Cerita itu membuat Alana semakin menjadi-jadi, entah mengapa kematian yang terjadi 10 tahun itu membuat dirinya terus berupaya ingin mengetahui kisah jelasnya. Mengapa suster cantik yang berinisial N tersebut dibunuh secara mengenaskan di ruang laboratorium, apa penyebabnya?
Matahari pun kembali memeluk bumi, ia secara perlahan menghilang dan digantikan dengan cahaya Bulan.
Beberapa jam Alana menunggu kedatangan dokter tampan yang sudah berjanji akan dilakukan pengecekan mengenai kaki kanannya yang patah.
Wanita yang memiliki manik mata indah itu melamun, entah apa yang dipikirkannya di ruangan kelas satu tersebut. Ia menyoroti lukisan yang ada tepat di depannya.
Lukisan indah sepasang pria dan wanita melihat ke arah pantai pada saat senja, hanya punggung mereka yang tampak terlihat.
Tapi entah, meskipun lukisan itu begitu romantis yang dirasakan Alana, namun wanita yang sangat serius ini merasakan sesak dalam dadanya.
Huuus!
Hembusan angin terasa tepat di telinga kiri Alana. Keseriusannya membuyar akibat ulah teman makhluk halusnya itu.
Sontak Alana menoleh ke Poci yang berusaha terus mengganggunya dengan tatapan kesal, serta dahi dikerutkan. “Kamu menggangguku saja, Poci!”
“Habisnya sih kamu serius banget, memangnya apa yang kamu lihat?” tungkas Poci yang mencoba melihat ke dinding.
“Lukisan? Lukisan menyeramkan itu?” celetuk Poci.
Hm?
“Menyeramkan?” tanya Alana terheran, tentu saja pernyataan Poci salah menurut wanita itu. Karena lukisan yang ada di depan adalah lukisan romantis bukan lukisan yang menyeramkan.
Dengan penuh percaya diri, dengan tangan yang terbungkus kain kafan dan keseluruhan tubuhnya, Poci sangat bersemangat menganggukkan kepala, yang mengartikan bahwa pernyataannya tadi benar adanya.
“Kenapa kamu bilang menyeramkan Poci, bukankah itu lukisan yang sangat sweet untuk sepasang kekasih?” tanya balik Alana, karena ia tak puas dengan pernyataan sepihak teman hantunya itu.
Poci masih berdiri tepat di samping Alana dengan menatap lurus lukisan yang dikatakan sebagai lukisan menyeramkan. Memang hanya dia yang dapat melihat itu sebagai sebuah lukisan menyeramkan. Dikarenakan ada sosok yang tak terlihat di sana.
Teman Alana ini masih menelisik jauh sosok tersembunyi dari lukisan itu, serta kisah dari lukisan indah tersebut.
“Alana, lihatlah tepat dipergelangan tangan si wanita dilukisan. Apakah kamu tidak melihat secara jelas ada darah yang mengalir?”
Setelah beberapa detik mengatakan hal itu, Alana yang tadinya melihat serius ke arah Poci kini menatap ke depan. Ia terus menelisik pergelangan tangan si wanita yang ada dilukisan tersebut.
Benar saja, ada tetesan darah yang tergambar dilukisan itu karena seni lukis itu sangat indah menyebabkan darah yang mengalir hampir tak tampak.
“Dan coba kamu lihat pergelangan tangan pria. Pergelangannya juga meneteskan darah, bahkan lebih banyak daripada si wanita,” lanjut Poci memberitahu temannya.
Alana menyondongkan sedikit tubuhnya dan memajukan kepalanya, ia ingin melihat secara jelas apa yang sudah dilontarkan Poci. Dan lagi-lagi, perkataan teman hantunya itu benar.
Tapi entah mengapa saat tadi dirinya melihat, tidak sedikitpun ia melihat ada darah yang digambarkan. Akan tetapi aura dari lukisan itu memang sudah berbeda.
Ia pun tak tahu, sejak kapan lukisan ini ada di ruang di mana ia di rawat. Rasanya beberapa hari lalu lukisan ini tak ada di sini.
“Poci!” panggil Alana dengan manik mata yang sedikit melotot, ketika ia melihat ceceran darah yang mengalir pada pergelangan yang diyakini adalah sepasang kekasih itu. Tiba-tiba bulu kuduk Alana mulai sensitif, ia memanggil teman hantunya itu dengan harapan Poci dapat menjawab apa yang akan ditanyakannya.
