Aku sudah jadi anak kelas 2 SMP. Aku masuk kelas 8B sementara Lintang masuk kelas 8E. Jarak kelas Lintang dan kelasku dipisahkan lapangan Bola. Makanya aku jadi jarang mengobrol dengan Lintang. Kalau kebetulan kami bertemu di kantin, Lintang juga lebih sedikit membicarakan tentang Saga- Saga masuk kelas 8A, bersebelahan dengan kelas ku. Kali ini Lintang lebih banyak membicarakan Abdul, salah satu cowok teman sekelasnya. Aku nggak kenal Abdul dan nggak mau tau. Takutnya aku bakalan bernasib sama kayak waktu masih kelas 7. Disuruh menemani Lintang menguntit orang yang dia taksir melulu.
Saat aku sedang sibuk mengipasi wajahku dengan topi upacara setelah nyaris dua jam berjemur di lapangan untuk memperingati hari kemerdekaaan, May, teman sebangku sekarang tau-tau berdiri di sampingku.
"Sebentar lagi pertandingan antara kelas kita sama kelas 8A." Kata May sambil mengucir rambut pendeknya,"Kamu mau liat nggak?"
Begitu aku mengangguk, May langsung menarik tanganku. Kami duduk di kursi panjang didepan kelas kami. Aku melihat siswa laki-laki kelasku mulai keluar satu satu dari balik ruang ganti di belakang perpustakaan sekolah. Mereka memakai baju olahraga sekolah dan celana bebas hitam. Anak-anak kelas 8A juga sudah bersiap menggunakan baju olahraga dengan celana bebas berwarna putih.
Satu-satunya anak laki-laki yang kukenal diantara semua pemain kelas 8A hanya Saga. Aneh, padahal Saga bukan artis, tapi saat Saga memasuki lapangan anak-anak perempuan kelas delapan yang duduk bergerombol di bagian timur lapangan langsung bersorak.
"Sebenarnya mereka ngebelain kelas sendiri atau enggak sih?" Tanya May sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah beberapa anak-anak perempuan kelasku yang juga bersorak saat Saga memasuki lapangan.
Tatapan jengkel May persis sama kayak tatapan mata anak laki-laki kelas kami yang berlaga dilapangan. Mereka kompak serempak cemberut memandang gerombolan anak perempuan kelasku yang berkhianat.
Pertandingan di mulai. Jelaslah aku membela kelasku. Tapi sekelompok anak perempuan, teman-teman sekelasku sendiri, malah kebanyakan dari mereka juga bersorak sewaktu kelas 8A mencetak skor.
Dita, teman sekelasku, yang bersorak paling keras dari yang lain. Sudah jadi rahasia umum kalau Dita naksir Saga semenjak mereka satu kelas waktu kelas 7. Aku yakin tadi Dita bersorak bukan karena si Cahyo anak kelas 8A berhasil masukin bola, tapi nyorakin Saga padahal bukan dia yang mencetak gol.
Dita berdiri di belakangnya May sekarang. Aku meliriknya, tingginya lebih beberapa sentimeter dibanding aku. Rambutnya di rebonding karena dia mungkin korban mitos cewek cantik itu harus berambut lurus. Ngomong-ngomong aku pernah melihatnya pura-pura menabrak Saga kemudian lari sambil ketawa.
Tanpa sengaja, aku juga melihat Lintang sedang duduk di bawah undakan batu di seberang lapangan. Di sebelah Lintang, ada anak perempuan kelihatan seperti juru kamera sibuk merekam pertandingan itu dengan menggunakan handphone. Aku yakin pasti Lintang yang menyuruh dia untuk merekam. Karena dulu saat aku masih satu kelas dengan Lintang, Lintang juga sering memaksaku jadi juru kamera padahal aku mati-matian bilang nggak mau.
Pertandingan babak pertama selesai dengan kelas 8A yang memimpin. Selama jam istirahat babak pertama aku sibuk membagikan air minum, membawakan tisu dan roti bersama dengan May.
Begitu akhirnya lima belas menit berlalu, aku mendengar Dita ketawa-tawa kecil sambil memandang kearah kelas 8A. Aku menoleh penasaran untuk melihat apa yang membuat Dita kedengaran segitu bahagianya. Ternyata, Saga sedang meneguk air mineral dari botol. Dia kelihatan kayak bintang iklan air mineral walaupun sebenarnya cara Saga minum biasa saja. Aku dan May pun kalau minum langsung dari botol air mineral juga begitu. Tapi nggak pernah ada tuh yang menyoraki kami saat kami sedang minum.
Sekarang aku menatap Dita dengan kagum, Dita bahagia hanya dengan melihat Saga minum air putih padahal semua manusia juga minum air putih. Hebat juga kekuatan rasa suka, bisa membuat orang bahagia hanya karena hal-hal yang biasa, hal-hal tidak penting sebetulnya.
.........
Di jam istirahat pertama esoknya, aku duduk diluar kelas, tepatnya dikursi ubin di depan jendela paling belakang kelas 8A bersama dengan May. May sibuk makan keripik kentang sementara aku diam saja dengan kening berkeringat dingin.
