Irish mengutuki dirinya sendiri ketika mengingat kejadian di kafe tadi. Dia tidak seharusnya bisa goyah dengan mudah. Selama ini dia sudah berusaha menjadi wanita karir yang kuat. Dia membangun kepribadiannya yang tidak gentar akan apapun. Tapi kenyataan bahwa kedatangan Aksara membuatnya sadar bahwa semua perasaan yang dia tahan itu muncul kembali.
Irish menggigit bibirnya. Air matanya kembali turun meksipun dia tidak ingin menangis. Air mata itu tanpa sadar menetes kembali. Dia merasa perasaannya baik-baik saja. Entah hanya dirinya yang merasakan begitu tapi tidak dengan alam bawah sadarnya. Irish menutup telinganya. Suara-suara orang yang sedang berpesta di samping kamar kosnya terdengar sangat manganggu.
Irish tidak menyangka dia bisa tinggal di kos-kosan bebas yang benar-benar sebebas itu. Hampir tiap malam dia bisa mendengar suara orang memutar lagu dengan kencang. Ketika lagu itu berhenti atau berganti, di bagian jedanya terdengar desahan-desahan yang menganggu kenyamanan tidurnya.
Irish bangkit dari tidurnya. Dia berjalan ke arah balkon, membuka pintu kaca, dan mulai berteriak.
“WOEY!!! BISA NGGAK KALAU NGESEKS TUH DI HOTEL AJA?” Teriakan itu sepertinya tidak berguna untuk saat ini karena bukannya mereka berhenti suara musik justru semakin dikencangkan. “AAAAAAA. ORANG KALAU BODOH KENAPA DITERUSIN SIH? BERISIK BANGETTTT. INI NEGARA HARUSNYA SEGERA BIKIN UNDANG-UNDANG BUAT PARA TETANGGA BIADAB KAYAK GINI!”
“WOEY! BERISIK TAHU NGGAK!” Irish menatap balkon di sebelah kanannya. Balkon itu milik seseorang yang sedang menikmati kopi di balkon.
“What? Lo keganggu sama gue? GUE LEBIH KE GANGGU SAMA SEBELAH KIRI GUE!”
“Ya terus? Mau lapor ke mana? Polisi? Lo kan bilang sendiri kalau negara ini harus bikin undang-undang.”
“Gue nggak pernah komplain ya! Baru kali ini.”
“Oh ya?” Pria yang memakai pakaian hitam itu tiba-tiba mendekat ke arahnya. Pria itu melepaskan kacamatanya. Irish terkejut dibuatnya. Dunia memang sempit sekali sepertinya.
“Jeremy! Anjir lo ada di sini?”
“Heemm. Baru aja pindah. Tapi kayaknya salah pindah. Lo apa kabar?”
“Emm enggak baik tapi baik. Gitu deh pokoknya.”
Jeremy memainkan bibir bawahnya dengan tangan. Bibir merah muda itu seolah sedang menjadi kebiasaan untuk menjelaskan pikirannya sendiri. “Gue denger lo mau pindah dari sini? Beneran tuh?”
“Yaps. Tapi masih nyari-nyari dulu.”
“Gue juga baru dikasih tahu manajernya Aksara kalau lo dateng ke developer perumahan dia. Udah ketemu dia?” Jeremy menaikkan alisnya. Pria itu menunggu kejujuran Irish.
“Ya. Begitulah.”
“Gue denger dia juga udah ngelamar lo. Gimana tuh? Lo masih suka sama dia kan?”
Irish tersenyum pahit. Dia tidak rasa dia masih ingat gimana perlakuan Aksara dengannya dulu. Tapi pria itu jauh telah berubah seperti yang tidak Irish kenal. “Dia udah sangat berbeda. Gue juga udah banyak berubah. Aku harap,”
Jeremy menatap tangan Irish yang sedang memainkan jarinya. Pria itu memang harus pulang ke Semarang kembali. Banyak alasan untuk pulang, salah satunya ada di depannya. Dia ingin melihat Irish bahagia.
“Kenapa lo masih baik sama gue, Jer? Gue udah bikin pertemanan kalian rusak.”
“Itu masa lalu. Toh dia juga udah sadar persaannya sekarang. Itu lebih bikin gue tenang.”
“Tapi, lo? Gimana?”
“Gue baik-baik aja. Gue udah selesai. Tapi kalau lo masih mau balikan sama gue, gue oke aja sih. Meskipun perasaan lo bukan buat gue.”
“Enggak lah. Sakit jiwa kalik gue kalau ngelakuin itu.” Irish memukul lengan Jeremy dan menggelengkan kepalanya. Dia tidak menyangka pria di depannya masih memiliki selera humor yang sama.
“Berarti bener kalau lo masih suka sama dia?”
“Gue nggak tahu, Jer. Nggak bisa didefinisikan dengan mudah karena dulu gue sesuka itu, banyak hal gila yang gue lakuin buat dapetin dia tapi sama sekali nggak ada respon. Justru lo yang selalu ngebelain gue malah jadi musuhnya sekarang. Gue nggak mau orang-orang semakin terluka.”
