Selama dua minggu belakangan Irish menjadi lebih dekat dengan Radit. Beberapa kali juga Irish menghabiskan waktunya dengan teman lamanya, Jeremy. Dirinya seolah melupakan sosok pria yang kemarin belakangan datang lagi menghantui dirinya. Irish sampai berpikir bahwa pria itu memang sudah cukup dengan rasa penasarannya. Tetapi sebenarnya jauh di dalam hatinya, Irish merindukan sosok itu. Irish ingin pria itu berusaha lebih keras lagi untuk dirinya. Irish ingin Aksara bisa mempercayainya.
“Kamu merindukan dirinya dalam hangatnya senyuman yang dia berikan. Kamu tahu dia itu harapan terdalammu, tapi apa kamu percaya itu?”
Kalimat dari novel yang Irish sunting membuat dia berpikir lebih banyak lagi. Selama ini dia sudah berusaha hidup lebih baik tanpa adanya urusan percintaan yang rumit. Irish sudah lelah terlibat masalah itu. Baginya cinta itu memang sebagai penghambat hidupnya. Sekarang dia bahkan tidak bisa fokus dengan novel yang ada di depannya.
Tok tok tok …
Perempuan dengan senyuman manis itu masuk ke dalam ruangannya. Perempuan yang sama yang berhasil mengenalkannya kepada teman sekantor yang menyukainnya. Perempuan itu terlihat bekali-kali lipat lebih bahagia daripada sebelumnya.
“Lo kenapa tiba-tiba kayak gitu?”
“Gue habis dapet makaroni dari bakery yang baru buka. Gue mau nyobain ini bareng lo.” Franda tersenyum sambil memperlihatkan kantongnya.
“Bawa minum nggak?” tanya Irish.
“Enggak. Hehe.” Irish langsung berjalan ke meja berisi minuman serbuk. Irish membuatkan minuman untuk Franda dan dirinya.
“Kayaknya emang lo udah siap buat dijadiin istri kalau gue pikir-pikir sih, Rish. Kayak … lo tuh perhatian banget. Gue lihat-lihat hubungan lo sama Pak Radit ada kemajuan. Boleh dong diceritain.” Franda mengatakannya dengan ringan tanpa merasa terbebani tapi matanya fokus menatap makaroni di dalam kotak plastik bening itu.
“Udah nebak kalau emang lo punya niat busuk.”
“Haha.” Franda mendongak sambil tersenyum semakin lebar. Dia menerima kopi susu yang dibuatkan oleh Irish. Sejujurnya Irish memang selalu melakukan itu. Dia senang bergaul dengan seniornya di kantor ini. Irish tidak pernah terlihat seperti senior yang sok, dia sangat mengayomi. Untuk itu kenapa Franda sangat nyaman berteman dengan Irish.
“Emmm enak banget ini. Nggak terlalu manis. Lembut juga makaronnya.” Irish mengambil dan memakan makaron berasa manis itu. Meskipun ada niat busuk, selama Franda membawa makanan Irish akan menerimanya dengan tangan terbuka.
“Gue ke sini juga sekaligus mau mastiin gimana hubungan lo sama yang kemarin nawarin lo buat nikah tiba-tiba.”
Wajah Irish terlihat tegang. Irish tidak siap dengan pertanyaan ini. Dia akan lebih siap menjawab pertanyaan mengenai Radit dan dirinya atau dirinya dengan Jeremy. Irish rasa itu pertanyaan yang lebih mudah daripada ini. Karena Irish juga tidak tahu jawabannya.
Irish hanya pada akhirnya sekadar menggeleng. “Gue juga udah nggak lihat dia di sekeliling gue selama dua mingguan ini. Yah mungkin emang rasa penasarannya udah terpuaskan.”
“Tapi lo mikir juga nggak sih kenapa dia tiba-tiba mau ngajak lo nikah? Padahal selama sepuluh tahun dia nggak pernah nyariin lo. Terus muncul tiba-tiba ngajak lo nikah. Dia juga tiba-tiba nyamperin lo ke sini. Lo nggak mau nyari tahu maksud tersembunyi dia apa? Kayak … nggak mungkin banget dia dateng ke elo secara tiba-tiba.”
Irish tidak pernah terpikirkan masalah ini. Dia memang tidak percaya dengan kedatangan Aksara yang tiba-tiba tapi dia tidak pernah memikirkan alasan dibaliknya. Irish sepertinya melewatkan sesuatu.
“Kok gue baru nyadar ya?” Irish melirik Franda. Perempuan itu menatapnya balik. “Jeremy, temen gue yang pernah ada masalah sama Aksara juga tiba-tiba pindah ke Semarang. Samping kamar gue. Kayak … aneh nggak sih?”
“Aneh sih. Tapi lo ada alasan kenapa mereka ngelakuin itu?”
“Gue rasa mereka ada kaitannya sih.”
***
Pulang dari kerjaan adalah bagian yang paling membahagiakan untuk Irish. Dia bisa pulang dan berputar-putar mencari makanan ringan di sepanjang jalan. Makanan di pinggir jalan selalu menjadi makanan terbaik untuk membuatnya senang. Setidaknya dari semua perjalanan yang dia lalui, dia menemukan makanan yang enak.
Tapi ternyata pikiran itu hilang gitu aja ketika Irish mendapati Aksara menunggunya di depan kantor. Pria itu memakai mobil keluaran terbaru. Tubuhnya disandarkan bak model-model pada umumnya. Banyak perempuan yang menatapnya. Siapa lagi yang memang bisa menolak aura pria matang? Irish juga akan melakukannya jika dia pria itu memang baik. Tapi apa yang dilakukannya terakhir kali berhasil membuat dirinya membenci pria matang itu.
