3 hari berlalu, 3 hari sudah Mita dan Gio tak berjumpa ataupun berkomunikasi. Di sore yang indah ini, Mita menikmati keramaian jalan raya dari kaca mobil. Seperti yang kita ketahui, gadis itu berinisiatif mendatangi Gio di rumah sakit rawa buaya. Ia akan melakukannya sekarang.
Tak butuh waktu lama, netranya telah menangkap bangunan rumah sakit rawa buaya yang sangat megah. Tembok putih yang berdiri kokoh dengan jendela yang memberi sirkulasi udara cukup mampu memberi kenyamanan bagi para pasien. Seperti Rati yang nyaman berada di sana. Selain tempat yang unggul, para perawat dan dokternya pun sabar.
Ia yang sedari tadi berbaring menatap langit ruangan sontak beralih pada suara gadis yang kini memasuki ruangannya itu. Siapa lagi jika bukan Namita Lekusi. Ia disambut gembira oleh Gio yang langsung beranjak dari sofa. Brankar Rati menjadi tempat pertama yang didekati Mita. Rasa kecewa sontak hadir di benak Gio. Awalnya, Ia menyangka bahwa cewek itu membalas sambutan dengan langsung mendekatinya. Ternyata tidak. Perhatian Mita malah tertuju pada sang Ibu. Dijabatnya tangan Rati sembari berkata, "Ibu, kenalin saya Mita. Sahabatnya Lio!" ucap Mita dengan lembut. Rasa kecewa yang semula mengisi benak Gio, kini berganti bahagia. Gio bahagia mendapati akhlak sopan Mita pada sang Ibu. Inilah momen yang paling ia tunggu sejak lama, momen perkenalan Mita dengan Rati.
Terselip harapan baik tentang hubungan Mita dan Rati di benak Lio. Namun, harapan itu pupus kala Rati melempar tangan Mita usai menjabat tangannya. "Kamu siapa? Aku tidak kenal kamu!"
"Saya sahabatnya Gio Bu!" jelas Mita menempelkan telapak tangan di dada.
"Maaf, Gio sudah punya pacar, kamu tidak usah mengganggu dia lagi!" tegas Rati sangat mengejutkan dua remaja di sana. Tatapan Mita menunduk seketika, matanya terbelalak dengan mulut yang terbuka. Pertanda bahwa ia sangat terkejut. Apakah benar ucapan Rati itu? Mita mengaitkan hal itu dengan pesannya yang tak kunjung dibaca Gio. Apakah Gio tidak melakukan itu lantaran sudah punya pacar? Bak tertusuk jarum hati Mita mendengar kalimat tadi. Ia tak dapat berkata lagi. Bibirnya kelu dengan badan lemas yang tak mampu menopang diri. Alhasil, lantai menjadi tempat sandaran badannya sekarang. Buliran telah menumpuk di pelupuk mata dan siap keluar. Namun, Mita menahannya. Bak tertimpa batu, hati Mita sangat sakit. Mendengar sang sahabat telah memiliki kekasih yang mungkin akan jadi penggantinya.
Gio yang mendapati Mita terjatuh sontak mendekat. "Ibu, bagaimana maksud Ibu berbicara begitu?" tanya Gio berusaha menolong Mita yang tak mengabaikannya. Atensinya tak beralih dari deretan kotak lantai di sana. Sungguh tak disangka, dengan mudah Rati berbicara hal yang tak sesuai fakta. Sontak, Gio terkejut mendengarnya. Lantas, apa maksud dari sang Ibunda?
"Kamu harus mengaku pada dia kalau kamu sudah punya pacar!" jawab Rati menunjuk Mita yang meneteskan air mata. Tujuannya ke sini hanya untuk mengetahui kabar Giio dan sang Ibu. Namun, mengapa jadi begitu? Mita sendiri tak mengerti, yang pasti ia percaya sekaligus tak menyangka dengan omongan Rati.
"Bu... Ibu jangan buat rumor yang aneh-aneh ya. Mita ini sahabatku sejak lama!" Lio berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan Mita agar dapat menenangkan gadis itu. Tangan kanannya tak henti mengusap bahu sang sahabat. "Mita... Plis, kamu jangan percaya. Itu bohong!" bisik Gio. Mita hanya menggeleng dengan bercucuran air mata.
