Tubuh Alana seperti kaku, tak bisa bergerak. Bola matanya terbelalak, tak sanggup untuk melihat sosok yang begitu mengerikan. Bau menyengat, bahkan lebih menyengat dari mayat yang sudah membusuk.
Sosok itu tak memiliki wajah utuh, keseluruhan wajahnya sudah hancur tak terbentuk sedikitpun. Napas Alana tersenggal, ingin rasanya ia lari sekencang mungkin, tapi keinginannya tampak nihil. Semua tak bisa ia lakukan, karena tubuhnya seperti terhiptonis tak bisa bergerak.
“Aaak ... ak ...,” suara Alana tergagap, ia ingin melontarkan sebuah kalimat.
Namun sosok itu semakin mendekat ... mendekat ... kini sosok wajah hancur itu berada hanya dua centimeter dari wajah Alana.
Tentu saja manik mata Alana melotot ia pun melihat kejadian kisah masa lalu.
Terlihat ada dua anak manusia yang sedang memakaikan cincin, sepertinya mereka ingin mengucap janji setia.
“Clara Sayang, aku akan selalu berjanji akan tetap berada di sampingmu bagaimanapun orang tuaku melarang kita berdua. Aku ingin kita bersama,” ucap seorang pria yang kini memeluk hangat wanita yang diyakini adalah tunangannya.
Tapi entah mengapa, wajah wanita itu lebam dipelipisnya tampak luka gores. Ia kini menangis dengan sendu. “Sayang, tapi aku rasa hubungan kita adalah hubungan terlarang. Aku mungkin tidak akan melanjutkan hubungan kita ini.”
Pelukan hangat itu dilepas, dan kini wanita yang bernama Clara bangkit dan meninggalkan sang kekasih begitu saja.
Kendatipun sang kekasih berteriak kencang, dan tak mau Clara meninggalkannya begitu saja, wanita itu bersikeras ingin mengusaikan cerita cinta yang telah ia bangun sudah lama.
Di saat itu pula, Alana yang tak memakai kursi roda dengan kondisi beda, membuatnya sangat bingung. Ia melihat sekitar, dan tanpa bertanya kaki wanita ini bergerak dan mengejar Clara yang sudah jauh dari tempat tersebut.
Namun, celetuknya dalam hati, ‘Sepertinya wanita itu aku pernah lihat, tapi di mana ya?’
Sampailah di sebuah permukiman padat, dengan gang yang sempit. Clara menuju ke dalam, dan diikuti oleh Alana.
Ternyata Clara tinggal di daerah yang begitu padat, dengan rata-rata bangunan rumah sedikit kumuh. Ia masuk dan Alana tak hilang ide ia merampingkan tubuhnya agar bisa masuk begitu saja ke dalam rumah.
Begitu sederhana, peralatan rumah tangga wanita ini benar-benar apa adanya. Alana tersadar jika ia hanyalah bayangan, buktinya saja Clara tak melihatnya meski wanita itu ada di depannya.
Beberapa kali ia melambaikan tangan di depan mata Clara, tapi wanita malang itu tak mempedulikan apa yang ada di depannya.
Sampai Alana menelisik wajah wanita yang mungkin memiliki tekanan dalam hidupnya ini. Ia tersadar bila. “Dia seperti gadis malang yang pernah aku temui di perumahan elite, yah aku bertemu dia di dalam mimpi.”
Tidak salah lagi, Clara adalah gadis yang memohon sambil bersimpuh kepada kedua orang setengah baya. Memohon agar diizinkan untuk bisa bersama putra mereka.
Alana menduga, jika luka goresan dan lebam yang terhias di wajah gadis ini adalah ulah kedua orang tua tak berperasaan itu. Tapi pertanyaan besarnya, kenapa Clara ingin pisah? Padahal ia sudah merendahkan harga diri serta meminta izin kepada orang yang tak memiliki hati sama sekali. Putra mereka juga terlihat sangat mencintai gadis itu.
Apa yang menyebabkan Clara menyelesaikan hubungan tanpa alasan dan sebab pasti, bukankah ini yang menjadi tujuannya memohon izin?
Sepertinya Clara hidup sebatang kara. Alana menoleh dan memperhatikan rumah wanita tersebut, sama sekali tak ada siapa.
Kini Alana sedang duduk tepat berada di depan Clara yang sedang menangis kencang. Gadis itu sejak tadi tak henti-hentinya menangis, sampai Alana pun meneteskan air mata.
Meskipun Alana tak tahu pasti masalah yang dirasakan oleh Clara, tapi wanita itu tahu begitu peliknya perjalanan kehidupan seseorang yang ada di depannya.
