Kira-kira sebulan setelah masuk SMU, aku mulai bekerja sambilan setiap pulang sekolah. Setiap hari Senin sampai Jum’at aku menjaga toko kue kecil milik tetanggaku yang letaknya didepan komplek perumahan.
Toko roti bu Wito menyambung langsung dengan rumah pribadi beliau. Ibu Wito sahabat ibuku. Beliau membolehkanku bekerja mulai dari jam setengah empat sore sampai jam 8 malam. Sebetulnya toko baru tutup jam sembilan malam, tapi beliau dengan baik hati selalu memintaku pulang lebih awal. Bu Wito juga membolehkanku menjaga toko beliau sambil mengerjakan tugas atau sambil belajar.
Job deskku sehari-hari hanya melayani pembeli, bersih-bersih, menata roti dan kue kadang membantu ibu dan pak Wito memanggang roti di dapur. Hari Sabtu dan Minggu aku dapat jatah libur, tapi kadang aku dipanggil untuk membantu mereka membuat kue pesanan atau mengantarkan roti kalau misalnya Gendhis-anaknya pak Wito, nggak bisa mengantar.
Alasanku bekerja ditoko roti selain untuk mengumpulkan tabungan untuk biaya kuliah juga supaya aku dapat roti sisa gratis. Tiap pulang kerja sambilan, bu Wito selalu membawakanku roti. Aku suka makan roti, sukaaa sekali. Anehnya ibuku tidak suka roti. Kadang aku suka membagi-bagikan roti disekolah, biasanya pada Saga, teman-temanku dan teman-teman Saga.
Diminggu pertama aku bekerja, Saga muncul di toko kue tempatku bekerja. Saat itu sudah jam setengah delapan malam dan mati lampu. Aku sedang mengobrol dengan kucing Persia Bu Wito didepan cahaya lilin. Tentu saja kucingnya bu Wito nggak menyahut, dia kan tidur. Sebetulnya kucing tidak boleh masuk didalam toko. Aku menyelundupkan kucing kedalam toko karena si kucing muncul tiba-tiba didepan pintu kaca disaat aku sedang kesepian.
Saga mengangkat alisnya melihatku ada disitu bicara dengan kucing didepan cahaya lilin. Aku gelagapan buru-buru menyembunyikan kucing.
"Kucingnya nggak usah di sembunyikan." Ujar Saga tanpa berkomentar lagi.
Anehnya Saga nggak kaget juga melihatku berdiri disana. Harusnya kan ia berbasa-basi biar aku juga ikut-ikutan berbasa-basi. Bukannya begitulah cara masyarakat bekerja?
Kutanyakan padanya, apa Saga nggak kaget aku bekerja disini. Ia menggeleng, sibuk memilih roti. Kutanya lagi padanya, apa ia nggak kaget kalau kuberitau aku tinggal satu komplek perumahan dengannya. Ia menggeleng lagi. Huh, aku mendengus. Apa kira-kira ia baru kaget kalau aku bilang aku dapat nilai 100 di ulangan Matematika?
“Aku kaget waktu kamu ngajak bicara kucing.” Kata Saga saat tangannya sibuk memilih donat.
Aku balik heran. Harusnya ia kaget kalau aku ngajak bicara roti. Apa ia nggak pernah ngajak bicara hewan peliharaannya? Hewan peliharaan tetanggaku saja kuajak bicara.
“Saga nggak punya hewan peliharaan?” Tanyaku sambil mengeluarkan kucing dari dalam toko. Saga menggeleng. Oh, pantas saja.
“Ini toko roti milik papamu?” Tanya Saga.
Aku menggeleng,”Bukan. Toko ini punya tetanggaku. Papaku sudah meninggal.”
Saga menggerak-gerakan jemarinya gelisah diatas nampan roti. “Maaf.” Ujarnya.
Melihat Saga gelisah malah membuatku salah tingkah. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan padanya kenapa Saga bisa tau aku tinggal satu komplek dengannya. Ternyata Saga tau dari merek roti yang kubawa. Bu Wito kan tidak membuka cabang untuk toko rotinya. Aku selalu membawa dan membagi-bagikan roti dengan merk yang sama. Dari sana Saga menebak-nebak kalau aku pasti juga tinggal dekat dengan rumahnya.
