Sejak hari itu, perlahan aku mencoba melupakan bayang Ranti. Aku fokus dengan studyku dan bahkan aku kembali aktif mengikuti futsal lagi. Aku hampir bisa melalui hidupku dengan baik tanpa bayangnya, tapi entah mengapa semuanya berantakan hari ini.
Kelasku baru saja usai pelajaran olah raga dan aku sedang berdiri di dekat jendela. Tanpa sengaja mataku melihat ke kelas seberang. Aku terkejut saat melihat sosok gadis manis pujaanku itu tengah duduk manis di tempatnya. Seperti biasa ia tampak sedang menunduk sambil menuliskan sesuatu dengan bibir yang berkomat-kamit.
Aku menghela napas panjang berusaha menghindar atau setidaknya menyudahi keasyikanku ini. Namun, yang ada aku malah duduk manis di atas meja sambil meneruskan pandanganku ke arahnya. Ada banyak kerinduan yang sedang aku luapkan saat melihat gadis manis itu di sana. Aku masih asyik dengan hobbyku yang tertunda saat serta merta gadis manis itu mendongakkan kepala dan melihat ke arahku.
Mata kami bertemu seperti kala itu, biasanya dia akan menghindar lalu menunjukkan tomat ceri di kedua belah pipinya. Namun, kali ini dia hanya terdiam seakan tertegun menatapku. Ada banyak cerita yang sedang dia utarakan padaku melalui mata almond nan indah itu. Gara-gara itu juga aku masih terpaku di tempatku dan lupa ganti baju.
“Dit!!” Tepukan tangan Erwin di bahuku membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh dan melihat Erwin sedang menunjuk ke depan. Aku terbelalak saat melihat sudah ada guru pengajar di depan kelas. Tanpa berganti seragam, aku langsung duduk di kursiku dan bersiap mengikuti pelajaran. Untuk pertama kali, aku kembali tidak fokus dengan mata pelajaran hari ini.
Hatiku sibuk menanyakan arti tatapan Ranti tadi. Dia kenapa? Kenapa melihatku seperti itu? Apa dia sedang mengatakan sesuatu padaku? Aku tidak tahu jawabannya hingga akhirnya jam pulang sekolah berbunyi.
Aku ingin cepat tiba di rumah sehingga memilih lebih dulu berjalan ke parkiran. Namun, langkahku terhenti saat melihat ada beberapa orang temanku sedang berkerumun. Aku mendekat.
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Arik barusan diputusin Ranti,” sahut salah satu teman.
Aku terbelalak kaget. Bukannya jadiannya baru beberapa minggu, kenapa juga langsung putus. Benakku sudah sibuk berpikir. Aku masih belum menemukan jawaban hingga tiba-tiba Erwin menepuk bahuku.
“Yuk, Dit!! Pulang bareng.” Aku mengangguk dan gegas mengambil sepeda lalu mengikuti Erwin bersepeda bersebelahan.
“Emang bener Arik diputusin Ranti?” tanyaku penasaran.
Kami sudah bersepeda bersebelahan kali ini. “Iya, aslinya aku udah tahu sejak kemarin, sih. Ternyata Arik kemarin kirim surat menyatakan perasaannya ke Ranti dan yang menjawab itu bukan Ranti melainkan temannya.”
“Terus kok Ranti gak jelasin ke Arik?”
“Katanya sudah, hanya saja Arik yang keburu suka duluan. Dia juga malu karena sudah traktir teman-teman waktu itu.”
Aku terdiam dan hanya melirik Erwin dengan kesal. “Jadi aslinya dari awal mereka gak jadian hanya kesalahpahaman saja?”
Erwin mengangguk sambil tersenyum. Aku makin kesal dengan jawaban Erwin dan langsung menoyor bahunya. Erwin sontak terkejut membuat sepedanya oleng.
“Kok malah mukul sih, Dit,” protes Erwin.
“Habis kamu nyebelin. Kenapa juga kamu gak ngomong ke aku dari awal? Kamu seneng ngelihat orang susah, ya?”
Erwin hanya tertawa dengan rambut brokolinya yang bergoyang diterpa angin. Aku kembali diam dan tiba-tiba menyunggingkan sebuah senyuman aneh. Padahal beberapa minggu, aku benar-benar seperti orang hilang arah. Gak tahu mau ngapain, mencoba fokus belajar, tapi yang ada malah melamun. Mencoba fokus ikut futsal lagi, tapi yang ada malah terbayang wajah Ranti.
“Akhrgg ... .” Aku menghela napas panjang sambil menatap langit siang yang cerah ini. Erwin melirikku sekilas.
“Jadi setelah ini dilanjut lagi perjuanganmu?”
Aku menoleh, terkejut dengan pertanyaan Erwin. Aku tahu maksud ucapan Erwin. Aku juga jadi teringat kejadian saat di kelas tadi. Sepertinya Tuhan memberi pertanda agar aku kembali bersama pujaanku itu. Dengan mantap aku mengangguk dan tersenyum lebar. Erwin ikut tersenyum kemudian tanpa sadar menoleh ke belakang kami.
