Pagi itu, Chihaya baru sampai di sekolah. Ia tidak langsung ke kelas, tapi berbelok ke ruang loker. Ia ingin mengambil beberapa buku pelajaran untuk mengikuti pelajaran hari itu.
Chihaya terkejut saat tiba di depan lokernya. Ia melihat pintu lokernya penuh coretan dari spidol permanen.
[Perempuan murahan]
[Tidak tahu diri]
[Kau tidak pantas untuk Mamoru!]
Chihaya tertegun membaca tulisan berisi kata kasar dan tidak pantas itu. Belum sempat Chihaya melakukan sesuatu, tiba-tiba dari arah kiri tiga orang gadis mendatanginya. Mereka berhenti di hadapan Chihaya, menatapnya dengan tajam sambil melipat tangan.
Seorang gadis yang rambutnya dicat pirang maju dan mendekati Chihaya.
"Kau Chihaya Hamada?"
Mendengar ucapan gadis itu, Chihaya entah kenapa memiliki firasat buruk. Chihaya melirik papan nama bordir yang bertuliskan 'Akira Naomi' terjahit di dada kiri seragam gadis itu.
"Iya, benar," jawab gadis berkacamata itu, berusaha tetap tenang.
"Oh, kau pacarnya Mamoru, ya?"
Bibir Chihaya terkatup mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan nada sinis itu.
Reika, gadis berambut ikal coklat memandangi Chihaya dari atas ke bawah, lantas mencibir. "Kupikir kau gadis yang menarik dan modis, tapi...penampilanmu seperti ini? Apa dia tidak salah memilihmu jadi pacar?"
Chihaya menelan ludah mendengar ucapan bernada sinis itu.
"Kau merasa bangga dipilih Mamoru? Kau tahu, Akira sudah lama menyukai Mamoru dan kau seenaknya merebutnya begitu saja?!" lanjut Reika. "Sebenarnya kau punya hubungan apa dengan Mamoru?"
Tanpa menunggu jawaban Chihaya, gadis lain yang berambut sebahu dengan papan nama bertuliskan 'Miko Hanazawa' maju mendekatinya. Tanpa diduga tangannya menjambak kepangan rambut Chihaya dengan kuat dan membenturkan kepalanya ke loker. Chihaya pun mengaduh kesakitan.
"Jangan kau pikir, hanya karena Mamoru lebih memerhatikanmu, kau merasa jadi yang paling cantik di sekolah ini!" bentak Miko sambil menarik kepangan rambut Chihaya dengan kuat hingga kepalanya menghadap ke atas.
Chihaya meringis. Ia tak tinggal diam. Tangannya terulur, dan ia pun balas menjambak rambut Miko hingga teriakan melengking Miko mengundang perhatian murid-murid yang baru datang ke sekolah.
"Astaga! Itu siapa yang berkelahi di ruang loker?"
Murid-murid langsung berkerumun, memadati ruang loker. Sementara itu Miko dan Chihaya saling menjambak rambut dengan beringas, juga saling menendang. Dengan sekuat tenaga Chihaya berhasil menendang perut gadis itu hingga tubuh Miko membentur loker. Pegangan tangan Miko pada kepangan rambut Chihaya terlepas. Ia kini terduduk di lantai, memegang perutnya sambil mengerang kesakitan.
"Kau sengaja cari ribut, ya?!"
Akira maju, tangannya terangkat hendak menampar Chihaya, namun Chihaya refleks menahannya dan memelintir tangannya. Akira menjerit kesakitan. Sementara itu Reika mematung. Ia tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kedua temannya. Wajahnya terlihat ketakutan karena mengetahui Chihaya ternyata tidak selemah yang ia pikirkan.
Setelah berhasil mengalahkan Akira dan gengnya, Chihaya mengatur napasnya. Ia juga membetulkan kacamata dan merapikan seragamnya yang kusut. Ia menatap Akira dan gengnya dengan tatapan dingin.
"Ada apa ini?"
Chihaya menoleh. Mereka kaget melihat Mamoru tiba-tiba muncul dan menerobos kerumunan murid-murid. Kemungkinan lelaki itu mendengar keributan tadi.
Mamoru melihat rambut Chihaya yang tampak berantakan, begitu juga Akira dan teman-temannya yang menangis terisak-isak sambil merintih kesakitan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Mamoru sambil mendekati Chihaya. Chihaya mengangguk sambil melirik Akira.
