Ruangan putih dengan nakas yang penuh obat, menjadi tempat santai Gio malam ini. Ya, cowok itu tengah menjaga sang Ibu yang menjalani perawatan intensif di rumah sakit. "Bagaimana kondisi Ibu sekarang? Apakah sudah lebih baik?" tanya Gio memilih sofa sebagai tempat duduknya.
"Ibu baik-baik saja Yo. Ayo kita pulang saja! Mending uangnya buat sekolah kamu daripada buat pengobatan Ibu!" jawab Rati. Wanita itu telah beberapa kali mendesak untuk pulang. Namun, Gio tak menyetujuinya.
"Tidak Bu. Ibu tidak boleh pulang kalau belum sembuh. Kesehatan Ibu lebih penting dari apapun!" tutur Lio. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi sang Ibu. Mengingat beberapa hari lalu saat Rati berteriak kesakitan, hati Gio tersayat mendengarnya. Sakit sang Ibu adalah sakitnya. Jadi, wajar saja jika Gio cemas dengan kondisi Rati.
"Ibu sudah sembuh Yo. Ayo pulang!" desak Rati berusaha bangkit dari brankar. Rasa pusing yang memenuhi kepala membuat tubuhnya berat untuk bangkit hingga niatnya terkurung.
"Enggak. Ibu belum sembuh!" jawab Gio.
"Lalu bagaimama untuk biaya rumah sakit ini?" tanya Rati kembali berbaring.
"Ibu tidak perlu memikirkan itu. Aku sudah lunasin semuanya!" jawab Gio mengejutkan Rati.
"Benarkah Yo? Darimana kamu mendapatkan uang?" Rati bertanya dengan mata yang terbelalak. Ia sangat penasaran dengan jawaban Gio itu.
Gio menceritakan semuanya.
Flashback On
Sinar matahari terus bergeser ke barat. Menurunkan panas yang semula menyengat kulit. Sore yang tak terlalu panas, menuai keberanian seorang cowok untuk keluar. Siapa lagi jika bukan Gio? Berjalan di trotoar jalan raya adalah kegiatan yang dilakukannya sekarang. Kediaman sang Bapak menjadi tempat tujuannya.
Thok...
Thok...
Thok...
"Permisi, Bapak," panggil Gio usai mengetuk pintu.
Cklek...
Pintu rumah minimalis itu terbuka. Menampilkan seorang pria bertubuh sedang dengan kumis di dagunya. "Mau apa kamu ke sini?" tanyanya dengan tegas. Gio yang mendengar suara tinggi Bapaknya hanya tertunduk takut.
"Bapak... Ibu lagi sakit. Aku minta bantuannya buat ngelunasin biaya rumah sakit Ibu!" ucap Gio.
Pria berkaos hitam yang bernama Juntar itu berkacak pinggang. "Halah... Bantuan.. Bantuan. Bantuan apa? Bikin orang susah aja. Kapan sih kamu biarin Bapak hidup tenang?" bentak Juntar menatap nanar anaknya itu.
"Ya ampun Pak. Aku kan baru kali ini minta tolong sama Bapak!" desak Gio.
"Tapi saya malas!" tegas Juntar membogem pintu di sampingnya.
"Ayolah Pak. Bantu kami. Kali ini aja. Bapak boleh ninggalin kami, nggak ngasih nafkah kami tapi tolong bantu kami sekarang!" bujuk Gio tak berani menatap Pria di hadapannya itu. Jantungnya berdetak lebih kencang menahan rasa takut yang menempel di sarafnya. Bulu kuduk Gio merinding dengan pikiran yang negatif. Ia takut jika Juntar berbuat kasar padanya.
"Aiihhh... Nyusahin aja..." keluh Juntar berbalik badan lalu berjalan. Gio tak putus asa, ia tetap bersikeras membujuk Juntar agar mau membantunya. Pria itu merasa terusik dengan kedatangan Gio kali ini. Telah lama ia meninggalkan anak dan istrinya lalu memilih hidup sendiri di kontrakan. Namun, mereka belum resmi bercerai bercerai lantaran kemalasan keduanya untuk mengurusi proses perceraian yang tidak mudah.
"Pak... Aku mohon, bantuin, kali ini aja!" Gio menggenggam tangan Juntar yang mengekorinya. Pria yang tinggal sendiri itu masuk kamar.