Tiba-tiba Erwin melambatkan sepedanya, aku ikut melambatkan dan menoleh ke arahnya. Namun, pandanganku teralihkan saat melihat sosok yang sedang mengayuh sepeda dengan lambat di belakang Erwin. Aku kenal sosok manis dengan raut ayu itu. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Ranti.
Sejak kapan dia berada di belakangku? Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi? Aku menghentikan sepedaku mengikuti Erwin yang tiba-tiba berhenti dan membiarkan sosok manis pujaanku itu lewat melaluiku begitu saja.
“Kamu gak nyusul dia, Dit?” tanya Erwin membuyarkan lamunanku.
“HEH!!!” Aku terkejut dan hanya bisa menatap sosoknya dari jauh. Sumpah, kenapa juga aku jadi mati gaya kayak gini. Aku bagai terhipnotis dengan pesona indahnya dan hanya bergeming di posisiku.
“Buruan!! Susul!!!” pinta Erwin sambil menepuk bahuku.
Bagai tersadar dari pingsan aku mengangguk dan gegas mengayuh sepedaku kuat-kuat. Aku gak mau kehilangan kesempatan emas lagi. Aku akan mengajak Ranti bicara banyak, bukan hanya mata kami yang terus bicara. Aku juga akan mengutarakan perasaanku padanya. Aku capek memendamnya. Aku takut hatiku jadi lumutan bahkan karatan nantinya.
Namun, sepertinya takdir berkata lain lagi. Karena mengayuh dengan sangat tergesa, rantai sepedaku tiba-tiba los dan aku jatuh tersungkur. Sementara Ranti sudah melaju jauh meninggalkan aku. Erwin gegas menghampiri dan menolongku.
“Kamu gak papa, Dit?” Aku tidak menjawab hanya meringis sambil menepuk lututku yang tergores. Sumpah, ini perih banget, tapi lebih perih saat aku tahu Ranti menerima pernyataan Arik kemarin.
“Gak papa, kok. Kayaknya sepedaku gak mau ngebut, deh. Untung saja Ranti gak ngelihat tadi.”
Erwin kembali tertawa mendengar ucapanku. Setidaknya hari ini aku tahu kalau Ranti masih sendiri dan aku masih punya kesempatan kedua. Aku jadi ketawa sendiri dan sibuk membayangkan banyak hal yang akan aku lalui dengannya. Namun, apa mungkin aku bisa melangkah maju ke depan hingga bisa menggapainya atau hanya jalan di tempat seperti biasanya.
**
Pagi ini gerimis menyambutku saat aku mulai mengayuh sepedaku. Aku sudah membetulkan rantainya semalam, ternyata hanya sedikit kendor jadi berulang kali los. Usai meletakkan sepeda di parkiran. Aku lari dengan tergesa masuk ke dalam kelas. Sayangnya lagi-lagi aku ceroboh dan menabrak seseorang saat baru keluar tempat parkir.
Aku mendongakkan kepala karena merasa kenal dengan harum wangi tubuhnya. Sosok itu menoleh dan mata kami bertemu. Tepat dugaanku kalau dia adalah Ranti. Aku langsung tersenyum lebar dan gegas berdiri.
“Kamu gak papa?” tanyaku basa basi. Harusnya dia yang bertanya seperti itu karena kali ini aku yang jatuh. Namun, sudahlah. Namanya juga basa basi.
“Iya.” Ranti malah menjawab dengan singkat seperti biasanya. Aku terdiam lagi dan masih berdiri mematung di depannya.
Kenapa juga dia tidak menjawab panjang seperti layaknya uraian di soal ujian kemarin. Apa aku salah bertanya tadi. Aku menghela napas panjang sambil melirik seragam olah raga yang sedang Ranti kenakan.
“Kamu olah raga hari ini?”
“He-em.” Mati aku. Dia malah hanya menjawab dengan deheman saja. Otakku berpikir dengan manik mataku yang terus berputar mencoba mencari bahan pembicaraan kami.
Aku masih sibuk merangkai kata saat tiba-tiba sebuah tepukan singgah di bahu Ranti. Ranti menoleh dan melihat ke arah si Penepuk. Aku melihat seorang gadis sebaya Ranti dengan rambut ekor kuda dan mata sipit menatap ke arahku dengan menyelidik.
“Busyet!!! Matanya kayak ngelihat penjahat saja,” batinku kesal.
“Yuk, buruan!!” ucap gadis itu yang akhirnya aku ketahui bernama Indy. Dia salah satu sahabat Ranti.
Perlahan mereka berdua tanpa pamitan pergi meninggalkan aku yang masih mematung di tempatku. Helaan napas panjang berulang keluar masuk dari mulutku. Padahal Tuhan sangat baik hari ini mempertemukan aku dengan Ranti. Kenapa juga aku yang tidak bisa memanfaatkan momennya? Apa tidak ada keajaiban yang membuatku semakin mendekat ke arahnya? Sungguh, pria kecil ini butuh keajaiban lagi kali ini.