"Mereka tadi mencoba menyerangku, jadi aku melawan mereka,"
Mamoru terenyak mendengar kalimat itu dari mulut Chihaya. Pemuda itu pun menatap tajam Akira dan kedua temannya. Hal itu tentu saja membuat mereka ketakutan.
"Apa benar kalian menyerang Chihaya?! Apa salah dia?!"
Akira, Reika, dan Miko membisu.
Kedua mata Mamoru kemudian melirik loker Chihaya yang penuh coretan. "Pasti kalian juga yang mencorat-coret lokernya, iya kan?!"
Ketiga gadis itu, juga murid-murid yang menonton mereka di ruang loker tak ada yang berani menyahut.
"Kalian gadis-gadis yang menyedihkan," kata Mamoru sambil menatap Akira dan teman-temannya dengan jijik. "Kalian sampai menyerang seorang gadis tak bersalah demi mendapat atensi seorang laki-laki dan memenuhi ego kalian,"
Ucapan itu berhasil menjatuhkan harga diri ketiga gadis itu. Sementara itu Mamoru melanjutkan perkataannya sambil mengedarkan pandangannya kepada murid-murid lain yang saat ini tengah menontonnya.
"Sekali lagi kudengar salah seorang dari kalian yang ada di sini mengganggu pacarku, akan kubalas kalian semua! Mengerti?!"
Murid-murid yang berkerumun berbisik-bisik saat mendengar Mamoru dengan terang-terangan menyebut Chihaya sebagai pacarnya.
"Pergi dari sini, sebelum aku menghabisi kalian! Yang lain juga! Bubar!"
Mendengar perintah tegas dari Mamoru, Akira dan teman-temannya cepat-cepat meninggalkan ruang loker. Murid-murid yang menonton pun membubarkan diri dan melanjutkan aktivitas masing-masing.
****
Mamoru menemani Chihaya yang berusaha membersihkan noda spidol permanen di lokernya.
"Terima kasih Senpai, sudah membelaku tadi..." ucap Chihaya pelan.
Mamoru tersenyum. "Tidak masalah, Haya-chan,"
Chihaya selesai membersihkan loker bersamaan dengan bel masuk. Mamoru pun menggandeng tangan Chihaya. Namun ia tidak mengantarkan Chihaya ke kelas, melainkan ke arah ruang kesehatan.
"Senpai, ini sudah waktunya masuk! Untuk apa ke sana?" Chihaya berusaha menolak.
"Sudah, terlambat sekali tidak apa-apa, nanti aku yang menjelaskan pada gurumu,"
"Tapi..."
"Tadi salah satu dari mereka membenturkan kepalamu ke loker,kan? Aku harus memastikan kepalamu tidak apa-apa,"
Ah, Chihaya baru paham alasan Mamoru membawanya ke ruang kesehatan. Mamoru benar, tadi Miko membenturkan kepalanya ke loker.
Sesampainya di ruang kesehatan, Mamoru dan Chihaya meminta izin pada Yuka, penjaga ruang kesehatan. Yuka mengizinkan mereka masuk. Mamoru menuntun Chihaya untuk duduk di sebuah ranjang di dalam ruang kesehatan.
Mamoru meminta salep khusus luka memar. Ia lalu berdiri menghadap Chihaya, mengelus bagian kanan kepala Chihaya. Saat jarinya menyentuh bagian pelipis, Chihaya memekik kecil.
"Tuh,kan, benar," Mamoru langsung melumuri bagian yang sakit itu dengan salep yang ada di jarinya. Sebenarnya Chihaya bisa melakukannya sendiri, namun ia akhirnya membiarkan Mamoru mengobati luka di kepalanya.
"Maafkan aku, Haya-chan," ucap Mamoru tiba-tiba.
Chihaya mengangkat kepala, memandang Mamoru.
"Kenapa...Senpai meminta maaf?"
"Karena kau dekat denganku, kau harus menerima hal ini,"
Chihaya merasa tak enak. Sejak ia memutuskan untuk terlibat dengan Mamoru dan rencananya, seharusnya ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Chihaya Hamada hanya gadis biasa, berbeda dengan Mamoru yang populer di SMA Sakura. Pasti akan ada orang-orang --terutama gadis seperti Akira dan gengnya-- yang tak menyukai hubungan mereka. Menganggapnya saingan. Membencinya. Juga menyerangnya.