Jeremy ingin mengusap rambut Irish. Dia ingin meraih kepala itu untuk bersandar di dadanya. Dia ingin Irish bahagia. Dia ingin melihat perempuan itu tertawa kembali. “Rish, gue nggak bisa bantu apa-apa selain ngasih lo nasihat buat ngikutin perasaan lo. Lo harus tahu mau lo itu apa. Lo harus jujur sama perasaan lo.”
“Mungkin kalau dia datang di tahun-tahun yang lalu, gue akan dengan sangat senang hati menerimanya. Tapi enggak kalau buat tiba-tiba dateng saat ini. Dia … terasa enggak nyata.”
“Lebih baik, lo coba dulu. Lo akan tahu dia baik buat lo apa enggak.”
Irish menjadi punya jawaban atas segalanya. Dia hanya bisa tersenyum saat ini. Berusaha untuk menggali perasaan yang sudah lama tersimpan di hatinya tidaklah mudah. Irish bahkan tidak pernah berusaha mencari atau menemukannya. Dia seolah telah kehilangan perasannya. Hidupnya menjadi lebih hening dan bernuansa hitam putih selama ini. Dia takut jika harus mencoba mengembalikan warna-warna di hidupnya. Dia takut kalau kebahagiaan tidaklah sesuai seperti yang dia harapkan. Dia tidak mau mengulangi perasaan yang salah lagi. Semuanya terlalu melelahkan.
***
Irish kira semuanya akan tetap baik-baik saja jika dia diam. Tapi ternyata tidak semudah itu. Berulangkali Irish mencoba untuk fokus dengan laptopnya tetapi tidak bisa. Pikirannya jauh melayang ke kejadian kemarin. Dia bahkan tidak melihat Aksara datang hari ini. Dia menjadi berharap bahwa Aksara akan menjelaskan segalanya. Dia berharap Aksara dapat membuktikan perasaannya tapi ternyata tidak. Lagi-lagi Irish hanya berharap lebih. Aksara bukanlah pria seperti itu. Dia harusnya sadar.
Pintu ruangannya diketok. Dari siluetnya, Irish bisa menebak bahwa yang datang adalah Pak Radit. Irish mempersilakan masuk. Benar saja, pria itu datang sambil membawa tas besar.
“Saya kira kamu ini benar-benar tidak pernah keluar kalau makan siang. Jadi, saya datang membawa camilan ini.”
Irish mengambil tas belanjaan itu. Matanya terlihat berbinar seketika. Itu semua adalah makanna favoritnya. Sejenis ciki-cikian, kripik kentang, makanan manis, dan beberapa minuman susu beraneka rasa. Jangan lupakan segala jenis olahan matcha yang bisa pria itu temukan.
“Wahhh! Pak Radit tahu aja kalau saya suka semua ini. Dari Franda ya, Pak?”
Pria itu terlihat malu. Tangannya menggaruk leher. “Iya. Begitulah. Kamu ada waktu luang hari ini? Saya ingin mengajak kamu ke pasar malam. Saya rasa ini memang tidak cocok untuk—“
“Saya suka kok, Pak. Saya suka sesuatu yang sederhana. Apalagi udah jarang banget waktu luang buat pergi. Nanti malam ya? Habis pulang dari kantor kita ke sana ya, Pak.”
“Baik. Terima kasih. Saya permisi dulu.”
Ajakan itu tidak ada salahnya Irish terima bukan? Toh memang dia sudah lama tidak pernah menikmati hidupnya. Irish tidak boleh melewatkan kesempatan untuk mencicipi street food yang lagi beken. Dia juga ingin kembali muda loh ya.
Selama di pasar malam. Irish tidak bisa fokus menikmati waktunya dengan Pak Radit. Entah mengapa kebiasaannya yang dulu itu muncul kembali. Dia tiba-tiba berharap bahwa Aksara datang ke tempat itu dan melihatnya. Dia ingin melihat pria itu cemburu. Tapi sampai kapanpun Irish tidak akan bisa mewujudkan itu. Kenyataannya selama hampir satu jam menaiki wahana dan mencicipi makanan, Irish tidak menemukan sosok pria yang dicarinya. Irish seharusnya tidak memiliki perasaan itu. Dia seharusnya menjadi lebih dewasa setelah semua yang dia lakukan. Seharusnya dia bisa fokus dengan apa yang terjadi di depan. Sekarang dia sedang bersama Radit. Dia harus fokus dengan Radit, bukannya mengharapkan pria itu muncul di sini.
“Kamu mau lagi? Saya bisa pesenin tanghulu lagi kalau kamu mau.”
“Enggak, Radit. Ini sudah cukup. Saya bisa kena diabetes kalau kebanyakan makan manis.”
“Loh saya justru kena diabetes setelah bertemu kamu.” Irish menatap Radit dengan heran. Ternyata pria yang terlihat sehat di sampingnya memiliki penyakit mematikan. “Kamu manis banget soalnya.”
“Haha.” Irish tertawa mendengar gombalan itu. Dia kira Radit memiliki sakit yang parah. Ternyata hanya gurauan semata. Irish pikir, Radit tidak buruk-buruk amat jika nanti menjadi pasangannya. Radit baik, pintar, sopan, dan juga memiliki humor yang bagus. Radit mendapatkan poin plus dari dirinya malam ini.