Jenius benar dia. Aku yakin seratus persen nggak akan ada temanku yang sampai kepikiran sejauh itu selain Saga.
Diminggu keempat bekerja, aku mengantarkan beberapa pesanan dihari Minggu. Naik sepeda onthel milik pak Wito. Aku nggak bisa naik motor juga nggak bisa naik mobil. Waktu aku sampai disalah satu rumah salah satu pelanggan toko roti bu Wito, aku nyaris jantungan begitu melihat Saga yang keluar dari pintu setelah aku memencet bel. Mana aku tau kalau yang memesan kue bolu ini ibunya Saga.
Rumah Saga bagus dan besar sekali, Rumahnya bercat putih cream dan bentuknya mirip seperti kabin. Paving batu didepan garasinya berwarna jingga gelap. Pintu garasinya yang panjang terbuat dari kayu asli. Tepat diatas garasi ada dua jendela besar dengan panel kayu berwarna putih. Halamannya ada disisi barat rumah. Pohonnya rindang dengan Bunga bogenville warna kuning merambat di tembok. Aku terkagum-kagum memandang rumahnya sampai lupa Saga berdiri didepanku.
“Jangan bengong.”
Aku tersentak buru-buru menggeleng, “Aku nggak bengong.”
“Bohong.” Tuduh Saga.
Aku memandang Saga dengan mata menyipit, agak sebal. Saga memakai celana pendek dan kaus putih, kelihatan segar habis mandi. Aku mengecek penampilanku, celana training warna hitam dan kaus olahragaku zaman SMP. Kenapa aku memakai baju seragam olahragaku waktu SMP? Ya karena tetap kusimpan sebagai kenang-kenangan. Tapi kenapa kupakai saat muter-muter komplek? Ya karena aku ngambil baju seadanya dari lemari pakaian tanpa kucek dulu.
“Hari Minggu kamu juga kerja?” Tanya Saga sambil mengambil pesanan kue bolu yang kuserahkan.
Aku mengangguk buru-buru, ingin secepatnya pergi darisini. Aku tidak percaya diri karena basah kuyup keringat sehabis menggenjot sepeda menyusuri jalan perbukitan.
“Ayo masuk dulu.” Kata Saga, ia meminggirkan badannya mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya.
Aku melirik wajah Saga. Aneh, ia mempersilahkan aku masuk tapi tidak tersenyum ramah atau bagaimana. Aku menggeleng sekuat yang aku bisa untuk menolaknya. Saga memintaku lagi, aku menggeleng lagi. Begitu terus hingga tiga kali. Saga akhirnya mengalah karena aku ngotot nggak mau mampir ke rumahnya tapi sebelum aku pergi dengan tampang dinginnya Saga memberikanku Yugurt.
Esok harinya Saga bersikap seakan-akan aku tidak pernah muncul didepan rumahnya. Aku juga pura-pura tidak ingat pernah kerumahnya. Aku juga baru bicara saat Saga setelah jam pelajaran olahraga. Aku memandang Saga yang berdiri disebelahku di samping koprasi sambil menegak air mineral. Aku nggak ada maksud apa-apa saat memandangnya tapi Saga tiba-tiba berkata ketus,"Kenapa? Mau minta?"
"Nggak kok." Aku menggeleng.
"Ambil sana di koprasi nanti kubayar."
"Nggak mau."
"Nggak usah gengsi. Ambil apa aja kamu mau. Terserah."
"Saga kayak om-om deh." Aku mendengus.
Saga tersedak minumannya sendiri karena tertawa,"Ternyata kamu tau yang kayak gitu juga."
Keningku berkerut,"Tau apa?"
Saga mendengus geli,"Bawa nih." Perintahnya tanpa menjawab pertanyaanku sambil meletakan botol air mineralnya di tanganku.
Aku menatap Saga kemudian menatap botol di tanganku. Bingung sendiri. Lah terus di apain nih aer bekas Saga?