Siska berhenti berjalan saat tak sengaja menemukan Nita di depan minimarket yang baru saja membuka pintu. Mereka berpandangan cukup lama, hingga terpaksa Nita harus menyudahi keterdiamannya saat seorang ibu-ibu ingin masuk ke minimarket.
Nita melangkah untuk menghampiri Siska. "Hai, Sis."
Siska tidak berniat membalas sapaan Nita. Gadis itu secepatnya meninggalkan Nita dan berjalan memasuki minimarket.
"Ish... Dasar jahat," desis Nita. Dia tidak menyerah sampai di sana. Nita buru-buru masuk lagi ke dalam minimarket, mengejar langkah Siska.
"Lo masih marah sama gue, Sis?" tanya Nita saat sudah menemukan Siska berdiri di depan display mi.
"Heh, jawab dong. Lo segitunya kesal sama omongan gue kemarin?"
"Biasa aja tuh."
"Ya kalau biasa aja, kenapa langsung melengos tadi?"
Siska segera memasukkan dua mi ke dalam keranjang belanjaannya, berlalu ke display bagian snack tanpa mengindahkan kalimat Nita.
"Lo benar-benar tersinggung sama omongan gue kemarin, itu tandanya lo membenarkan itu, Sis. Jadi intinya lo sadar kalau gara-gara perasaan lo, collab kita hancur."
"Iya! Terus kenapa?!" sentak Siska.
Kedua gadis itu sudah lupa bahwa mereka berteriak di tempat umum. Masing-masing merasa paling benar, tidak lagi ada yang ingin mengalah. Pun abai pada petugas minimarket yang memperhatikan sejak awal.
"Gue kan yang udah hancurin harapan lo, jadi gue berhenti. Gue sama Kak Ray bakal keluar, kalian bisa lanjut tanpa kita. Beres, kan?"
"Kok lo ngomongnya gampang banget sih? Harusnya kita nggak kayak gini, Sis. Lo—"
"Apa? Gue emang nggak sesuai sama ekspektasi lo, gue penyebab hancurnya rencana lo, kan? Udah aja, cukup sampai di sini."
Bukan itu yang Nita mau, dia hanya ingin Siska melupakan persoalan kemarin dan kembali bersama-sama merajut harapan. Nita tidak bermaksud membuat gadis itu marah, dia hanya ingin Siska kembali menjadi gadis ceria seperti dulu.
Lupakan soal percintaan yang rumit itu. Nita cuma ingin membuktikan, bahwa Siska tidak sendirian. Namun, agaknya masing-masing dari mereka sama-sama tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan isi hati mereka dengan tepat.
"Terserah!"
Kemudian Nita berlalu dari hadapan Siska dan memilih pulang tanpa penjelasan. Siska menggigit bibir bawahnya, cukup kecewa dengan tindakan Nita.
***
Alan mendesah karena sejak sepuluh panggilan sebelumnya tidak ada satupun yang diangkat oleh Raya. Gadis itu benar-benar marah besar padanya perihal perkataannya kemarin. Alan sadar dia sudah keterlaluan, tapi dia tetap tidak menyangka bahwa Raya bisa semarah itu.
"Goblok lo, kepikiran kan jadinya?" Rosul menghentikan permainan gitarnya, memilih duduk tegak menghadap Alan.
"Gue tahu gue udah keterlaluan, tapi kok Raya bisa semarah itu ya?"
"Sabar, namanya juga cewek. Mereka itu makhluk paling sensitif. Lo lagian kenapa sih kemarin kayak yang lancar banget ngomongin karma. Gue aja yang cowok serem dengernya. Jahat lo."
Alan menunduk, menjambaki rambutnya. Kalimat Rosul benar-benar memukulnya telak. Dia jadi membayangkan bagaimana kecewanya Raya yang mendengar kalimatnya kemarin secara langsung.
"Gue harus minta maaf." Alan beranjak dari duduknya dan meninggalkan kamar Rosul begitu saja.
"Dih, dasar nggak jelas."
Dan di sinilah akhirnya Alan berada. Di depan rumah Raya, menunggu gadis itu keluar dari sana. Walaupun bisa saja Alan meminta bertamu baik-baik ke sana, laki-laki itu tetap memilih menunggu.