Dengan wajah datar dan cuek, Poci melirik hanya setengah ke arah Alana. Kemudian ia kembali menelisik lukisan itu.
“Poci, apakah kamu mau mendengarkanku?” Saat ini Alana hanya membutuhkan teman yang bisa mendengarkannya.
“Iya ... iya aku dengar kok, kamu katakan saja apa yang kamu ingin katakan.”
“Poci, apakah kamu tahu lukisan itu bukan lukisan biasa kan?” tanya Alana kepada temannya.
Poci mengangguk dengan penuh keyakinan.
Wajah Alana berubah pucat, karena pada hakikatnya wanita ini adalah wanita yang sedikit takut akan hal-hal berbau mistis. Tapi entah mengapa, sepanjang hidupnya ia selalu diwarnai dengan hal-hal seperti itu.
“Tolong jangan katakan ada sosok lain dilukisan itu,” ucap Alana yang sedikit gemetar, meskipun tak terdengar getarannya.
Dengan santainya Poci memaparkan, “Mereka ada di sana kok.”
“Tolong jangan bercanda, Poci!” Alana tak ingin semua yang dipikirkannya sejak tadi menjadi benar.
Sebelum berpikir lukisan itu memiliki daya seni yang sangat indah, Alana juga berpikir bahwasanya lukisan tersebut memiliki aura lain. Seperti ada sosok yang hidup dilukisan tersebut. Akan tetapi, semua prasangka itu ditepisnya secepat mungkin, karena ia tidak mau berpikir yang aneh-aneh.
Namun, apa yang sudah ia pikirkan memang benar. Lukisan itu seperti memiliki kisah yang menyeramkan.
Kenapa bisa menyeramkan?
“Poci, bisakah kamu membantuku berpindah ke kursi roda? Aku ingin keluar dari ruangan ini dan menyuruh staf rumah sakit untuk memindahkan lukisan ini.”
Sebelumnya Suster Luna berkata, bilamana ia izin untuk pulang ke rumah dan penjagaan akan digantikan oleh Dokter Arka langsung.
Namun, jam segini Dokter Arka belum datang juga. Hal ini membuat Alana ingin mencari dokter tersebut, sekaligus menyuruh staf rumah sakit untuk memindahkan lukisan ini karena ia sudah tak merasa nyaman.
Seperti ada yang memperhatikannya sejak tadi.
Dengan kekhasan yang menatap Alana penuh keheranan, Poci hanya memasang wajah datar. Lalu berkata, “Apakah kamu lupa aku ini adalah sosok arwah gentayangan, Alana? Apa kamu pikir aku bisa membantumu untuk pindah ke kursi roda? Mana mungkin aku bisa melakukan sulap seperti itu.”
Alana lupa, teman yang selalu menemaninya pada saat sakit di rumah sakit ini hanyalah arwah gentayangan yang tak dapat membantu lebih.
Ia menutup mata dengan telapak tangan kanannya beberapa detik, lalu menghembuskan napas berat. Ia ingin sekali keluar dari ruangan ini, jika lukisan itu tak bisa dipindahkan, maka dia harus pindah pada malam ini juga.
Tiba-tiba perubahan suhu dalam ruangan berubah, padahal derajat pendingin ruangan paling kecil. Tubuh Alana tiba-tiba terasa berat, dan kepalanya sakit dibagian kiri.
Alana berusaha untuk meraih kursi roda yang ada di dekat brankar.
“Alana, tolong jangan paksakan dirimu. Tunggu seseorang saja yang datang. Nanti kamu bisa jatuh Alana.” Kendatipun sering membuat kesal Alana, tapi Poci begitu peduli dengan teman manusia satu-satunya ini.
Tak bisa menunggu lagi, ucapan temannya itu ia kesampingkan. Ia tetap bersikukuh dengan apa yang akan dilakukannya.
Karena baginya ada sosok yang ingin berkomunikasi dengannya.
Tiba-tiba Poci menghilang entah kemana. Pelipis Alana bercucuran keringat yang deras, suhunya benar-benar panas.
Tes! Tes!
Ketika ingin beranjak dari brankar menuju kursi roda, ada tetesan air dari atas atap. Alana merasa tak ada hujan di luar, dan lagipula tidak mungkin rumah sakit yang terawat ini bisa bocor.
Karena dipenuhi rasa penasaran, Alana memutuskan untuk menengadah melihat ke atas atap. Bola mata gadis itu melotot, mulutnya mengaga terbuka dan ia mematung tak bisa menggerakkan tubuhnya.
Sebenarnya apa yang dilihat oleh Alana?
Bersambung.