Selang beberapa menit Alana membiarkan sahabatnya bertaut akan pikirannya sendiri. Wanita ini sengaja memberikan waktu kepada Poci. Tangisan yang keluar dari mata sahabat hantu nyentrik ini segera ia hapus.
Terlihat Poci masih melamun, apakah ia sudah melihat semua bagian yang ia cari-cari kebenarannya itu? Jawabannya hanya hantu pocong itu yang tahu.
Mereka cukup lama saling berdiam, kemudian Poci pun memulai pembicaraan. “Na, maaf ya sudah membuatmu cemas dan diam seperti ini, ayo masuk ke ruangan. Kamu harus istirahat yang banyak.”
Alana hanya mengangguk dan Poci kini membantu Alana mendorong kursi roda sahabatnya dari belakang. Sampai mereka melewati lobby depan, tiba-tiba kerumunan orang membuat mereka kebingungan.
Mereka pikir ada rombongan pasien yang mengalami kecelakaan maut. Namun ....
Seorang pria mengenakan jas coklat dan memakai kacamata hitam, passionnya sangat bagus dan sesuai dengan tubuhnya yang proposional muncul dari kerumunan wanita. Seorang pria itu diikuti oleh beberapa orang yang memakai seragam serba hitam.
Pria dengan jalan begitu tegap, dengan meletakkan satu tangannya ke dalam kantong celana, membuat pria tersebut terlihat sangat keren dan menawan.
Pria itu melirikkan matanya mengarah Alana sekelibat. Wajah yang oriental, dan kulit putih membuat Alana sepintas mengingat sang mantan kekasih.
Ada bisik-bisik kecil yang dapat didengar oleh Alana dan Poci.
“Wah tampan sekali Direktur Utama.”
“Padahal usianya sudah mendekati 40 tahun, kenapa Pak Yoshi terlihat seperti anak muda.”
“Iya lah, karena dia kan orang Jepang. Orang berkulit putih seperti mereka tak pernah kelihatan usianya.”
“Tapi sayang, sampai sekang Beliau belum punya istri.”
“Atau mungkin Beliau sedang menungguku ya, aku sangat mengaguminya.”
“Tidak-tidak ia menungguku.”
“Kalian berkaca sana, mana mungkin orang seperti Pak Yoshi menyukai kalian berdua.”
Pria yang sangat diagung-agungkan itu memuat gosip di antara wanita muda mengenakan seragam suster.
Tidak hanya itu, para pasien pun terlihat sangat mengagumi ketampanan seorang Direktur Utama rumah sakit Lokapala ini.
Itu terlihat dari lirikan banyak pasang mata yang masih menuju ke arah jalannya pria tinggi tersebut.
Alana saja mengakui, ia bak pangeran yang baru keluar dari perumahannya di langit.
Ekspresi wajah melow yang Poci tunjukan berubah kembali menjadi sangar. Dengan kata-kata yang mengandung kalimat menyebalkan, sahabat Alana itu melontarkan sebuah kata, “Jangan bilang kalau kamu juga sama seperti mereka. Mengagumi pria seperti mannequin itu!”
Tersadar yang diajak bicara adalah dirinya, Alana segera memalingkan padangan yang tadinya masih melihat punggung yang dipercaya adalah Direktur Utama rumah sakit elite ini.
“Hah? Tidak ... tidak ... aku hanya,” elak Alana yang masih berpikir.
“Aku hanya mengaguminya?” lanjut Poci memastikan jika jawaban itu mungkin ada dibenak sahabatnya saat ini.
Karena malas untuk berdebat, Alana hanya menjawab dengan singkat, “Terserah!”
Poci kembali mendorong kursi roda sahabatnya, tapi tidak berhenti membicarakan hal yang sudah terlewat baru tadi.
“Tapi jika dilihat-lihat, pria itu mirip sekali dengan mantan kekasihmu, Alana.”
Alana tak menjawab, ia bergeming dalam hatinya menyetujui pendapat sahabatnya itu.
“Dia mirip Yuta,” lanjut Poci memperjelas.
Wanita itu tak menjawab karena ia terlena akan lamunannya. Kendatipun kini ia akui terbawa perasaan dengan Dokter Arka, tapi hati wanita ini masih kuat tertuju pada Yuta.
