Abai adalah sikap yang ditunjukkan Gio pada Lica sekarang. Seperti yang kita ketahui, Lica ke taman sekolah dan mengambil duduk dengan Gio tiba-tiba. "Gio.... Kamu nggak mau jajan?" Lica menyerong guna meluruskan wajah dengan Gio yang memilih menatap pepohonan di sana. "Gio," panggil Lica menyadarkannya dari lamunan. Cowok itu menoleh. "Ayo kita ke kantin! Aku akan traktir kamu hari ini!" ajak Lica menggenggam tangan Gio.
"Tidak usah!" jawab Gio melepas tangan dari Lica. "Terima kasih!" ucap Gio sambil berdiri. Cowok itu meninggalkan Lica tanpa alasan.
"Gio... Gio... Jangan pergi dong!" teriak Lica menatap punggung Gio yang semakin menjauh. Ekpresi cemberut sontak terukir di wajahnya. Mengingat kegagalan saat akan mencuri waktu dengan Gio. Lica tak mampu mengejar cowok yang menolak ajakannya itu. Alhasil, ia pergi ke kantin sendiri. Sedangkan Gio memilih toilet putra untuk dikunjunginya.
Cermin toilet menampakkan pantulan wajah cowok 15 tahun. Siapa lagi jika bukan Gio Antaraska? Ia menghindari Lica dengan pergi ke tempat itu. "Kenapa semua jadi seperti ini? Kenapa? Kamu apakan dunia ini?" Gio menatap wajah sawo matangnya dengan tangan mengepal disertai ekspresi kemarahan. Ia marah dengan keadaan ini. Keadaan yang memisahkannya dengan Mita. Gio rindu dengan gadis itu. Rindu aenyuman, perhatian dan segala tentang Mita. Meski baru sehari tak bertemu, namun kerinduan telah memenuhi pikirannya. Akibat dari rasa bersalah yang membuat Gio ingin bertemu Mita guna menjelaskan segala.
Badan langsingnya berbalik. Netranya menatap dinding putih yang berdiri kokoh. Sebuah bogeman ia layangkan pada benda keras itu. Tak peduli berakibat kemerahan di tangan, asalkan pikirannya tenang.
๐น๐น๐น
"Sudah deh, mending kita ke dokter aja yuk, biar jelas penyakit kamu!" saran Lani yang kini menemani sang putri di kamar.
"Enggak usah Ma. Aku udah mendingan kok! Hanya butuh istirahat nanti pun sembuh!" jawab Mita berbaring nyaman.
"Mama khawatir sama kamu, Nak. Ayolah kita ke dokter. Mama telfon supir sekarang!" Mita mencegah Lani yang hendak mengambil ponsel. Cewek itu ingin tenang di rumah. Sejak insiden di kamar rumah sakit itu, benak Mita dipenuhi oleh Gio dan Rati. Insiden yang selalu terputar di benaknya sangat mengusik ketenangan. Banyak pikiran negatif yang berhamburan di kepalanya. Apakah yang dikatakan Rati itu benar? Apa dia membenci Mita? Akankah Gio memilih pilihan dari sang Ibu? Akankah dia menjauhinya? Apakah mereka dapat bersatu kembali setelah berjauhan? Mita tak tahu itu. Yang pasti, kegundahan hati masih terus tersimpan. Keraguannya untuk bercerita pada Lani menjadi beban pikiran yang padat. Gadis itu masih merasa panas di sekujur tubuhnya. Jujur, ia juga merindukan Gio. Rindu kebersamaannya dengan Lio yang penuh senda gurau. Namun, mengingat cowok itu telah memiliki kekasih membuatnya ragu untuk berjumpa. Itulah yang ada dipikiran Mita sekarang.
Tanpa disadari, Mita telah tiba di alam mimpi. Lani yang mendapati itu hanya menggeleng. Alhasil, Lani harus meninggalkan singgasana Mita dan membiarkannya tidur nyenyak. Meski jam dinding masih menunjuk pukul 09.53, Lani tak peduli. Selagi ada ketenangan dan kenyamanan di hati sang putri, itu tak masalah.
๐น๐น๐น
"Lica dan Gio beneran cocok deh! Nggak salah aku memilih Lica sebagai calon menantuku!" ucap Rati.
"Iya. Semoga aja mereka beneran berjodoh Ya, Ti. Biar kita bisa besanan. Anak kamu pun ganteng dan baik loh!" jawab Mina disertai pujian.
"Aamiin.... Jadi nggak sabar nunggu kebesanan kita!" gurau Rati tetap duduk di brankar.