"Mau dia sahabat kamu atau tidak. Ibu tidak peduli karena Ibu sudah punya cewek pilihan untuk kamu!" tegas Rati sedikit menggeser tubuh. Emosi Gio semakin tinggi mendengar itu. Tangan yang sedari tadi bertengger di bahu Mita, kini mengepal kuat. Teringin ia melempar tangan pada orang yang berbicara itu. Namun, sadar akan dosa jika nekat melakukannya. Sebenarnya, apa maksud omongan Rati tersebut? Hasrat Gio untuk bertanya terkalahkan oleh emosi yang melanda. Alhasil, ia mendaratkan sebuah bogeman ke lantai. Tak disangka, wanita yang sangat ia sayangi dapat menghancurkan persahabatannya dengan mudah.
Hanya rasa sesak yang terasa di dada Mita. Nafasnya tak beraturan seolah banyak beban yang menghalangi oksigen untuk masuk ke paru-parunya. Air mata yang tak berhenti menetes menambah rasa sakit di hati. Sudahlah, ia lelah dengan ini. Tubuhnya bangkit dan menjadikan Rati sebagai tujuan utama. "Bu, jika memang anak Ibu sudah memiliki pacar dan kedatangan saya ke sini mengganggu Ibu dan Gio, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya pamit pulang!" Mita membalikkan badan. Perlahan namun pasti, gadis itu berjalan meninggalkan kamar nomor 14B itu.
"Mita... Mita!" teriak Gio mengejar Mita yang kini melewati koridor rumah sakit. Yang dikejar hanya abai seolah tak tahu. Tatapannya tetap lurus dengan kedua kaki yang terus melangkah.
Gio menyusul Mita ke tempat parkir. "Mita... Mita... Kamu jangan percaya dengan omongan Ibuku! Semua itu bohong!" ucap Gio mencegah Mita yang hendak masuk mobil.
"Aku tidak peduli bohong atau tidak. Yang pasti, Ibu kamu sudah memiliki cewek pilihan untuk kamu, sesuai ucapannya tadi. Kamu harus ingat itu. Maaf aku telah mengganggumu. Terima kasih telah banyak membantuku selama ini. Selamat tinggal, Gio!" Mita menutup pintu mobil dari dalam guna menghindari Gio yang berusaha mencegahnya pulang. "Mita... Mita... Dengerin penjelasan aku dulu Mit!"
"Maaf Yo, aku harus pulang! " jawab Mita menurunkan jendela kacanya. Gio tak dapat melakukan apapun. Alhasil, cowok itu mematung sembari menatap mobil Mita yang semakin menjauh.
Mobil hitam itu terparkir begitu saja di garasi rumah megah keluarga Mita. Singgasana di lantai dua menjadi pilihan sang pemilik untuk meluapkan kesedihan. Kasur putih yang empuk telah menerima tetesan air mata. Ya, dari mata Mita asalnya. Gadis itu mendelikkan wajah di tempat tidurnya itu. Tak ayal jika air matanya menetes di sana. Ia meluapkan kesesakan yang sedari tadi tertahan di dada. Kesakitan hatinya berujung menangis. Sungguh, tak disangka. Tujuan baiknya mendatangkan penyakit hati. Ia yang awalnya hanya ingin menemui Gio dan sang Ibu harus menerima kenyataan pahit dari ucapan wanita itu. Harapan Mita untuk menjalin hubungan dekat dengan Rati seolah pupus. Insiden di kamar rumah sakit tadi terputar kembali di benaknya. Hal itu sontak menambah sakit hati. Bukan masalah cemburu, melainkan sikap Rati yang menolaknya tadi yang membuatnya teramat sakit hati. Namun, ada hal baik di balik itu, yakni kerinduan Mita pada Gio telah terobati. Sekarang, terasa malas untuknya berjumpa dengan Gio. Rasa kecewa yang mengisi benak Mita menjadi alasan utama dari kemalasan itu.
