Alana tidak menjawab pertanyaan dari sahabat hantunya itu secara langsung. Ia mengusap bibirnya karena percikan air minum melebar di sela-sela pipinya.
Ia kini hanya menyelimuti tubuhnya dengan pelan. “Aku mau istirahat Poci, kamu tidak tidur sudah malam ini jangan kelayapan saja.”
“Alana, kamu mencoba mengalihkan pembicaraan kita terakhir, mengenai apakah kamu memiliki perasaan dengan dokter muda itu?”
Seolah seperti sahabat biasanya, yang sangat ingin tahu mengenai perasaan sahabatnya sendiri. Ia sangat kepo!
Wanita itu sengaja memejamkan matanya, meski ia tahu hal itu lebih baik dibanding menjawab pertanyaan sahabatnya. Ia hanya tidak ingin membahas mengenai perasaan. Apalagi ia terus mengingat momen di mana ia melihat secara langsung, sang kekasih melakukan hal tak senonoh dengan wanita lain.
Mengingatnya saja membuat hati Alana sangat sakit, bagaikan tertusuk belati yang begitu tajam.
Tak terasa air mata mengalir membasahi pipinya. Poci tak tahu hal itu, karena Alana mempunggunginya.
‘Maaf Poci, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Biarkan aku kini berperang dengan perasaanku sendirian. Selamat malam Poci, semoga mimpi indah,’ gerutunya dalam hati untuk sahabat yang selalu ada di saat ia berada di titik terpuruk.
***
Penthouse Tanaka Grup
Seorang pria yang berdiri di sisi balkon, sedang memandangi indahnya Ibukota. Dengan membawa secangkir wine dan tangan kanannya masuk ke dalam kantung celana kain berwarna abu.
Ia seperti sedang berpikir dengan sangat keras, terlihat dari tatapan yang kosong tapi banyak hal yang ia relungkan seorang diri.
Pria dengan wajah khas, memiliki kulit putih pucat nan halus dan tinggi 180 cm, mencekoki beberapa kali wine ke dalam mulutnya. Seakan ia menghempas sekali pikiran yang telah memusingkan beberapa hari lalu.
Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya?
Dreet! Dreet!
Terdengar suara deringan ponsel yang terletak di dekatnya. Ia melirik dengan ekspresi wajah datar, dan tidak langsung menjawab panggilan itu. “Mamah. Mau apa lagi dia menelponku?” gerutunya sebelum menekan nombol angkat.
Setelahnya ....
“Iya Mah, kenapa? Ada masalah apa lagi?” suaranya terdengar sangat ketus sekali, seharusnya tak pantas ia bersikap seperti itu.
“Lho, Yuta sayang, kenapa kamu sangat ketus seperti itu dengan Mamah? Ini Mamah mu lho, bukan musuhmu. Apa kamu membenci Mamah, mengenai hal ...,”
“Tidak perlu dibahas lagi Mah, aku hanya ingin sendiri untuk saat ini. Dan Mamah juga harus jaga kesehatan, mungkin pekan depan aku akan pulang sebentar bertemu dengan Paman Yoshi membahas mengenai saham yang disalurkan ke rumah sakit.”
Beberapa saat, ia langsung menutup telpon yang dipercayai dari sang ibu. Wajahnya semakin mengkerut.
Piaang!
Ia membuang secara kasar cangkir yang dipenuhi oleh wine itu ke sisi ruangan. Sampai cairan tersebut berserakan di dapur.
Ia melepas kemeja putih yang dirinya kenakan, dan membuangnya ke sofa lalu menginjak pecahan cangkir itu dengan wajah yang sangat datar.
Apakah ia tidak merasakan rasa sakit sedikitpun? Kendatipun telapak kakinya sudah mengalir banyak darah. Apa mungkin ia sudah tak bisa merasakan rasa sakit? Atau mungkin ia memiliki rasa sakit yang lebih dari pada sekadar terluka akibat beling, yang membuat telapak kakinya berdarah.
Baaak!
Ia memukul dengan keras meja kaca yang ada di dapur, sampai membuat meja itu retak menjadi dua dan membuat punggung tangan kanan pria ini mengeluarkan banyak darah.
Ekspresinya sama saja, seperti pertama. Sangat datar dengan tatapan mata yang begitu kosong. Ia berjalan dengan sempoyongan, menuju ke kamar untuk membasuh diri.
Aliran dari shower membersihkan semua darah yang telah mengalir. Meskipun sudah 20 menit pria ini membiarkan tubuhnya diderasi air mengalir, tetap saja darah yang telah melukai telapak kaki dan punggung tangannya tak berhenti.