Inilah yang menjadi alasan Rati berbicara pada Mita bahwa putranya telah memiliki kekasih. Wanita itu mengingat saat Mina pertama kali mendatanginya.
Flashback On
"Hai Gio," sapa Lica sembari tersenyum. Yang disapa hanya menatapnya datar. Rati yang mendapati Gio mengabaikan Lica pun tak tinggal diam.
"Gio... Kamu disapa itu loh! Jangan diam saja, jawab dengan baik!" ucap Rati duduk di brankar.
"Hem!" jawab Gio menunduk.
"Jangan kayak orang yang nggak punya etika!" tutur Rati. Mina hanya tersenyum mengamati mereka.
"Iya maaf!" Gio mengusap wajah gusar. Penuturan Rati itu menuai rasa sebal yang mengalir di hatinya. Ia diminta untuk menjawab sapaan gadis itu. Kenal saja, tidak. Meskipun mereka satu sekolah, namun sikap dingin Gio pada cewek itulah yang membuatnya tak banyak mengenal orang. Mita, hanya dia cewek yang Gio kenal dekat. Tidak ada yang lain. Wajar, jika Gio belum mengenal Lica.
"Kalian sudah saling mengenal kan?" tanya Mina menghadap pada dua remaja itu.
Lica yang sedari tadi menatap Rati, kini sontak beralih pada sang Mama. "Emmm.. Iya, kita sudah saling kenal sejak lama kok, Ma! Iya kan Yo?" bohong Lica yang menepuk pelan bahu Gio guna menunjukkan keakrabannya. Gio tak menghiraukan mereka. Ia lebih memilih menatap lantai daripada wajah para insan itu. Jujur, ia ingin pergi dari sana sekarang. Namun, tak bisa.
"Waaaaahhhhh... Kalian cocok deh. Bagaimana kalau kalian pacaran aja?" Kini Rati yang berbicara.
"Sejujurnya, anak saya sudah lama suka sama anakmu, tapi dia nggak berani bilang!" jawab Mina berbisik.
"Wah, pacaran?" tanya Lica tersenyum ceria. "Boleh aja kok, Tante. Aku juga mau jadi pacarnya Gio... Hehehehe!" Lica menempelkan kepala di bahu Gio selama 5 detik.
"Apakah kamu mau Yo?" tanya Rati berharap mendapat anggukan. Namun, tidak. Cowok 15 tahun itu tetap mematung di tempat. "Yo... Kamu mau kan pacaran sama Lica? Dia cantik, loh!" Gio menggeleng pelan. Hal itu sontak melenyapkan senyum yang sedari tadi terukir di bibir Lica, Mina dan Rati.
"Duh... Rati. Bujuk anak kamu dong biar mau sama anakku. Kasihan itu anakku cinta sama anakmu, loh!" bisik Mina sembari mengguncang bahu Rati.
"Hiiiissshhh... Kamu harus mau dong! Pokoknya sekarang, kalian resmi berpacaran, jangan membantah!" ujar Rati menghentikan guncangan di bahunya.
"Enggak... Aku nggak mau pacaran!" Lio spontan berdiri.
"Sudahlah nurut aja apa kata Ibu kamu. Lagian aku juga nggak keberatan kok, kalau jadi pacar kamu. Malah, aku bahagia bisa milikin kamu!" ungkap Lica ikut berdiri sambil mengusap-usap bahu Gio.
"Tidak... Aku tidak mau.... Hiissshhh!" jawab Gio sontak keluar ruangan. Tidak ada yang berani mengejarnya. Ketiga insan itu hanya membiarkan Gio pergi.
Flashback Off
*****
Bulan sabit bercahaya di langit malam. Bintang-bintang berdampingan membentuk konfigurasi tertentu tak jauh dari bulan. Di malam yang indah itu, Mita tak dapat menikmatinya lantaran masih berbaring di kamar. Atensinya beralih kala pintunya terbuka. "Mita... Bagaimana kondisi kamu sekarang?" tanya Miko mendekati ranjang.
"Masih sama dengan kemarin," jawab Mita.
"Seharusnya besok kita nonton cosplayer di mall. Karena kamu masih sakit, jadi kita ke rumah sakit aja! Biar Papa sama Mama yang antar kamu ke sana! Kami tidak tega melihat kamu terus-terusan berbaring gini. Kami rindu keceriaan kamu, Nak!" ucap Miko mengundang kekecewaan yang memasuki di benak Mita. Andaikan ia sudah sembuh, mungkin hatinya akan gembira dapat menonton para cosplayer anime dengan berbagai macam karakter. Namun, itu angan semata. Mengingat tubuhnya yang masih terasa lemas membuat ia tidak dapat melihat mereka. Sudahlah, ikhlaskan. Biar Miko membawanya ke rumah sakit besok. Tidak sekadang, lantaran kondisinya bukan darurat dan Mita masih kuat.