Aku sengaja duduk di luar kelas. Berharap perutku yang bergolak karena ini hari pertamaku mens agak berkurang. Tiba-tiba Lintang datang mengagetkanku dari belakang. Aku menoleh padanya sambil tersenyum.
“Johan!" Seru Lintang kemudian mengambil celah tempat duduk antara aku dan May. May mendengus sambil menggeser posisi duduknya, tapi diam saja cuek bebek sambil memandangi jendela kelas 8A. Bukan kali ini saja Lintang menggeser posisi duduk May tanpa permisi. Mereka saling kenal tapi sedikitpun nggak dekat.
"Johaaan aku mau ke kantin. Kamu ikut ya!" Paksa Lintang sambil menggoyang-goyangkan bahuku.
Aku menggeleng, ”Nggak mau. Perutku sakit.”
“Yah, emang apa hubungannya?” Tanya Lintang heran.
“Dia lagi dapet.” Potong May.
“Makanya kekantin biar nggak kerasa sakitnya.” Kata Lintang tanpa menghiraukan May.
May yang sepertinya jengkel dicuekin langsung nyeloyor masuk kekelas. Begitu May masuk kedalam kelas Lintang langsung nyengir lebar.
“Syukur deh dia masuk, aku nggak bebas ngomongin Saga kalau ada May. Eh Jo, si Saga di kantin nggak? Kamu lihat dia waktu lewat nggak?” Tanya Lintang.
Aku menggeleng. Terakhir aku melihat Saga kira-kira hari Senin lalu sewaktu pertandingan bola. Tiap kali Lintang bertemu denganku pertanyaannya pasti sama, nyariin Saga (kalau nggak ngomongin Abdul atau anak laki-laki). Padahal nggak mungkin aku hafal jadwal keseharian Saga sekalipun kelas kami sebelahan.
“Biasanya jam segini dia ke kantin kan?” Tanya Lintang.
“Aku nggak tau.” Aku menggeleng.
“Yakin?" Selidik Lintang dan tau-tau dia bicara panjang lebar soal belum lama ini Lintang melihat Saga mengelap keringat di dahinya dan kelihatan tetap ganteng.
Astaga. Aku nggak peduli. Perutku semakin ngilu mendengar cerita Lintang tentang Saga yang makin lama makin nggak penting.
“Jadi kamu beneran nggak mau kekantin?” Akhirnya Lintang kembali ke topik semula.
“Perutku sakit.” Kataku untuk kesekian kalinya.
“Ah, Johan nggak asik.” Kata Lintang kecut, "Ayolaaah Jo. Mens aja sampai segitu amat." Paksanya.
Aku menghela nafas. "Iya. Iya. Lintang duluan nanti kususul." Kataku lebih untuk menghentikan Lintang menggoyang-goyangkan bahuku. Karena efek yang ditimbulkan dari gerakan itu membuat perutku makin sakit.
"Gitu dong Jo. Kutunggu kamu di kantin ya. Cepatan! Nanti Saga keburu balik ke kelasnya." Seru Lintang sambil bangkit berdiri kemudian ngeloyor pergi.
Aku memandang Lintang yang baru beberapa langkah menyusuri koridor menuju kearah kantin lalu mengalihkan pandangan menatap kejendela paling belakang kelas 8A didepanku.
Aku tau daritadi jendela belakang kelas 8A terbuka, tapi baru sekarang aku sadar ada orang yang berdiri di balik jendela. Aku tidak tau siapa yang berdiri dibalik jendela karena aku hanya bisa melihat ujung rambutnya dan separuh bagian kemeja putih, sementara sisa wajahnya tertutup pelat kayu jendela.
Jendela sekolahku berbentuk hooper berukuran besar yang hanya bisa diayun bagian bawahnya. Terbuat dari material kayu jati dan besi yang sudah karatan karena bangunan sekolahku sudah tua.
Orang yang ada di balik jendela menundukan kepala dengan tangan dilipat di bagian bawah pelat kayu. Aku menggigit bibir khawatir kalau orang di depanku mendengar pembicaraan Lintang tentang Saga. Karena siapapun yang mendengar pasti dengan mudah menyimpulkan kalau Lintang naksir Saga. Untuk ukuran anak SMP, berita itu lumayan menggemparkan kalau sampai tersebar.
Sedetik setelah aku memandang, orang yang ada didepanku bergerak sedikit. Dari sela-sela jendela yang terbuka aku melihat bet nama yang tertempel di baju seragamnya. Nama Saga tertera besar-besar, terbordir sempurna.
Aku terbatuk-batuk kaget. Aku tidak tau sejak kapan Saga berdiri dibalik jendela memandang kearah lapangan sepakbola di belakangku. Aku nggak tau apa yang Saga lihat, kenapa Saga berdiri disitu apalagi apa yang Saga dengar. Mulutku nyaris saja memanggil nama Lintang untuk memberitaunya kalau ia tidak perluh capek-capek mencari Saga di kantin karena sekarang Saga persis ada di depan mukaku. Tanganku sudah secara reflek mengayun-ayun bego kearah Lintang sebelum aku akhirnya sadar; bisa-bisa Lintang histeris saking malunya kalau ia sampai tau Saga mungkin mendengar pembicaraannya barusan dan siapa lagi korban curhatnya? Aku. Ugh, membayangkannya saja sudah membuatku merinding.