“Tunggu, Rish. Kita harus bicara!” Pria itu berlari ke arah Irish dan menarik pundak Irish untuk menghadapnya.
“Nggak, ada yang perlu dibicarain. Ada, Rish. Banyak. Kita ngomong dulu ya.” Pria itu menatap Irish dengan tatapan memohon. Irish menjadi sedikit berempati, apalagi dia melihat kantong mata yang menghitam di bawah mata Aksara.
“Emang sebanyak apa?” Irish menyedekapkan tangannya seolah untuk membentengi dirinya. “Lo juga bakal ngasih tahu alasan lo bisa ngehubungin gue lagi setelah sepuluh tahun nggak ada apa-apa?”
“Banyak. Aku tahu kamu akan bertanya itu. Tapi aku akan jawab pertanyaan kamu satu persatu ya.” Aksara memohon dengan sangat. “Aku harap aku punya kesempatan untuk itu.”
“Oke.” Irish berpikir memang ada baiknya semua ini bisa menemukan titik terang agar dia tidak bertanya-tanya. Agar dia tidak memiliki pikiran negatif tentang Aksara. Dia tidak ingin kebencian itu hidup dalam dirinya lebih lama. Kenyataanya memang semua yang pernah dimulai harus diakhiri dengan baik agar tidak ada penyesalan di belakangnya.
“Kita bicara di tempat yang kamu pilih. Kamu mau ke mana?”
“Terserah. Lo yang ngajakin, gue ngikut aja.”
Aksara berakhir mengajak Irish ke tempat coffe shop. Aksara memesankan milkshake dan kue manis sebagai pelengkap. Bagaimanapun Irish pasti lapar sehabis bekerja keras hari ini.
“Makasih.” Irish tidak bisa menyembunyikan binar di matanya. Dia sangat meyukai kue red velvet yang kini berada di depan matanya. Aksara menjadi lebih bangga dengan kemampuannya.
“Kita mulai dari … kamu ingin tahu dari mana?”
“Tentu dari alasan kenapa kamu tiba-tiba ngehubungin gue. Setelah … you know, gue hampir punya pasangan di tahun ini.”
“Siapa orangnya? Radit?” Aksara berusaha menekan suaranya agar tidak terdengar keras.
“Satu hal yang gue benci dari orang ketika ngobrol atau debat itu dengan cara ngebentak, gue nggak suka kalau dibentak. Lo harus kontrol emosi lo.”
“Aaarrghh. Aku juga nggak tahu kenapa lepas kendali gitu aja kalau ada sangkut maunya sama kamu, Rish. Kayak … aku nggak bisa kontrol itu dengan mudah.”
“Lo harus kontrol itu. Salah satu alasan kenapa gue nggak pengen menikah tuh ini. Gue paling benci kalau dikasarin. Gue paling benci kalau rebut-ribut masalah ginian.”
Irish seketika melihat banyak ketakukan yang muncul didirinya. Dia rasanya tidak siap dengan ini semua. Dia tiba-tiba merasakan ketakutan yang sama seperti dulu. Dia takut memulai, takut mengulangi kesalahan yang sama. Dia takut berhubungan dengan orang lain.
“Boleh aku tahu ketakutan-ketakukan kamu agar aku bisa bersikap lebih baik lagi?”
“Terus kalau gue udah menceritakan segalanya sama lo. Lo mau tahu itu dengan baik? Lo bisa memperlakukan gue dengan baik? Lo yakin lo nggak akan nyerah gitu aja? Gue nggak butuh pasangan yang pinter ngomong, gue butuh bukti.”
Satu hal yang Aksara tidak pernah tahu, Irish tidak pernah percaya dengan seorang pria. Beberapa kali berhubungan dengan pria, semuanya sama saja untuknya. Mereka hanya pintar besilat lidah. Irish juga tidak ingin memperdalam persaannya untuk Aksara. Dia sudah pernah melakukannya. Dia tidak ingin perasaannya sia-sia kembali. Salah satu orang yang menjadi pembelajaran berharga untuknya itu kini di depannya.
“Aku tahu, aku bisa lihat dari mata kamu kalau kamu emang nggak semudah itu buat percaya sama aku. Aku tahu kamu pasti nggak akan percaya sama janji-janji seorang pria lagi tapi aku harap kamu bisa lihat sosok pria lain dari diri aku. Aku yakin aku beda dengan mereka.”
“Memang apa yang membedakan? Lo nggak bisa nyimpulin kayak gitu ketika lo masih menjadi bagian dari jenis yang sama. Bukankah lo akan terlalu subjektif?”
“Kalau gitu, biar kamu yang nyimpulin semua itu. Aku akan berjuang sebisa aku. Salah satunya untuk menghubungi kamu saat ini.”
“Daritadi belum terjawab. Apa seberat itu mengatakan kenapa lo datang lagi ketika sepuluh tahun telah berlalu?”
“Aku … aku ingin jujur dengan perasaanku sebelum ada orang lain yang lebih dulu memastikan perasaannya. Aku nggak ingin aku kecewa berat sebelum aku mencoba.”
“Terus, sekarang bagaimana perasaan lo? Udah puas kan karena udah nyoba?”
“Emang aku udah nyoba? Ini baru sepuluh persennya, Rish. Aku nggak akan mencoba dengan hal seremeh ini.”
“Oh ya?”
“Ya.”
Irish tersenyum dengan muak.