*****
Pagi hari kembali menyapa kota Jakarta. Matahari yang tak malu menampakkan diri mengiringi motor matic yang melaju membawa seorang wanita dengan sang anak. Rumah sakit rawa buaya menjadi tempatnya berhenti. Kamar 14B adalah tujuannya. "Selamat pagi Rati!" sapa Mina sembari membuka pintu kaca di sana. Sang pemilik nama 'Rati' itu mengangkat kepala 20 cm dari brankar guna mencari insan yang bersuara tadi. Netra Rati menangkap sang sahabat dengan anaknya yang merupakan teman seangkatan Gio.
"Mina, Lica. Ma Sya Allah cantiknya!" respon Rati dengan senyum lebar. Gio tetap terdiam menatap mereka.
"Bagaimana kondisi kamu sekarang?" tanya Mina duduk di kursi samping brankar.
"Aku udah mulai membaik!" jawab Rati.
"Syukurlah. Semoga semakin terus membaik!"
"Mama..... Aku harus segera ke sekolah!" ucap Lica rapi dengan pakaian seragam. Gadis itu berdiri di hadapan Gio yang mengabaikannya. Dua insan itu menjadi objek tatapan bagi para Ibu di sana.
"Kamu berangkat aja sama Gio. Biar Mama jagain Ibunya Gio!" jawab Mina mengejutkan Gio yang langsung menatapnya.
"Ya sudah deh. Gio, ayo kita berangkat sekolah!" Tangan kiri Gio tertarik oleh jemari Mita yang menggenggamnya.
"Enggak!" spontan Gio berdiri. Lica menghela napas dan melapangkan hati guna menghadapi sikap Gio yang cukup menyebalkan.
"Aku antar kamu pulang buat siap-siap dan kita berangkat sekolah bersama!"
"Benar itu Yo. Kamu harus turutin ucapan Lica biar kamu bisa kembali ke sekolah!" Kini Rati yang berbicara. Cowok berkulit sawo matang itu tak berani membantah ucapan Rati. Dengan ekspresi cemberut dan terpaksa, Gio mengikuti Lica keluar ruangan.
"Aku bakal bonceng kamu naik motor ini tapi kamu nggak usah pakai helm!" ujar Lica tiba di tempat parkir. Gio tak bergeming. Gadis rambut lurus itu memisahkan kendaraan maticnya dari deretan motor di parkiran.
Helm merah telah menutup kepala Lica, ia pun berkata, "lekas naik!" Bibir Gio seolah terkunci rapat. Terasa sangat berat untuknya berbicara. Alhasil, cowok itu hanya menuruti permintaan Lica. Jok belakang menjadi alas duduknya kali ini.
Lica merasa ada yang kurang hingga sadar bahwa Gio tak berpegangan di tubuhnya. "Pegangan napa?" ucap Lica tetap diabaikan Gio.
Tak lama kemudian, motor matic merah terparkir di halaman rumah hijau. Sang pemilik setia menunggu cowok yang tengah bersiap sekolah di sana.
๐น๐น๐น
Sebuah sisir bergerak lembut di rambut ikal Gio. Ia merapikan rambut yang semula berantakan. Cowok itu telah rapi dengan pakaian seragam. Hanya seseorang yang membuatnya semangat untuk menginjakkan kaki di SMP 02 Pancasila. Siapa lagi jika bukan Mita? Teringin Gio menjelaskan semua pada sang sahabat. Tidak masalah dengan siapa ia ke sekolah. Yang terpenting, dapat menjumpai Mita.
Keinginan Gio tak terwujud dengan mudah. Lantaran surat keterangan tidak masuk sekolah milik Mita telah berada di meja guru. Cowok itu membaca sekilas. Surat itu sebagai kabar untuk Guru dan Gio bahwa Mita tengah sakit.
๐น๐น๐น
Tidak ada yang tahu, beban pikiran Mita menjadi pemicu sakitnya sekarang. Cewek 15 tahun itu tengah berbaring dengan kain basah di keningnya. Demam yang mencapai 40°C sangat mengkhawatirkan Lani. Wanita itu rela tak bekerja demi menjaga sang putri. "Nak, ayo makan. Mama sudah buatin bubur khusus untuk kamu!" Lani mendekati ranjang Mita. Pantas jika ia membuat makanan itu. Kondisi Mita yang lemah dan tak nafsu makan mengharuskannya membuat bubur yang dapat mengisi perut Mita.
