Sesampainya di depan gerbang SMA Jaya Sakti, kedatangan mobil itu benar-benar mencuri perhatian semua murid. Dari awal kendaraan itu tiba sampai di tempat parkir, seolah-olah tahu siapa pemilik mobil tersebut.
"Lo tahu apa yang bikin gue risih?" ucap Akira kepada Genandra yang sedang melepaskan sabuk pengaman.
"Hm, apa?" tanya Genandra.
"Ketika jadi pusat perhatian, come on! Ini cuman mobil biasa, nggak ada istimewanya juga," balas Akira, yang ia maksud adalah para siswa-siswi yang memperhatikan mereka ketika mobil Genandra memasuki gerbang sekolah.
"Yang istimewanya bukan mobilnya Ra, tapi penumpangnya," sahut Genandra memegang telapak tangan Akira.
"Apa lo belum sadar sekarang lo milik siapa? Jika lo menjadi kekasih gue, lo harus siap dengan semua perhatian itu," ucap Genandra, memang tidak bisa dipungkiri kalau ia adalah most-wanted di sekolah ini.
"Anggap aja ini sebagai latihan, kalau nanti lo sudah jadi istri gue bakal makin banyak mata yang tertuju ke lo," sambungnya membuat Akira terkejut pada kalimat terakhir.
"Sekarang kita turun ya? Lo nggak mau menghabiskan waktu sama gue di mobil kan?"
"Iya," balas Akira sedikit kesal, anak itu memang pandai menghibur suasana hatinya.
"Tunggu di sini, biar gue yang bukakan pintu buat lo," titah Genandra lalu bergegas keluar dari dalam mobil.
"Apa dimata lo gue memang sekecil itu Ge?" lirih Akira, terkadang merasa lelah sebab selalu saja diperlakukan seperti anak kecil oleh Genandra.
Pintu mobil pun terbuka, Akira keluar dari dalam mobil seraya membawa tas selempang nya.
"Ada yang panas tapi bukan kompor bre," sindir Rayyan bersama Xavier dan Teo, yang sedang memperhatikan Akira bersama Genandra dari arah kejauhan.
"Hoho, lo masih suka sama dia Xav?" sahut Teo dan hanya dibalas dehaman saja oleh Xavier. Dia menyukai Akira, perasaan itu tidak akan bisa berubah.
"Gue denger si Akira juga punya adik cewek, kenapa lo nggak pindah haluan aja?" usul Rayyan baru mengingat kalau Akira juga memiliki saudara kandung yang satu sekolah bersama mereka.
"Beda orang beda cerita," balas Xavier bermuka datar, tawa terbahak-bahak sontak langsung terdengar dari kedua temannya. Sejak kapan si kutub Utara menjadi sebucin ini? Ayolah, semua orang akan berubah setelah mengenal cinta. Kamu juga kan?
"Gini ya bre," balas Teo berusaha mengontrol tawanya, sebulir air mata keluar sangking kuatnya ia tertawa. Bahkan sekarang perutnya dibuat kram. "Sebelum lo berjalan makin jauh lebih baik gue kasih tahu."
Xavier memutar sedikit tubuhnya untuk menghadap ke arah Teo, ia siap mendengar wejangan anak itu walaupun sudah tahu ini adalah sesuatu yang buruk.
"Ibarat di game sebelah, Genandra itu udah mythic, glory lagi, pantesan aja dipilih sama Akira. Lah lo, udah epic, abadi," ucap Teo sesuai dugaan Xavier.
"Genandra itu ganteng, mapan, kaya, good looking, good rekening, pokoknya semua serba good deh. Sedangkan lo-"
"Bang*sat! Lo mau kasih masukan apa hina gue hah?" sebal Xavier reflek memukul kepala Teo. "Unfaedah banget gue dengerin lo, udah gue mau balik ke kelas," menyisakan kesal, akhirnya Xavier memutuskan pergi meninggalkan mereka.
"Eh Xav! Gue ikut!" teriak Rayyan bergegas menyusul kepergian anak tersebut.
"Haah inilah manusia, dikasih tahu bukannya bersyukur malah ngambek," hela Teo mengangkat kedua bahunya, dan memutuskan untuk bergabung bersama mereka.
********
Di depan kelas Akira, Genandra sudah berpamitan dan pergi meninggalkan gadis itu untuk kembali menuju ke kelasnya.
Baru saja ia melangkahkan kakinya ke dalam kelas, kedatangannya sudah disambut hangat oleh Zizy—sahabat baik Akira.
"Ciee yang habis dianterin sama ayang, irinya. Kapan ya gue bisa begitu sama Anggasta," goda Zizy sempat melihat kedatangan Genandra di depan pintu kelas mereka tadi.
Perempuan berdarah campuran Chinese dan Jawa itu berkhayal tinggi, pikirannya dibuat melayang-layang, seolah-olah ada sebuah balon besar yang berisi semua imajinasinya bersama Anggasta.
"Jangan ngelamun Zy, entar kesambet sekolah yang repot," ujar Akira menyadarkan Zizy.
"Cih, emang lo doang yang bisa bucin, gue juga mau! Lama-lama capek gue pakai jalur darat, habis ini mau ganti ah pakai jalur langit aja."
"Iya deh terserah lo, asal sahabat gue seneng," pasrah Akira, kalau Zizy sudah berkhayal memang susah. Kalian tahu sendiri kan, bagaimana indahnya dunia imajinasi daripada kenyataan.
"Oh ya Ra, gue habis main tebak-tebakan sama Iian, dan ada satu soal yang belum bisa gue jawab," ucap Zizy mengganti topik pembicaraan.
"Emang apa soalnya?" balas Akira penasaran.
"Kalau kita tahan napas di dalam air selama dua puluh empat jam kita bisa ketemu sama malaikat, emang bener Ra?"
Reflek Akira memutar bola matanya malas, huh! Kenapa temannya yang satu ini sangat gampang dibodohi. "Terus lo jawab apa?"
"Ya gue jawab salah lah, mana ada tahan napas di dalam air bisa lihat malaikat, kita kan nggak bisa lihat mereka? Jawaban gue bener kan?" balas Zizy polos.
"Tahan napas dalam air dua puluh empat jam itu artinya mati Zizy! Udah ngambang kepala lo dicabut sama malaikat, kalau emang polos ya dikira-kira juga dong astaghfirullah," sebal Akira lalu mencubit gemas kedua pipi Zizy. Rasanya kenyal seperti mochi.
"Ish sakit Akira! Lo pikir pipi gue apa!" ronta nya menjauhkan kedua tangan Akira dari wajahnya.
"Hehe pipi lo gemoy soalnya, udahlah ayo duduk! Capek gue berdiri terus," senyum Akira dan berjalan mendahului Zizy untuk duduk di kursinya.
"Cih gemoy," lirih Zizy mendecak.