“Maafkan aku, David. Aku sangat mencintaimu, tapi cintaku membuat kita malah mendapatkan masalah besar. Aku terpaksa meninggalkanmu, memutuskan secara sepihak. Jika aku tidak melakukannya, kamu mungkin tidak akan melihat ku lagi di dunia ini. Ancaman orang tuamu sangat mengerikan, David. Dan keputusan ini aku ambil bukan karena egois, aku hanya ingin bisa hidup dan melihatmu bahagia, meski aku tak bisa bersamamu sampai kapan pun,” rintih Clara sembari memandangi foto mereka berdua di smartphone.
Sontak hati Alana benar-benar sakit, ia spontan menekan dadanya yang terasa sesak. Sungguh malang yang sedang Clara alami. Wanita itu harus meninggalkan pria yang sangat ia cintai, demi kebaikan mereka berdua.
Beberapa jam berlalu, Clara terdiam dan dia berlari dengan bergesa-gesa. Alana pikir wanita tersebut merasa lapar, tapi ...
Clara mengambil pisau dan ia ...
AAAAAA!
“Tolong jangan lakukan itu!” teriak Alana begitu keras, sampai gelas yang ada di dekatnya jatuh berkeping-keping.
Sontak perlakukan Clara yang ingin menggores pergelangan tangan tepat di nadinya terhenti. Ia tak jadi melakukan itu.
Alana semalam suntuk menunggu Clara yang terlihat diam sembari menatap langit. Pandangan Clara sangat kosong, ia tampak tak memiliki selera hidup sedikitpun.
Sampai saatnya ia menerima pesan dari David.
Clara kenapa kamu memutuskan hubungan sepihak? Apa kamu tidak percaya kepadaku, mengenai aku bisa meluluhkan Mama demi kebersamaan kita? Jujur aku tidak tahu harus berbuat apa, dan aku juga sayang dengan Mama. Mama sedang sakit parah saat ini, dan ia ingin aku segera menikah dengan wanita yang ia pilih. Meski kita tidak bisa bersama, apakah kamu bersedia datang kepernikahanku pekan depan? Aku harap kamu bisa datang, dan maaf aku tahu kamu pasti hancur mendapatkan pesan seperti ini secara tiba-tiba, tapi karena keputusanmu yang memutuskan hubungan. Jadi aku pikir kamu tidak bisa melanjutkan hubungan bersamaku lagi.
Aku sangat mencintaimu, Clara. Semoga kamu bisa bersama dengan pria baik, lebih baik dari pada diriku.
Alana yang membaca pesan di smartphone gadis itu pun sangat sesak. Tak kalah sesak dengan perasaan Clara yang sangat hancur.
Belum saja masalahnya terselesaikan, tapi ia mendapatkan kabar yang membuat dia tak ada harapan lagi untuk bertahan hidup. Dalam situasi genting dan berat ini, Alana sangat paham dengan situasi tersebut.
Karena ia pernah mengalami hal ini sebelumnya, sangat menyakitkan dan tidak tahu jalan keluar selain mengakhiri hidup serta hilang dari dunia ini.
Walaupun Alana tak bisa menyentuh dasar tubuh Clara, wanita ini berusaha memeluk agar menghangatkannya. Ia ingin wanita itu tak melakukan hal bodoh seperti apa yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Ketika dunia sangat kejam dan kita menganggap semua itu tak adil, kehancuran melanda membuat emosi tak dapat dikendalikan lagi. Solusi akhir yang kita pikirkan hanya mengakhiri hidup dengan berpikir masalah akan selesai setelahnya.
Benar saja, Clara mengamuk. Semua isi rumahnya dipecahkan. Ia berteriak seperti manusia yang haus akan keadilan, situasi yang begitu menyakitkan membuatnya benar-benar hancur.
Alana berusaha untuk menenangkan Clara, tapi gadis itu tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bayangan yang tidak bisa dilihat, dan suaranya tak bisa di dengar oleh indera.
Pisau tajam yang ingin menggores nadi dipergelangan tangan bagian kirinya tadi, kini telah menggores dengan nyata. Darah mengalir begitu deras, membasahi lantai berwarna putih.
Sangat pusing di rasakan Clara, dan ia pun terjatuh tak sadarkan diri. Alana yang melihat kejadian itu hanya bisa menangis.
Beberapa kali ia keluar rumah dan meminta bantuan kepada orang-orang yang berlalu lalang.
“Bu, mohon bantu teman saya, ia sedang kritis.”
“Pak, tolonglah teman saya. Tolong bawa dia ke rumah sakit karena ia sedang kritis.”
“Bu, saya mohon ...,”
Tangisan bergulir tak henti-hentinya, ia hanya bisa menangis dan berusaha meminta bertolongan kepada manusia. Kendatipun ia tahu suaranya tak bisa didengar, karena saat ini ia hanyalah replika yang bisa melihat kejadian lampau.
Bagaimanakah nasib Clara? Apakah Alana bisa membantu wanita yang dianggap temannya itu?
Bersambung.