Rutinitas pagi hari bersama dengan kehidupan sunyi Irish kali ini tidak bisa berjalan sesuai rencana. Dia harus datang ke gedung pernikahan Zoey dan Rehan yang sudah dipesan. Irish tinggal mengecek dekorasi dan catering sesuai yang dipilih sahabatnya itu. Kali ini dia rela jika harus bangun pagi untuk bersiap-siap. Tidak banyak yang dilakukan oleh Irish. Dia hanya dandan secukupnya. Begitu keluar dari kamar kosnya. Irish melihat dari lantai tempat tinggalnya, di tempat parkiran terlihat mobil berwarna putih yang tidak asing di matanya. Itu jelas bukan mobil Jeremy.
“Eh, mau ke mana Rish?” Jeremy baru datang dengan pakaian olahraganya. Pria bertubuh atletis itu terlihat penuh keringat dengan baju olahraga yang ketat. Irish mengalihkan pandangannya.
“Gue mau pergi. Ngurus sesuatu.”
“Mau gue anterin nggak?” Irish melirik Jeremy sekilas. Pria itu sedang meminum air dari botol yang dia pegang. Terlihat sexy di mata Irish.
“Nggak perlu. Gue udah pesen ojol. Gue duluan ya. Terima kasih tawarannya.”
Irish buru-buru pergi dari situ. Dia tidak enak jika harus membuat ojol menunggu terlalu lama. Tapi yang paling tidak bisa Irish tahan itu ketika melihat Jeremy dengan tubuh kekarnya itu. Bagaimanapun Irish ini wanita dewasa yang memiliki nafsu. Memang Jeremy tidak tahu tempat.
Irish mengecek aplikasi ojolnya. Drivernya tiba-tiba membatalkan pesanannya. Irish lebih terkejut lagi ketika driver itu mengatakan bahwa ada yang menyuruhnya. Irish menjadi lebih kesal daripada yang lainnya. Dia mencari seseorang di sekeliling kosannya. Putaran matanya berakhir di tempat parkir, pantas saja dia seperti tidak asing dengan mobil yang parkir di tempat itu. Ternyata memang mobil itu yang mengantarkannya semalam.
“Lo bisa nggak, nggak usah ikut campur urusan gue. Gue nggak pernah minta lo dateng ke sini pagi ini ya.”
“Tentu aja nggak bisa. Zoey yang minta aku buat nemenin kamu.” Aksara menjawab dengan santai. Dia tidak akan terpancing lagi dengan kemarahan Irish. Bisa-bisa dia kehilangan perempuan itu untuk selamanya.
“Lo berdua sekongkol kah?” Irish masih menggebu-gebu untuk memarahi Aksara.
“Enggak, Rish. Kamu inget kalau aku juga jadi groomsman-nya mereka? Bisa nggak kamu berpikir sedikit lebih netral? Nggak semuanya aku lakuin ini sendiri.” Aksara mendongak ke atas. Lama-kelamaan dia sedikit tersinggung dengan apa yang dikatakan Irish. Lama-kelamaan dia juga kesal kalau selalu salah di mata perempuan itu.
“Tapi bisa kan nggak usah nyuruh ojol aku dibatalin gitu aja? Kasihan bapaknya kalau sampai menurun.”
Aksara menutup mulut Irish dengan satu telunjuknya. Dia tidak bertenaga berdebat dengan Irish hari ini. Tadi sebelum Irish datang, dia sudah berdebat dengan Jeremy. Pria itu berhasil membuat perasaannya memburuk. Apalagi pria itu sengaja mengajak Irish berbicara di depan pintu dengan tampilan yang sangat tidak pantas.
“Aku udah ganti tiga kali lipat kerugian bapaknya. Aku tahu itu bisa menurunkan kinerja mereka tapi aku tanggung jawab dengan bayaran itu. Nggak seberapa tapi itu bentuk rasa terima kasih karena ngebiarin kamu sama aku. Oke. Sekarang semuanya clear. Kamu masuk ke mobil. Kita bisa telat kalau kamu masih pengen debat, jangan di sini. Sambil kita jalan yah.” Aksara mengusap rambut Irish dengan lembut dan membukakan pintu mobil.
Irish sedikit salah tingkah dibuatnya. Dia merasa tidak enak sudah mengatakan sesuatu yang buruk kepada Aksara. Seharusnya dia tidak melakukan itu. Meskipun memang tidak mudah untuk menerima pria itu tapi bukan berarti semua yang dia lakukan salah.
Selama perjalanan Irish merasa canggung untuk memulai pembicaraan. Dia melirik beberapa kali ke arah Aksara. Perjalanan lumayan jauh karena mereka harus berada ke daerah ujung dari bagian Semarang. Semarang di hari libur juga semakin padat. Apalagi mahasiswa yang kuliah pada turun ke bawah juga. Macet sudah menjadi makanan sehari-hari.
“Lo udah makan?” tanya Irish pada akhirnya. Mereka terjebak di lampu merah dan tidak jalan-jalan setelah melewati lampu hijau keempat kalinya.
“Belum.”
Irish lalu mengeluarkan sandwich buah yang baru dia bikin tadi. Dia mengambilnya dari kulkas. Itu adalah makanan yang selalu tersedia di dalam kulkasnya. Makanan mudah yang bisa dia buat. Irish membuka plastik wrap dan menyodorkan roti isi itu ke mulut Aksara.
“Biar aku suapin. Ini kamu makan sambil nyetir.”