"Eumm.... Ya sudahlah Pa. Kita lihat cosplayer di lain waktu saja!" jawab Mita cemberut. Bibirnya mengerucut sempurna, mengisyaratkan kekecewaan yang melanda.
"Ya sudah. Lekaslah tidur!" Badan Miko berbalik lalu keluar. Ia kembali menghampiri sang istri yang menonton televisi di lantai 1.
"Bagaimana Mas?" tanya Lani beralih atensi pada Miko.
"Sepertinya dia setuju jika kita ke rumah sakit besok. Tapi mungkin sedikit kecewa karena kegagalannya untuk menonton cosplayer anime!" jelas Miko mengambil duduk di sofa.
"Hish... Aku tidak mempermasalahkan kegagalan nonton cosplayer. Yang penting dia bisa segera mendapatkan perawatan dokter!" jawab Lani sedikit kecewa dengan Miko yang membicarakan hal tentang anime tadi.
"Iya sayangku. Iya!" Miko mencium kepala Lani lalu berbaring di sofa.
๐น๐น๐น
Dor...
Dor...
Dor...
Pintu rumah minimalis di salah satu kota Jakarta terus bersuara akibat ketukan kasar dari seorang pria bertubuh tinggi yang sangat familiar bagi pemilik rumah. "Gio... Rati... Keluar kalian!"
Dor...
Dor...
Dor...
Dor...
Dor...
"Keluar kalian!" teriak Juntar terdengar nyaring hingga ke rumah sebelah. Hal itu sontak menyita perhatian pemiliknya.
"Maaf Pak. Bu Rati dan Mas Gio masih di rumah sakit!" ucap wanita paruh baya yang berambut panjang dari teras rumah. Juntar mengusap wajah kesalnya. "Aaarrrghhh," jeritnya dengan tangan mengepal. Emosi Juntar semakin meningkat usai mengetahui keberadaan mereka. Harapannya untuk menagih hutang ternyata gagal. Apakah ia harus menemui mereka ke rumah sakit untuk sekedar menagih hutang? Entahlah, yang pasti pria itu segera pergi dari rumah itu.
๐น๐น๐น
07.54
Sinar matahari menembus kaca jendela kamar Mita dan menelusup dicelah pori-pori tubuhnya. Kulit yang terasa hangat merangsang sarafnya untuk bangun tidur. Sepasang mata yang terbuka menuntun ia untuk duduk. Terselip keinginan di benaknya untuk berjalan. Namun, rasa pusing di kepala membuatnya kesulitan dan mengubur keinginannya.
Cklek...
"Mita... Ayo kita ke rumah sakit!" ajak Lani telah siap dengan sling bagnya.
"Kepalaku pusing Ma... Aku tidak ingin berjalan!" jawab Mita memijat kening. Sakitnya menjadi kesempatan untuk bermanja pada sang Papa.
"Papa akan gendong kamu!" sahut Miko yang baru saja masuk kamar Mita. Ia berjongkok mengekori Mita, memosisikan diri yang telah siap menggendongnya. "Ayo naik!" Mita lekas naik di punggung Miko yang langsung membawanya ke mobil.
*****
Tak butuh waktu lama untuk Mita mendapat penanganan dokter. Miko dan Lani telah siap menerima hasil pemeriksaan dokter. Pasutri itu duduk di kursi tunggu. Selang beberapa menit, datanglah pria berbaju putih yang pantas duduk di hadapan mereka. "Dari hasil pemeriksaan kami, anak Bapak dan Ibu diagnosis penyakit mag kronis dan anemia. Itu yang menyebabkan dia pusing, tidak nafsu makan dan sering mual. Maka dari itu, anak Bapak dan Ibu harus mendapatkan perawatan intensif selama beberapa hari untuk memulihkan daya tahan tubuh yang kini lemas!" ucap sang dokter diangguki Lani.
"Oke dokter. Lakukan apapun supaya anak saya bisa sembuh kembali!" jawab Miko.
"Anak Bapak pasti bisa sembuh karena penyakitnya tidak terlalu parah!" jelas dokter lantas memindahkan Mita ke ruang rawat inap dibantu beberapa suster. Di atas brankar yang berjalan, Mita terus memejamkan mata guna menahan rasa pusing. Ia tak tahu tentang sepasang mata yang terbelalak menatapnya. Mita dan Miko menyusul Mita di ruang 14D. Cewek itu membuka mata yang langsung menangkap dinding dan beberapa alat yang serba putih.
