“Liat deh Jo!” Seru Lintang tiba-tiba mengeluarkan buku alumni sekolah dasar dari loker mejanya.
“Itu buku sekolah dasar Saga?” Tebakku.
Lintang tersenyum lebar sambil membuka halaman demi halaman hingga sampai di foto Saga sewaktu masih sekolah dasar, “Aku dapat buku ini dari Kiki. Dia kan dulu satu sekolah dasar sama Saga!”
“Oooh.” Gumamku tidak peduli. Aku bosan sekali mendengar Lintang membicarakan Saga melulu. Bosan juga di paksa Lintang mengikuti Saga kemanapun. Entah berdiri di pinggir lapangan saat Saga main bola atau datang ke kantin yang sama seperti yang sering di datangi Saga.
Kemudian kami asik sediri dengan kesibukan kami masing-masing. Lintang sibuk bersiul-siul riang gembira membaca buku alumni sekolah dasar Saga. Aku sibuk menyalin PR Matematika milik Lintang secepat mungkin sebelum jam istirahat pertama selesai.
Pelajaran yang paling tidak kukuasai adalah Matematika. Makanya tanpa sadar aku selalu kagum saat bertemu dengan orang yang benar-benar suka sekali dengan pelajaran Matematika seperti Lintang. Lintang bahkan sering ikut perlombaan Matematika. Dari kegiatan itulah Lintang tau Saga, karena Saga juga sering mewakilkan sekolah untuk kejuaraan Matematika.
Tiba-tiba Lintang terpekik kaget. Ia menggoyang-goyangkan bahuku heboh. Ia meributkan alamat Saga yang tertera di daftar biodata.
“Yaaaa amppppuuuuun. Ternyata kamu sama Saga tinggal satu komplek perumahan! Kok kamu nggak pernah cerita sih Jo?” Kata Lintang nyaris menjerit. Berlebihan sekali.
Aku mengerutkan kening sambil mengangkat alis. Iyalah nggak pernah cerita, wong aku juga nggak tau kalau aku ternyata tinggal satu komplek perumahan dengan Saga.
“Saga tinggal di komplek perumahan Graha Padma Bukit Kopi! Bukannya kamu juga tinggal di komplek perumahan Graha Padma?”
Aku mengangkat alis, kemudian menjelaskan ke Lintang. Aku memang tinggal di komplek perumahan Graha Padma tapi di bagian Bukit Cengkeh. Komplek perumahan tempatku tinggal nggak cuma sebesar lapangan bola tapi sungguhan besar sekali. Dibagi-bagi berdasarkan tipe rumah. Bukit Cengkeh tempatku tinggal berisi puluhan rumah kecil bertipe 36. Masih ada Bukit Cemara, Bukit Bintang, Bukit Teh dan banyak lagi. Bukit Kopi tempat Saga tinggal, letaknya dibagian yang agak berbukitan dan jauh dari rumahku. Rumah-rumah didaerah Bukit Kopi pun jauh berbeda dengan tipe rumah ditempat aku tinggal. Bangunan disana mewah, besar dan punya halaman luas.
“Berarti Saga kaya juga dong?” Seru Lintang bahagia.
Ya, orangtuanya yang kaya, bukannya Saga. Tapi memangnya kaya itu penting ya? Pikirku dalam hati.
Tanpa menunggu jawabanku Lintang mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Ia menggoyang-goyangkan beberapa foto di depan wajahku. Itu foto Saga, dalam berbagai pose.
“Kamu, motret ini semuanya sendiri?” Sahutku kaget. Aku buru-buru menggenggam pergelangan tangan Lintang kemudian menurunkannya ke bawah meja. Supaya ia nggak akan menggoyang-goyangkan foto itu lagi didepan wajahku. Aku khawatir Lintang bisa diolok-olok habis-habisan oleh siswa laki-laki di kelas kami kalau sampai ketahuan.
“Nggak, aku minta dari Allysa kok.” Jawabnya enteng. Ngomong-ngomong Allysa itu salah satu teman sekelasku.
“Allysa juga tau kalau kamu naksir Saga?”
Lintang mengangguk santai.
“Apa enggak apa-apa?” Tanya ku khawatir. Takut kalau semakin banyak orang yang tau, rahasia Lintang bisa menyebar kemana-mana.
“Gak masalah kan? Toh Allysa juga naksir Saga.”
Aku mengerutkan alis bingung, “Jadi kalian sama-sama suka sama Saga gitu?”
“Iya, memangnya kenapa?” Tanya Lintang balik, ikut bingung.
“Nggak aneh?” Aku melongo.
“Nggak kok. Lagian aku dapat foto foto ini dari Allysa!” Kata Lintang yang sekarang malah menatapku seakan-akan akulah yang aneh.
Aku menggaruk garuk kepalaku, ulang tahunku sudah lewat seminggu lalu. Umurku sekarang sudah tiga belas tahun. Kupikir aku bakalan lebih dewasa dari ini, tapi ternyata aku sama sekali masih tidak mengerti, sama saja.