Beberapa kali Alana berlari ke dalam rumah, untuk memastikan keadaaan Clara yang semakin kritis.
Alana tak henti-henti untuk menenangkan Clara yang sudah jatuh pingsan. Deruan tangisan yang menetes di wajah wanita tak sadarkan diri itu.
“Clara, sabar ya aku sedang berusaha untuk mencari bantuan, agar kamu bisa segera dibawa ke rumah sakit. Tolong bertahanlah, aku mohon kepadamu.”
Kalimat itu menjadi kalimat yang terakhir ia lontarkan, ia kembali melakukan hal seperti sebelumnya. Memohon kepada setiap orang yang berlalu lalang.
Sampai kepalanya terasa sangat sakit, dan penglihatannya pun buram. Ia tak bisa menahan tubuhnya sendiri, ia berjalan perlahan dan ia tak kuat lagi.
Ia melihat samar-samar pria berjas putih dengan bentuk wajah oval, memakai kacamata dengan raut yang begitu menawan. Pria itu tersenyum begitu tulus kepada Alana, dan ia seperti menunjukkan sebuah jam. “Pukul 10 malam,” gumam wanita itu lalu terjatuh tak sadarkan diri.
“Hey, Alana ... Alana ... bangunlah! Mau sampai kapan kamu tidur?!” Terdengar suara yang tidak asing di indera pendengaran gadis cantik yang baru saja sadarkan diri.
Penglihatannya samar-samar, ia menyempitkan bola mata dan ternyata ia sudah berada di ruang Mawar, yang menjadi ruangannya di rumah sakit ini.
Ada Poci yang sangat setia menemaninya dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Ia terlihat bingung, padahal terakhir ia berada di taman dan bertemu dengan hantu perempuan dengan wajah hancur tak berbentuk. Tapi kenapa dia kini tiba-tiba sudah berbaring di ruangannya?
Alana berusaha untuk mengangkat tubuhnya, dengan tangan yang menyeluk ke dasar kepala, karena kepalanya seperti di tekan dengan batu besar. Begitu sakit!
“Alana, kamu mau kemana? Sudahlah tidur saja, jangan bergerak!” suara Poci lebih keras dari yang tadi, ekspresi wajahnya begitu jelas, ia sangat mengkhawatirkan teman manusianya ini.
Karena memang merasa energinya dihisap dan tak ada lagi tenaga yang tersisa, Alana menuruti perintah sahabat hantunya dengan kembali berbaring dan tak lupa ia bertanya mengapa dirinya ada di sini?
Poci pun menjawab hal tersebut, “Aku tidak tahu pastinya bagaimana, karena aku masih sibuk dengan arwah Darren dan Dimas tadi.”
Seperti ingin melupakan yang ia alami, ia pun ingin tahu kelanjutan arwah kakak beradik yang mengalami kecelakaan tersebut.
“Oh iya bagaimana kondisi Dimas dan Darren, Poci?”
“Hmm, kamu sudah sakit masih saya mencemaskan orang lain. Eh maksudku arwah lain,” celetuk Poci.
Lalu ia menjawab pertanyaan Alana yang belum ia jawab, “Setelah dilakukan upacara dan mendoakan secara bersama, orang tua mereka juga sudah ikhlas akan kepergian putra sulung mereka. Akhirnya Dimas bisa tenang di alam sana.” Poci menghentikan ucapannya, ia seperti ingin meneteskan air mata, tapi ia tahan. Mungkin perpisahan mereka sangat menyentuh tadi.
“Lalu bagaimana dengan Darren, apakah dia masih menjadi arwah?” Alana masih ingin tahu kondisi adik dari Dimas yang masih koma beberapa jam lalu.
“Darren sudah sadarkan diri, Alana. Ia sudah sadar dan setelah ia sadar, tak henti-hentinya ia menangis. Ia menangis begitu sendu, seperti ketika Dimas menjadi arwah. Ia begitu sayang dengan kakaknya, tapi sang kakak harus kembali bersama Tuhan. Dan sedihnya, aku tak bisa bermain dengannya lagi. Karena ia kini sudah bersatu dengan badan kasarnya,” jawab Poci dengan menundukkan kepalanya.
Alana berusaha memberikan semangat kepada sahabatnya itu, dengan menyentuh bahu Poci pelan. “Tidak apa-apa, Poci. Seharusnya kamu bahagia bisa melihat Darren segera sadar dari komanya. Ia bisa berkumpul dengan keluarganya dan bisa menjalani kehidupan lebih lanjut.”
Poci melirik Alana, lalu ia tersenyum datar.
Pocong tampan ini memiliki informasi mengenai mantan kekasih Alana. “Alana, alasan mantan kekasihmu ada di sini tadi ternyata ia adalah rekan kerja dari orang tua Dimas dan Darren. Aku tahu karena Darren dan Dimas sendiri yang memberitahunya tadi. Dan maafkan aku tidak bisa menjagamu, karena aku juga harus mendoakan arwah Dimas agar dia tenang menjalankan kehidupan menjadi arwah di alam sana.”
Wanita yang sejak tadi berpikir mengenai Clara hanya mengangguk saja. Pikirannya benar-benar jauh, sampai ia terlihat melamun.
“Loh, kenapa kamu malah melamun Alana?”
“Poci, kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang membawaku ke sini?” Ternyata Alana lupa dengan jawaban Poci di awal.