"Woy, Alan!"
Ditolehkannya kepalanya ke belakang saat mendengar suara yang sangat familier itu. Alan melepaskan helmnya, tersenyum senang saat Amel sudah di hadapannya.
"Kok lo di sini? Ngapain?"
"Gue ngerasa bersalah banget sama Raya. Gue mau minta maaf, Mel."
Amel memukul lengan Alan pelan. "Ya masuk atuh, ngapain di sini aja?"
"Gue takut."
"Hah? Apa? Takut? Hahaha..." Amel tidak sanggup menahan tawanya. Detik itu juga dia menertawakan wajah lugu Alan yang benar-benar seperti orang dikejar hantu.
"Ih, kenapa lo ketawa? Ini gue serius, dugong!"
"Sorry, ya lo lagian polos amat sih. Tinggal bunyiin bel aja terus izin mau main, kan gampang. Daripada lo di sini terus ya, kan?"
"Iya sih..."
"Ya udah. Semangat ya, gue nggak bisa nemenin lo. Be gentle, okay? Bye, Alan."
Seperginya Amel, Alan kembali berteman dengan kesunyian sekitarnya. Daerah perumahan tempat tinggal Raya memang tidak terlalu ramai, tetap asri dan nyaman sekali. Namun tetap saja tidak mampu membuat perasaan Alan tenang karena tengah dilanda perasaan bersalah.
"You can do it, Lan."
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Alan memutuskan untuk turun dari motornya. Laki-laki itu mendekati gerbang rumah Raya untuk membunyikan bel, tetapi tertahan saat gerbangnya telah lebih dulu dibuka dari dalam. Alan tercekat ketika bertatapan dengan manik milik Raya.
"Ray..."
Raya yang cukup terkejut buru-buru menggeser tubuhnya untuk menghindar.
"Gue mau minta maaf, makanya gue ke sini."
"Lo nggak salah kok, gue udah bilang kan sama lo buat berhenti minta maaf. Kenapa diomongin terus? Lo bikin gue jadi orang paling jahat tahu nggak, minta maaf mulu."
Alan hanya bisa mengangguk-angguk sepanjang Raya mengomel. "Ya, maaf..."
"Ck. Basi, Lan."
"Maaf gue?" tanya Alan.
"Maaf lo, sama spekulasi lo soal hukum karma itu."
Menarik napas panjang, Raya kemudian melemparkan tatapan sendu. Alan semakin mengerutkan kening, khawatir dengan perasaan Raya yang hancur.
"Maaf, Ray..."
"Bisa nggak sih diam, Lan. Maaf itu prosesnya lama. Kalau nanti gue udah berdamai sama keadaan, pasti gue terima kok. Jadi, mau sebanyak apapun lo bilang maaf, kalau gue belum berdamai sama keadaan, percuma. Jatuhnya malah gue yang kelihatan jahat."
"Oke, tapi... Kalau kayak gini gue nggak bisa tenang, gue semakin merasa bersalah. Gue harus apa, Ray?"
"Lupain aja. Balik kayak dulu lagi, seolah-olah kita emang nggak saling kenal. Beres, kan?"
"Raya..."
Raya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan diberikan kepada Alan. "Ini, gue balikin. Photo card itu nggak salah, gue cuma mau balikin aja."
"Ray, apa dengan kita pura-pura nggak saling kenal lo bisa maafin gue?"
Si gadis mengangguk cepat. "Menurut gue itu cara terbaik, Lan. Gue perlu waktu buat lupain kata-kata lo kemarin. Dan, gue juga yakin lo butuh waktu juga buat damai sama perasaan lo. Jadi, daripada kita kenal cuma buat nyakitin satu sama lain, mending kita akhiri semuanya jadi kayak dulu. Anggap kita nggak pernah saling kenal sebelumnya."
"Raya..."
"Maaf, permisi ya."
Raya berlalu meninggalkan Alan di tempatnya yang masih memandang gamang kepergian gadis itu. Perasaannya sedikit lega setelah mendengar keputusan Raya yang akan berusaha memaafkannya. Namun, di sisi lain Alan merasa bersedih karena harus menerima keputusan seperti itu.
