Irish tidak pernah banyak menghabiskan waktunya dengan Franda. Dia juga lebih banyak diam, tapi memang benar sepetinya, menemukan cinta seseorang bisa mengubah orang lain. Franda bisa melihat itu. Bahkan sekarang Irish lebih banyak berbicara dan bergurau daripada sebelumnya yang sangat kaku.
“Rish, gue baru sadar deh sekarang.”
“Sadar apa?” Irish masih berfokus pada Ipad di depannya. Kali ini dia masih membaca tulisan-tulisan yang masuk ke kantor mereka bulan ini. Tulisannya cukup bagus jadi Irish tidak sadar melupakan Franda yang kali ini berangkat bersamanya ke kantor.
“Sadar kalau lo lebih banyak bicara sekarang atau … lo emang aslinya banyak ngomong?” Irish melirik Franda dengan lirikan mautnya. “Tapi serius lo emang beda. Lebih ceria daripada sebelumnya.”
“Emang lo aja yang kurang main jauh sama gue.”
“Kurang jauh apanya? Tunggu! Jangan-jangan lo selama ini pakai topeng di depan gue ya? Jahat banget lo.”
Irish terlihat tidak terganggu dengan apa yang dikatakan oleh Franda. Kenyataannya kan memang setiap orang selalu memiliki topeng dalam hidupnya sendiri-sendiri. Justru kalau tanpa topeng ini terlalu bahaya. Bahaya untuk orang yang tidak tahu bahwa manusia-manusia di sekelilingnya ini banyak bermuka dua. Lagipula tidak ada manusia yang benar-benar bisa menampakkan dirinya sejujur-jujurnya.
“Manusia kan emang gitu. Nggak ada yang benar-benar bisa jujur, Franda. Lo juga kan? Buktinya diam-diam lo suka sama Radit, tapi malah lo jodohin dia sama gue.”
“Aaaa, ituuu …” Franda menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Padahal bisa saja perempuan itu langsung mendekati Radit saja. Toh Irish dari awal memang tidak tertarik dengan pria itu.
“Saran gue sih lo coba jujur aja sama perasaan lo. Toh gue juga baru jalan sekali doang sama dia.”
“Emmm, gimana caranya jadi lo biar bisa disukain sama dia?”
Irish menatap Franda dengan terkejut. Tidak pernah sekalipun ada orang yang ingin menjadi dirinya. Mungkin ada, tapi Irish tidak pernah tahu hal itu. Lagipula dia tidak pernah sekalipun menginginkan hidup orang lain untuk dirinya.
“Lebih baik menjadi dirimu sendiri saja.”
Franda menghembuskan napasnya dengan lelah. Dia tidak sanggup untuk melawan Irish yang memang pintar berbicara. Harusnya Franda selama ini lebih banyak meminta bantuan kepada Irish untuk bisa berbicara, ah tidak juga, Irish tidak benar-benar bisa bicara banyak orang. Dia sangat pendiam. Bahkan semut pun kayaknya nggak akan bisa mendengar suara napasnya saking diamnya. Perempuan itu bahkan pernah bercerita rahangnya sakit hanya gara-gara tidak pernah berbicara. Itulah pertama kali dia mendengar keanehan perempuan itu. Franda percaya, perempuan pintar memang punya hal-hal aneh dalam hidupnya. Orang aneh memang mudah ditemukan di manapun.
***
Selama menjadi pegawai kantor, Irish tidak pernah sekalipun mencoba menyapa teman-temannya. Bahkan senyum saja jarang. Maka dari itu banyak yang tidak suka kepada dirinya. Sayangnya, meskipun terlihat mudah untuk dihancurkan, Irish tidak seperti itu. Perempuan itu memang benar-benar pintar dalam menjelaskan apapun. Orangnya detail, kreatif, dan memiliki wawasan yang luas. Meskipun jarang berbicara tapi dia benar-benar tidak takut kepada orang. Jika dia benar dan ada orang yang ingin menjatuhkannya, Irish selalu vokal dalam membela diri. Dia bahkan mengumpulkan banyak bukti kecurangan yang bisa menjadi boomerang untuk orang itu. Bukannya menjatuhkan Irish, justru orang itu yang jatuh dalam permainannya. Irish itu pintar dan tidak bisa diganggu. Itulah alasan kenapa banyak orang yang tidak suka dirinya di kantor tapi tetap hormat kepadanya. Tidak ada yang berani kepadanya di kantor ini.
“Semua sepertinya harus tahu senyuman lo ya pagi ini?”
Irish menatap Franda dengan lirikan sinis. “Hei, lo lihat mereka lihat gue sama lo. Setelah hampir empat hari gue mencari-cari manusia bernama Franda.”
Irish masuk ke dalam ruangannya. Pintu kaca itu langsung dia tutup sampai membuat dahi Franda terkantuk olehnya. Irish tertawa dengan kecil. Kali ini dia ingin mengerjai Franda setelah perempuan itu berhasil mempermainkannya selama tiga hari.
“Sial, gimana bisa lo kayak gini, Rish. Dahi gue. Sakit loh ya.”
“Salah sendiri kemarin-kemarin kayak gitu sama gue.”
Franda mengusap hidungnya dengan jempol. Wajahnya terlihat bersiap untuk berperang dengan perempuan dingin di depannya. “LO BUKAN IRISH YA?” teriak Franda dengan kencang. Semua orang yang berada di luar ruangan Irish dapat melihat dengan jelas kejadian itu.
