Pagi itu Mamoru menjemput Chihaya untuk berangkat ke sekolah bersama. Mereka mulai melaksanakan rencana yang telah mereka sepakati.
Mamoru menunggu Chihaya di depan rumah. Ia memakai jaket berwarna abu-abu terang dengan garis merah. Dia memang lebih senang memakai jaket dibanding almamater yang hanya dipakai pada kegiatan formal seperti rapat OSIS dulu. Di lehernya terkalung sebuah headphone berwarna putih. Penampilannya rapi, rambut ikal hitamnya tersisir rapi, bahkan sepatunya terlihat mengkilat, seperti sering dicuci.
Chihaya terpaku melihat penampilan kakak-kelas-sekaligus-teman-masa-kecilnya itu. Bahkan dalam penampilan seperti itu saja, Mamoru benar-benar terlihat keren. Bersinar. Memukau. Chihaya jadi paham mengapa banyak gadis-gadis di SMA Sakura yang menyukai dan mengidolakan Mamoru.
Mamoru pun menyempatkan diri menemui dan menyapa Amaya, ibu Chihaya.
"Karena satu sekolah jadi sekalian berangkat bersama,ya?" ujar Amaya.
Mamoru menanggapi sambil tertawa. "Iya, Bibi,"
"Tidak mau mampir dulu untuk sarapan?"
Mamoru menggeleng, menolak dengan sopan. "Terima kasih, Bibi. Tadi saya sudah sarapan di rumah. Saya dan Haya-chan harus mengejar bus, kami takut terlambat,"
Amaya menyerahkan kotak bekal yang dibungkus kain pada Chihaya. Chihaya langsung memasukkannya ke dalam tas sekolah. Mereka kemudian berpamitan pada Amaya, lalu berjalan ke halte bus.
Hari itu bus lumayan ramai. Mamoru dan Chihaya mendapat tempat duduk di belakang, dekat pintu keluar. Chihaya duduk tepat di samping Mamoru. Ia melirik Mamoru yang diam saja sejak tadi. Kedua telinganya kini disumpal oleh headphone putih yang tadi dikalungkan di lehernya. Kabel headphone itu tersambung ke ponsel.
Ia sedang mendengarkan lagu.
Entah kenapa, Mamoru yang memakai headphone putih sedikit mengingatkan Chihaya pada karakter Shintarou Kisaragi dari anime Mekakucity Actors. Bedanya, Mamoru memakai jaket berwarna abu-abu, bukan merah.
Mamoru balas menatap Chihaya. Chihaya tentu saja terkejut setengah mati.
"Apa yang kau lihat?" tanya Mamoru sambil melepas headphone-nya.
Chihaya salah tingkah. "Oh, tidak...tidak ada, Senpai..."
Mamoru tersenyum. Ia mengetahui Chihaya memerhatikan benda berwarna putih yang kini ada di tangannya.
"Tak usah bohong, aku tahu kau melihat headphone-ku,kan?"
Melihat senyum Mamoru, Chihaya akhirnya tidak bisa membantah.
"Kau belum pernah memakainya? Atau baru pertama kali melihatnya?"
Chihaya menggeleng. "Belum pernah,"
"Kalau mau pinjam, bilang saja, tak usah malu-malu," Mamoru memakaikan headphone-nya pada Chihaya.
"Kau mau dengar lagu apa?" tanya Mamoru. "Di ponselku hanya ada lagu Jepang, sih. Paling banyak lagu-lagu soundtrack anime,"
"Mungkin lagu yang temponya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu berisik dulu, Senpai. Aku baru pertama kali memakai ini, jadi aku takut tiba-tiba terkejut karena tak terbiasa,"
"Aku mengerti," balas Mamoru sambil tersenyum manis pada Chihaya, yang membuat gadis berkacamata itu membeku sesaat. Ia lalu memalingkan wajahnya dan menggeser layar ponsel dengan jari tangannya. Sampai akhirnya ia menekan tombol play pada lagu Alones karya Aqua Timez. Lagu itu merupakan salah satu lagu pembuka di anime Bleach.
Mata Chihaya melebar saat suara nyanyian dan musik mulai terdengar di telinganya yang tertutup headphone. Napasnya tertahan. Sesaat gadis itu termangu, sementara otaknya memproses setiap lirik lagu yang didengarnya.