Kini ia menutupi wajah, namun di sana ia tak sanggup untuk tidak mengeluarkan rintihan air mata yang bermakna begitu menyakitkan.
Terdengar kilas ia mengucapkan, “Maafkan aku.”
Entah apa yang sebenarnya terjadi, dari tindakannya yang ia lakukan sepertinya pria ini sangat menyesali mengenai perlakukan yang sudah dirinya lakukan.
Memang kesalahan seperti apa yang sudah dirinya lakukan? Siapa yang telah ia sakiti?
Wajahnya kini berubah pucat.
Kendatipun mungkin hatinya tak karuan, ia menyudahi mandinya kini ia segera menyelimuti tubuhnya menggunakan handuk.
Ia mengambil smartphonenya dengan meninggalkan pesan suara. “Dokter Rama, saya minta tolong datanglah ke penthouse saya sekarang juga. Saya membutuhkan pengobatan yang ekspensif.”
Tidak menunggu lama, ia sudah kedatangan dokter yang menjadi dokter kepercayaan keluarga Tanaka.
Belum saja meletakkan peralatan yang dibawanya, dokter setengah baya itu langsung memeriksa tubuh pria tersebut begitu teliti.
“Astaga kamu kenapa Yuta? Apa yang sudah kamu lakukan? Di mana yang terluka?”
Yuta tersenyum hangat, ia berpikir dokter ini masih sama tak berubah sedikit pun. Dari ia kecil sampai sudah dewasa seperti ini, dokter yang sudah ia anggap sebagai ayahnya itu selalu memperlakukannya sama.
“Dok, Anda sebenarnya menanyakan dulu kepada saya di mana letak luka yang saya alami. Bukannya langsung memerikasa keseluruhan tubuh saya, apalagi saya hanya memakai wearable kimono handuk seperti ini,” senyumnya pun mengarah ke wanita muda yang dipercaya sebagai suster Dokter Rama yang akan membantunya untuk menangani putra tunggal dari perusahaan elektronik yang sangat terkenal di Nusantara ini.
Secepat mungkin Dokter Rama meminta maaf, dan segera menanyakan Yuta terkait luka yang ia dapatkan.
Setelah mengetahui di mana saja luka, dan melihat penthouse Yuta berantakan, membuat Dokter Rama mempertanyaan apa yang dirasakan pria dewasa ini.
“Yuta, apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Kenapa kamu sampai berpikir untuk melukai tubuhmu. Memang tubuhmu salah apa? Kenapa ia harus mendapatkan luka dari apa yang kamu rasakan.”
Sorot mata pria yang memiliki wajah bak pangeran ini tetap kosong, ia melihat dokter yang ada di depannya dengan tersenyum tipis. Ia tak bisa menjelaskan apa yang sudah dia rasakan sebenarnya.
Ia pikir, tak perlu orang tahu perasaan yang sangat membuatnya kacau ini. Biarlah ia saja yang terbebani akan hal tersebut.
“Yuta, jujur dengan saya. Apakah ini semua karena cinta? Saya tahu, kamu adalah pria yang baik dan sangat hangat. Hatimu begitu mulia. Tidak hanya itu, kamu juga terlahir dari keluarga terpandang, dan memiliki begitu banyak bisnis. Bukankan itu membuat kamu bisa bersyukur?” tanya Dokter Rama yang masih belum di jawab oleh pria itu.
Tatapannya hanya ke bawah, dan tidak ingin bersuara.
“Yuta, kamu belum menjawab pertanyaan saya. Apakah ini semua mengenai cinta? Karena saya tahu, meskipun kamu diberkati banyak hal yang indah, tapi tidak dipungkiri kamu pernah menangis dihadapan saya karena perempuan yang kamu sukai terluka akibat keteledoranmu sewaktu sd dulu. Apakah kamu masih seperti itu?”
Pria dengan bentuk wajah persegi begitu tegas dengan rahang-rahang yang kaku, membuat Yuta semakin terlihat bak dewa. Yuta mengangkat wajahnya, dan menatap Dokter Rama penuh makna.
Namun, suster yang ada di samping Dokter Rama sudah mimisan sejak tadi karena tak kuat melihat ketampanan Yuta ini.
“Dok, apa yang Anda katakan tadi benar. Mungkin saya memang tak boleh mencintai siapa pun, saya tak ingin membuat wanita yang sangat saya cintai terluka lagi.”
Bersambung.