***
Di suatu malam Siska seorang diri duduk di ayunan taman dekat rumahnya. Menggerakkan ayunan itu perlahan, sambil sesekali Siska memandangi langit untuk menghitung bintang.
Lalu, tak berselang lama Raya datang dan menduduki ayunan di sebelah gadis itu. Siska menoleh cepat, terkejut dengan kehadiran Raya karena ini pertama kalinya sejak satu minggu yang lalu Raya menghindar.
"Kak Ray..."
Raya tersenyum lebar, ikut menggerakkan ayunannya. "Udaranya segar banget ya, pantas lo suka di sini kalau malam-malam. Sendiri? Amel mana?"
"Amel jalan sama gebetannya."
"Udah baikan sama Nita?"
Siska memilih mendengus alih-alih menjawab dengan suaranya. Dari gelagat Siska saja Raya bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Sungguh, dia tidak menyangka semuanya hancur dalam waktu bersamaan.
"Gue nggak tahu perasaan lo kayak gimana. Gue cuma dengar sedikit dari Rena soal perkataan Nita kemarin. Dari sana gue simpulin... Nita emang benar, Sis."
Siska mendongak, membalas tatapan Raya yang meneduhkan. Baginya sosok Raya adalah seorang kakak yang pengertian, Siska selalu menemukan kenyamanan saat bersama gadis itu.
"Ini semua hancur karena dimulai sama perasaan pribadi kita. Bukan cuma lo, kita semua. Stop salahin diri lo sendiri, Sis."
"Kak Ray," panggil Siska. "Menurut lo, apa kita perlu lanjutin ini semua?"
"Nggak tahu, gue sih penginnya udahan. Tapi... Kita bisa lanjutin semuanya dengan Skuy Squad. Kita nggak perlu bawa-bawa kedok collab, nanti ujungnya ribet. Apalagi kalau sama cowok, kan? Rasa baper tuh nggak bisa diprediksi lho."
"Lo benar, Kak."
Raya berhenti mengayunkan kakinya. Dia mengulurkan lengannya untuk mengusap bahu Siska. "Ayo sama-sama lupain masalah hati kita, Sis. Gue juga mau berdamai sama semuanya. Pelan-pelan aja, pasti lo bisa. Kalau lo tanya kenapa gue bilang gini? Apa karena gue belain Nita? Jawabannya cuma satu, gue pengin pertahanin pertemanan kita. Itu yang paling penting buat gue, kalian semua."
"Maaf ya, Kak. Gue udah sadar sekarang, semuanya emang dimulai dari gue."
"Udah ah, everything's will be okay kok."
Siska segera beranjak dari ayunan, merentangkan tangan dan menarik Raya dalam pelukannya. Gadis bermata sipit itu terisak di bahu Raya.
"Aduh duh, adik gue kok cengeng gini, sih. Malu heh, udah mau delapan belas tahun juga."
Siska menarik dirinya dari Raya. Tertawa pelan, gadis itu berusaha menghapus jejak air matanya dengan cepat.
"Apa menurut lo Nita bakal maafin gue, Kak?"
"Pasti." Raya menabrakkan pelan bahunya dengan bahu Siska. "Dia juga sama merasa bersalahnya kayak lo. Dia pasti senang malah kalau dengar lo minta maaf. Ingat ya, minta maaf bukan cuma buat orang yang salah."
Siska mengangguk kemudian. "Thanks, Kak."
"No need, bestie."
"Ngomong-ngomong, lo udah move on dari Bang Rama?"
"Udah dong," balas Raya yakin. Mendadak dia bangga karena bisa menjawab setegas itu.
"Gue lihat IG story dari Bang Reynald katanya kembaran dia nggak jadi tunangan, Kak."
"Apa?"
Siska tersenyum penuh arti sambil menggerak-gerakkan alisnya ke atas. "Yakin udah move on?"
"Ya... Ya-yakin kok."
"Dia juga punya project di YouTube lho, apa kita collab aja kali ya?"
Mendengus kecil, Raya menggelengkan kepalanya kemudian. "Please, sudahi ya. Mari kita collab dengan para ciwi-ciwi aja. Mari collab tanpa jatuh hati."