****
Bus pun berhenti di depan halte. Mamoru dan Chihaya turun. Chihaya yang sudah puas mendengar musik sepanjang jalan melepas headphone putih itu, lalu mengembalikannya pada Mamoru.
"Terima kasih pinjaman headphone-nya, Senpai," ucap Chihaya. "Maaf kalau tadi aku mengganggu Senpai yang sedang mendengar musik,"
"Santai saja," balas Mamoru. "Bagaimana rasanya headphone-ku tadi? Suaranya bagus,kan?"
Chihaya mengacungkan jempol.
Mereka pun berjalan dari halte bus melewati gang menuju sekolah sambil mengobrol.
"Jadi Senpai selalu menggunakan headphone untuk mendengar musik,ya,"
"Tidak, sih. Aku juga menggunakannya untuk belajar bahasa Jepang,"
"Begitu,ya,"
Saat mereka sampai di gerbang sekolah, Mamoru tiba-tiba menggenggam telapak tangan Chihaya dengan lembut. Hati Chihaya berdesir saat merasakan jari-jari tangannya bersentuhan dengan jari tangan Mamoru.
Ah, Chihaya hampir lupa. Mereka harus bersikap seolah-olah mereka adalah pasangan di sekolah.
Chihaya memandang Mamoru yang perlahan tersenyum padanya. Senyumnya begitu manis dan memesona.
Walau mereka hanya berpura-pura, tapi sentuhan Mamoru berhasil membuat jantung gadis berkepang itu berdebar lebih keras dari biasanya. Wajahnya pun memerah.
****
Pulang sekolah, Mamoru mengajak Chihaya ke sebuah restoran Jepang. Chihaya duduk berhadapan dengan Mamoru.
"Tadinya kukira Senpai akan mengajakku ke kafe," kata Chihaya.
"Aku jadi takut pergi ke kafe, sejak kejadian foto itu," balas Mamoru sambil tertawa hambar.
"Ah, benar juga,"
Chihaya juga sebenarnya takut kalau-kalau ada murid dari sekolah mereka yang mengikuti mereka ke kafe dan memotret mereka diam-diam seperti paparazzi.
Sejak pulang sekolah tadi pun mereka sudah beberapa kali menoleh ke belakang. Sepertinya, kali ini mereka aman. Tak ada orang yang diam-diam mengikuti mereka. Lagipula, restoran Jepang yang dipilih Mamoru letaknya cukup tersembunyi di antara ruko-ruko.
"Lagipula apa mereka tidak punya pekerjaan lain,ya, selain mengurusi orang lain?" tanya Mamoru. "Merepotkan. Menyebalkan,"
Chihaya menundukkan kepala, tak berani menanggapi omelan Mamoru. Untuk pertama kali, ia melihat pemuda itu yang tampak sedang kesal.
"Maaf ya, Haya-chan," kata Mamoru yang kini tersenyum padanya. "Aku sedang kesal. Tapi tenang saja, tidak usah takut. Apa yang terjadi bukan salahmu, dan bukan salahku juga,"
"Aku mengerti, Senpai,"
"Aku mengajakmu ke sini karena ingin mentraktirmu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih dariku karena kau mau membantuku,"
Chihaya kembali teringat situasi saat Yuji juga mengatakan hal yang sama.
"Senpai, seharusnya tidak perlu," tolak Chihaya.
"Tidak apa," Mamoru tetap bersikeras. "Kau cukup ikuti arahanku dengan baik selama les privat,"
Chihaya tak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa tidak enak, namun juga merasa hatinya menghangat karena kebaikan hati pemuda berambut ikal itu.
"Ngomong-ngomong, kau sudah belajar materi bahasa Jepang sampai mana?"
"Bab penyebutan nomor telepon," jawab Chihaya.
"Ah..." Mamoru manggut-manggut. "Kalau begitu, pelajaran hari ini mengulang bab itu saja,sekaligus bab perkenalan diri dan salam. Bagaimana?"
Chihaya mengangguk. Ia lalu membuka tas dan mengeluarkan buku pelajaran bahasa Jepang yang ia bawa.
Mereka memulai sesi les privat bahasa Jepang untuk pertama kalinya pada sore itu, bersamaan dengan pelayan yang datang menyajikan makanan pesanan mereka.
****