Hampir seminggu kami di Bali dipotong dengan dua hari perjalanan. Ya .. kira-kira hitung saja sendiri. Namun, berapa hari pun di sana selama dengan Ranti, aku pasti senang. Apalagi kali ini aku satu hotel dengannya bahkan di lantai yang sama dan kamar yang saling berhadapan.
Aku tak tahu apa ini jodoh atau Tuhan sudah merancang cerita indahku dengannya kali ini. Selama di Bali, aku tidak memperlihatkan kedekatanku dengan Ranti. Aku memang sedikit menjaga jarak apalagi ada guru yang selalu mengawasi gerak gerik kami. Hingga di hari kedua sebelum pulang, aku berani mendekatinya.
Kebetulan malam ini kami sedang bersantai di ruang serbaguna hotel tersebut. Ada yang bermain bola sodok, kartu, bermain gitar bahkan hanya sekedar duduk berdua sambil mengobrol seperti apa yang aku lakukan saat ini.
Aku memang sengaja mencari Ranti tadi dan melihat gadis manisku itu asyik melamun sambil melihat taman di luar ruang serbaguna.
“Aku pikir kamu sudah balik kamar,” seruku. Ranti terkejut dan menoleh ke arahku. Senyum manis ciri khasnya langsung terukir indah di wajah ayunya.
“Enggak, Dit. Ini malam terakhir kita di Bali. Sayang banget kalau tidur sore.”
Aku hanya manggut-manggut sambil tersenyum, kemudian duduk di sampingnya. Kali ini aku sengaja duduk sangat dekat dengannya. Bahkan aroma parfum bunganya tercium dengan baik di hidungku.
“Kok kamu gak kumpul ama temanmu?” ujarnya kemudian.
“Sudah tadi. Sekarang giliran aku bersama kamu. Apa kamu keberatan?” Ranti tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Memang selama di Bali, aku asyik bermain dengan temanku. Begitu juga Ranti. Ini saat terakhir kami bersama dan rasanya aku harus memanfaatkan waktu dengan baik.
“Yanti dan Indy ke mana? Sudah masuk kamar?”
Ranti menggeleng. Kemudian menunjuk ke arah teman-teman yang bermain gitar. Di sana aku melihat dua teman Ranti sedang menyanyi dengan suara yang fals. Aku mengulum senyum dengan geli. Lagi-lagi kenangan ini nantilah yang akan aku rindukan saat berpisah dengan mereka.
“Kamu sudah punya rencana mau masuk sekolah mana?” Aku mengalihkan topik pembicaraan.
Ranti tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Iya, aku ingin masuk SMA ... .” Ranti sudah menyebutkan salah satu sekolah favorit di kotaku.
Seingatku anak yang bersekolah di sana kalau tidak pintar, yang pasti kaya. Dan kalau kamu bukan salah satu dari mereka, sepertinya akan sulit masuk ke sana. Sementara aku tidak kaya dan hanya punya otak pas-pasan saja. Apa mungkin aku juga bisa masuk ke sana?
“Dit, kenapa diem? Kamu juga mau masuk sana, ‘kan?”
Aku tidak menjawab hanya jakunku yang naik turun sambil melihat gadis manis di sampingku ini.
“Pengennya, sih. Semoga saja, karena sepertinya sulit banget untuk masuk ke sana.”
Ranti tampak bersedih dan menatapku dengan sendu. Aku melihat reaksinya dan tersenyum kemudian.
“Aku gak sepintar kamu. Sepertinya itu hal yang mustahil, tapi kalau misal aku gak bisa masuk sana aku janji akan sekolah yang berada di dekatnya. Supaya kita bisa ketemuan terus.”
Ranti langsung tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku ikut tersenyum dan lega sekali melihat gadis pujaanku ini tersenyum bahagia. Apa sih yang tidak akan kamu lakukan untuk membuat pujaan hatimu bahagia? Kalau perlu gunung tinggi dan dalamnya lautan akan aku jabani.
“Aku sayang kamu, Ranti,” desisku lirih.
Ranti seakan terkejut mendengar ucapanku dan menatapku dengan gugup. Untung saja cahaya penerangan di tempat kami duduk tidak terang benderang. Kalau tidak, Ranti pasti akan tahu bagaimana warna wajahku dan mimik mukaku. Sungguh, aku yang sedang membuai dirinya. Namun, kenapa selalu aku yang melayang sendiri dengan gestur dan tatapannya. Gadis manis ini benar-benar telah mencuri segenap jiwaku.
“Aku juga sayang kamu.” Kemudian Ranti menjawab dengan pelan diikuti sebuah senyuman yang menghiasi wajah ayunya.