“Alana, sudah kubilang kan tadi, aku tak tahu pastinya. Aku sudah menemukanmu berbaring di sini sejak tadi. Dan sepertinya kamu mimpi buruk, entah apa yang kamu mimpikan. Tadi aku mendengar kamu mengigau, yang berteriak-teriak jika kamu akan menolong seseorang. Memang apa yang kamu mimpikan, Alana?”
Hmm!
Gadis ini terdiam, ia tak langsung menjawab karena ia masih mengira-ngira apakah itu adalah sebuah mimpi, tapi kenapa sangat nyata ia rasakan?
Lalu kemudian, Alana menceritakan dari awal keanehan yang ia dapatkan mengenai ia bertemu dengan wanita yang bernama Clara setelahnya ia bertemu dengan hantu wajah hancur, dan terakhir ia bermimpi mengenai gadis yang bernama Clara.
Hmm!
Poci menutup mulutnya, seperti berpikir bagaikan seorang profesor atau detektif yang sedang meganalisa sebuah kasus.
“Tunggu ... tunggu ... aku merasa ada yang mengganjal dari ceritamu tadi. Katamu awalnya bertemu gadis menangis bernama Clara, lalu tiba-tiba bertemu arwah gentayangan tak sopan itu. Kenapa aku katakan arwah itu tak sopan, karena ia seenaknya mengajakmu ke dimensi lampau, yang membuat energimu terkuras seperti ini. Dan yang terakhir kamu bertemu dengan si arwah tak sopan itu dengan kehidupan masa lalunya. Nah yang menjadi pertanyaan besar dibenakku, apakah wajah wanita pertama yang kamu temui sama dengan wajah arwah tak sopan itu sewaktu dia menjadi manusia?”
Alana terlihat bingung, ia kembali mengingat wajah wanita yang pertama kali ia temui. Yang ia panggil, Mbak Clara.
Ia pun menggelengkan kepala, “Aku rasa mereka tak memiliki wajah sama.”
Hmm!
Poci kembali mengeram dan mengeluarkan asumsinya mengenai hal ini. “Dan aku rasa mereka bukanlah orang yang sama. Maksudku ada dua wanita yang memiliki nama yang sama. Jadi aku pikir wanita yang pertama kamu temui adalah manusia.”
Alana juga mengangguk, menyetujui persepsi dari sahabatnya itu.
Wanita ini masih penasaran, bagaimana kondisi Clara setelahnya.
Clara sudah tak sadarkan diri, wajahnya berubah sangat pucat dengan darah yang mengalir deras tiada henti.
“Poci, di mana aku bisa bertemu dengan Clara saat ini?” Kini dalam benak Alana, ia hanya ingin membantu Clara, yang sudah ia anggap sebagai teman.
Poci menggelengkan kepala, ia tampak begitu heran dengan Alana. Melihat ekspresi wajah Poci membuat gadis itu mengkerutkan dahi, ia berpikir sahabat pocongnya tak mau membantunya.
“Kenapa kamu memasang wajah seperti itu? Apakah aku salah jika ingin membantu, Clara?”
“Bukan begitu, Alana. Apakah kamu tahu, siapa Clara kedua yang kamu temui? Dia sudah tak bisa diselamatkan. Ia adalah arwah gentayangan yang memiliki energi negatif, karena ia punya dendam yang sangat dalam kepada seseorang,” jelas Poci.
Namun, meski sudah dijelaskan Alana masih tak percaya. Ia sangat yakin, ia bisa menyelamatkan temannya itu. Kendatipun ia tak tahu di mana mencari Clara.
Lukisan yang beberapa hari ada di ruangan ini sudah tidak ada, karena entah kemana tiba-tiba lukisan itu hilang.
Dalam hati Alana terdalam, ia sangat yakin kisah Clara ada sangkut pautnya dengan lukisan itu. Tapi ia tak tahu di mana mendapatkan lukisan itu lagi.
Alana melirik ke pintu luar, sepertinya ada yang sedang berbicara di luar sana. Namun, Alana tak tahu itu siapa.
“Sus, maaf saya tidak tahu jika Mbak Alana jatuh di taman. Kalau tidak ada dokter residen yang melihatnya, mungkin kondisi Mbak Alana semakin parah. Dan maaf juga saya tidak bisa menjaga sepenuhnya pasien yang sudah kita tetapkan untuk kita jaga. Maaf saya malah mementingkan masalah pribadi saya, dan tidak profesional dalam bekerja,” ucap Dokter Arka sembari menundukkan kepalanya.
Suster Luna membalas dengan menundukkan kepala, lalu ia menjawab dengan nada khasnya yang begitu lembut, “Tidak masalah Dokter Arka. Mbak Alana bukanlah menjadi tanggung jawab Anda saja, saya juga memiliki tanggung jawab penuh terhadapnya. Karena ini adalah perintah dari Pak Direktur. Saya juga lalai tidak menjaga penuh Mbak Alana.”
Dokter Arka masih menyoroti mata suster muda itu, ia ingin menanyakan suatu hal mengenai hal tadi. “Suster Luna, bisakah Anda jujur kepada saya. Kenapa Anda pergi begitu saja, ketika Anda mendengar jika saya dan Mbak Alana menjadi sepasang kekasih?”
Sontak kubil mata suster cantik itu mengembang, pipinya memerah dan keringatnya keluar tak bisa terkontrol.
Bersambung.