Karena Alana sangat yakin, Yuta bukanlah tipekal laki-laki seperti itu. Ia masih menganggap kejadian buruknya tersebut hanyalah sebuah mimpi dan imajinasinya saja. Namun, nyatanya semua telah terjadi yang membuat hati wanita ini retak.
Ia menggelengkan kepalanya, membuyarkan lamunan. Karena Poci menepuk pundak sahabatnya pelan.
“Hey Alana, kamu jangan melamun saja. Nanti kesurupan, lho!” ejek Poci yang sangat suka membuat gara-gara dengan sahabat manusia satu-satunya ini.
***
Di sebuah ruangan yang cukup luas itu dan sangat lengkap fasilitasnya, dokter muda pemilik segudang prestasi ini kedatangan tamu tak terduga.
“Konnichiwa, Arka-san. Ogenki desuka?” (Selamat siang, Pak Arka. Bagaimana kabarmu?)
Sontak tumpukan kerjaan Arka tak ia hiraukan, ia bangkit dari duduknya dan segera menundukkan kepala memberikan hormat.
Belum saja Arka menjawab pertanyaan yang ia lontarkan, pria dengan tinggi 180 cm itu melanjutkan, “Saya harap kamu baik-baik saya ya, Pak Dokter Arka. Saya sangat senang melihat Anda. Sudah sangat lama tak melihat Anda, hanya melalui telpon saja,” senyum pria itu.
Pria tersebut melepaskan kacamatanya, dan Arka segera mengarahkan untuk duduk di sofa depan.
Dengan menyilangkan kaki kanan, dan menyerumput kopi susu kaleng yang Arka ambil dari kotak pendingin di ruangan itu. Pria ini menanyakan sesuatu kepada dokter kepercayaannya, “Bagaimana tugas yang saya berikan kepada Anda?”
Arka pun segera menjawab, karena ia adalah dokter yang memiliki dedikasi tinggi dan penuh tanggung jawab. Maka dari itu ia menjadi dokter kepercayaan Direktur Utama.
Dokter muda ini menjawab dengan lugas, “Proyek yang Anda rencanakan sudah saya realisasikan Pak Yoshi. Mengenai pembangunan yang diperluas khusus pasien internasional. Rapat dengan kolega dan investor dari luar yang ingin membantu membesarkan rumah sakit ini. Dan tentunya membuat ....”
Penjelasan Arka terhenti karena dipotong oleh pria yang digadang bernama Yoshi itu. “Bukan itu maksud saya, Dokter Arka. Jika proyek-proyek yang sudah kita bicarakan jauh hari, saya percaya kamu bisa mengatasinya dan saya tidak akan meragukan hal itu. Tapi ada tugas yang sudah saya berikan kepadamu, apakah kamu ingat?”
Pria yang bertaut jauh lebih muda dengan Pak Yoshi itu langsung mengangguk. Ia paham arah pembicaraan dari atasannya ini.
“Saya sudah melaksanakannya bersama rekan saya.”
Pria pemilik tatapan tajam itu mencondongkan tubuhnya dengan kaki yang ikut turun, ia menerka apakah tugas yang dibilangnya sangat penting ini sudah dijalankan dengan baik oleh orang kepercayaannya.
“Apakah tugas itu sudah kamu lakukan dengan baik?” tanya pria tersebut, tatapannya dingin. Jika diperhatikan pria ini memiliki aura yang sangat berbeda. Tak bisa dijelaskan.
Arka sempat menunduk, karena ia sadar tugas penting yang diberikan itu belum ia lakukan dengan baik. Apalagi ia pernah lalai.
“Maafkan saya, Pak Yoshi. Saya tak yakin jika tugas kali ini saya lakukan dengan baik. Namun, saya akan terus berusaha melakukan yang terbaik karena Anda sudah mempercayai mengenai tugas ini.”
Yoshi kini menyempitkan kelopak matanya, seakan melihat jauh ke sisi Arka. Ia kini menyandarkan tubuhnya ke sofa empuk berwarna maroon itu. Sembari tangannya yang dilipat dan kembali menaikkan kakinya.
Pria ini masih belum menjawab apa. Ia memiliki tatapan seperti memergoki dengan mengintimidasi dokter muda itu.
“Arka ...,” sebut Yoshi yang diberi jeda, lalu melanjutkan ucapannya, “Tolong lakukan tugasmu yang ini dengan baik. Dan jangan sampai kamu jatuh cinta dengan wanita itu!”
Bersambung.