Musim kemarau, 2023
Angin kemarau yang kering ini, membawa dedaunan di halaman rumah yang kami tempati.
Rasa panas dan penat tidak menyurutkan semangatku untuk terus mengulik kisah hidup ibu.
Benar saja, sejak menemukan buku kecil itu aku gemar sekali membawa halaman demi halaman. Bahkan, tak jarang aku mengulangi halaman tertentu agar bisa lebih merasakan apa yang ibu rasakan.
Usai pulang dari mengajar anak didikku di sekolah menengah pertama, biasanya aku beristirahat sembari menunggu kepulangan Mas Anto.
Duduk bersantai di terasa rumah ditemani catatan semasa kecil ibu kini menjadi kegeraman tersendiri bagiku ini.
"Assalamu'alaikum ... " sapa Mas Anto usai memarkir motor bebek kesayangannya.
"Waalikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawabku. Tak hanya singkat. Aku selalu menyajikan untaian senyum manis kepada lelaki yang telah sudi meminang gadis yang banyak kurangnya ini.
"Sejak Mas masuk halaman tadi, Mas liat Nay serius." ucap Mas Anto sembari menyodorkan tangannya yang bau matahari padaku.
"Masa sih, Mas? Mas liat Nay serius banget, ya?"
"He'em, Nay. Apa yang membuat perhatian untuk mas tergadai, Nay?" celoteh renyah Mas Anto.
Kami memang gemar menggoda satu sama lain. Bahkan, tak jarang Mas Anto juga tak tahan untuk mencubit pipiku dengan gemas jika dia sudah berambisi menggodaku.
"Astaghfirullah, Mas. Hanya Mas yang selalu ada di hati Nay, Mas. Mas mau tahu Nay serius ngapain?"
"Lha nyapo to, Dek Nay? Hayo?"
Aku terkekeh melihat gelagat Mas Anto barusan. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang kuperbuat hingga mengabaikan perhatian untuknya.
Aku pun mencium tangan Mas Anto seperti biasanya. Sebagai seorang makmum, sudah sepantasnya hal seperti ini kulakukan.
Usai mencium punggung tangannya yang kekar, kemudian aku mengajak Mas Anto untuk duduk tepat di sebelah tempat dudukku yang menghadap halaman rumah.
"Ini loh, Mas. Nayla baca buku harian ibu. Nay kangen ibu, Mas."
Pria berkumis tipis itu sepertinya menyadari isi hati istrinya ini. Maka, kurasakan ada sentuhan lembut di pucuk jilbab yang kukenakan. Pria halalku itu mengelusnya dengan lembut seraya berkata, "Jika Nay kangen ibu, besok nyekar ke makam Beliau, mau?"
Aku menoleh ke samping dan mendapati wajah tampan itu penuh dengan keteduhan. "Mas ... Makasih, ya? Panjenengan sampun nerima Nay."
"Wes ojo ngomong gitu ah, Nay. Ayo masuk rumah."
"Upppsh ... " sahutku. Aku lupa harus melayani sosok imam yang kupunya itu.
Dia pasti lelah bekerja di lapangan. Sudah seharunya aku melayani beliau dengan sepenuh hati.
Dia, Mas Anto menggandeng lembut tangan ini dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Sikapnya tak ubah seperti pengantin baru. Padahal usia pernikahan kami sudah memasuki 3 tahun.
"Tadi Nay mampir ke kedai Bu Rum, Mas."
Sepulang kerja tadi, aku sempat mampir ke warung Bu Rum untuk membeli sayur mentah dan telur untuk santap siang kami.
Sebenarnya ini sudah kelewat waktu makan siang. Tetapi, aku sering telat makan karena menunggu Mas Anto pulang bekerja untuk makan bersama.
"Makasih ya, Dek." Dari suaranya yang terdengar parau. Sepertinya Mas Anto kelelahan bekerja.
Sehingga aku berinisiatif untuk membuatkannya secangkir kopi. Aku pun beranjak hendak meninggalkan Mas Anto.
"Mau ke mana, Nay?"
"Nay mau bikinin Mas kopi dulu."
"Udah, makan dulu aja. Kopinya tar sambil nemanin kamu baca buku harian ibu."
"Iya, Mas."
"Tapi, nggak popo ta, kamu tanpa izin baca buku ibu, Nay?"
"Nay udah izin, kok. Waktu nemuin ini pertama kali Nayla udah izin disik, Mas."
"Waduh, kamu iki ono-ono wae, Dek."