Aksara mengikuti perintah Irish. Jauh di dalam hatinya dia tersenyum dengan perlakuan manis perempuan itu. Rasa roti isinya sangat enak. Aksara baru merasakan makanan itu. Dia tidak pernah mencobanya karena tidak terlalu suka manis. Tapi jika yang membuatkan adalah orang yang dia kasihi, Aksara mau-mau saja.
“Emmm. Sebenarnya aku bisa makan sendiri sih, Rish. Kan lagi berhenti juga.”
“Oh iya. Yaudah ini pegang sendiri aja.” Irish menjadi gelagapan. Dia menyodorkan roti isi itu dengan tiba-tiba hingga mengenai pipi Aksara.
Pria itu akhirnya tertawa setelah membuat suasana berubah menjadi tidak kondusif. Irish melirik sekilas. Tawa Aksara terlihat manis. Dia tidak menyangka akan membuat pria itu tertawa. Dahulu Irish hanya bisa melihat Aksara tertawa bersama dengan temannya. Jelas Irish ingin membuat pria itu tertawa dari dulu.
“Terima kasih.” Aksara mengambil roti isi dari tangan Irish. Tangannya kirinya mengambil tisu dan menghapus krim yang menempel. “Lain kali boleh kali dibikinin masakan, Rish.”
“Gue nggak bisa masak.” Irish menjawab dengan singkat.
“Serius?” tanya Aksara tidak percara.
“Iya. Makanya, kalau lo nyari isteri yang bisa masak, berarti bukan gue jawabannya.” Irish memainkan tangannya. Matanya menunduk sambil menatap tangan-tangannya beradu. “Gue nggak pernah diajarin buat masak dan bersih-bersih. Jadi, kalau lo nyari perempuan yang kayak gitu, bukan gue. Makanya gue nolak permintaan lo buat jadiin gue isteri.”
“Emmm.” Aksara mengangguk-angguk. Dia tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi ada baiknya dia tidak merusak suasana sedih yang terbangun saat ini. Dia sedang melihat Irish di sisi lain dari yang pernah dia bayangkan. Baginya Irish itu wanita independen yang memang susah untuk ditembus. Wanita yang kuat, keras, tegas, dan vokal dalam apapun. Tapi saat ini dia sedang melihat rasa ketidakpercayaan diri dalam sisi Irish yang lain.
“Sebelum lo nyesel. Gue juga mau bilang kalau gue mungkin nggak bisa memuaskan kedua orang tua lo. Gue udah pernah ketemu sekali dulu. Gue rasa mereka tidak akan pernah setuju sama ini semua.”
“Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?” Aksara menatap Irish. Perempuan itu memang benar-benar memiliki banyak pikiran. Pikiran rumit yang masih sama seperti dulu. Aksara seperti melihat Irish ketika SMA. Perempuan dengan segala kemisteriusan dalam wajahnya.
“Mama lo nggak tertarik ngomong sama gue. Padahal gue udah bilang kalau lo temen gue. Mungkin karena emang gue yang terlalu gembel. Jadi nggak cocok sama anaknya yang kaya ini.”
“Perempuan bisa insecure kayak gini juga ya?”
“Menurut lo?” Ekspresi Irish kembali seperti semula. Perempuan itu langsung kesal dengan jawaban tidak terduga dari Aksara. Entah kenapa Aksara yang sekarang sangat menjengkelkan di matanya.
“Aku cuma mengatakan apa yang dipikiran aku loh, Rish.” Aksara segera menelan makanannya. Beruntungnya makanan itu telah habis. Dia bisa fokus untuk menjelaskan. “Kamu tahu kenapa aku perlu waktu selama sepuluh tahun buat ngehubungin kamu lagi? Aku mempersiapkan segalanya agar pantas buat kamu. Aku melakukan banyak hal agar aku bisa bersanding dengan kamu. Aku nggak mau ketika kamu memiliki value yang tinggi, dapetin aku yang rendah. Aku nggak mau kamu ngerasa rugi dapetin aku. Makanya aku perlu waktu sebanyak itu untuk berhasil.”
“Gue nggak tahu lo ngelakuin itu semua.”
“Pesan kamu saat itu menyelamatkan aku dari semua keterpurukanku, Rish. Jika nggak ada pesan kamu, aku nggak mungkin bisa bangkit setelah kena penipuan. Saat itu titik terberat aku. Aku bangkit lagi buat ketemu kamu. Sekarang aku berani untuk melakukan itu sebelum orang lain datang. Tapi sepertinya orang itu sudah datang.”
“Gue nggak tahu gue seberharga itu.”
Aksara menarik wajah Irish untuk menatapnya. Wanitannya ini telah dewasa dan bertambah cantik daripada sebelumnya. Wajah dewasanya semakin terlihat matang. Mata Aksara beralih ke bibir merah muda Irish. Bibir yang selalu menggoda dirinya sejak pertama kali mereka bertemu kembali di perumahan miliknya. Aksara mengecup bibir itu dengan lembut. Hanya sebentar saja dia ingin menikmati manisnya bibir Irish. Sebelum lampu merah berikutnya beralih.
Irish mendorong tubuh Aksara dengan cepat. “Itu lampu hijau, ayo. Sebentar lagi sampai.” Irish menjadi gelagapan. Pipinya memerah.
“Kalau gue punya banyak keberanian, dari dulu gue udah dateng, Rish. Tapi gue nggak mau dateng dengan tangan kosong buat nunjukin diri gue. Gue harus sukses buat dapetin lo. Lo pantes dapetin orang yang udah berusaha keras, bukan yang harus berjuang dari nol. Gue nggak mau lo susah bareng gue. Gue maunya lo tinggal ngerasain kerja keras gue. Sekarang gue udah siap.”