Mereka yang ada di luar saling berbisik dan menghembuskan napasnya lelah. Kejadian ini bukanlah yang pertama kalinya untuk mereka. Jadi, seksi tugas yang siap membawa pergi Franda dari ruangan Irish langsung berdiri dan berkata, “Kita siap mengamankan kejadian yang tidak mengenakkan.”
Kedua pria itu lalu masuk ke dalam ruangan Irish dan menarik tangan Franda. “Lepasin Woyyy. Gue perlu ngomong panjang kali lebar sama dia!” Keduanya membawa Franda keluar. “Inget ya Rish, urusan kita belom selesai.”
Suara perempuan itu semakin menjauh dari tempatnya. Irish hanya bisa tertawa dengan apa yang terjadi. Kali ini perempuan itu benar-benar membuat geleng-geleng. Irish melihat ponselnya, Zoey menelepon dirinya.
“Iya gimana?” tanya Irish setelah teleponnya tersambung.
“Gue masih di luar kota. Oh ya, bentar lagi lo ultah nih. Mau kado apa? Kebetulan gue lagi ada di mall nih.”
“Emmm enggak ada yang gue pengen sih.” Jawaban yang sama setiap Zoey menanyakannya.
“WHAT? Lo bisa nggak selama lima tahun ini bilang apa yang lo sukai? Gue bingung kalau harus nyari kado tapi orangnya nggak mau bilang apa.”
“Gaenaklah, Zoey. Lo sendiri tahu orang jawa kayak gimana.”
“Alah kek masih jawa aja. Udah lo gue sekarang nih. Sebutin aja dah.”
“Nggak ada yang gue pengen, Zoey. Titik.”
“Oke gue beliin lo tas aja deh. Kasihan tas lo itu-itu aja.”
“Terserah deh.” Irish memutar bola matanya. Untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun terakhir Zoey membelikannya tas. Tas yang seharga satu ponsel iphone itu terkadang membuatnya ketar-ketir. Mau dipakai tapi takut rusak, kalau nggak dipakai juga buat apa dibeli.
Selalu dilematis kalau dibelikan barang-barang mewah sama Zoey. Irish sebenarnya bisa-bisa aja membeli barang mewah sendiri tapi dia tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak penting itu. Baginya masih ada produk lokal yang bagus yang cukup menunjukkan citranya. Meskipun begitu Irish tetap membeli barang mewah tapi hanya untuk ultah sahabatnya itu. Sisanya yah sama aja.
“Rish, menurut lo Aksara bakalan inget ultah lo nggak?” Percakapan tiba-tiba berubah ke topik lain. Topik yang paling dibenci sekaligus yang paling dia sukai.
“Tentu aja enggak,” jawab Irish dengan realistis. Kenyataannya pria itu memang tidak pernah sekalipun mengatakan selamat ulang tahun kepadanya. Dari dulu hanya dia yang berusaha memberi tanpa menerima.
“Bisa jadi udah berubah lo, Rish.”
“Orang nggak semudah itu untuk berubah.”
“Jadi, itu alasan kenapa lo masih ngegantung dia padahal kalian udah cipokan di ruang ganti.”
“Heii, bisa nggak disaring kata-katanya. Nggak usah vulgar gitu.”
“Hihi. Gimana yah, gue kesel banget sama dia sih. Bisa nggak ngehargain lo dikit aja gitu?”
“Gue juga nggak tahu, kan dia yang bisa melakukan itu, Zoey. Gue Cuma bisa mantau dari sini. Gue udah nggak berharap apapun. Kehadiran dia juga sebenarnya nggak berpengaruh banyak sama kehidupan gue.”
“Tapi semenjak ada dia, lo kelihatan lebih seneng. Gue lihat lo banyak pergi sekarang. Gue juga tahu kalau Jeremy selalu ada buat lo. Sebanyak apapun kesedihan yang pernah lo lalui di masa lalu, sekarang yang ada hanya masa depan. Semua itu sudah waktunya diganti dengan memori yang lebih bagus. Gue harap lo segera menemukan jodoh lo juga.”
“Jangan berharap terlalu banyak sama manusia, Zoey. Suka boleh tapi tetap realistis. Gue nggak bisa menjadi perempuan yang diidamkan laki-laki.”
“Siapa bilang? Bukan karena lo nggak bisa masak jadi laki-laki nggak ada yang mau sama lo, bukan berarti karena kepintaran lo laki-laki nggak mau berjuang buat lo, bukan berarti apa yang selama ini lo perjuangin nggak berarti. Lo itu adalah orang yang paling bijak yang pernah gue temui. Lo pasti bisa menemukan orang yang baik.”
“Tumben lo jadi dewasa gini.”
“Gue selalu jadi dewasa kalau lo lagi bertingkah ye, jangan salah.” Irish terdengar tertawa di seberang sana. “Oh udah dulu, ini toko mau tutup bentaran katanya buat solat. Gue harus segera bayar.”
Sambungan telepon itu tertutup sepihak. Ada kalanya kedewasaan yang Irish punya membuat dirinya menjadi tidak percaya dirinya. Dia tetap butuh sosok seperti Zoey yang menengakan dirinya di saat pikiran kalut yang dia rasakan. Kalau bukan karena Zoey, dia tidak akan bertahan hidup selama ini. Zoey sangat berjasa untuk hidupnya.