"Apakah masih ada ruang kosong dalam hati mu, Nona?"
********
Kegiatan pembelajaran pun dimulai, lorong-lorong sepi, hanya ada beberapa murid berlalu lalang serta guru yang dalam perjalanan menuju ke kelas untuk mengajar.
Di dalam kelas dua belas bahasa dua, semua anak nampak terlihat sibuk mendengarkan penjelasan dari Ibu guru di depan papan. Tak jarang juga melemparkan beberapa pertanyaan untuk menguji kefokusan siswa, dan kalau kalian ingin tahu Akira lah yang paling aktif di kelas.
"Baik, silahkan dikerjakan dulu saya beri waktu dua puluh menit. Kalau sudah selesai, kita akan bahas bersama," ujar Ibu guru.
"Baik Bu," balas semua anak serentak dan segera mengerjakan tugas yang diberikan oleh Ibu guru.
"Lo kok bisa jawab semua sih Ra, kasih tahu dong rahasianya," ucap Zizy yang kagum dengan kepintaran Akira. Padahal baru sebentar guru menerangkan, namun Akira sudah mampu menyerap semuanya.
"Ya tinggal dipahami aja," balas Akira enteng dan helaan napas malas keluar dari Zizy.
"Itu kalau lo, kalau gue mah tujuh hari tujuh malam gue baca buku bukannya paham malah ngantuk, gue benci sama buku pelajaran lebih enakan komik ada gambarnya," sebal Zizy membuat Akira memutar bola matanya.
Mungkin dalam hal pelajaran Zizy memang payah, tapi kalau seni jangan ditanya lagi. Gadis itu sangat mahir dalam menggoreskan kuas sehingga mampu menciptakan maha karya yang indah.
Tangan Akira gemetar, ia merasakan seperti ada sesuatu yang menghantam perutnya. Jantungnya berpacu cepat, telapak tangannya mulai berkeringat. "Di sini?" batin Akira cemas, kenapa penyakitnya bisa kambuh disaat-saat seperti ini.
Pandangan Akira melirik sekitar untuk memastikan keadaan aman, semua anak terlihat fokus dengan pekerjaan mereka. Perlahan-lahan, dengan begitu hati-hati, ia mengeluarkan sebuah obat dari dalam tas selempangnya.
"Permisi Bu!" tangan kanan Akira terangkat ke atas, membuat perhatian Ibu guru tertuju kepadanya.
"Iya Akira?" tanya Ibu guru kepada gadis tersebut.
"Saya mau izin ke belakang," jawab Akira dan dibalas anggukan oleh Ibu guru.
"Baik silahkan," respon Ibu guru memberikan izin, dan Akira pun segera keluar dari dalam kelas menuju ke kamar mandi.
Dalam perjalanan, kondisi Akira semakin parah. Ia terus saja memegangi perutnya sembari merintih kesakitan, tatapannya berubah menjadi lemas rasanya ingin jatuh sekarang juga. Namun ia berusaha untuk tetap kuat, jangan sampai ada siapapun yang melihat dirinya dalam kondisi seperti ini.
"Ah!" erang Akira semakin mencengkram kuat perutnya, tulang-tulang nya serasa remuk. Tubuh anak jatuh dengan posisi duduk di lantai, "apa ini artinya gue akan mati? Tapi ini belum satu bulan."
Sebulir air mata berselancar bebas, bahkan untuk menyekanya pun Akira tidak kuat. Bayang-bayang hitam mulai menyelimuti pandangannya, "apa ini sudah waktunya, aku pulang.... Tuhan?" lirih Akira sebelum akhirnya jatuh pingsan.
Berselang beberapa detik kemudian, Akira merasakan kakinya mengayun di udara. Ia merasa seperti sedang dibopong oleh seseorang, Akira berusaha membuka mata dan hanya mampu melihat seorang pemuda yang wajahnya tidak begitu jelas.
"Dia siapa? Apa dia.... Genandra?" batin Akira sempat merasa anak itu tersenyum kepada dirinya.
********
Suasana yang sunyi, Akira bisa merasakan rambutnya menari-nari karena hembusan angin lembut. Tubuhnya benar-benar merasa letih, ia bisa mencium aroma seperti obat dalam ruangan tersebut.
"Ugh sakit..." rintih Akira dengan masih menutup mata, memegang lemah perutnya yang terbalut selimut.
"Ssst udah, tidur lagi ya," suara bariton laki-laki berdesir lembut, terdengar tenang namun penuh kekhawatiran. Tangan kanan Akira terangkat, mengayun di udara mencoba mencari siapa sosok di sampingnya sekarang.
Laki-laki itu memegang tangan Akira lalu menempelkannya pada pipinya, "gue sudah suruh lo tidur, kenapa lo nggak dengerin ucapan gue hm?"
"Lo... siapa? Apa ini Genandra?" tanya Akira penasaran, ia membuka matanya namun masih buram. Mungkin ini karena efek pusing dan tubuhnya yang lemah.
Tubuh lelaki itu menegang dalam beberapa detik, disusul dengan senyuman kecut yang tergores pahit. "Iya.... gue Genandra," balasnya dan membuat Akira merasa senang.
"Gue Xavier, Akira. Bukan Genandra, bahkan disaat seperti ini pun lo masih mengingat nama dia, apa nama gue nggak punya tempat spesial dalam hati lo?" batin Xavier. Seandainya tadi ia mengaku kalau dirinya bukanlah Genandra, apakah senyuman itu masih pantas untuk diberikan kepadanya?
Dia tidak menyangka, kalau untuk membuat Akira senang dia harus berpura-pura menjadi laki-laki yang bahkan dirinya benci.
"Lo istirahat yang cukup ya, gue mau keluar sebentar," ujar Xavier hendak berdiri, namun tangannya seketika digenggam oleh perempuan tersebut.
Xavier terkejut, merasakan sentuhan kulit Akira yang lembut menggenggam erat tangannya. "Jangan pergi Ge, temenin gue di sini," pinta Akira memohon, membuat Xavier yang melihatnya merasa tak tega.
"Iya," balas laki-laki itu tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Akira, ia cukup merasa senang namun juga sedih disaat yang bersamaan.
"Gue bakal lebih bahagia lagi, kalau lo menyebut nama gue, Ra," batin Xavier membelai lembut kepala Akira. Benar, rasanya pasti sakit bukan? Disaat orang yang kita cintai tidak menganggap kehadiran kita spesial sebagaimana kamu mendambakan dia, akan tetapi malah orang lain.
Seiring dengan belaian lembut dari Xavier, perlahan Akira terlelap kembali dalam tidurnya.