"Mama... Aku nggak mau di sini, aku ingin pulang!" ucap Mita pada Lani yang duduk di sampingnya.
"Sabar Nak. Kamu nggak akan lama di sini. Cepat sembuh ya, biar kita bisa segera pulang!" jawab Lani mengusap puncak kepala Mita. Gadis berkulit putih itu kehabisan kata. Alhasil, ia pun diam dengan bibir mengerucut.
"Kamu nggak usah sedih.... Nih, handphone kamu buat nonton anime!" ucap Miko mengulurkan benda pipih yang langsung diterima Mita.
๐น๐น๐น
Taman rumah sakit rawa buaya menjadi tempat menyendiri seorang cowok sawo matang. Ya, Gio Antaraska. Benaknya dipenuhi oleh nama Mita yang banyak ia tanyakan. Mengingat gadis yang terbaring lemas di brankar tadi, membuatnya bertanya-tanya. Wajah yang sangat mirip dengan Mita itu sontak mengejutkan. Namun, Gio tidak terlalu percaya bahwa dia adalah Mita. Yang pasti, kerinduan padanya itu masih mengisi pikirannya.
Di tempat yang cukup sepi itu, Gio memilih untuk merenung. Paksaan sang Ibu untuknya berpacaran dengan Lica kembali terputar di benaknya. Andaikan itu tidak terjadi, mungkin sekarang, hubungannya dengan Mita masih baik-baik saja. Gadis itu tidak akan merasakan sakit yang berkepanjangan. Gio tidak bersalah dalam hal itu. Sebab semuanya terjadi karena sang Ibu. Dan ia tak dapat membantah. Entahlah, Gio sangat sebal dengan keadaan sekarang. Ia mengakhiri renungan yang malah menaikkan emosi. Cowok itu memilih pergi dari sana guna mencari hiburan. Tak peduli ia meninggalkan Rati yang berbaring sendiri di ruang 14B. Gio hanya fokus menghibur diri agar tak larut dalam kekesalan.
Trotoar jalan raya menjadi tempat yang ditelusuri Gio sekarang. Ia berjalan sembari menatap kendaraan yang berlalu lalang di sampingnya.
Plak...
"Aduh..." Gio memegang pipi yang terasa sakit akibat sebuah pukulan yang belum ia tahu asalnya. Ia mendongak, mendapati seorang pria yang sangat familiar mengenakan jaket hitam dan celana jeans disertai kalung silver di lehernya. "Bapak!" panggil Lio menormalkan posisi berdiri.
"Ke mana aja kamu? Sini bayar hutang!" Respon tegas Juntar lontarkan pada putra tunggalnya itu.
"Maaf Pak. Aku belum punya uang. Ibu juga belum pulang dari rumah sakit!" jelas Gio menahan rasa sakit di pipi.
"Alah. Banyak alasan!" dengus Juntar melayangkan bogeman di bibir Gio. Darah segar menetes seketika.
"Ssshhhhhhtttt..." ringis Gio kesakitan. "Pak... Bapak kenapa tega sama aku, sih? Aku ini anak bapak loh. Kenapa Bapak tega nyakitin aku?" Gio menaikkan nada bicara.
Juntar menggenggam erat merah baju Gio. "Tega, kamu bilang? Yang tega itu kamu. Karena duit Bapak udah habis dan kamu nggak mau bayar utang, Bapak rela nggak makan nasi 3 hari! Itu semua karena kamu dan Ibu kamu!" bentak Juntar mengarahkan telunjuk tepat di hidung Gio.
"Bukannya aku nggak mau bayar Pak. Tapi, aku belum punya uang. Kalau aku udah punya pasti aku bayar!" desak Gio diselimuti rasa takut. Ia berbicara dengan sangat hati-hati lantaran tak ingin menaikkan emosi Juntar.
"Bapak kasih waktu kamu 3 hari lagi! Kalau kamu tidak bisa bayar, Bapak nggak segan bunuh kamu dan Ibu kamu! Hraahh!" ancam Juntar menusuk hati Gio yang terasa sesak seketika. Setega itukah Bapak kandungnya?
Gio kembali ke rumah sakit dengan berjalan menunduk. Tak ada yang tahu bahwa cowok itu meneteskan air mata beberapa kali. Meluapkan kepedihan yang menyesakkan. Ia tengah dilema. Tak tahu memikirkan cara untuk membayar hutang pada Juntar yang telah mengintimidasi.