"Iya bentar!" bentak Juntar melempar tangan Gio yang hendak mengambil duduk di kursi tamu.
Selang beberapa detik, Juntar memberikan sekantong uang merah pada Gio. "Nih, cukup kan?"
"Cukup Pak. Terima kasih!" jawab Gio lantas berdiri. Rasa lega menyelimutinya sekarang. Dengan uang itu, Rati dapat dirawat intensif dengan sungguh-sungguh.
"Ekhem... Jangan lupa kembalikan uang itu secepatnya!"
Langkah Gio berhenti seketika. Ia menoleh guna menatap Juntar. "Ya Allah Pak.... Kenapa harus dikembaliin sih? Ini kan buat pengobatan Ibu, istri Bapak. Masa' harus dikembaliin sih?" Gio tidak habis pikir dengan Juntar yang masih berstatus sebagai suami Rati. Bapaknya sendiri, sangat menyayangkan uang untuk biaya pengobatan Ibunya.
"Enak saja kau bilang. Aku udah nggak cinta lagi sama Ibu kamu. Sudahlah jangan banyak bicara, cepatlah pergi dan kembalikan uang itu!" jawab Juntar semakin merasa jijik dengan keberadaan sang anak.
"Hem.. Ya udah deh, Pak. Terima kasih!" ucap Gio keluar kontrakan. Cowok itu berjalan kembali ke rumah sakit.
Flashback Off
"Lalu, bagaimana kita mau mengembalikan uangnya?" tanya Rati mulai panik.
"Sekarang, Ibu fokus sama kesehatan Ibu dulu. Masalah itu biar aku yang urus!" jawab Gio seolah siap menjalani semua. Padahal, tidak. Pikirannya sangat bingung untuk mengembalikan uang bapaknya. Biarlah waktu yang menjawab semua.
Detik waktu terus berputar. Rasa kantuk mulai menyelimuti Gio. Perlahan namun pasti, cowok itu membaringkan tubuhnya di sofa lalu memejamkan kedua matanya.
****
Pagi hari tiba. Cowok sawo matang yang tertidur di sofa itu tak kunjung bangun. Jam dinding telah menunjuk pukul 06.25 di mana banyak orang yang mulai aktivitasnya. Disela mata Gio yang masih terpejam, Rati memandang setiap inci wajah sang putra. Tak terduga air matanya menetes seketika. Mengingat pengorbanan waktu dan tenaga Gio untuknya, itu sangat mengharukan. Tidak seharusnya Gio melakukan itu. Namun, terpaksa. Memori masa kecil Gio kembali terputar di benak Rati. Saat Gio masih bisa tertawa lepas karena timangannya dengan Juntar, sang suami yang kini tak pernah terulang lagi. Mengingat rumah tangganya yang telah kandas. Sikap Juntar sebagai pemabuk dan pemain judi membuat Rati tak tahan hidup dengannya. Begitupun dengan pria itu yang berpikiran bahwa Rati adalah istri yang menyebalkan. Sebab nasihatnya selalu terucap untuk sang suami yang hingga merasa lelah mendengarkannya. Tak ayal bila mereka memutuskan hidup masing-masing.
๐น๐น๐น
Perpusatakaan SMP 02 Garuda menjadi tempat bersantai bagi cewek rambut ikal itu. Ya, dia adalah Mita yang mengalihkan pikirannya pada ilmu pengetahuan dari buku yang tengah dibaca. Di waktu istirahat yang senggang itu, Mita menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Meskipun, hari ini tak ada Gio, Mita tak merasa sepi lantaran ada buku yang menjadi penghiburnya. Cewek itu menenangkan pikiran di perpustakaan. Tidak di taman sekolah yang memungkinkannya semakin merasa sepi sebab teringat Lio. Berbeda ketika di tempatnya sekarang yang menghipnotis pikiran untuk beralih pada isi buku di hadapannya.
Merasa puas, Mita mengembalikan benda itu ke rak lalu keluar.
*****
Di tengah terik matahari, seorang cewek berambut lurus tengah mengendarai sepedanya. Ia berniat mengunjungi rumah Gio hari ini.
