Wajah Saga yang tanpa ekspresi itu kadang-kadang selain membuatku takut juga membuatku bingung. Sebetulnya Saga sedang memikirkan apa? Tatapan mata Saga seringkali dingin karena ia pintar sekali menyembunyikan emosinya.
Di hari kesembilan, aku tidak sengaja menjatuhkan jam tangan Saga gara-gara tersampar tasku. Kukira Saga bakalan murka, tapi ternyata ia hanya diam saja. Ia mengambil jam tangan yang kujatuhkan sementara aku masih dalam posisi reflek membeku ketakutan. Waktu aku membeku itu si Abimayu malah ketawa ngakak gara-gara posisi membeku mirip poci teh. Tau kan? Satu tangan berkacak pinggang, satunya lagi melengkung kayak ujung ceret poci teh.
“Itu jam mahal loh Jo. Harganya sejuta.” Abimayu mengompor-ngompori.
Aku meringis. Bukannya dengan harga sejuta kalau jatuh malah nggak apa-apa?
“Nggak apa-apa.” Kata Saga bahkan sebelum aku sempat minta maaf. Ia memakai jam tangannya lagi seperti model-model yang muncul di iklan jam tangan super mahal.
Walaupun Saga sudah bilang nggak apa-apa duluan, aku tetap minta maaf. Tatapan mata Saga membuatku takut kalau diam-diam ia menyimpan dendam. Kan siapa tau dia diam saja tapi didalam otaknya ia sudah membayangkan membeleh-belehku jadi potongan kecil-kecil.
Saga mengangguk singkat kemudian ngeloyor pergi. Ah, apa aku harus menyembah-nyembahnya minta maaf padanya? Tapi kok rasanya berlebihan sekali.
Lalu saat aku tanpa sengaja mencorat-coret bagian belakang LKS Biologinya karena kukira itu buku LKSku. Wajahku berubah warna menjadi abu-abu jelek waktu aku menutup buku LKS itu dan melihat nama Saga tertera besar-besar dihalaman depan buku LKS. Matilah aku.
Aku mengecek kembali gambar yang sudah kubuat dengan spidol merah. Gambar gurita super besar dengan bunga-bunga. Aku nyaris tidak bisa bernafas menyadari betapa tololnya aku. Saga tau-tau melongokan kepalanya dari belakang punggungku, menatap langsung ke hasil karyaku dibukunya. Aku menoleh panik menghadapnya dengan lutut gemetaran sambil bergumam ‘ehhh’.
Saga menatap wajahku, kemudian menatap gambar yang kubuat. Aku sudah siap jika Saga mendiamkanku seharian- mungkin sih. Soalnya berantem ala cewek kan biasanya begitu, diem-dieman. Hanya itu jenis bertengkar yang kukenal. Berhubung pengalamanku dengan anak laki-laki nyaris tidak ada.
Aku tidak bisa mempercayai kupingku saat Saga malah mendengus tertawa. May saja bakal ngambek kalau aku ketahuan menggambari buku LKSnya. Ia menertawakan gambarku selama kira-kira lima detik kemudian mengobrol lagi dengan Yugo dengan ekspresi kembali dingin sampai aku heran.
Satu kalinya wajah Saga emang sungguhan sebal adalah waktu aku menyampaikan lagi salam Lintang setelah hari sebelumnya Lintang menelponku. Ia histeris mendengar kabar aku duduk disebelah Saga. Lintang juga kecewa berat karena aku nggak memberitaunya dan ia harus dengar berita itu dari orang lain duluan.
Selama bertelepon Lintang mewanti-wantiku untuk jangan sering sering minta diajarin Saga atau nyontek PRnya. Lintang takut Saga naksir aku gara-gara itu. Padahal aku pikir, kalau Saga tau betapa begonya aku dalam pelajaran Matematika, Saga justru ilfil berat.
Duduk disebelah Saga juga membuatku terkenal mendadak, banyak anak yang nggak kukenal mengenal namaku bahkan menyapaku di lorong. Beberapa dari mereka memandangku dari atas kebawah sambil menyipitkan mata atau sekedar melirikku sekilas kemudian mendengus. Ada juga yang terang-terangan mengajakku kenalan supaya aku bisa membantu mempromosikan mereka ke Saga.
Namun berhubung, aku melihat sendiri eskpresi sadis Saga sewaktu aku menyampaikan salam Lintang padanya (Saga beneran dengar kali ini), membuatku kapok untuk juga jangan sampai menyampaikan salam dari kakak-kakak senior yang suka mencegatku saat jam istirahat atau pas pulang sekolah.
Beberapa orang juga memintaku untuk membagikan nomer handphone Saga. Padahal aku baru bertukar nomer telepon Saga kira-kira seminggu setelah aku duduk disebelah Saga. Sewaktu aku mengeluarkan handphoneku dari dalam tas. Saga takjub memandang handphoneku untuk pertama kalinya. Handphoneku sudah tua sekali, baterai handphoneku sudah menggembung dan sering copot sendiri. Handphone ini kumiliki dari zaman aku masih kelas 6 SD. Berhubung ibuku orangtua tunggal, aku nggak tega untuk meminta barang baru mewah dari beliau.
Selain itu, sepertinya semua orang menghubung-hubungkan apapun yang kulakukan dengan Saga. Saat aku berangkat sekolah memakai jepit rambut, Oza bilang aku ingin tebar pesona pada Saga. Esoknya saat aku berangkat sekolah terburu-buru sampai lupa sisiran, anak-anak yang lain bertanya apa aku sudah putus asa menarik perhatian Saga. Astaga. Aku lupa sisiran bukan karena aku putus asa. Semenjak masuk SMU panjang rambutku sudah mencapai punggung, tebal lurus agak mengikal. Biasanya rambutku kuikat ekor kuda supaya tidak berantakan tapi karena bangun kesiangan rambutku belum sempat kutata rapih jadi agak mengembang berantakan tapi nggak seberantakan rambut yang habis disambar angin topan juga.
Awalnya memang canggung duduk dengan Saga tapi namanya terpaksa duduk bersebelahan selama berminggu-minggu tanpa sadar aku terbiasa juga. Gara-gara sudah terbiasa duduk disebelahnya, diakhir minggu bulan ini, aku lepas kontrol dan mulai memasang ekspresi tidak jelas saat menggambar. Aku punya kebiasaan mengubah-ubah ekspresi wajahku sesuai gambar yang kubuat atau saat aku terlibat percakapan dengan diriku sendiri di dalam kepala atau saat aku mengingat kejadian-kejadian yang pernah terjadi padaku atau saat berkhayal.
Saking serunya, aku sampai lupa kalau teman sebangkuku bukan May, bukan Lintang dan bukan pula anak perempuan.
“Sudah.....wajahmu aneh... Ekspresimu bener-bener aneh.” Ujar seseorang dengan suara seperti tercekik menahan tawa di sampingku.
Aku tersentak kaget, tersadar dari khayalan lalu buru-buru menoleh. Disebelahku, Saga tertawa sampai memegangi perutnya.
"Kamu ngapain sih? Lagi pertunjukan ekspresi wajah? Latihan syuting sinetron?" Tanya Saga sambil menghapus air mata tawanya.
Lah jahat banget, emangnya ekspresiku barusan kayak ekspresi aktris sinetron saat sedang ngomong dalam hati lalu di zoom kamera?!