Sebenarnya kompleks perumahan di tempat kerja Irish tidak seramai kompleks yang lain. Tapi kafe dekat perkantoran pasti memiliki pengunjung yang banyak. Setelah memilih untuk fokus dengan hidup sendiri, Irish hampir tidak pernah menghabiskan waktunya di kafe. Dia lebih memilih untuk menulis cerita. Baginya, dengan menulis cerita dia bisa menjelajahi banyak dunia. Tidak ada dunia yang tidak bisa dia pijaki jika sedang berkutat dengan imajinasinya. Terbukti kegabutannya itu berhasil membuatnya menjadi seorang penulis. Meskipun tidak seberapa tapi gaji seorang penulis cukup untuk menghidupinya. Bahkan bisa menjadikan tabungan di hari tuanya.
Namun, kali ini Irish harus kembali mencoba sesuatu hal sudah tidak lama dia lakukan. Datang ke tempat ramai membuat jantungnya berpacu dengan cepat. Dia tidak akan pernah ke sini jika bukan karena Radit yang memintanya.
Radit: Saya sudah di dalam. Kamu ada pesanan yang mau saya pesankan?
Irish: Tidak perlu, Pak. Saya bisa memesan nanti.
Irish menutup ponselnya. Dia sedang menunggu jalan untuk menyebrang. Ketika dirasa motor dan mobil berjarak jauh darinya, kaki Irish mulai melangkah. Dari arah berlawanan ternyata ada motor yang melaju kencang. Tangan Irish berhasil ditarik oleh seseorang. Irish terkejut dan tubuhnya gemetar tanpa sadar.
“Sudah, tenangkan dirimu dulu,” ucap seorang pria yang kini mengelus rambutnya.
Irish mendorong tubuh itu dengan kuat. Beruntungnya dia masih punya tenaga meskipun tubuhnya masih syok. Irish memang memiliki kekurangan dalam melihat lalu lintas. Perempuan itu terkadang bahkan menyebrang dengan sembarangan. Dari jarak yang lumayan dekat saja dia pernah tiba-tiba menyebrang. Tapi beberapa kali Irish juga hampir terserempet kendaraan bermotor.
“Ngapain lo ke sini?”
“Bukannya aku udah bilang kemarin kalau besok kita ketemu di kantormu? Berarti hari itu ya hari ini.”
“Kemarin kita udah ketemu. Buat apa ketemu lagi?” Irish memutar tubunya. Kali ini jalanan sepi. Dia bisa menyebrang dengan mudah.
Aksara mengekori Irish. Kaki jenjang pria itu tidak akan kesusahan mengikuti langkah orang ada di depannya. “Aku harus banyak bertemu denganmu agar kamu mengingatku.”
“Buat apa?”
“Ini wujud dari keseriusanku, Rish.”
Irish tersenyum mendengar jawaban dari Aksara. Otaknya bekerja dengan cepat untuk memikirkan ide yang tidak pernah dia sangka. Meskipun akan tidak nyaman untuknya juga, tapi ini lebih baik. Irish bisa langsung memastikan keduanya.
“Oke. Kita ke kafe dulu aja.” Irish dengan berani membuka pintu kafe dan berjalan ke arah Radit.
Pria bernama Radit itu sebenarnya tidak terlalu tua untuk Irish. Mereka hanya terpaut tiga tahun. Irish berumur dua puluh enam tahun, sedangkan Radit berusia tiga puluh tahun. Masih di usia ideal dengan yang Irish inginkan. Justru Irish sengaja menginginkan pria yang lebih tua sedikit darinya. Irish memiliki banyak pemikiran yang perlu dipuaskan oleh mereka. Banyak hal-hal gila yang ingin Irish bicarakan. Dia ingin orang yang dia ajak bicara itu tahu dengan baik apa yang dia inginkan. Pernikahan sejatinya hanya tentang sebuah percakapan.
Sekarang kedua pria itu duduk di depannya karena Irish sengaja menaruh tas kerjanya di kursi samping. Alhasil pria berjas formal itu cemberut dibuatnya. Aksara terlihat lucu tapi dia lebih memilih mengalihkannya dengan menu kue di depannya.
“Saya mau pesen red velvet sama jus alpukat.”
Kedua pria itu memilih untuk memesan kopi. Terlihat aura permusuhan di antara keduanya. Irish menyangga dagunya dengan kedua tangan. Dia menatap dua pria yang kini ingin dekat dengannya. Kedua pria yang berhasil mengeluarkan Irish dari kenyamanan hidupnya.
“Jadi, coba kalian jelasin niat kalian.”
“Rish, bukannya nggak sopan kalau membawa orang lain ke tempat pertemuan kita?”
“Oh, gitu ya Pak Radit? Ini aku harus panggil pak atau gimana?”
“Panggil Radit aja.” Radit sedikit tersenyum ketika namanya diucapkan oleh Irish. Pria bertubuh tegap dengan otot yang tak kalah dari sebelahnya itu cukup membuat Irish mengangguk-angguk.
“Radit, ini namanya Aksara. Dia adalah pria yang melamarku.”
“Kok kamu pake aku-kamu sama dia? Kok sama aku enggak?” Aksara tiba-tiba merajuk. Pria itu terlihat childish di mata Irish.
“What? Santai aja nggak sih? Lo berdua beda level tolong!” Irish memutar bola matanya.
“Nggak! Aku mau dipanggil aku-kamu juga.” Aksara menyedekapkan tangannya.
“Oke. Lo gue aja semua.” Aksara terlihat kecewa. Padahal dia sangat menginginkan panggilan itu secara langsung.
“Jadi, gue nggak tahu kenapa ketika gue nggak ada yang deketin kalian nggak datang ke gue. Tapi ketika salah satu di antara kalian mau deketin gue malah langsung dua-duanya. Jadi biar fair, kalian tunjukan aja bagaimana kelebihan kalian.”
“Rish, aku jauh-jauh dari Jakarta buat datengin kamu. Kamu bilang kalau di umur aku yang ke dua puluh tujuh, kalau aku belum nikah bisa hubungin kamu. Terus sekarang kenapa kamu kayak gini?”
“Semua orang bisa berubah, Aksara. Apalagi apa yang lo lakuin ke gue itu nggak sekalipun gue lupa.”
“Terus kenapa lo masih mau ngirim pesan kayak gitu buat gue?”
Volume kedua orang itu tiba-tiba semakin meninggi. Radit yang berada di tempat itu serasa sebagai orang ketiga yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan keduanya.
“Gue cuma iseng doang. Gue nggak pernah mikir kalau lo bakal dateng ke gue!”
BRAKKK …
Aksara menggebrak meja dengan kuat. Pria itu menarik dasinya dan pergi dari kafe. Irish terkejut dan tanpa sadar meneteskan air mata. Dia tidak suka dibentak, apalagi mereka saling beradu argumen. Irish tidak akan memilih pria yang memiliki tempramen seperti Aksara.
Radit yang masih di tempat mulai memahami situasi. Pria itu tidak mengatakan apapun. Pria itu diam tapi dengan lembut mengusap air mata Irish dengan tisu. Irish masih diam sambil memandangi tempat Aksara.
“Kalau kamu mau deketin aku. Tolong jangan pernah bentak aku.” Irish meneteskan air matanya kembali. “Maaf aku harus pergi.”