Selang beberapa menit, sepeda listrik Mita telah terparkir di halaman rumah minimalis Gio. Pintu rumah Gio yang tertutup menjadi objek pertama yang memasuki netranya. Mita berdiri dalam kesunyian. Tidak biasa pintu rumah itu tertutup. Menanggapi rasa penasaran yang membuncah, Mita mendekati pintu coklat di sana. Tangannya bergerak mengetuk.
Thok...
Thok...
Thok...
"Permisi... "
Thok...
Thok...
Thok...
Hanya kesunyian yang merespon Mita. Ia berbalik badan menatap rerumputan di halaman. "Rumah ini sepi. Lio ke mana, ya?" tanya Mita dalam hati. Ia bersikeras untuk mendatangi tempat itu lantaran Lio tak memberi tanda akan merespon pesan-pesan yang dikirim Mita melalui handphone.
"Maaf Mbak. Lagi cari siapa ya?" tanya seorang wanita muda yang tak sengaja berlalu.
"Saya mencari Gio Mbak. Dimanakah dia?" Mita bertanya balik sembari mengarahkan tangan pada bangunan di belakangnya.
"Owh... Mas Lio lagi jagain Ibunya lagi di rumah sakit, Mbak!" jawab wanita itu. Mita terkejut seketika. Apa yang dipikirnya menjadi kenyataan. Asumsinya benar. Sekarang ia tahu alasan cowok itu tidak masuk sekolah. Sungguh kasihan. Seorang remaja harus mengorbankan waktu sekolahnya demi menjaga sang Ibu. Teringin Mita membantu Gio, namun tak tahu caranya.
"Kalau boleh tahu, mereka ada di rumah sakit mana, ya Bu?"
"Kalau saya nggak salah sih ada di rumah sakit rawa buaya!" jawab wanita yang merupakan tetangga Gio itu.
"Owh begitu ya Mbak. Ya sudah Terima kasih banyak!" ucap Mita diangguki wanita yang melanjutkan langkahnya.
Sepeda listrik menjadi kendaraan Mita untuk kembali ke rumah.
Ia memarkirkan kendaraan itu di garasi. Lalu memilih sendiri di taman rumah. Ayunan menjadi pilihan Mita untuk duduk. Benaknya di penuhi kekecewaan lantaran harapannya pupus.
Ya, Mita berharap dapat bertemu Lio hari ini. Ternyata tidak. Lantas, apa yang harus ia lakukan agar dapat bertemu dengan cowok itu? Haruskah datang ke rumah sakit?
Ekspresi kecewa terukir jelas di wajah cantiknya. Di sela ayunan yang bergoyang pelan, Mita menatap Gio dalam angan. Membayangkan seandainya cowok itu ada di hadapannya
******
Tak terasa, semburat orange telah menghias langit. Menandakan senja yang tiba. Gadis berambut lurus yang sedari tadi bersantai di taman rumah, kini tak kunjung beralih. Tatapannya lurus pada dedaunan di pohon. Dengan pikiran yang melayang pada Gio, Mita tak menyadari lama waktu kesendiriannya. Hanya suara Lani yang menyadarkan lamunannya. Dengan sigap, ia meninggalkan ayunan guna mendekati sang Mama yang baru saja pulang kerja. "Mama.... Mama udah pulang, ternyata!" Mita mencium punggung tangan Lani.
"Melamun aja. Mikiran apa?" tanya Lani menatap tajam Mita.
"Enggak mikirin apa-apa. Emang lagi santai aja!" Mita tak ingin jujur pada Lani lantaran tak siap menerima banyak pertanyaan darinya.
"Sudahlah. Cepetan mandi, ini sudah sore!" pinta Lani segera dilaksanakan sang putri.
Mita bersantai di balkon usai salat ashar. Ia tak diam saja, melainkan ada film anime yang menjadi penghiburnya. Saat menonton film itu, beban pikiran Mita seolah sirna. Mengingat keunikan berbagai karakter anime yang tampil di layar handphone-nya. Mita masuk kamar usai malam tiba.
๐น๐น๐น
Di malam yang temaram, dua orang Ibu dan anak perempuannya tengah mengendarai motor matic. Rumah sakit rawa buaya menjadi tempat tujuannya. Usai motornya terparkir di pekarangan, mereka masuk guna menemui repsionis. "Permisi Mbak, mau tanya, pasien atas nama Rati ada di nomor berapa ya?" tanya wanita paruh baya yang berparas cantik.
