Suhu semakin dingin, langit semakin gelap, bahkan angin pun sudah mulai menerbangkan rasa kantuk. Kafe di kota itu sudah semakin sepi. Tersisa hanya beberapa mahasiswa yang menghabiskan waktu. Entah apa yang mereka bicarakan tadi, sebanyak apa hingga membuat Irish lupa bahwa motornya masih berada di parkiran kantor. Jam segini pasti sudah tutup, Irish harus mengeluarkan uang lagi untuk memakai jasa ojol. Semua ini gara-gara pria di depannya.
“Aku rasa kita terlalu lama di sini. Mau pulang?” Irish melirik dengan tajam.
“Lo pikir aja gimana?”
“Maaf. Ayo aku anterin.” Aksara terlihat bersalah. Pria itu seperti sengaja berlama-lama di tempat ini padahal mereka tidak banyak mengobrol. Yang mereka lakukan hanya berputar-putar untuk menemukan jawaban masing-masing. Sangat tidak efektif.
Irish tidak bisa menolak. Dia sudah sangat mengatuk saat ini. Apalagi banyak pekerjaan yang dia selesaikan hari ini. Jika bukan karena pria di depannya, Irish pasti sudah tidur sejak tadi. Sekarang dia harus menurut saja. Asalkan dia bisa pulang dengan selamat ke kosannya.
Selama perjalanan Aksara tidak mengajak Irish untuk berbicara. Pria itu hanya diam. Dia tahu Irish sedang lelah dan butuh istirahat. Perempuan itu bahkan sudah terlelap ketika mobilnya berada di depan gerbang. Untungnya Irish sudah memberikan alamatnya, jika tidak mungkin mobil itu masih berputar-putar di sekitaran kota.
“Rish, bangun … udah nyampe.” Aksara berusaha menggoyangkan tubuh Irish tapi perempuan itu masih terlelap. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba mobil yang berada di belakangnya membunyikan klakson. Aksara turun dan melihat siapa dalang di dalam mobil itu.
Tanpa Aksara sangka, pria itu ternyata sahabat lamanya. Lebih tepatnya mantan temannya. Jeremy yang melihatnya dari kemudi pun tertawa singkat. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan mantan temannya juga.
“Heih. Ngapain lo di sini?” Jeremy membuka pintu mobilnya. Wajah tengilnya langsung membuat Aksara meradang.
“Bukan urusan lo.”
Jeremy menengok ke dalam mobil. Ternyata dugaannya memang benar. “Kamar Irish ada di sebelah gue tuh. Gue bisa bantu angkatin kalau lo mau.” Jeremy menaikkan alis kanannya.
“Lo satu kosan ini sama Irish?” Kedua alis lebat Aksara menukik tajam. Wajahnya yang tegas semakin memperlihatkan intimidasinya.
“Bukannya udah jelas kalau dia tidur di sebelah kamar gue? Bahkan gue pernah main ke kamarnya. Lo belum pernah ya? Pantes lo nggak bisa masuk kosan.” Jeremy dengan entengnya mengatakan itu dan membuka gerbang selebar-lebarnya. “Dah tuh lo bisa masuk. Nggak mau masuk? Atau mau bawa Irish kabur ke rumah lo?”
“Gue lebih heran kenapa lo bisa nemuin kosan Irish. Motivasi lo apa?”
“Emmm … menurut lo kalau gue berani pindah ke kosan ini kenapa?”
Aksara maju satu langkah. Dia menarik kerah Jeremy. Pria itu ikut terangkat tapi tak terlihat gentar sedikitpun. “Gue rasa, lo seharusnya sekarang berhenti membuat gue samsak. Kayaknya putri yang lo kasihi itu baru bangun.”
Aksara melepaskan kerah Jeremy dan berjalan ke pintu mobil tempat Irish duduk. Benar saja, Irish membuka pintu mobilnya. Perempuan dengan mata sayu itu terlihat kurang seimbang dengan tas di tangan kanannya.
“Gue rasa kalian lanjutin aja debat nggak pentingnya. Lain kali kalian bisa main ke kosan gue buat party. Kapan-kapan gue bikinin party biar kalian puas ngomong. Nggak pernah ada kesempatan ngomong kan kalian berdua?”
“Kita nggak butuh itu.” Jawab keduanya secara bersamaan.
Irish sedikit terkejut dengan harmonisasi keduanya. Dia tersenyum tipis. “Oke. Seminggu lagi gue adain party. Untuk minggu ini cukup berhenti ganguin gue dulu.”
Irish berjalan ke arah gerbang dan meninggalkan keduanya yang saling memberikan tatapan perang. Keduanya terlihat lucu. Sebelum benar-benar melewati gerbang, Irish menoleh kembali. “Oh ya. Terima kasih Aksara.” Irish meninggalkan keduanya.
Malam itu Irish mendapatkan jawaban tentang semua kesepian yang dia rasakan selama ini. Dia memang seharusnya menyelesaikan sesuatu yang belum berakhir dulu. Tidak selamanya hidup yang terasa baik-baik saja itu memang benar-benar baik. Kenyataannya memang ada banyak cerita yang belum selesai tapi dipaksa selesai hingga akhirnya harus kembali dipertemukan seperti ini. Takdir memang tidak bisa disangka-sangka.
***
Irish melupakan sesuatu. Dia belum membalas pesan Zoey dari tiga hari yang lalu. Perempuan itu sudah mengirimkan pesan terbaru. Pastinya sedikit perasaan dongkol muncul karena tidak ada balasan dari Irish.
Zoey: Rish, tanggal 4 bisa dateng ke gedung buat ngecek catering sama dekorasi nggak? Gue harus keluar kota nih. Ada kerjaan, jadi sebagai bridesmaid gue, tolong yah.
Zoey: Rish, gue lo bisa kan ya?
Zoey: Rish, gue mohon kali ini bantuin gue yaa. Huehue. Sekalian lo fitting baju di butik tante gue, lo bisa milih desain sendiri kalau nggak suka.
Zoey: Rish, gue udah mau take off nih. Jangan lupa besok ya.
Setelah melalui banyak hal untuk mencapai kedamaian dirinya. Irish menjadi lebih antipati daripada sebelumnya. Dia terkadang lupa membalas pesan seseorang. Bahkan teman terdekatnya sekaligus. Irish terkadang merasa bersalah tapi dia juga tidak ingin merasa terbebani dengan ekspektasi mereka. Dia juga tidak ingin mengecewakan Zoey.
Irish: Oke. Safe flight ya. Biar di sini gue yang ngurusin besok. Meskipun gue menolak untuk menjadi bridesmaid, apa boleh buat kalau lo memaksa. Jangan lupa bawa oleh-oleh ya. Awas kalau nggak dapet persenan gue nih.
Irish selalu berusaha menanggapi pesan dari temannya sebaik mungkin. Dia tidak ingin merasa mereka terlalu banyak memberi tanpa menerima dari dirinya. Meskipun sabtu memang menjadi waktu yang menarik untuk diam di rumah dan membaca semua naskah yang masuk, tapi tetap saja dia harus memprioritaskan urusan temannya. Pekerjaan bisa dia kerjakan malamnya. Dia harus tetap menjaga persahabatan mereka yang sudah terjalin selama sebelas tahun. Itu bukan waktu yang singkat untuk menjalani persahabatan. Dia tidak boleh menyia-nyiakannya.