"Senpai tidak salah. Aku juga yang setuju untuk membantu Senpai,"
"Tapi kamu kuat, ya," puji Mamoru. "Kamu hebat bisa melawan mereka,"
Chihaya tersenyum tipis. Ini pertama kalinya ia mendengar Mamoru memujinya. Gadis berkacamata itu bisa melawan Akira dan teman-temannya karena kebetulan pernah ikut karate di sekolah sebelumnya.
Hari itu keduanya akhirnya saling melihat sisi lain dari diri masing-masing. Chihaya melihat dua sisi Mamoru Azai. Mamoru yang terlihat menakutkan saat menghardik Akira dan gengnya karena mereka merundung Chihaya. Namun, dalam waktu singkat pemuda itu kembali tenang, kembali menjadi dirinya yang biasanya.
Mamoru juga melihat sisi lain Chihaya. Ia baru mengetahui kalau ternyata Chihaya memiliki kekuatan dan keberanian untuk membela dirinya. Diam-diam ia mengagumi 'pacar', adik kelas, sekaligus teman masa kecilnya itu.
Tak lama kemudian, Mamoru selesai mengobati Chihaya. Kedua matanya kemudian melihat rambut kepang Chihaya yang tampak berantakan.
"Kau bawa sisir rambut, Haya-chan?"
Chihaya mengangguk, lalu mengeluarkan sisir yang ia bawa dari dalam tas sekolahnya dan memberikannya pada Mamoru.
Tangan Mamoru kemudian melepaskan ikatan kepang Chihaya. Lelaki itu meminta Chihaya melepaskan kacamatanya, yang langsung dituruti olehnya. Beberapa detik kemudian, jari-jari Mamoru merapikan helai demi helai rambut lurus Chihaya yang tampak berantakan, kemudian menyisirnya. Jarak mereka berdua begitu dekat, juga sentuhan tangan Mamoru yang lembut membuat jantung Chihaya berdebar.
Apa ini? Apa yang dia lakukan? Kenapa dia mau repot-repot menyisir rambutku?
Tunggu! Dia tak hanya menyisir rambut Chihaya, tapi juga mengepangnya lagi. Tentu saja hal di luar dugaan itu membuat Chihaya tak bisa berkata-kata.
"Mamoru-senpai..." ucap Chihaya. Matanya mengerjap, antara gugup dan tidak percaya Mamoru bisa mengepang rambut seorang perempuan. "Dari mana Senpai belajar mengepang rambut?"
"Haruko-neesan," jawab Mamoru, menyebut nama kakak perempuannya. "Tapi waktu itu dia mengepang tali untuk gelang, bukan rambut,"
"Oh,"
"Sudah," ucap Mamoru setelah selesai mengepang rambut Chihaya dan mengikatnya dengan ikat rambut milik gadis itu. Chihaya kembali memakai kacamatanya, lalu melangkah ke depan cermin yang ada di ruang kesehatan. Ia terpana melihat hasil kepangan Mamoru yang rapi.
"Dia tidak apa-apa?" tanya Yuka yang tiba-tiba muncul di belakang mereka. "Tadi kau meminta salep untuk memar, ya? Kepalamu, atau kepala gadis ini yang terbentur?"
"Dia," jawab Mamoru sambil menunjuk Chihaya. Namun ia tak menjelaskan bagaimana kepala Chihaya bisa terbentur.
Setelah memastikan Chihaya baik-baik saja, Mamoru lalu mengajak Chihaya ke luar dari ruang kesehatan. Mereka berterima kasih dan berpamitan pada Yuka.
Mamoru mengantar Chihaya ke kelas 10-1. Untungnya, belum ada guru yang masuk. Yuji, Sachi, Shizuka dan Takeru keluar kelas dan menghampiri Chihaya.
"Kau dari mana?" tanya Sachi cemas.
Mamoru menjelaskan semua kejadian di loker.
"Kau baik-baik saja,kan?" tanya Takeru cemas. Chihaya mengangguk.
"Terima kasih sudah menolong Chihaya, Senpai," ucap Yuji.
Mamoru mengangguk. "Tolong jaga Haya-chan, ya,"
Sebelum pergi, Mamoru mengelus kepala Chihaya. Kedua matanya yang teduh menatap Chihaya selama beberapa saat.
"Jaga dirimu,"
Setelah mengatakan itu Mamoru membalikkan badannya, lalu berjalan kembali ke kelasnya.
Chihaya berdiri terpaku di pintu kelas. Jantungnya berdebar, sementara jarinya menyentuh kepangan rambutnya. Tanpa sadar, senyum tersungging di bibirnya.
Arigatou, Senpai.
****