ke sini?" tanya Raiji. "Kalau mau pacaran, cari tempat lain saja. Aku tidak tertarik melihat orang bermesraan,"
"Alah, bilang saja kau iri melihat orang yang berpacaran,"
Raiji melotot.
"Bercanda, Raiji. Aku dan Haya-chan benar-benar ingin belajar, kok," ujar Mamoru sambil tertawa. "Lagipula, aku dan dia sedikit trauma ke kafe sejak...kau tahu, foto kami diambil diam-diam,"
"Ah, ya sudah, silakan masuk!" Raiji yang memahami maksud perkataan Mamoru akhirnya mengizinkan mereka masuk ke dalam kafe.
"Terima kasih, Senpai," ucap Chihaya sambil tersenyum pada Raiji. Gadis berkacamata itu lalu mengikuti Mamoru, sementara matanya sibuk menelusuri ruangan kafe itu. Mereka memilih meja yang sejajar dengan tempat barista dimana Raiji berjaga. Pemuda itu memakai baju kaos berwarna biru gelap dengan tulisan SABISU COFFEE dan celana jeans panjang, serta celemek hitam.
"Kau sendirian?" tanya Mamoru pada Raiji.
Raiji mengangguk. Wajahnya tampak malas melihat dua orang yang kini digosipkan berpacaran di sekolah itu. "Sekarang, ya, aku sendiri. Malam nanti pegawai kafe yang lain baru datang,"
Lelaki yang rambutnya dicat pirang itu kemudian menyodorkan buku berisi daftar menu pada mereka.
"Menu yang paling laris di sini apa?" tanya Mamoru lagi.
"Itu, kopi susu," Raiji menunjuk kopi susu dalam kemasan botol yang ia pajang di meja barista.
"Hm, ya, kurasa nanti aku akan membelinya sepulang dari sini," janji Mamoru. "Haya-chan, mau pesan apa?"
"Matcha latte," putus Chihaya. "Mamoru-senpai?"
"Aku pesan raspberry cocktail saja,"
Raiji mengangguk paham. Ia lalu berjalan ke meja barista, dan membuatkan pesanan mereka. Mamoru kemudian mengobrol dengan Chihaya.
"Besok kau ada ujian bahasa Jepang, ya?"
Chihaya yang sedang mengeluarkan buku bahasa Jepang dari dalam tas mengangguk.
"Bab berapa?" tanya Mamoru.
"Bab tentang membaca surat," jawab Chihaya.
"Oh," Mamoru manggut-manggut. "Mari kulihat, sudah sampai mana kau menguasai materinya. Kau harus dapat nilai bagus, ya,"
Chihaya mengangguk. Mamoru selalu berharap begitu setiap kali mendengar Chihaya berkata akan melaksanakan ujian bahasa Jepang. Selama belajar bahasa Jepang bersama pemuda itu, nilainya pun meningkat, begitu juga dengan kemampuan bahasa Jepangnya.
Mamoru pun mulai mengajari Chihaya. Pertama, ia meminta Chihaya untuk membaca salah satu contoh surat yang ada dalam buku cetak bahasa Jepangnya. Surat itu ditulis menggunakan huruf Jepang. Ada beberapa kata yang menggunakan huruf kanji. Setelah membaca surat itu dari awal hingga akhir, Chihaya menanyakan arti dari huruf kanji yang ia temukan di dalam surat itu pada Mamoru. Mamoru menjelaskan artinya.
"Kalian benar-benar belajar,ya," ujar Raiji yang tiba-tiba muncul sambil menyajikan minuman pesanan Mamoru dan Chihaya.
"Memangnya kau berpikir apa yang mau kami lakukan?" tanya Mamoru.
"Ah, kau seperti tidak tahu saja," Raiji tertawa. "Kurasa sebaiknya kita mengobrol di belakang saja,"
"Haya-chan, kau tunggu di sini sebentar, ya," kata Mamoru sambil menaruh tas sekolahnya di kursinya. "Aku mau bicara sebentar dengan Raiji di belakang. Kalau kau sudah selesai mengerjakan soal, panggil aku,"
Chihaya mengangguk. "OK, Senpai,"
"Semangat belajarnya, Chihaya," kata Raiji.
****
Kini Raiji dan Mamoru berdiri di belakang sambil mengobrol.
"Yang benar saja, Mamoru?" tanya Raiji sambil tertawa. "Jadi selama ini kegiatan yang kau lakukan berdua dengan Chihaya hanya belajar bahasa Jepang?"
"Iya," jawab pemuda berambut ikal itu. Ia memiringkan kepala, heran dengan pertanyaan Raiji. "Memangnya kau berharap aku dan dia melakukan apa?"
"Kau ini seperti tidak paham orang pacaran saja," ucap Raiji untuk kedua kalinya. "Bertukar kata-kata mesra, menyentuh fisik...bukannya orang yang sedang jatuh cinta melakukan hal semacam itu,ya?"
"Mana mungkin aku melakukan itu! Bukankah kau sudah tahu aku dan Haya-chan hanya pura-pura?" balas Mamoru. "Aku sudah pernah memberitahu rencananya padamu, kan. Aku dan dia juga sudah sepakat. Aku tidak pernah melakukan apapun padanya murni atas dasar mengandalkan perasaan,"
"Yakin kau melakukannya tanpa perasaan?" ulang Raiji sambil menatap Mamoru dengan senyum menggoda. Detik kemudian ia berubah serius. "Kau pura-pura pacaran dengan Chihaya untuk melindunginya, juga dirimu sendiri setelah foto kalian tersebar. Kau tetap menjalani hubungan seperti itu, walau kau tahu itu beresiko. Tapi, entah mengapa aku berpikir, apa mungkin... kau sebenarnya ingin berada di dekat gadis itu?"
Mamoru mengerjap. Ia melihat ke dalam melalui jendela. Chihaya masih di sana, mengerjakan soal dengan serius.
Melindunginya. Ingin berada di dekatnya. Kalimat-kalimat itu berputar dalam otak Mamoru. Ia diam sebentar, berusaha mencerna semua itu. Perkataan Raiji berhasil menyadarkan Mamoru tentang perasaan sesungguhnya.
"Menurutmu, apa yang sebaiknya kulakukan?" tanya Mamoru bingung. "Bagaimana aku mengatakannya pada Haya-chan?"
"Soal itu, kau yang harus mencari tahu sendiri lebih dulu," jelas Raiji. "Kalau memang kau punya perasaan itu, baru kau sampaikan padanya. Paham?"
Menyampaikannya? Mamoru mendadak cemas. Memori-memori menyakitkan yang pernah ia coba lupakan kembali menghantui pikirannya. Rasa sakit yang pernah ia alami karena pernah ditolak harus kembali ia rasakan. Perasaan Mamoru menjadi campur aduk.
Dan kini, mau tak mau ia harus menghadapi kejadian itu sekali lagi.
Kali ini, apakah akhirnya akan sama atau berbeda?
Tangan Raiji yang menepuk bahu Mamoru menyadarkan lelaki itu dari lamunannya.
"Kau sebaiknya kembali ke dalam saja. Chihaya sepertinya sudah selesai, tuh,"
****