Ampun ... aku makin terbang tinggi. Semoga saja aku masih ingat untuk kembali ke bumi, karena gadis manis nan cantik ini telah mengobrak-abrik tatanan hatiku.
Kami saling pandang dan diam untuk beberapa saat. Mungkin kalau di scene salah satu drama negeri gingseng yang sering aku tonton. Pasti kedua dari kami akan saling mendekat, memiringkan kepala lalu mempertemukan bibir dan saling berbagi saliva.
Namun, sayangnya itu tidak terjadi di kenyataan. Aku sangat pemalu, untuk mencoba memegang tangannya saja keringat dingin sudah membasahi tubuhku. Apalagi bertindak lebih dari itu. Selain itu, aku masih terlalu dini untuk melakukannya. Ingat kalau aku itu pria dengan pemikiran konvesional.
Aku menghela napas panjang sambil tersenyum menatapnya. Kamu cantik banget, Ranti. Ingin sekali kubawa wajahmu dalam setiap mimpiku menemani tidur malamku dan aktivitasku sepanjang hari.
Lagi-lagi kami masih membisu dan hanya saling pandang, tanpa terucap sepatah kata keluar dari mulut kami. Mungkin hanya semut dan jangkrik yang bersuara dan sibuk wira-wiri memperhatikan kami.
“Sudah malam, kamu gak tidur?” Akhirnya Ranti yang membuka suara lebih dulu.
“Kamu sendiri juga gak tidur?” Aku malah balas bertanya. Sebuah senyuman terukir kembali di wajah Ranti.
“Kamu suka copy paste pertanyaan orang, ya?” Aku hanya tergelak mendengar ucapannya.
“Yang jelas aku suka dengan gadis di depanku.” Ranti langsung menunduk mendengar ucapanku. Sumpah, kenapa juga aku jadi jago gombalin Ranti kali ini.
“Udah, akh. Aku ngantuk, Dit.” Ranti mengurai pertemuan mata kami dan bersiap bangkit.
Aku ikut berdiri kemudian bersama kami berjalan beriringan menuju kamar. Tidak aku hiraukan tatapan beberapa pasang mata teman dan guruku. Yang penting aku tidak melakukan apa-apa hanya sekedar ngobrol saja.
Kakiku sudah berhenti di depan pintu kamar. Kamar kami memang saling berhadapan. Kamar Ranti di sebelah kanan dan kamarku di sebelah kiri.
“Kamu bawa kuncinya?” tanyaku kemudian. Aku melihat Ranti hanya diam seakan sibuk mencari kunci kamar.
“Eng ... tadi dibawa Indy dan sepertinya dia sudah berada di kamar.” Aku hanya manggut-manggut. Aku memang tidak melihat Indy dan Yanti di ruang serbaguna tadi.
“Ya udah. Masuk, geh!! Bobok, udah malam,” pintaku.
Ranti mengangguk dan kembali menyunggingkan sebuah senyuman gula jawanya. Kemudian dia sudah membalikkan badan bersiap masuk. Namun, entah mengapa tanganku malah mencekal lengannya membuat gadis manis itu menoleh dan membalikkan badan ke arahku.
Lalu dengan gerak cepat, wajahku mendekat dan mengecup pelan keningnya.
“Selamat tidur!!” desisku pelan.
Ranti terdiam, mematung di tempatnya. Sama halnya dengan diriku, hanya saja kali ini aku menunduk tak berani melihat ke arahnya. Kenapa juga aku berbuat senekat itu? Tanpa izin sudah mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Aku menyesali perbuatanku dan siap mendapat amukan Ranti.
Namun, yang ada gadis manis di depanku ini tidak bersuara. Lalu dengan tatapan yang aneh dan senyuman manisnya dia berlalu pergi meninggalkan aku. Aku langsung menghela napas panjang usai ia menutup pintu kamar. Kakiku langsung lemas dan tak mampu menopang tubuhku.
Kali ini aku terpaksa jalan terseok masuk ke dalam kamar. Apa yang terjadi padaku? Kenapa juga aku yang seperti ini? Padahal harusnya ‘kan Ranti yang mengalami apa yang aku alami ini.
Aku menghela napas panjang sambil menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Aku melirik Erwin sudah tidur pulas di sebelahku. Aku sedikit beruntung tidak ada satu pun yang tahu apa yang kulakukan tadi. Kalaupun tahu dan menertawaiku pun aku tak peduli. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku pada Ranti. Perasaan sayang dan cintaku pada gadis pujaanku itu.
Ini adalah malam terindah dalam hidupku dan mungkin malam terakhir aku bersama dengan Ranti. Andai saja aku bisa melihat masa depan pasti tidak akan kusia-siakan malam ini dan menikmati sampai pagi agar tidak kusesali di kemudian hari.