"Aku nggak lapar Ma!" tolak Mita. Lani meletakkan mangkok bubur di nakas.
"Kamu harus makan. Sedikit saja tidak masalah. Asalkan perut kamu tidak kosong, supaya kamu cepat sembuh dan nggak tambah sakit! Ingat itu!" tutur Lani dengan lembut.
"Perut Mita nggak kosong kok, Ma! Buktinya Mita nggak lapar ini!" Gadis cantik itu berusaha menolak pinta sang Mama.
"Tapi kamu nggak makan dari semalam loh!" cemas Lani. Bukan pertama kali Mita demam, namun kecemasan selalu mengisi benak Lani. Dan kini lebih parah lantaran sang putri yang menolak untuk makan. Tidak biasa Mita menolak hal tersebut kala demam. Justru, ia selalu meminta banyak makanan kala itu. Berbeda dengan sekarang.
"Mama nggak usah khawatir. Aku hanya butuh istirahat dan menunggu sembuh!" jawab Mita tersenyum simpul. Gelengan kepala Lani menandakan bahwa ia tak setuju. Rasa geram yang mengisi benak mendorong Lani untuk mendudukkan tubuh Mita. Tangan kanannya meraih mangkok bubur yang telah dingin itu. Diambilnya sesendok bubur nasi yang kemudian ia masukkan paksa ke mulut Mita. Gadis berbaju hijau juga terpaksa menelannya.
"Kamu itu bawel banget ya kalau dibilangin! Mama mau kamu itu cepat sembuh. Bukan begini caranya!" tegas Lani mengundang ekspresi cemberut di wajah Mita. Rasa bersalah menyelimuti pikirannya. Tiada lagi kata yang dapat ia ucapkan selain 'maaf'. "Sudahlah, sekarang kamu harus nurut sama Mama. Makan dan habiskan bubur ini. Mama juga akan suapin kamu, kok!" Untuk menebus kesalahannya, Mita mengambil mangkok bubur dari tangan Lani. Dengan cepat, Mita menghabiskan makanan itu.
Tak lama setelahnya, rasa mual berselimut di perutnya. Makanan yang telah masuk di dalam tiba-tiba mendesak untuk keluar. Tanpa berkata apapun, Mita berlari ke kamar mandi dengan susah payah menuruni anak tangga sembari menahan desakan makanan itu. Hingga akhirnya lantai biru kamar mandi menjadi tempat keluarnya isi makanan dari perut Mita. Beberapa kali ia memuntahkan itu sebelum akhirnya menyiramnya dengan air.
Badan lemas membawa Mita keluar dari kamar mandi. Langkah sempoyongan menuntun ia menaiki anak tangga ke kamar. Netranya hanya menangkap banyak benda yang mengisi ruangan itu, tanpa ada Lani yang sebelumnya di sana. Wanita itu tengah sibuk membersihkan dapur yang kotor.
Mita langsung berbaring di kasur tanpa memedulikan sang Mama. Mengingat tubuh yang tak mampu bekerja sama, gadis itu memilih untuk tidur. Tidak peduli dengan jam dinding yang masih menunjuk pukul 08.55, yang penting ia dapat beristirahat.
๐น๐น๐น
Thet...
Thet...
Thet....
Suara bel SMP 02 Pancasila menghamburkan para siswa-siswi keluar kelas. Ada yang ke kantin, ke taman sekolah dan ke perpustakaan untuk sekedar melepas lelah usai 3 jam belajar. Seperti Gio yang memilih menyendiri di bangku taman sekolah. Ia menatap Mita dalam bayangan. Ketidakhadiran Mita ini menjadi berita yang mengejutkan bagi Gio. Mengingat kemarin sang Ibu melukai hati Mita membuat rasa bersalah terus bertengger di benak Gio. Awalnya, ia semangat ke sekolah hanya untuk menjumpai Mita. Namun, cewek itu dikabarkan sakit. Semangat Gio sontak pudar seketika. Rasa kecewa pun mengalir ke otaknya. Ia kecewa karena harapannya pupus. Sudahlah, ia merasa lelah dengan sekarang. Hanya diam yang menjadi penenangnya.
"Hai Gio....." panggil Lica yang datang tiba-tiba. Gadis itu langsung memosisikan diri di samping Gio yang menyendiri.