"Sebentar ya Bu, saya cek dulu!" Tangan seorang resepsionis yang lihai mengetik komputer segera menjawab, "pasien atas nama Rati ada di kamar nomor 14B di lantai 3!"
Wanita paruh baya itu mengangguk dan segera mengajak sang anak ke lift. Tanpa lama lagi, dua insan itu memasuki kamar nomor 14B sembari berucap, "permisi!" Sontak kedatangannya mengejutkan Rati dan Gio di sana. Gio sontak beranjak dari sofa sembari melempar tatapan datarnya. Berbeda dengan Rati yang menampakkan senyum sumringah. "Rati!" ucap wanita 43 tahun yang baru saja memasuki ruang rawat Rati.
"Hai Gio!" Sapa seorang gadis yang berada di sana sembari tersenyum lebar. Tatapannya fokus pada Gio yang mematung di tempat. Cowok itu tidak mengenalnya.
"Hai Mina," respon Rati yang kini tenggelam dalam pelukan Mina, sahabat kecil sekaligus teman sekolahnya. Perantauan masa lalulah yang memisahkan keduanya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Mina melepas pelukan sembari menatap Rati yang masih terbaring di brankar.
"Sudah baikan!" jawab Rati. Mina menduduki kursi di samping brankar. Ia mengetahui kondisi Rati dari tetangganya usai ia mengunjungi rumah kosong Rati.
Sementara Gio masih mematung dengan tatapan menunduk. "Gio, kenapa kamu melamun?" tanya Lica, anak perempuan Mina sembari menepuk baju Gio. Lica menduduki kelas 9C di SMP 02 Garuda.
Gio tersentak oleh tepukan Lica. Netranya mendadak bergeser menangkap keberadaan gadis cantik di hadapannya. Meski begitu, Mita tetaplah dihatinya.
๐น๐น๐น
Mita : Gio. Kamu pasti baik-baik saja kan?
Itulah pesan terakhirnya yang dikirim Mita untuk Gio. Cowok itu tak kunjung membaca pesannya yang telah terkirim beberapa hari lalu. Wajar, jika kecemasan menyelimutinya, kerinduan melandanya. Di malam yang sunyi ini, benak Mita dipenuhi oleh Gio. Mulai dari wajah hingga tingkah cowok itu yang selalu tampak di hadapan Mita. Ya, ia tahu bahwa Gio berada di rumah sakit. Namun, ia ragu untuk mengunjungi. Mengingat sang Ibu yang belum mengenalnya membuat rasa malu mengalir di saraf-saraf hingga mengunci hati tanpa bisa memberikan diri.
Lelah, itulah yang dirasakan Mita kala menunggu respon pesan dari Gio. Ia tak dapat berpikir lagi alasannya untuk tidak membuka whatsapp. Pesan yang terkirim sejak 2 hari lalu pun tak kunjung dibaca. Lantas, bagaimana cara Mita untuk menghubungi Gio. Rasa rindu telah membuncah di otaknya. Kerinduan akan perhatian, senda dan gurauan cowok itu. Meski terkadang menyebalkan, namun tetap asik bagi Mita.
Nurani Mita berbisik untuk menemui Lani di lantai 1. Lantas ia ungkapkan segala kegundahan hatinya. Lani mengerti perasaan sang putri sekarang. Namun, ia masih diam. Alhasil, Miko yang menjawabnya. "Daripada kamu cemas terus, mending datangin aja tempatnya berada sekarang!" Miko memberi konsesi pada Mita guna menemui Gio.
"Dia ada di rumah sakit, lagi menjaga Ibunya yang sakit!" ucap Mita.
"Ya sudah kamu datangin aja sekalian jenguk Ibunya!" Kini, barulah Lani yang berbicara.
"Emangnya Mama sama Papa mau nganterin?" tanya Mita dengan sedikit cemberut.
"Biar diantar Pak Sopir aja, nanti dia tunggu di luar. Soalnya itu bukan urusan kami!" saran Lani diangguki Mita. Hati Mita sedikit tenang usai mendengar itu. Ternyata, masih ada cara untuknya bertemu dan berkomunikasi dengan Gio ditengah kerinduannya itu.
"Baiklah. Besok aku akan ke sana!" Usai berucap itu, Mita kembali ke kamar guna lanjut menonton film anime. Film yang selalu menemani kesunyiannya itu tak dapat lepas dari hatinya.