Hari ini Lintang akan ke rumahku. Jadi aku dan Lintang akan naik bus jurusan yang sama. Soalnya selama ini Lintang selalu naik bus yang berlawanan arah dengan ku. Lintang sebenarnya sudah merencanakan ini sejak lama. Lintang memperhitungkan dengan sangat hati- hati agar bagaimana caranya kami bisa naik bus yang sama dengan Saga.
Rumah Saga dan aku memang berada disatu komplek, tapi halte tempat Saga turun berbeda denganku. Kalau kebetulan kami satu bus saat pulang sekolah, saat aku turun, Saga masih ada didalam bus, jadi mana aku tau kalau rumahnya dekat dengan rumahku. Lagian aku juga jarang satu bus dengan Saga. Soalnya saat pulang sekolah, aku selalu naik bus paling awal walaupun penuh sesak. Sedangkan Saga biasanya selalu menunggu naik bus yang paling sepi penumpang.
Aku sekarang memang tau kalau ternyata rumah Saga dekat dengan rumahku, tapi aku tidak tau persis seperti apa rumahnya. Sejauh ini yang benar-benar kutau dari Saga cuma wajahnya yang itu juga baru kutau belum lama ini. Ternyata mengetahui wajah Saga tidak membawa efek apa-apa bagiku. Namaku tetap Johan. Aku tetap anak tunggal. Uang saku perbulanku tetap segitu-segitu saja. Bedanya sekarang; hanya aku bisa mengenali satu wajah baru dari kumpulan wajah-wajah asing disekelilingku. Wajah Saga bukan lagi wajah asing tak bernama seperti sejuta wajah lain yang pernah kulihat dikeramaian.
Setelah mengantri mengambil tiket bus, Lintang langsung berlari menuju tempat Saga berdiri. Mau tidak mau aku mengikuti Lintang. Setelah berdesak desakan, Lintang berhasil berdiri di samping Saga sementara aku berdiri di belakang mereka.
Aku menatap punggung Lintang dan Saga. Mereka cocok karena sama-sama tinggi. Lintang juga cantik, selain pintar dia juga pandai bergaul. Yang aku tau sejauh ini Lintang dan Saga belum pernah berkenalan secara formal. Lintang selalu bilang kepadaku, kalau mereka memang sering bertemu di ajang perlombaan tapi mereka berdua belum pernah mengobrol sebelumnya.
Lintang menatap ke kanan kiri, kemudian baru menyadari kalau aku berdiri di belakangnya. Lintang mengedipkan mata antara panik, senang dan salah tingkah. Aku mengangguk angguk saja untuk memberi semangat padanya.
"Halo" Kata Lintang sambil mendongak kearah Saga.
Saga masih menatap kearah lain sampai Lintang menyapanya untuk kedua kalinya, "Haloo?!"
"Iya?" Ujar Saga formal, menunduk langsung menatap ke mata Lintang tanpa persiapan.
Lintang gelagapan karena nggak menyangka reaksi Saga seperti ini. Lintang buru-buru menatap kearahku, karena Lintang menatap kearahku otomatis Saga ikut menatap kearahku. Sementara aku yang bingung di tatapi oleh dua orang buru-buru menatap ke langit-langit halte.
Lintang selalu bilang, kalau dia setiap malam sudah menyiapkan segala dialog yang dia bisa seandainya dia punya kesempatan untuk ngobrol dengan Saga. Tapi diam-diam aku yakin, walaupun Lintang sudah menyiapkan segala dialog tapi tetap saja Lintang bakal tetap sama sekali tidak siap kalau seandainya kesempatan itu datang.
"Kita sering ikut lomba Matematika bareng loh." Kata Lintang sambil nyengir gugup ke Saga.
"Iya." Jawab Saga sambil mengangguk tanpa senyum bahkan tanpa menatap wajah Lintang juga.
Karena jawaban Saga sangat singkat dan tidak dua arah, Lintang mendengus sebal sambil menoleh kebelakang menatapku. Padahal saat Lintang menoleh, Saga menoleh lagi menatap Lintang kemudian mengikuti arah padangannya hingga lagi-lagi Saga ikut-ikutan menatapku.
Sialnya Lintang, dia sama sekali tidak sadar kalau Saga menatapnya. Padahal Lintang sekarang sedang memasang tampang sebal seperti nenek sihir. Aku menelan ludah salah tingkah lalu lagi-lagi terpaksa mendongak menatapi langit-langit halte.