Beberapa hari kemudian, akhirnya Akira kembali masuk ke sekolah setelah menghabiskan tiga harinya di rumah sakit. Nyonya Nala meminta kepada gadis itu supaya beristirahat sedikit lebih lama lagi, namun Akira menolak, dia tidak mau membuang-buang waktu, karena sebentar lagi masa putih abu-abunya akan habis.
Selagi tubuhnya masih kuat untuk berdiri, Akira akan tetap berangkat sekolah demi mewujudkan sebuah impian yang dia dambakan sedari kecil, menjadi seorang arsitek dan berkumpul bersama orang-orang hebat. Meskipun ia tahu, jika itu.... mustahil terjadi.
Hari ini, kelas dua belas sedang melaksanakan ujian renang untuk nilai olahraga mereka. Dua Minggu sebelumnya, Bapak guru sudah memberikan beberapa pilihan, dan mereka semua sepakat memilih berenang sebagai ujian prakteknya.
Akira menatap kesal, kepada dua orang remaja yang tengah mengobrol di tepi kolam renang sebelah sana. Ia meremas sebotol air mineral yang telah Akira minum sebagian, di sisi lain dia juga merasa tak punya hak untuk mencampuri urusan mereka. "Cih, bahagia banget ya," lirih Akira tersenyum sinis, seraya memandang ke arah Genandra dan Bella.
Lalu, dari arah belakang, dia merasakan ada sebuah tangan kekar yang memegang pundak kirinya. "Eh, Xavier," ucap Akira reflek berbalik badan, menghadap pemuda tersebut.
Xavier sadar, objek apa yang tengah perempuan itu perhatikan sejak tadi. Akhir-akhir ini, berita tentang kedekatan antara Genandra dengan Bella masih menjadi trending topik di sekolah, Genandra sempat memberikan penjelasan kalau mereka berdua tidak memiliki hubungan apapun, terkadang ia juga menggunakan kata 'sepupu' sebagai alasannya.
Sayangnya Xavier tidak sebodoh itu, entah mengapa ia merasa kalau itu hanyalah alibi yang digunakan oleh Genandra untuk menyembunyikan sesuatu. Kata sepupu tidak cocok untuk sikap Bella yang terlalu lengket dan manja kepada laki-laki tersebut.
"Mungkin ini saat yang tepat bagi gue mengambil hati Akira," batin Xavier merasa memiliki peluang besar, untuk kembali memperjuangkan cintanya.
"Lo udah selesai ambil nilai?" tanya Xavier kepada Akira.
"Belum, masih gilirannya cowok," balas Akira, dalam ujian praktek kali ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama golongan laki-laki dan sesi selanjutnya golongan perempuan, tidak diurutkan berdasarkan kelas melainkan nomor absen yang diambil tiga anak dari masing-masing kelas untuk praktek.
"Kyaaaa gila cakep banget!" heboh semua siswi menggila, ketika melihat Javas yang baru saja menyelesaikan ujian prakteknya. Perutnya yang sixpack terpampang jelas, semakin terlihat sexy dengan adanya sisa-sisa air yang membasahi sekujur tubuhnya. Javas menyugar rambutnya ke belakang menggunakan jari-jari tangan, teriakan para kaum hawa semakin dibuat kencang karenanya.
"JAVAS! KALAU MAU TEBAR PESONA JANGAN DI SINI!" teriak Pak Gito, guru olahraga. Bukannya keluar dari dalam kolam renang, anak itu malah menikmati perhatian yang semua orang berikan kepada dirinya.
"Ih bilang aja kalau Bapak iri," balas Javas.
"Kamu jangan memperlambat ujian ya! Dulu perut saya jauh lebih bagus daripada kamu, jadi ngapain harus iri? Bukan sixpack, tapi sepuluh pack!" ucap Pak Gito, jangan dibandingkan dengan sekarang, sekarang perut pria itu sudah bulat seperti bola.
"Woy Vas bunga! Buruan naik! Dekem terus di air kayak ikan cupang, lihat noh banyak yang ngantri!" ledek Anggasta di tepi kolam renang membuat Javas mendengkus kesal.
"Bacot lo!" balas Javas dan segera keluar dari dalam kolam renang melewati tangga kecil di sana.
Sedangkan di sudut sana dekat peralatan renang, Akira terlihat sedang berbincang bersama Zizy. Zizy terus saja menutupi pengelihatannya menggunakan telapak tangan, pandangan di sini terlalu menyiksa mata.
"Mata lo kenapa ditutupin terus, cedutan?" heran Akira melihat tingkah aneh Zizy.
Gadis itu kembali menarik tangannya dari wajahnya, manik mata sepekat langit malam itu kembali terlihat. "Lo nggak lihat banyak aurat di sini?" balas Zizy berbisik.
Akira mendecak, "cih aurat, bukannya lo yang dulu paling excited kalau nanti ujian praktek renang, sekarang udah dikasih cuci mata malah kepedesan mata lo," sindir Akira.
"Ck, ini roti sobeknya kebanyakan Ra!" apa anak laki-laki SMA zaman sekarang suka berolahraga? Iman Zizy terlalu lemah kalau soal ini.
"Roti sobek apanya? Lebay," lirih Akira lalu merasakan kedatangan seseorang dari arah belakang.
"Akira," panggil Genandra berjalan menghampiri mereka berdua. Raut wajah Zizy langsung berubah, dia mulai tidak menyukai Genandra sejak apa yang laki-laki itu perbuat kepada sahabatnya.
Akira mengedipkan matanya kepada Zizy, seolah-olah mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, dan meminta kepada perempuan itu agar pergi sebentar meninggalkan mereka.
"Iya?" balas Akira dengan Genandra yang sudah berdiri di depannya.
Sejak perbincangan canggung mereka di rumah sakit, Genandra merasa kalau hubungan mereka sedikit merenggang. Percakapan yang semula menyenangkan pun perlahan berubah menjadi asing.
"Bagaimana kondisi lo?" tanya Genandra tersenyum.
"Baik," balas Akira singkat, dengan ekspresi datar. Bahkan dialog mereka yang dulu selalu bisa membahas seisi dunia pun, sekarang menjadi sesingkat ini.
"Ra, lo kenapa? Apa ada masalah, gue bisa dengerin cerita lo," khawatir Genandra hendak memegang kepala Akira, namun gadis itu mundur selangkah untuk menghindar.
"Nggak ada, gue baik-baik aja. Cuman gugup sedikit karena sebentar lagi giliran gue," balas Akira sempat melihat tangan Genandra membeku di tempat, wajahnya terlihat kecewa.
"Tenang aja, gue yakin lo pasti bisa. Lagian kalau lo tenggelam lagi, gue akan ada buat selamatkan lo sama seperti waktu itu," senyum Genandra.
"Hm, thanks. Gue bakal berusaha semampu gue, supaya lo nggak perlu repot-repot lakuin itu nanti," dingin Akira lalu mendengar nama absennya dipanggil oleh guru olahraga.
"Gue pergi dulu," pamit Akira berbalik badan, dan melangkah pergi.
Tangan Genandra sempat terangkat hendak meraih lengan perempuan itu, namun mengurungkan niatnya. Akhirnya bayang wanita ia cintai perlahan mulai menghilang, Genandra hanya bisa menatap punggung Akira yang semakin menjauh.
"Akira.... apa lo sudah tahu?" batin Genandra menundukkan kepalanya sembari menatap ke arah telapak tangan kanannya yang terbuka, belaian tangan yang tak pernah gadis itu tolak sekarang disia-siakan begitu saja.